Suatu hari kamu sedang membuka Twitter. Menggulir-gulir layar timeline, kemudian jarimu terhenti saat melihat twit yang menarik perhatianmu. Ada seseorang yang menuliskan kisah sedih karena kehilangan adik kesayangannya. Lampiran foto beserta alur kejadian berhasil membuatmu iba.
Belum lagi setelah membaca komentar orang-orang yang juga merasakan kesedihan yang sama. Emosimu ternyata valid. Akhirnya, agar tidak hanya bersimpati, hatimu merasa berhak untuk memberikan bantuan lebih. Seperti detektif handal yang selalu siap sedia memberi pertolongan, kamu menelisik setiap informasi dengan terperinci kemudian menumpahkannya pada kolom balasan.
Ternyata beberapa orang merespon, mereka memberikan informasi tambahan yang mendukung temuanmu itu. Kalian bersatu-padu saling melempar dan mengulik isu, hingga akhirnya sang adik dan kakak bertemu.
Kisah yang berhasil ini tentu semakin dibagikan oleh beribu orang dan menarik banyak perhatian. Tidak tertinggal pula aksi heroikmu yang mendapat banyak pujian. Kamu merasa puas dan turut berbahagia tentu saja. Kemudian muncul tekad dalam dirimu untuk semakin membantu lebih banyak orang nantinya.
Tidak berselang lama, kamu menemukan kisah yang mengumpulkan ibamu kembali. Seseorang mengaku telah mengalami kekerasan seksual. Rincian kejadian dan percakapan pribadinya dengan sukarela dia bagikan. Katanya, pelaku itu adalah kekasihnya sendiri.
Namun tidak hanya iba yang kali ini kamu rasakan, rupanya amarah juga membelengguimu. Saking durjananya perilaku pelaku diceritakan, kamu merasa bahwa dia pantas mendapatkan ganjaran. Tidak perlu waktu untukmu berpikir panjang, jari-jemarimu itu sangat cekatan mengorek identitas pribadinya dan kamu sebarkan.
Warganet yang memahami bagaimana emosimu tentu saja memberi dukungan. Mereka mengomentari, mengolok-olok, dan dengan ikhlas hati memberikan banyak pandangan. Ya, sudah pasti pelaku akan hancur seperti yang kalian aminkan. Kamu tentu sangat puas karena untuk kedua kalinya berhasil menjadi ‘detektif handal yang selalu siap sedia memberi pertolongan’.
Setelah kisah tersebut dibagikan kembali oleh ribuan orang, bak terpeleset di ubin kamar mandi, muncul sebuah twit yang membuat cerita bantahan. Penulis yang sebelumnya mengaku dilecehkan, ternyata hanya menyusun sebuah karangan. Mengetahui itu, kamu tentu saja kesal dan telak karena merasa dikelabuhi.
Demi keadilan pelaku yang tertuduh dan demi kekecewaan semua orang atas kebohongannya, kini kamu dengan percaya diri berbalik membagikan informasi tentangnya. Dalam pikirmu, “Apa yang dia petik, maka itu yang dia tuai.” Untuk yang ketiga kali, kamu berhasil menjadi ‘detektif handal yang selalu siap sedia memberi pertolongan’.
Bagai hakim yang selalu memberikan keadilan, tugas berat di pundakmu kini telah terselaikan. Semuanya kembali normal. Semua orang mengambil pelajaran. Dan kini saatnya kamu kembali menjalankan kehidupanmu yang menyenangkan.
Kamu merasa tahu padahal kamu tidak tahu. Kamu masa bodoh padahal kamu bodoh. Kamu itu, siapa?
Misinformasi dalam Medsos
Media sosial memiliki dampak dramatis pada cara kita berinteraksi. Platform ini telah menghubungkan kita satu sama lain dengan cara baru dan berdampak. Cerita dan opini bisa mendapatkan eksposur dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, memberikan individu di seluruh dunia akses terus menerus ke percakapan hampir real-time tentang hal-hal penting maupun sepele.
Dengan semakin populernya berbagai perangkat yang mendukung internet dan kecepatan internet seluler yang canggih, semakin banyak orang yang terlibat dengan media sosial. Sayangnya, ada sisi gelap dari media sosial: ‘‘berita palsu’’. Informasi yang salah dapat memengaruhi pengguna, memanipulasi mereka untuk alasan politik, ekonomi dan sebagainya.
A Guide to Misinformation: How to Spot and Combat Fake News, yang ditulis dalam artikel Verizon, menyebutkan bahwa istilah “misinformasi” atau yang sering disebut sebagai “berita palsu” di zaman modern ini, didefinisikan sebagai informasi tidak akurat yang dapat didistribusikan dengan maksud untuk menipu orang yang membacanya.
Adapun istilah “misinformasi” dan “disinformasi” bukanlah sinonim. Misinformasi mengacu pada pelaporan yang tidak akurat yang berasal dari ketidakakuratan. Dengan demikian, istilah tersebut tidak menyiratkan niat untuk menipu. Disinformasi, di sisi lain, mengacu pada penyebaran informasi yang tidak akurat yang disengaja dengan maksud untuk menipu.
Lebih jelasnya, disinformasi selalu salah informasi, sedangkan misinformasi bisa jadi disinformasi, tergantung niatnya. Misalnya, jika artikel yang membahas tokoh politik ternyata mengandung kesalahan faktual, itu adalah misinformasi. Jika diketahui bahwa ketidakakuratan itu disengaja, artikel tersebut bisa disebut disinformasi. Karena niat sulit ditentukan, istilah-istilah ini sering digunakan secara bergantian.
Ullrich Ecker dkk, dalam artikel The psychological drivers of misinformation belief and its resistance to correctionInformasi, menuliskan bahwa misinformasi atau yang mereka definisikan sebagai informasi apa pun yang ternyata salah, menimbulkan tantangan yang tak terhindarkan bagi kognisi manusia dan interaksi sosial. Karena hal itu adalah konsekuensi dari fakta bahwa orang sering melakukan kesalahan dan terkadang berbohong.
Internet adalah media yang ideal untuk penyebaran kebohongan yang cepat dengan mengorbankan informasi yang akurat. Namun, penyebaran informasi yang salah tidak dapat dikaitkan hanya dengan teknologi, upaya konvensional untuk memerangi informasi yang salah juga tidak sesukses yang diharapkan. Hal ini termasuk upaya pendidikan yang berfokus hanya pada penyampaian pengetahuan faktual serta upaya korektif yang hanya menarik kembali informasi yang salah.
‘‘Information or opinions that you disagree with may not necessarily constitute misinformation.’’
Pendorong Keyakinan yang Salah
Dijelaskan pula dalam artikel Ullrich, bahwa semua pembentukan keyakinan palsu membutuhkan paparan informasi palsu. Namun, kurangnya akses ke informasi berkualitas tidak selalu merupakan prekursor utama pembentukan keyakinan palsu. Berbagai faktor kognitif, sosial dan afektif memengaruhi pembentukanan kepercayaan ini.
Keyakinan yang salah umumnya muncul melalui mekanisme yang sama yang membentuk keyakinan yang akurat. Ketika memutuskan apa yang benar, orang sering kali menjadi bias untuk percaya pada validitas informasi, dan ‘mengikuti insting mereka’ serta intuisi alih-alih berunding.
Misalnya, pada Maret 2020, 31% orang Amerika setuju bahwa COVID-19 sengaja diciptakan dan disebarkan, meskipun tidak ada bukti yang kredibel untuk perkembangannya yang disengaja. Orang-orang kemungkinan besar telah menemukan teori konspirasi tentang sumber virus beberapa kali, yang mungkin berkontribusi pada kepercayaan yang telah tersebar luas ini.
Karena hanya dengan ‘mengulangi’ klaim membuatnya lebih dapat dipercaya daripada hanya menyajikannya sekali. Efek kebenaran ilusi ini muncul karena orang menggunakan isyarat periferal seperti keakraban (sinyal bahwa pesan telah ditemukan sebelumnya), kelancaran pemrosesan (sinyal bahwa pesan dikodekan atau diambil dengan mudah) dan kohesi (sinyal yang elemen pesan memiliki referensi dalam memori yang konsisten secara internal).
Sebagai sinyal kebenaran dan kekuatan, isyarat ini meningkat dengan adanya pengulangan. Dengan demikian, pengulangan meningkatkan kepercayaan pada informasi dan fakta yang salah. Kebenaran ilusi dapat bertahan berbulan-bulan setelah paparan pertama, terlepas dari kemampuan kognitif dan terlepas dari saran yang bertentangan dari sumber atau pengetahuan sebelumnya yang akurat.
Sumber informasi juga memberikan isyarat sosial penting yang memengaruhi pembentukan keyakinan. Secara umum, pesan lebih persuasif dan tampak lebih benar ketika berasal dari sumber yang dianggap kredibel daripada non-kredibel. Contoh sumber kredibel yang akrab dengan kita adalah sumber manusia.
Karena kita pada dasarnya lebih suka memperoleh informasi dari orang yang kita percayai, dalam kelompok kita. Apalagi jika kita menganggap informasi itu menarik, kuat, dan mirip dengan diri kita sendiri. Namun penilaian sumber informasi ini secara alami tidak sempurna, karena orang lebih percaya pada anggota kelompoknya sendiri daripada anggota kelompok luar.
Secara keseluruhan, sekelompok orang awam dapat sebaik pemeriksa fakta profesional dalam mengkategorikan sebuah berita sebagai berita yang dapat dipercaya, hiper-partisan, atau palsu. Namun, ketika bertindak sendiri, individu tidak seperti pemeriksa fakta. Individu cenderung mengabaikan kualitas berita dan menilai keakuratan headline terutama berdasarkan masuk akalnya konten.
Isi emosional dari informasi yang dibagikan juga memengaruhi pembentukan keyakinan palsu. Konten menyesatkan yang menyebar dengan cepat dan luas (viral) di internet seringkali mengandung daya tarik emosi, yang dapat meningkatkan persuasi.
Misalnya, pesan yang bertujuan untuk menimbulkan rasa takut akan bahaya dapat berhasil mengubah sikap, niat, dan perilaku dalam kondisi tertentu, jika penerima merasa bahwa mereka dapat bertindak secara efektif untuk menghindari bahaya.
Selain itu, ‘pikiran bahagia’ lebih dapat dipercaya daripada yang netral. Orang-orang tampaknya memahami hubungan antara emosi dan persuasi, dan secara alami beralih ke bahasa yang lebih emosional ketika mencoba meyakinkan orang lain.
Kesimpulan tentang informasi juga dipengaruhi oleh keadaan emosional seseorang. Orang cenderung bertanya pada diri sendiri ‘‘Bagaimana perasaan saya tentang klaim ini?’’, yang dapat menyebabkan pengaruh suasana hati seseorang pada evaluasi klaim.
Menggunakan perasaan sebagai informasi dapat membuat orang rentan terhadap penipuan, dan mendorong orang untuk ‘mengandalkan emosinya’ dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap informasi yang salah.
Demikian juga, beberapa keadaan emosional tertentu seperti suasana hati yang bahagia dapat membuat orang lebih rentan terhadap penipuan dan kebenaran ilusi. Jadi, salah satu fitur fungsional dari suasana hati yang sedih mungkin adalah bahwa hal itu mengurangi sifat mudah tertipu.
Kemarahan juga telah terbukti meningkatkan kepercayaan pada misinformasi yang sesuai secara politik serta misinformasi COVID-19. Terakhir, pengucilan sosial, yang kemungkinan besar akan menimbulkan suasana hati yang negatif, dapat meningkatkan kerentanan terhadap konten konspirasi.
Bagaimana Kita Menghindari Berita Palsu?
Sebuah artikel dalam laman Fair Employment Agency, How can I avoid fake news?, menyebutkan bahwa seperti yang kita lihat dengan situasi virus corona saat ini, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran, orang-orang membagikan lebih banyak informasi yang salah atau mungkin mereka salah informasi.
Sangat mudah untuk membagikan sesuatu yang dilihat di Facebook, Twitter atau diterima oleh Whatsapp. Masalahnya, ketika orang tidak meluangkan waktu untuk mempertanyakan sumber informasi, informasi yang tidak terkendali dan palsu dapat menyebar dengan cepat. Ini berarti orang menerima informasi yang membingungkan dan menyesatkan dan hal ini bisa berbahaya.
Semakin penting untuk memeriksa sumber informasi, terutama di internet dan media sosial. Siapa pun yang online dapat mempublikasikan dan berbagi informasi, meskipun informasi itu mungkin salah. Bahkan foto dan video dapat dipalsukan, diberi label yang salah, atau dimanipulasi untuk menceritakan kisah palsu. Berikut tips cepat yang dapat kita pelajari:
Jangan mendapatkan semua informasi kita di media sosial. Periksa situs web berita atau situs web pemerintah terpercaya.
Periksa siapa yang menulis artikel. Dapatkah kita memercayai apa yang mereka posting dan apakah mereka memenuhi syarat untuk memposting informasi ini?
Sebelum membagikan postingan di medsos, pastikan kita telah memeriksa bahwa itu adalah informasi yang dapat dipercaya dan faktual.
Media sosial dan pesan berbalas bukanlah cara yang mudah untuk mendapatkan informasi. Yang terbaik adalah mendapatkan informasi kita langsung dari otoritas atau pakar tentang masalah ini, atau dari laporan dari outlet berita terkemuka. Berikut adalah beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk memastikan bahwa kita membaca dan berbagi informasi yang memiliki reputasi baik:
Tanyakan pada diri sendiri: Siapa yang menulisnya?
Informasi yang diteliti dengan baik akan mencantumkan nama penulis atau organisasi yang memenuhi syarat. Kita dapat memeriksa kredensial dan kualifikasi penulis.
Tanyakan pada diri sendiri: Apa yang mereka katakan?
Apakah penulis memberi kita pendapat atau pandangan yang seimbang dan faktual tentang topik tersebut? Apakah mereka memberi tahu kita dari mana mereka menemukan informasi mereka? Apakah ada kutipan yang digunakan dengan benar atau di luar konteks? Apakah artikel cocok dengan judul yang kita klik atau terasa menyesatkan, seperti “clickbait”?
Tanyakan pada diri sendiri: Kapan ini ditulis?
Artikel yang lebih tua dan ketinggalan zaman dapat memiliki informasi yang salah. Periksa tanggal diterbitkan dan apakah diperbarui baru-baru ini.
Tanyakan pada diri sendiri: Di mana ini diposting?
Pastikan untuk memeriksa bahwa URL atau alamat Web adalah yang ingin kita lihat. Beberapa situs web mungkin menggunakan taktik copy-cat untuk membuat orang membaca situs mereka secara tidak sengaja. Jika kita menemukan informasi di media sosial, ingatlah bahwa siapa pun dapat memposting apa pun di media sosial dan mudah untuk memanipulasi gambar dan video. Jika kita menemukan informasi di blog, ingatlah untuk memeriksa kualifikasi mereka untuk menulis tentang topik tersebut dan bahwa mereka tidak memeriksa fakta atau bertujuan untuk tidak memihak seperti kantor berita.
Tanyakan pada diri sendiri: Mengapa mereka menulis ini?
Menerbitkan konten online adalah cara yang bagus untuk melakukan banyak hal. Jika tujuannya tampak untuk menginformasikan, cari sumbernya dan periksa keterpercayaan sumber. Tujuan lain dari penerbitan konten dapat berupa: untuk menjual produk, untuk memberikan hiburan atau komedi, atau untuk membujuk kita terhadap suatu opini. Beberapa perusahaan mungkin mencoba menjual produk dengan menulis tentang cerita di mana produk itu digunakan. Beberapa situs web adalah situs web hiburan yang bahkan mengolok-olok berita. Situs web lain ditulis oleh seorang penulis yang sangat percaya pada satu hal dan berusaha agar orang lain bergabung dengan mereka.
Cross-check informasi kita
Cari sumber terpercaya lain yang mendukung informasi yang kita temukan. Kita dapat melakukan ini dengan mencari pertanyaan atau topik di Google.
‘‘What information consumes is rather obvious: it consumes the attention of its recipients.’’
Mesin pencari mengarahkan kita ke situs yang memicu kecurigaan, dan media sosial menghubungkannya dengan orang-orang yang berpikiran sama dan menambah ketakutan kita. Lebih buruk lagi, akun anon dalam media sosial yang memungkinkan berpikir jahat semakin memanfaatkan kerentanan kita.
Melihat bagaimana produksi blog, video, twit, dan unit informasi lain yang begitu murah dan mudah dipublikasikan saat ini, juga dapat membuat kita semakin kebanjiran informasi. Tidak dapat memproses semua materi ini, kita membiarkan bias kognitif memutuskan apa yang harus kita perhatikan. Jalan pintas mental tersebut memengaruhi informasi mana yang kita cari, pahami, ingat, dan ulangi hingga tingkat yang berbahaya.
Jaga diri kita tetap terinformasi dengan memastikan bahwa hal-hal yang kita baca secara online membantu kita mendapatkan informasi yang benar. Jika kita tidak yakin tentang sesuatu yang telah kita baca, periksa dengan memanfaatkan sumber lain. Jangan membagikan informasi yang belum kita periksa terlebih dahulu.
Add a comment