Kita semua pernah punya ‘luka’, bahkan mungkin diantaranya masih membekas sampai sekarang. Ada satu kejadian yang masih terekam jelas dalam ingatan saya. Bermula ketika saya dengan tidak sengaja menutup pintu ‘mobil baru’ seorang teman, yang menurut dia terbanting cukup kencang (saya tidak merasa demikian, tapi mungkin memang saya salah). Hal tersebut sepertinya membuat dia marah. Dengan raut sungguh-sungguh, dia mengatakan di depan beberapa teman bahwa cara saya menutup pintu sama seperti sedang menutup pintu mobil bak pick up.
Sangat sedih, jelas perasaan saya saat itu (bahkan sampai sekarang jika teringat). Saya meminta maaf, tapi mungkin dia masih kesal dan terus menyindir di depan saya sembari membicarakannya kepada teman lain. Memori tersebut nyatanya tidak pernah bisa saya hilangkan meski sudah berusaha melupakan. Mungkin sekarang dia sudah tidak ingat kejadian tersebut. Tapi sejak hari itu, muncul rasa kehati-hatian saya terhadap hal serupa. Ketakutan ketika akan menutup pintu mobil, ketakutan membuat kesalahan yang sama dan menyakiti perasaan orang lain. Tanpa saya sadari, hal ini membentuk trauma menyakitkan bagi saya selama bertahun-tahun.
Respon setiap orang terhadap kejadian yang melukainya memberikan pengalaman berbeda satu sama lain. Brian Kurian melalui tulisannya, Time Doesn’t Heal All Wounds, menceritakan kisahnya ketika dia berumur sekitar 7–8 tahun untuk pertama kali dalam hidupnya mengalami rasisme oleh seorang anak seumurnya. Dalam satu momen kebencian yang dia rasakan, Brian yang masih muda harus membuat pilihan. Dia bisa saja mengabaikan anak tersebut dan terus memikirkan kepentingannya sendiri. Bisa terus bersenang-senang dan terus menjadi anak yang baik.
Namun pada hari itu, dia berhenti menjadi anak yang lugu dan naif. Dalam beberapa detik, Brian turun dari sepeda, berlari ke seberang jalan, mendorong anak yang berkata rasis tersebut ke tanah, dan mulai memukulinya. Wajah anak itu berlumuran darah cukup parah. Brian hilang kendali sampai ibunya melerai dan membawanya pulang. Namun keesokan harinya dan setiap hari setelah itu. Anak tersebut tidak pernah mengatakan sesuatu yang membenci Brian lagi.
Beberapa luka, bertahan seumur hidup. Bahwa ‘waktu’ menyembuhkan sebagian besar luka, tetapi tidak semuanya. Beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan. Beberapa luka terlalu menyakitkan untuk dilupakan. Luka-luka ini selamanya membekas di jiwa kita. Begitu pun secuil kisah saya dan Brian yang memberi gambaran bahwa meskipun kita telah berusaha memaafkan semua orang yang pernah menyakiti di sepanjang hidup kita, tetapi kita tidak bisa melupakan hal-hal menyakitkan ‘tertentu’ yang telah terjadi.
“Some memories never leave your bones. Like salt in the sea — they become part of you. And you carry them.”
— April Green, Paper Wings
Mengapa otak tidak mengizinkan kita melupakan ingatan tertentu?
Artikel berjudul How To Improve Listening Skills For Effective Workplace Communication pada laman Lifehack, menuliskan bahwa otak adalah bagian dari tubuh. Selain jutaan jaringan memori, kita semua telah memasang mekanisme di otak kita bernama sistem pemrosesan informasi, yang berfungsi untuk penyembuhan. Sistem ini diarahkan untuk membawa segala jenis gejolak emosional ke tingkat kesehatan mental atau yang disebut tingkat resolusi adaptif. Sistem pemrosesan informasi dimaksudkan untuk membuat koneksi ke apa yang berguna, dan melepaskan sisanya.
Dalam artikel dijelaskan cara kerjanya yakni dengan membayangkan kita bertengkar dengan rekan kerja. Kita bisa merasa kesal, marah, atau takut dengan semua reaksi fisik yang menyertai beberapa emosi ini. Kita juga bisa memiliki pikiran negatif tentang orang tersebut dan diri kita sendiri. Kita mungkin membayangkan bagaimana kita ingin membalas dendam, tapi mari berharap kita menolak perilaku itu; dengan skenario lain yang mana mereka mungkin akan membuat kita dipecat. Sehingga kita pergi. Kemudian memikirkannya. Membicarakannya. Ketika tidur mungkin juga akan memimpikannya.
Dan hari berikutnya ternyata kita mungkin tidak merasa begitu buruk. Hal tersebut terjadi karena sebenarnya kita telah ‘mencerna’ pengalaman dan sekarang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang harus dilakukan. Itulah sistem pemrosesan informasi otak yang mengambil pengalaman mengganggu dan memungkinkan pembelajaran berlangsung. Proses ini sebagian besar berlangsung selama fase tidur REM. Para ilmuwan percaya bahwa selama tahap tidur ini otak memproses keinginan, informasi kelangsungan hidup, dan pembelajaran yang terjadi hari itu. Pada dasarnya, apa pun yang terjadi, otak sudah dirancang untuk melakukan itu.
Setelah pemrosesan informasi berjalan tanpa gangguan, memori dari pengalaman umumnya akan terhubung dengan informasi yang lebih berguna yang sudah tersimpan di otak kita. Hal ini dapat mencakup pengalaman masa lalu yang kita alami dengan rekan kerja ini atau orang lain. Kita sekarang mungkin dapat mengatakan, “Ya begitulah. Saya pernah menangani hal seperti ini sebelumnya dengan dia, dan hasilnya baik-baik saja.” Saat ingatan lain terhubung dengan insiden yang mengganggu saat ini, pengalaman kita tentang peristiwa itu berubah.
Kita belajar apa yang berguna dari pengalaman dan otak kita melepaskan apa yang tidak. Karena perasaan negatif dan self-talk tidak lagi berguna, mereka hilang. Tetapi apa yang perlu kita pelajari tetap ada, dan sekarang otak kita menyimpan memori peristiwa itu dalam bentuk yang dapat memandu kita di masa depan. Akibatnya, kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang seharusnya kita lakukan. Kita dapat berbicara dengan rekan kerja kita tanpa gejolak emosional yang intens kita alami sebelumnya. Itulah sistem pemrosesan informasi adaptif otak yang mengambil pengalaman mengganggu dan memungkinkan pembelajaran berlangsung. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Sayangnya, pengalaman yang mengganggu, apakah trauma besar atau jenis peristiwa menjengkelkan lainnya, dapat membanjiri sistem. Ketika itu terjadi, gangguan emosional dan fisik intens yang disebabkan oleh situasi tersebut mencegah sistem pemrosesan informasi membuat koneksi internal yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Sebaliknya, ingatan tentang situasi tersebut disimpan di otak saat kita mengalaminya. Apa yang kita lihat dan rasakan, gambar, emosi, sensasi fisik dan pikiran menjadi terkodekan dalam memori, dalam bentuk aslinya yang belum diproses. Jadi, setiap kali kita melihat rekan kerja yang berdebat dengan kita, alih-alih bisa mengobrol dengan tenang, kemarahan atau ketakutan datang kembali. Kita mungkin mencoba mengelola perasaan untuk menjaga diri, tetapi setiap kali orang itu muncul, tekanan kita meningkat.
Koneksi bawah sadar ini terjadi secara otomatis. Misalnya, ketidaksukaan kita terhadap seseorang yang baru saja kita temui mungkin berasal dari ingatan akan seseorang yang dalam beberapa hal serupa pernah menyakiti kita sebelumnya. Sistem pemrosesan informasi yang terganggu telah menyimpan memori dalam isolasi, tidak terintegrasi dalam jaringan memori yang lebih umum. Hal ini tidak dapat berubah karena tidak dapat terhubung dengan sesuatu yang lebih berguna dan adaptif. Itu sebabnya waktu tidak menyembuhkan semua luka, dan kita mungkin masih merasakan kemarahan, dendam, sakit, kesedihan, atau sejumlah emosi lain tentang peristiwa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Mereka membeku dalam waktu, dan ingatan yang belum diproses dapat menjadi dasar bagi masalah emosional, dan terkadang fisik. Meskipun kita mungkin tidak mengalami trauma besar dalam hidup kita, penelitian telah menunjukkan bahwa jenis pengalaman hidup lain dapat menyebabkan jenis masalah yang sama. Dan karena koneksi memori terjadi secara otomatis di bawah tingkat kesadaran, kita mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya telah menjalankan hidup kita.
Amy Morin melalui tulisannya, Science Explains Why Time Doesn’t Necessarily Heal Emotional Pain, memaparkan hasil sebuah studi dalam terbitan Perspectives on Psychological Science yang menegaskan gagasan bahwa waktu tidak menyembuhkan. Para peneliti dari Arizona State University menemukan bahwa secara umum, orang tidak memiliki banyak ketahanan alami. Ketika individu mengalami peristiwa yang mengubah hidup, seperti bencana alam atau pengangguran jangka panjang, ada kemungkinan besar mereka akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang diantisipasi untuk bangkit kembali.
Lepaskan melalui meditasi dan jurnal
Dalam beberapa hal, kita mungkin bisa mengatasi emosi kita sendiri bergantung pada tingkat kepelikan situasi yang tengah kita hadapi. Dikutip dari artikel berjudul Why Letting Go Is So Hard and What To Do About It pada laman Simple Mindfulness, berikut saya rangkum satu proses melalui teknik meditasi untuk ‘melepaskan’ tekanan dari situasi tertentu yang selama ini sulit kita lalui:
Temukan tempat yang tenang di mana kita tidak akan diganggu. Beri diri kita setidaknya 30 menit (satu jam akan lebih baik) karena kita tidak ingin menghentikan alur prosesnya.
Duduk dalam posisi santai di kursi atau lantai.
Pejamkan mata kita dan ambil sepuluh napas dalam, untuk menenangkan dan memusatkan diri. Fokus pada proses pernapasan, jangan memaksanya. Biarkan tubuh kita bernapas sesuai kebutuhan.
Saat kita merasa tenang, pikirkan hal yang ingin kita lepaskan. Rasakan perasaan yang muncul. Jangan menahan apa pun.
Fokus pada perasaan yang paling kuat. Tepatnya, dimana kita merasakan perasaan tersebut dalam tubuh kita? Semua emosi menciptakan rumah dalam tubuh yang memberikan sensasi fisik seperti sakit, panas, dingin, mati rasa, sesak, dan lain sebagainya.
Fokus pada perasaan tersebut. Luangkan waktu untuk memahami dengan tepat dimana itu dan apa sensasi yang kita rasakan. Jangan mencoba untuk membuat mereka pergi, karena hal ini hanya akan menyebabkan mereka bertahan.
Setelah kita jelas terhadap apa dan dimana sensasinya, tanyakan pesan yang ingin disampaikan. Jenis pesan ini datang dari ‘diri sejati’ kita dan ada untuk membantu kita sembuh dan tumbuh. Pesannya mungkin bukan berupa kata-kata, tapi mungkin saja berupa warna, perasaaan, bau atau banyak hal. Terbukalah terhadap apa pun yang muncul. Hal ini mungkin bukan sesuatu yang masuk akal bagi kita. Jangan menilainya sebagai hal yang baik, buruk, benar, salah, gila atau apa pun. Cukup dengan itu dan biarkan pesan muncul apa adanya.
Ketika kita merasa telah menerima pesan sebanyak mungkin, ambil sepuluh napas dalam-dalam, fokus kembali pada proses pernapasan dan ketenangan.
Pada titik ini, kita bisa terus menyelami pengalaman kita atau pindah ke sensasi yang berbeda di tubuh kita. Kemudian ulangi tiga langkah terakhir.
Buka mata kita dan mulailah menulis apa pun yang muncul dari diri kita dalam sebuah jurnal atau buku catatan. Pena dan kertas bekerja paling baik untuk proses ini (tanpa elektronik). Teruslah menulis selama kita bisa dan tanpa menilai apa pun. Kita dan apa pun yang kita tulis tidak salah, gila, bodoh, atau penilaian negatif lainnya. Begitupun sebaliknya, baik kita dan apa pun yang telah kita tulis tidak ada yang benar, brilian, atau mengagumkan.
Dalam jurnal kita, jawablah pertanyaan-pertanyaan ini: Bagaimana hal-hal yang baru saya alami dapat membantu saya untuk maju dalam hidup? Dapatkah saya melihat pengalaman sulit secara berbeda? Bisakah saya melihat diri sendiri secara berbeda? Apa yang dapat saya lakukan untuk meminimalkan dampak emosional dari pengalaman serupa di masa depan dan membiarkannya pergi begitu saja? Kisah penyemangat apa yang bisa saya bagikan pada diri sendiri tentang situasi ini?
Ulangi proses setiap minggu sampai kita merasa bahwa diri kita benar-benar dapat melepaskan dan memiliki semangat maju. Evaluasi mingguan disarankan untuk memberikan waktu bawah sadar kita bekerja melalui apa yang muncul di setiap sesi. Kita mungkin akan mendapatkan ‘jawaban’ setelah tiga hari sesi yang tidak terpikirkan oleh kita.
Jurnal adalah alat ampuh yang memungkinkan kita menggali lebih dalam dan melepaskan pikiran apa yang mengganggu. Merasakan perasaan sulit dari sesuatu yang ingin kita lepaskan, memeriksa bagaimana perasaan tersebut bermanifestasi dalam tubuh dan membuat jurnal tentang itu adalah proses bergerak untuk melalui dan melewati ketakutan kita. Masa lalu adalah apa adanya dan tidak bisa diubah. Kita memiliki kemampuan untuk membuat cerita yang lebih baik tentang hal itu. Setiap orang hidup dalam realitas mereka sendiri berdasarkan cerita yang mereka ceritakan pada diri mereka sendiri tentang siapa dan bagaimana mereka.
Amy Morin menambahkan bahwa tidak ada orang yang terlahir kuat secara mental, tetapi setiap orang memiliki kemampuan untuk mengembangkan kekuatan mental. Mirip dengan mengembangkan kekuatan fisik, ada latihan yang dapat kita lakukan untuk membangun kekuatan mental. Kebiasaan sehat, seperti mengidentifikasi apa yang kita syukuri dan melatih self-compassion, dapat membantu meningkatkan otot mental kita. Berpikir realistis, mengatur emosi, dan berperilaku produktif adalah kunci untuk bangkit dari keterpurukan. Semakin kuat kita, semakin tangguh kita menghadapi tekanan hidup, baik besar maupun kecil. Meningkatkan ketahanan kita membutuhkan latihan yang disengaja, tetapi itu sepadan dengan usaha. Membangun kekuatan mental sama halnya meningkatkan kemampuan untuk menyembuhkan luka psikologis kita.
Pepatah yang bermaksud elok, “semuanya akan baik-baik saja” mengabadikan mitos bahwa menyembuhkan luka psikologis adalah aktivitas pasif. Sayangnya, menunggu untuk merasa lebih baik mungkin tidak memberikan hasil terbaik. Berasumsi bahwa waktu bisa menyembuhkan dan menetapkan jangka waktu kapan kita seharusnya merasa lebih baik adalah berbahaya. Kita tidak hanya akan menjadi sangat kritis terhadap diri sendiri jika kita tidak bangkit kembali dengan cukup cepat, tetapi kita juga mungkin kurang berempati terhadap penderitaan orang lain yang berkepanjangan. Belajar untuk hidup bersama dengan segala hal yang melukai kita adalah tindakan logis yang bisa kita latih mulai saat ini. Belajar menerima. Belajar untuk tidak apa-apa dengan semua bekas luka yang kita punya.
Add a comment