Perdebatan sengit antara science dan agama terus berlangsung dan membentuk satu domain tersendiri dalam khazanah perbincangan akademik. Dengan mengacu pada pola relasi agama dan science yang diklasifikasikan Ian Barbour, cendikiawan muslim Timur Tengah mencoba dalam upayanya mengawinkan ilmu pengetahuan (Barat) dan agama (Islam). Para akademisi atau mahasiswa Indonesia juga ikut ambil bagian dalam diskursus tersebut berdasarkan kajian terdahulu.
Melihat perseteruan agama dan science yang begitu sengit dalam konteks akar kesejarahannya, pada akhirnya, banyak orang berupaya mendamaikan relasi keduanya dengan menawarkan sebuah konsep baru. Dalam artikel yang bertajuk, “Reconciling Science and Relgion Based on The Common Good: Remedy for Islamic Fundamentalism and Path Toward Democracy”, sebuah karya kolaboratif dari tiga mahasiswa/i Universitas Indonesia, menawarkan sebuah sintesis yang terbilang cukup baru dalam khazanah akademik terkait hubungan tersebut.
Artikel ini menawarkan sintesis baru dari pola relasi keduanya berdasarkan konsep dialektika dua teori yang tentunya berkaitan dengan science dan agama. Dalam menyikapi pemisahan Science dan agama, penulis menggunakan konsep dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam hal ini, pemikiran Hegel dan Fichte dipilih oleh penulis sebagai piranti untuk mendialogkan antara science dan agama.
Sementara dalam upayanya menarik benang merah dalam perkara ini, penulis menggunakan prinsip Non-Overlapping Magisteria (NOM) yang dikemukakan oleh Stephen Jay Gould sebagai tesis. Dengan menggunakan prinsip ini, penulis berasumsi bahwa betapapun science dan agama merupakan dua variable berbeda, namun relasi keduanya tidak bisa dipolarisasi menjadi hitam-putih. Meski begitu, penulis tidak sepenuhnya menerima rumusan NOM karena menganggap bahwa salah satu varibel tersebut tidak bisa mengintervensi salah satu kubu.
Selain itu, penulis menjadikan pemikiranya Harris sebagai antitesis. Dalam buku, “The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (2010)”, Harris menolak relativisme moral dan fundamentalisme agama. Menurutnya, konsepsi baik, jahat dan salah adalah hasil kontruksi budaya, dalam konteks ini termasuk agama, dan sifatnya adalah subjektif. Berbeda dengan itu, Harris beragumentasi bahwa hanya lewat piranti science, ilmu saraf, seseorang dapat mengetahui mana yang objektif dan subjektif melalui pendekatan metodelogi ilmiah.
Dua perkara inilah yang kemudian dikritik oleh penulis. Menurutnya, ada sisi kelemahan dari pemikirannya Harris yakni absolutisme ilmiah. Itu artinya Harris secara tidak langsung menolak segala sumber selain science yang menjelaskan tentang alam dan moralitas, termasuk agama. Di sisi yang bersebrangan, penulis justru percaya bahwa agama dan negara bisa bekerjasama untuk membangun sebuah tatanan bernegara yang lebih ideal dan demokratis, tidak sebagaimana yang dirumuskan oleh NOM maupun Harris yang saling tumpang tindih.
Lebih jauh, secara historis setidak-tidaknya sejak era renaisans di Eropa, agama memang memiliki citra kurang menyenangkan. Agama dijadikan sebagai sarana atau alat legitimasi kekuasaan oleh pemegang otoritas keagamaan. Bahkan agama menjadi salah satu instrumen terpenting negara dalam melicinkan proses penundukan. Persekusian, baik itu kebebasan dalam arti luas atau bahkan hak untuk hidup, menjadi hal lumrah sejauh memiliki pandangan atau tindakan yang dianggap bersebrangan dengan al-kitab, penafsiran gereja dan kebijakan negara.
Selain itu, melalui dogmatisme agama, baik otoritas keagamaan maupun negara, dipandang turut membenamkan rasio manusia yang berimplikasi pada ketidakberdayaan mereka dihadapan agama. Hal demikian tentu sepenuhnya tidak bisa dipisahkan dari konteks sosio-politik pada waktu itu. Hemat saya, setidak-tidaknya untuk melihat sejauh mana kedekatan antara keduanya, agama telah kawin-mawin dengan negara. Berbeda dengan citra buruk agama pada masa itu, sebagai hasil daya gebrak revolusi, ilmu pengetahuan (science) justru menempatkan dirinya kokoh tanpa tandingan.
Nah berdasarkan hal tersebut, penulis berinisiatif melakukan sebuah sintesis. Namun perhataian yang diberikan lebih terfokus pada demokrasi bernegara. Penulis percaya bahwa rekonsiliasi science dan agama, pada gilirannya, dapat membantu negara-negara beragama mencapai demokrasi tanpa merusak sifat keagamaannya, dengan syarat bahwa Syariah harus diterapkan sesuai dengan prinsip maslahah (kebaikan bersama) daripada penyebab hukum Syariah diberlakukan.
Keterpengaruhan penulis dari pemikiran pengkaji terdahulu dalam konteks ini juga tidak bisa kita abaikan. Sejauh saya berselancar dalam artikel tersebut, didapati bahwa penulis banyak menukil pemikirannya Mohammed Abed al-Jabiri dalam bukunya, “Democracy, Human Rights, and Low in Islamic Thought.”
Dalam buku ini al-Jabiri secara garis besar menyoal perihal tantangan baru umat Islam, bahwa dalam mengembangkan tatanan masyarakat demokratis, di mana hak asasi manusia dijunjung tinggi, seharusnya orientasi umat Islam tidak hanya berdasarkan teks dan tradisi lama. Tradisi lama sebagai sumber rujukan banyak memiliki kekurangan. Terutama ketika memungut pendapat ulama klasik dengan asal-asalan. Maksudnya adalah, boleh menukil pendapat orang lain sebagai argumentasi penguat asal harus disaring terlebih dahulu melalui kritisisme. Kristisisme sebagai sebuah terminologi pertama kali diperkenalkan Imanuel Kant.
Kembali pada konteks sebelumnya, model penyatuan semacam itu mirip dengan salah satu tipologi relasi science dan agama yang dirumuskan oleh Ian Barbour. Di antara empat yang diintrodusir-nya, konsep integritas paling mendekati dengan rekonsiliasi yang dimaksud penulis. Pola semacam ini mengandaikan lebih dari sekadar dialog. Baik negara maupun agama dalam hal ini saling mengintervensi. Itu artinya ikatan keduanya tidak lagi independen. Sangat sulit untuk keluar dari, atau setidaknya teguh pada prinsipnya. Bahkan ibarat magnet, salah satu dari keduanya (agama) bisa mengakusisi peran kubu yang satunya.
Selain itu, prinsip maslahah atau kebaikan publik itu juga problematik. Kepentingan minoritas dalam penelitian ini luput dari pengamatan penulis. Maka mucul pertanyaan, berdasarkan prinsip apakah suatu kebaikan publik itu dicapai? Atas dasar apa mayoritas mendaku secara penuh mewakili kehendak umum? Jika yang dimaksud adalah semacam kontrak sosial, betapapun dibalut dengan prinsip keadilan, maka jelas pengandaian tersebut gagal. Apalagi seandainya jatuh pada konsep “kontrak sosial” Rousseau, filsuf modern Prancis. Konsep ini bukan hanya gagal tapi juga diskriminatif. Pasalnya putusan diambil berdasarkan prinsip mayoritas. Jadi, sebuah regulasi pada akhirnya cenderung hanya menguntungkan satu pihak saja, dan dengan demikian justru menempatkan pihak minoritas pada posisi subordinat.
Selain itu, penulis juga gagal mengantisipasi atas dasar apa negara menjadikan hukum syariat sebagai landasan bernegara. Walaupun sejauh ini Islam adalah salah satu agama mainstream yang dianut oleh sebagian besar warga Indonesia, tetapi pengintegrasian syariah dengan negara secara totalitas tentu tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Menimbang bahwa Indonesia dibangun bukan hanya mewakili satu kepentingan agama saja, pada akhirnya saya berada pada sebuah kesimpulan bahwa konsep yang ditawarkan penulis tidaklah relevan. Karena tatanan ideal semacam itu bersifat utopis, sangat sulit atau bahkan hampir mustahil diwujudkan dengan mempertimbangkan segala konsekuensi perdebatan teoritik yang ada. Kalaupun ada, diskriminasi tidak luput menyertainya.
Meski begitu, upaya sintesa semacam itu lantas tidak menjadikannya menguap begitu saja. Sebagai sebuah konsep, rekonsiliasi antara science dan agama menjadi sebuah diskursus tersendiri yang turut mewarnai khazanah keilmuan.
Add a comment