Bayangkan kamu tersesat di sebuah kota asing nan gelap, mencoba untuk mencari jalan menuju sebuah cahaya terang yang berkelip-kelip di sebuah bukit yang jauh. Kamu ingin berada di bawah naungan cahaya itu, namun untuk menuju ke sana kamu harus menyeberangi ngarai yang gelap, mendaki bukit yang begitu curam, dan menelusuri jalur yang tak benar-benar jelas untuk ditapaki.
Ilustrasi di atas bisa digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan diri. Kita mungkin sering merasa tersesat tanpa mengetahui dengan jelas bagaimana lanskap emosi dari diri kita sebenarnya. Kita mungkin juga kesulitan untuk memahami serta memberikan nama terhadap perasaan yang kerap datang dengan begitu kuatnya. Adakah makna yang lebih dalam terhadap perasaan yang dirasakan? Ataukah ini hanyalah tanda bahwa kita sedang membutuhkan istirahat sejenak?
Kamu ingin mencoba memahami ini semua, namun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sulit untuk dijangkau, tersembunyi dalam gelapnya kabut kota. Ingin rasanya berada pada sebuah tempat di mana kamu merasa penuh, tenang, dan aman; namun ini semua terasa begitu mustahil, seperti cahaya terang di atas bukit itu. Perjalanan dalam menemukan jawaban ini terkadang membuat kita hampir putus asa.
Akhir-akhir ini memang menjadi hal yang cukup lazim untuk membicarakan tentang emosi. Mulai banyak talk show yang membicarakan tentang depresi, trauma serta sisi kerentanan diri (vulnerability) secara lebih terbuka dari pada sebelumnya. Namun apakah kita benar-benar memahami apa arti kata-kata tersebut? Dapatkah kita membedakan antara rasa malu dan rasa bersalah dalam praktiknya? Ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang emosi, dan melalui bukunya, Brené Brown menjelaskan tentang bermacam emosi yang membentuk hidup kita.
Seorang Anak dengan Kekuatan Magis
Brené Brown, sang penulis buku, yakin bahwa ia memiliki kekuatan magis, seperti kemampuan untuk memprediksi masa depan dan menjalin hubungan dengan orang lain, saat duduk di bangku sekolah. Dia ingat bahwa salah satu pelatih renangnya saat SMA mempunyai emosi yang meledak-ledak sampai-sampai teman-teman sekelasnya takut dengan beliau. Mereka tak bisa menebak apa alasan dari kemarahan sang pelatih. Namun, setelah Brené perhatikan dengan saksama, sang pelatih hanya akan marah saat murid yang dilatihnya tak mencoba sekuat tenaga saat berlatih. Tak peduli seberapa berbakatnya kamu, jika kamu tak berkomitmen 100% untuk mengembangkan diri, dapat dipastikan beliau akan marah. Di sisi lain, jika beliau melihat muridnya berlatih dengan serius, dia tak akan marah kepadamu, bahkan jika kamu hanyalah perenang biasa. Satu lagi, dia juga suka dengan gaya renang punggung. Mengetahui hal ini, Brené mencoba semampunya dan berlatih berenang dengan gaya punggung agar ia tak termasuk kedalam daftar murid yang kena marah.
“Berada di bawah radar” agar tidak membuat jengkel orang lain merupakan salah satu kesadaran yang Brené kembangkan saat kecil. Brené menganggap ini sebagai kekuatan supernya karena telah membantunya untuk mengarungi kehidupannya dengan orang tuanya yang cukup rumit. Di hadapan umum, orang tuanya bersikap ramah, baik, dan menyenangkan. Namun di balik pintu rumah, perilaku mereka sangat tak dapat diprediksi. Suasana hati mereka dapat berubah dengan cepat, dan mereka bisa saja marah tanpa adanya tanda-tanda sama sekali. Kondisi ini sangat membingungkan bagi Brené dan 4 saudara lainnya. Orang tua mereka bersikap seperti ini hanya saat Brené dan 4 saudaranya sedang berada di rumah saja sehingga wajar bagi mereka untuk berpikir bahwa kejengkelan dan amarah orang tuanya merupakan kesalahan mereka. Selain itu, Brené merupakan anak yang paling tua; ini yang membuat Brené
merasa bahwa tugasnya lah untuk melindungi saudara-saudara lainnya dari kemarahan orang tuanya.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Brené menjadi seorang pengamat tajam. Dia belajar untuk mengidentifikasi “titik lemah” atau shame triggers (pemicu rasa malu) dari seseorang. Dia juga mulai memperhatikan bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya melampiaskan kemarahannya pada momen-momen keseharian seperti saat menonton pertandingan olah raga atau kemarahan di jalan raya. Brené mengerti bahwa situasi-situasi tersebut sering kali tak berhubungan langsung dengan apa yang sebenarnya membuat mereka marah. Di satu titik, Brené sungguh tidak tahu apa yang ia harus lakukan dengan kesadaran emosi ini. Tak ada satu orangpun di rumah yang membicarakan tentang perasaannya atau mengekspresikan emosinya. Emosi yang dianggap wajar hanyalah amarah. Melalui buku ini, Brené ingin membagikan kemampuan tersebut.
Perluas Kosakata Emosimu
Mungkin kamu bertanya-tanya, apa tujuan dari memahami emosi dan perasaan kita? Bayangkan kamu merasakan nyeri linu pada bahumu. Rasa sakit ini tak mau pergi dan mulai mengganggu keseharianmu. Akhirnya kamu memutuskan untuk datang ke ruang gawat darurat. Seorang dokter yang perhatian datang dan mencoba untuk mencari tahu apa yang salah dari bahumu. Saat kamu mulai menceritakan kondisimu padanya, sesuatu yang aneh terjadi: kamu tak dapat menyuarakan sepatah kata pun. Kamu hanya bisa menggunakan jari mu untuk menunjukkan dari mana rasa nyeri itu berasal. Maka dari itu, dia tak bisa membantumu. Kamu merasa frustasi, dan rasa sakit di bahu mu masih belum pergi.
Poin dari ilustrasi di atas adalah bahasa itu penting. Bahasa merupakan jembatan antara diri kita dengan orang lain. Dengan bahasa, kita dapat mengekspresikan bagaimana perasaan kita, sehingga kita dapat meminta bantuan saat dibutuhkan. Namun ketika berhadapan dengan emosi, sebagian besar dari kita bertindak seperti pasien sakit bahu di atas. Kita tak memiliki kata-kata untuk mendeskripsikan apa yang terjadi di dalam diri kita kepada orang lain, atau bahkan memahami emosi tersebut secara pribadi. Brené menemukan sesuatu yang menarik dari penelitiannya: dia dan timnya bertanya kepada 7.000 orang untuk mengidentifikasi semua emosi yang mereka rasakan. Dan ternyata, secara rata-rata perserta hanya menyampaikan 3 emosi: sedih, marah dan bahagia. Itu saja. Dari semua emosi yang kita rasakan, semua perbedaan kecil (nuansa) dari pengalaman kita sebagai manusia, sebagian besar hanya bisa mendeskripsikan emosi-emosi itu ke dalam 3 kategori.
Mengapa ini menjadi masalah? Seperti kasus pasien sakit bahu tadi, kamu hanya bisa memberi tahu letak rasa sakit di bagian atas tubuh, dan mendeskripsikan rasa sakitnya hanya dengan kata “buruk” alih-alih mengatakan sakit berdenyut-denyut atau linu.
Mempunyai kesadaran dan kemampuan menggunakan bahasa yang tepat untuk mendeskripsikan emosi disebut para peneliti dengan “emotional granularity”. Kemampuan ini dapat membawa manfaat pada hidupmu dalam banyak cara. Mengetahui kata-kata yang tepat akan memungkinkan kamu untuk mengidentifikasi perasaan dan mengetahui dari mana emosi itu berasal. Dan jika kamu dapat mengidentifikasi pemicunya, kamu akan jauh lebih siap untuk menemukan cara-cara untuk membuat dirimu nyaman.
Brené percaya bahwa memiliki wawasan tentang keadaan emosimu membuka jalan agar kamu dapat merasa terhubung dengan dirimu sendiri alih-alih merasa terpisah dari badan dan mati rasa. Hubungan yang kembali terjalin dengan diri menciptakan fondasi untuk membangun hubungan yang tulus dan penuh cinta dengan orang lain. Mampu mengartikulasikan perasaanmu membuat kamu mampu untuk meminta dan menerima bantuan yang kamu butuhkan secara spesifik.
Apa Itu Kesedihan?
Saat kita mengalami sesuatu yang buruk, kita biasanya merespons nya dengan sebuah emosi yang kita sebut dengan sedih. Namun apa itu sedih?
Perlu diingat bahwa sedih itu tidak sama dengan depresi yang merupakan salah satu kondisi kronis. Merasa sedih adalah bagian penting dari menjadi manusia. Kesedihan merupakan perasaan sesaat (fleeting feeling) yang kita alami sebagai reaksi kita terhadap situasi kehilangan atau kekalahan. Karena kita semua pernah mengalami kesedihan, kita dapat menyadarinya saat orang lain mengalaminya. Berempati dengan orang terdekat kita yang sedang bersedih dan meluangkan waktu untuk mereka adalah sebuah tindakan yang datang dengan sendirinya dari hati. Merasa sedih mampu membuat kita merasa hidup dan lebih terhubung dengan orang lain. Kesedihan juga dapat membantu kita untuk membuat keputusan yang lebih baik karena kita menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang ada di sekeliling kita.
Jadi ini apa yang dimaksud dengan kesedihan. Tetapi terdapat emosi-emosi lain yang kerap kita rasakan saat tersakiti yang jauh berbeda dari kesedihan, namun emosi-emosi tersebut sering kita jadikan satu di bawah label kesedihan seperti: derita, duka, putus asa, atau kehilangan harapan. Emosi- emosi ini mempunyai karakteristik yang berbeda dan membutuhkan reaksi yang berbeda pula dari kita.
Derita (Anguish) Datang Menyerang Tulang
Derita (anguish) itu terasa mengejutkan, tak terduga, dan seringkali traumatis. Jika dibiarkan saja, derita dapat menyerang fisik kita. Perasaan ini pernah melanda Brené saat tiba-tiba saja dia menerima telepon dari seorang temannya di masa kecil. Temannya memberi tahu Brené bahwa ia merasa ingin bunuh diri karena sebuah trauma di masa kecil yang Brené tak ketahui. Ketika mendengar pengakuan ini dari temannya, tubuh Brené menjadi lemas tak berdaya.
Menurut Brené, derita datang menyerang tulang. Anguish menyerang bagian inti kita. Kita sebenarnya tangguh dan dapat sembuh dari trauma semacam ini, akan tetapi kita membutuhkan dukungan. Jika tidak, kita mungkin dapat menjalani hari-hari, namun kita akan tetap merasa mati rasa atau remuk di dalamnya. Terkadang, beberapa orang juga merespons derita dengan menjadi seseorang yang sangat perfeksionis, mencoba untuk menutup segala kerentanan diri dan tetap tegar. Namun dengan adanya dukungan yang baik akan memberikanmu ruang untuk merasakan luka tersebut sambil belajar untuk membangun kembali hidupmu. Salah satu dukungan terbaik datang dalam bentuk body-centered therapies(terapi yang berpusat pada tubuh) yang memeriksa manifestasi fisik dari trauma yang dimunculkan oleh tubuh dan memanfaatkan sinyal-sinyal tersebut untuk menemukan solusinya.
Walaupun anguish mempunyai karakter mendadak, membingungkan dan menyakitkan, ia tak begitu berbahaya jika dibandingkan dengan dua emosi lainnya, yakni: kehilangan harapan (hopelessness) dan keputusasaan (despair). Walaupun dua emosi itu berhubungan, mereka tidak sama.
Rasa kehilangan harapan (hopelessness) datang saat kamu tak mampu menetapkan tujuan- tujuan realistis untuk hidupmu; jika memiliki tujuan, kamupun tak tahu bagaimana cara untuk meraihnya. Saat kamu mencoba dan gagal, kamu menjadi kehilangan keberanian dan mulai menyalahkan diri sendiri. Kamu tak memiliki keyakinan pada kemampuanmu atau rasa bahwa kamu mempunyai kendali atas hidupmu.
Menurut Brené, hopeless sering kali muncul akibat sebuah situasi spesifik, entah itu kondisi hubungan atau keuangan yang memburuk. Sementara despair (keputusasaan) mencakup kekecewaan terhadap seluruh aspek hidupmu. Despair adalah perasaan bahwa seluruh hidupmu itu percuma, tak memiliki harapan, dan tak akan pernah berubah. Kamu terjebak dan tak dapat menemukan jalan keluar.
Merasakan kedua emosi ini, tanpa adanya upaya untuk memperbaiki, sering kali berujung pada pikiran-pikiran dan tindakan bunuh diri. Jika kamu sedang merasakan sakit batin dan merasa seperti tidak ada jalan keluar, pikiranmu akan menjadi terdistorsi dan terpicu dengan pemikiran bahwa mengakhiri hidup merupakan satu-satunya jalan yang bisa kamu tempuh. Demi menguatkan mental dan ketangguhan diri dihadapan hopelessness dan despair, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan.
Berharap Merupakan sebuah Kemampuan, bukan Emosi
Untuk melawan rasa kehilangan harapan dan putus asa, kita bisa memanfaatkan harapan. Kita sering menganggap harapan sebagai sebuah emosi yang hangat dan “kabur” (warm and fuzzy emotion). Namun anggapan ini tidaklah benar. Menurut Brené, berharap merupakan sebuah kemampuan yang dapat kamu pelajari. Berharap, dengan cara yang benar, dimulai dari menyadarkan diri untuk menetapkan tujuan-tujuan yang realistis, kemudian mencari tahu bagaimana caranya untuk memenuhi tujuan tersebut dan percaya pada kemampuanmu sendiri. Harapan datang ketika kamu dihadapkan dengan masa sulit dan kamu menyadari bahwa kamu dapat melewatinya dengan tegar. Untuk mempelajari tentang harapan dan berharap, kamu harus melatih diri untuk menetapkan tujuan yang benar-benar dapat kamu capai.
Hal penting lainnya adalah, kamu perlu merasa nyaman dengan kegagalan dan siap untuk mencoba cara-cara baru saat cara yang pertama digunakan gagal. Belajar untuk menjadi seseorang yang penuh dengan harapan itu menular. Para peneliti telah menunjukkan bahwa orang tua yang penuh harapan secara umum juga memiliki anak yang penuh dengan harapan.
Saat kamu dibanjiri dengan rasa putus asa, berhenti sejenak dan tanyakan pada diri tentang 3P tadi:
1) Personalization: untuk mengetahui apakah kamu mengambil hati perbuatan atau perkataan seseorang, tanyakan pada diri “Apakah (perbuatan dan perkataan) tadi memang ditujukan kepada saya? Apakah konteks dari situasi tadi memang tentang saya? Faktor-faktor eksternal apa saja yang belum saya perhitungkan?”.
2) Permanence: untuk mengetahui apakah situasi ini akan berlangsung selamanya, tanyakan pada diri “Akankah ini menjadi masalah yang besar dalam 5 menit kedepan? Atau 5 hari kedepan? Atau 5 bulan kedepan?”.
3) Pervasiveness: untuk mengetahui apakah masalah ini bersifat menyeluruh dan menghancurkan kehidupanmu, berhenti sejenak untuk menimbang dampaknya. Contoh, mungkin kamu telah mengacaukan sesuatu dalam pekerjaanmu, tapi apakah kesalahan tadi bisa meretakkan hubunganmu dengan keluarga dan teman-temanmu?
Strategi ini memberimu kesempatan untuk memencet tombol pause ketika kamu merasa kewalahan dengan terpaan ujian; jeda sejenak untuk refleksi diri memberi ruang bagi otak rasionalmu untuk menaruh pengalaman-pengalaman tersebut dalam sebuah perspektif.
Kesedihan, derita, dan rasa putus asa, semua itu menyakitkan dan sulit untuk dihadapi. Namun mereka juga bisa menjadi guru yang luar biasa. Sebagai manusia yang tangguh, sangat mungkin bagi kita untuk melalui semua perasaan ini, untuk kemudian menjadi manusia yang lebih berempati, membumi, dan berani menunjukkan sisi kerentanan diri (courageously vulnerable). Tetapi kamu tak bisa melakukannya sendirian. Kamu harus memimta bantuan dan mendapatkan bantuan yang tepat sesuai dengan emosi itu.
Kebahagiaan (Happiness) dan Sukacita (Joy) Bukanlah Hal yang Sama
Kita semua tahu tentang apa makna dari kebahagiaan bukan? Tunggu dulu. Para peneliti ahli kebahagiaan, yang telah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya mempelajari tentang emosi, saja tak benar-benar sepakat dengan apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Sebagian besar penelitian hingga hari ini telah mendeskripsikan kebahagiaan sebagai sifat atau bagian dari karakteristik seseorang dari pada sebagai sebuah keadaan (a state) – sesuatu yang dialami di saat-saat tertentu. Membingungkannya lagi, kebahagiaan kerap disatukan dengan sukacita. Dua kata itu sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan sebuah keadaan positif. Namun menurut penelitian Brené, kebahagiaan dan sukacita adalah dua hal yang berbeda.
Kebahagiaan adalah sebuah emosi yang bertahan lama (long-lasting emotion) yang datang akibat merasa memegang kendali atas hidup (feeling in control). Kebahagiaan membuat kita fokus pada diri sendiri atau pada pencapaian kita.
Di sisi lain, sukacita datang secara tiba-tiba tanpa peringatan. Sukacita berlangsung sekejap dan sementara namun dengan intensitas yang sangat tinggi. Sukacita memicu kita untuk memfokuskan perhatian kita pada hal-hal yang ada di luar diri, bukan di dalam. Sukacita membuat kita merasa terhubung dengan orang lain, atau Tuhan, atau alam semesta. Sukacita membuat kita merasa bebas, hidup, dan sadar. Sukacita terasa sangat menyenangkan dan diiringi dengan rasa syukur dan apresiasi.
Namun sukacita juga terasa sedikit meresahkan, bahkan menakutkan. Merasakan sukacita terasa begitu menakjubkan sampai-sampai ia dapat membuatmu merasa rentan dan takut akan kehilangan sukacita itu sendiri. Brené memberikan istilah foreboding joy (firasat buruk atas rasa sukacita) kepada pengalaman semacam ini. Inilah yang terjadi saat kamu melihat anak-anakmu yang sedang tertidur; rasa sukacita itu mendadak ditikam oleh rasa ketakutan yang mendalam serta irasional, seakan-akan sesuatu yang buruk akan terjadi kepada mereka. Seolah-olah ini menjadi cara otak untuk melatih diri agar luka dari tragedi di masa mendatang terasa tidak begitu menyakitkan saat kejadian buruk itu benar-benar terjadi. Di saat yang bersamaan dengan rasa sukacita, kamu menyadari betapa berharganya keberadaan dari hal yang membuat kamu bersukacita (anak-anak dalam kasus di atas).
Sebagian besar dari kita begitu terbiasa dengan berfirasat buruk saat bersukacita (foreboding joy) sampai-sampai kita tak menyadari apa yang sedang kita lakukan. Kita mulai menganggap ini sebagai hal yang normal. Sayangnya hidup dengan cara seperti itu benar-benar dapat menghilangkan manfaat dari merasakan sukacita dengan sebebas-bebasnya.
Ada seorang pria yang telah melalui hidupnya dengan selalu berekspektasi akan hal-hal buruk yang Brené wawancarai dalam studinya tentang vulnerability (kerentanan). Pria tersebut telah menganggap kebiasaan ini sebagai baju besi yang melindungi perasaannya (emotional armor). Ternyata, hal terburuk itu benar-benar terjadi kepadanya saat istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Di saat itu ia menyadari bahwa ekspektasi buruk itu tak membantunya sama sekali untuk mempersiapkan diri menghadapi tragedi menyakitkan ini. Foreboding joy telah merampas kemampuannya untuk benar-benar menikmati waktu yang ia habiskan bersama dengan istrinya di saat istrinya masih berada di sampingnya.
Agar dirimu dapat merasakan sukacita sepenuhnya, kamu disarankan untuk melatih diri mengapresiasi apa yang kamu miliki di saat kamu sedang memilikinya (appreciating what you have, in the moment you have it). Faktanya, peneliti menemukan bahwa sukacita dan rasa syukur itu saling terhubung; saat keduanya bertemu, akan terjadi fenomena yang disebut dengan “upward spiral”. Jika rasa syukur menjadi salah satu sikap yang kita terapkan, maka kita akan merasakan sukacita yang lebih mendalam di momen tersbut. Sebaliknya, jika kita tipe seseorang yang kerap bersukacita maka kita akan lebih banyak menemukan momen-momen di mana kita merasa bersyukur. Kedua emosi ini saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
Dan seperti emosi lainnya, rasa syukur dapat dilatih dan dipelajari. Menuliskan jurnal rasa syukur secara konsisten, atau meluangkan waktu untuk menyuarakan satu hal yang kamu syukuri di hari itu, akan melatih otakmu untuk mencari-cari pengalaman yang serupa.
Merasa Nyaman dengan Paradoks
Seperti yang kamu sudah lihat, mengeksplorasi emosi bukanlah hal yang sederhana. Kategori emosi yang terlihat simpel seperti “sedih” dan “bahagia” sebernanya begitu penuh dengan nuansa dan kontradiksi. Kita telah melihat bagaimana emosi dapat memanifestasikan diri dengan sinyal-sinyal tertentu pada tubuh. Kamu juga bisa memengaruhi perasaan mu dengan mempraktikkan kemampuan berharap. Agar sadar, paham dan mampu menceritakan tentang emosi, kita harus menjadi nyaman dengan elemen-elemen paradoks yang terkesan berlawanan namun sebenarnya mereka saling terhubung. Seperti terang dan gelap, salah satunya tak akan ada tanpa keberadaan yang lainnya.
Sebagai nahkoda atas emosi diri sendiri, kamu harus menjadi nyaman dengan paradoks emosional. Walaupun terkadang kita menginginkan kedekatan dengan orang lain, kita justru bertindak menutup diri dari menjalin hubungan. Atau mungkin kamu dapat memimpin sebuah rapat di depan jajaran direksi namun menjadi ciut saat kamu perlu berbicara dengan ibumu sendiri. Menggenggam paradoks-paradoks ini dengan kehangatan dan rasa penasaran akan membantu dalam perjalanan pencarianmu. Seperti petualangan yang berharga, tak ada yang namanya jalan pintas. Kamu harus memanjat tiap dinding penghalang. Terus bergerak. Jangan takut “kotor” dan hadapi hal-hal yang terkesan berlawanan. Peluk erat kerentanan yang datang bersama hidup.
Add a comment