Dia kemudian mengulanginya lagi — sebuah telepon, pemutar musik, dan perangkat yang terhubung ke internet. Audiens tertawa, bertepuk tangan, bersorak-sorai, bersiap sedia menyambut apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka antusias. Mereka terpikat. Pada hari itu di tahun 2007, begitulah Steve Jobs memperkenalkan produk revolusioner kebanggaannya — iPhone.
Sebuah presentasi yang melegenda sampai sekarang. Kepiawaian Steve dalam membangun cerita, membuatnya dikenal sebagai seorang Storyteller terbaik dunia. Bahkan hingga saat ini, Apple terus melanjutkan tradisi Storytelling Marketing seperti yang dilakukannya. Apple pandai menceritakan produk mereka ke dalam cerita. Apple pandai menunjukkan bagaimana produk mereka juga bisa membantu orang-orang menciptakan cerita mereka sendiri. Apple mendekati targetnya melalui cerita.
Seni Magis Storytelling
Dalam satu video TED talks, Why storytelling is more trustworthy than presenting data, Karen Eber bertanya pada audiens, “Apa yang terjadi secara neurologis saat kita mendengarkan sebuah cerita?”. Jika kita sedang kuliah atau sedang melakukan rapat, ada dua bagian kecil otak kita yang diaktifkan. Artinya kita berada dalam Area Broca. Disinilah tempat kita memroses informasi dan menjadi alasan juga mengapa kita cenderung melupakan 50% dari informasi setelah kita mendengarnya.
Sedangkan ketika kita mendengarkan sebuah cerita, seluruh otak kita mulai menyala. Setiap lobus akan menyala saat indra dan emosi kita terlibat. Karen menambahkan bahwa ada istilah "neural coupling" di mana sebagai pendengar, neuron di otak kita akan bekerja dengan pola yang sama seperti otak pembicara. “Mirror neurons” menciptakan koherensi antara otak pembicara (Storyteller) dan otak audiensnya. Hal ini mencerminkan cerita tersebut seolah-olah benar kita alami. Storytelling mampu memberikan kita pengalaman “artificial reality”.
Saat kita mendengarkan cerita, secara otomatis kita mendapatkan empati untuk Storyteller. Semakin banyak empati yang kita alami, semakin banyak oksitosin yang dilepaskan di otak kita. Oksitosin adalah bahan kimia yang membuat kita merasa nyaman. Semakin banyak oksitosin yang kita miliki, semakin terpercaya kita melihat Storyteller. Inilah sebabnya mengapa Storytelling adalah keterampilan yang sangat penting bagi seorang pemimpin, karena dengan bercerita bisa membuat orang lebih memercayai kita.
“Great speakers aren’t born, they’re made. The key to being an effective speaker isn’t memorizing lines or rehearsing your piece to perfection — it’s having a good story.”
Dalam video lainnya, The Art of Storytelling, Mathew Luhn (Pixar Storyteller) berpendapat bahwa cerita menjadi bermakna karena mudah diingat, memiliki dampak, dan bersifat personal. Alasan mengapa film Pixar begitu hebat bukanlah karena animasinya, atau karena musik atau suaranya. Alasan mengapa orang terus kembali ke film Pixar dan mencintainya adalah karena ceritanya.
“What makes a great movie or makes a great business is a great story.”
— Mathew Luhn, The Art of Storytelling
Ada banyak bahan bacaan bahkan video dari para ahli tentang bagaimana kita menciptakan storytelling yang berkesan, bagaimana menjadi presenter dengan storytelling seperti Steve Jobs atau tokoh hebat lainnya. Berikut saya rangkum bagaimana menyusun sebuah plot cerita untuk storytelling yang saya bagi menjadi 3 bagian:
1. Set-up
Menurut Scott Berinato dalam sebuah videonya untuk Harvard Business Review, Set-up hanyalah beberapa kenyataan. Dan kenyataan yang dimaksud hanyalah sebuah situasi. Ini bisa saja fiksi, tetapi ini adalah kenyataan yang kita ciptakan untuk cerita tersebut. Adapun beberapa hal yang perlu kita persiapkan dalam tahap ini yakni:
Pertama: Petakan, buat outline cerita
Saat akan membuat cerita, kita harus memastikan bahwa kita terhubung dengan audiens yang tepat — mengetahui minat mereka, mengetahui perjuangan mereka, mengetahui kelemahan mereka. Hal tersebut berguna agar cerita kita bisa berhubungan dengan mereka secara personal. Menurut Mathew, sebelum menyusun ide cerita kita harus menanyakan 3 hal berikut ini:
1. Apa pesan yang bisa diambil dari cerita?
2. Apa pelajarannya?
3. Apa yang kita ingin audiens rasakan?
Adapun pada tulisan Carolyn O’Hara, How to Tell a Great Story menyatakan bahwa setiap berlatih Storytelling kita harus memulainya dengan bertanya: Siapa audiens saya dan pesan apa yang ingin saya bagikan dengan mereka? Setiap keputusan tentang cerita kita, harus berasal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jonah Sachs dalam tulisan Carolyn mengatakan bahwa para pemimpin harus bertanya, “Apa moral inti yang saya coba tanamkan dalam tim saya?” dan “Bagaimana saya bisa menyimpulkannya menjadi satu pernyataan yang menarik?”.
Misalnya, jika tim kita menganggap bahwa kegagalan bukanlah suatu pilihan kemudian frustrasi terhadapnya, kita bisa memutuskan untuk menyampaikan pesan bahwa kegagalan sebenarnya adalah the grandfather of success. Atau jika kita mencoba meyakinkan para pemimpin senior untuk mengambil risiko dengan mendukung proyek kita, mungkin dengan menyampaikan bahwa sebagian besar perusahaan dibangun dengan mengambil peluang yang cerdas adalah pilihan pesan yang tepat.
Atau contoh lain dari tulisan Good Leaders are Great Storytellers — Our 6 Tips for Telling Stories That Resonate [salah satu artikel rekomendasi saya yang cukup lengkap pemaparan terkait Storytelling], saat kita mempresentasikan rencana strategis, kita dapat bercerita tentang masa depan perusahaan. Dari membuat kasus untuk promosi dalam tinjauan kinerja, hingga menyampaikan visi bersama untuk sebuah proyek, setiap operator di setiap fungsi mendapat manfaat dari kemampuan untuk mengomunikasikan ide-ide yang menghubungkan orang-orang. Pertama-tama tentukan pesan utama kita, maka kita dapat menemukan cara terbaik untuk mengilustrasikannya.
Kedua: Miliki kail yang bagus
Menurut Mathew, jika kita tidak bisa menarik perhatian orang dalam sedetik, kita sudah gagal. Ciptakan sesuatu yang tidak biasa, tidak terduga, atau memiliki semacam tindakan atau konflik di awal, dalam 8 detik pertama tersebut. Tujuan kita memikat audiens adalah untuk mempertahankan mereka, untuk membangun kredibilitas dan hubungan dengan mereka sebelum mulai bercerita. Sebagai contoh bisa kita temukan banyak di laman TED talks, diantaranya adalah talk favorit saya berjudul I See Something oleh Dananjaya Hettiarachchi — World Champion of Public Speaking 2014.
Ketiga: Bangun cerita untuk diceritakan
Menurut Elizabeth Dukes, dalam tulisan How to Become a Great Storyteller Even if You Hate Public Speaking, temukan cerita dari hubungan kita dengan pelanggan, rekan satu tim, rekan kerja atau bahkan teman dan keluarga. Tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa cerita terbaik datang dari hal-hal yang kita sukai. Jika kita tidak sepenuh hati berinvestasi dalam sesuatu, dan kita tidak begitu bersemangat untuk berbagi sesuatu, maka hal itu akan sangat jelas terlihat.
Buat cerita kita sendiri. Mereka otentik dan orang-orang menyukai keaslian. Tapi jangan pernah membuat diri kita terlihat sempurna. Bagikan kekurangan dan kegagalan kita. Orang suka ketidaksempurnaan. Mereka suka petualangan. Dari ketakutan dan kesedihan hingga kegembiraan dan ketenangan. Storyteller yang paling efektif dapat menyampaikan emosi tulus, karena mereka tahu pendengarnya lebih cenderung tertarik ketika mereka bisa berhubungan. Karena hal itulah yang berkaitan dekat dengan hidup mereka.
Dalam tulisannya, 7 Storytelling Secrets by Steve Jobs, Pixar, and Netflix, Camilla Hallstrom menyoroti bahwa saat bercerita, audiens kita adalah pahlawannya. Bukan kita. Sehingga siapa audiens kita? audiens kita adalah Harry Potter atau Luke Skywalker. Dan siapa kita dalam cerita? Kita adalah Dumbledore atau Yoda. Kita adalah mentor, orang yang menggiring mereka ke tujuan mereka. Pada dasarnya ada berbagai plot cerita yang bisa kita gunakan dalam storytelling, seperti diantaranya dituliskan dalam laman sparkol.com yang berjudul 8 Classic Storytelling Techniques for Engaging Presentations.
Keempat: Ciptakan ketegangan
Nayomi Chibana dalam tulisannya, 7 Storytelling Techniques Used by the Most Inspiring TED Presenters memberikan gambaran contoh yang bagus. Mereka yang suka menonton film atau membaca buku tahu bahwa cerita yang bagus selalu memiliki konflik dan plot. Kedua elemen inilah yang membuat presentasi hebat menjadi wahana roller coaster yang membuat audiens tetap berada di ujung kursi, bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan terjadi selanjutnya?”. Mathew mengungkapkan hal serupa bahwa apa yang membuat cerita hebat adalah ketika kita beralih dari satu bagian cerita ke bagian berikutnya. Naik dan turun. Hal inilah yang menciptakan ketegangan dalam cerita.
Nayomi menambahkan bahwa ada beberapa hal yang bisa meningkatkan ketegangan cerita kita. Salah satu caranya adalah dengan menceritakan sebuah kisah secara kronologis dan membangun kesimpulan klimaks, seperti sebuah cerita tentang seorang wanita yang lahir tanpa tulang fibula dan tumbuh menjadi atlet, aktris, dan model yang hebat. Kisahnya berjudul The Opportunity of Adversity oleh Aimee Mullins yang bisa dilihat dalam laman TED talk.
Cara lain adalah dengan menjatuhkan audiens tepat di tengah-tengah cerita dan kemudian mundur pada waktunya untuk mengungkapkan bagaimana semua cerita tersebut terjadi. Contoh yang bagus untuk kasus ini adalah kisah Zak Ibrahim, yang dimulai dengan pengungkapan bahwa ayahnya terlibat dalam pemboman World Trade Center. Dia kemudian kembali ke masa lalu untuk menceritakan kejadian dari masa kecilnya dan bagaimana dia dibesarkan untuk memilih jalan yang berbeda dari ayahnya. Kisahnya berjudul I am the son of a terrorist. Here’s how I chose peace oleh Zak Ebrahim yang bisa dilihat juga dalam laman TED talk.
Cara ketiga adalah memulai dengan menceritakan kisah yang dapat diprediksi dan kemudian mengejutkan penonton dengan mengambil arah yang sama sekali berbeda dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh yakni salah satu TED talk berjudul Who am I? Think again oleh Hetain Patel. Dimulai dengan seorang presenter yang mengarahkan audiensnya untuk percaya bahwa dia tidak berbicara bahasa Inggris, hanya untuk mengejutkan mereka agar menjelaskan tentang bagaimana kita membangun identitas.
2. Build-up
Bagian ini tentang menjelaskan bagaimana kita menyelesaikan permasalahan atau konflik yang sudah kita paparkan. Menurut Nayomi, bangun cerita ke momen S.T.A.R (Something They’ll Always Remember). Teknik ini bisa membawa cerita menjadi sangat dramatis sehingga audiens akan membicarakannya sampai beberapa minggu kemudian. Nancy Duarte dalam tulisan Nayomi berpendapat bahwa teknik ini bisa datang dalam bentuk dramatisasi, gambaran yang provokatif, atau statistik yang mengejutkan.
Bill Gates menggunakan teknik ini dalam sebuah sesi TED talk tahun 2009 berjudul Mosquitos, Malarian and Education, ketika dia menyajikan kasus untuk meningkatkan investasi dalam pemberantasan malaria. Bill memberikan statistik untuk membuktikan seberapa serius masalahnya dan kemudian mengejutkan ruangan dengan membuka toples penuh nyamuk sambil mengatakan “Tidak ada alasan hanya orang miskin yang memiliki pengalaman tersebut.”
Learn How To Tell Legendary Stories Like Steve Jobs, salah satu video pada channel Drift, menambahkan bahwa penting untuk menunjukkan beberapa bukti atau contoh fakta dalam cerita kita. Hal ini tidak selalu harus berupa data tetapi mungkin perlu 1 atau 2 contoh kehidupan nyata lainnya. Bukti sosial berfungsi sangat baik di sini jika kita dapat menunjukkan kepada audiens bahwa orang lain telah melakukan hal yang sudah kita jelaskan tersebut. Tunjukkan bukti apa yang akan mendukung solusi kita. Orang tidak hanya menginginkan solusinya. Mereka ingin tahu bagaimana melakukannya.
3. Pay-off
Bagian ini adalah di mana kita menyampaikan pesan yang sudah kita tentukan sebelumnya. Dalam tulisan Nayomi disebutkan bahwa setelah menganalisis 200 presentasi TED terbaik, pakar presentasi Akash Karia menemukan bahwa presentasi yang paling efektif tidak hanya memiliki konflik dan klimaks, tetapi juga resolusi yang positif. Di jalan menuju kemenangan, sebagian besar karakter dalam cerita menerima apa yang dia sebut sebagai “spark”, sebuah kebijaksanaan atau nasihat kunci yang membantu mereka mengatasi rintangan mereka dan berubah menjadi lebih baik.
Pesan penting yang dapat dibawa pulang ini kemudian dikemas menjadi frasa atau kalimat pendek yang mudah diingat. Misalnya, dalam cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga, Storyteller dapat menyimpulkan bahwa alih-alih menyalahkan korban, kita harus “mengubah mereka sebagai orang yang luar biasa, orang yang menyenangkan dengan masa depan hebat.” Inspirasi audiens kita. Carmine Gallo pernah menuliskan bahwa Steve Jobs suka mengakhiri presentasinya dengan sesuatu yang menggembirakan dan menginspirasi. Di akhir presentasi iPhone, dia berkata;
“Saya tidak tidur sedikit pun tadi malam. Saya sangat senang hari ini. Ada kutipan lama Wayne Gretzky yang saya suka, ‘I skate to where the puck is going to be, not where it has been.’ Kami selalu mencoba melakukannya di Apple sejak awal, sangat awal. Dan kami akan selalu melakukannya.”
Steve Jobs mendidik, menghibur, menginformasikan, dan menginspirasi audiensnya dalam setiap presentasi. Kita juga bisa. Dibutuhkan kerja, perencanaan, dan kreativitas. Tetapi jika seseorang mau mendengarkan ide-ide kita, hal ini juga upaya untuk menjadikannya hebat. Semangat terus kawan!
Add a comment