Suatu hari, Tian harus memimpin sebuah presentasi penting di depan seluruh teman kelasnya. Ia merasa sangat gugup dan khawatir bahwa semua orang akan memperhatikan setiap kesalahan yang ia buat. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan seperti,
“Apakah mereka akan menghakimi saya jika saya salah?” atau
“Apakah mereka akan menilai kemampuan kepemimpinan saya berdasarkan presentasi ini?”
Saat Tian mulai memaparkan presentasinya, ia merasa seperti semua sorotan mata tertuju padanya. Setiap kali ia membuat kesalahan kecil atau tersendat dalam kata-kata, ia langsung menganggap bahwa semua orang memperhatikannya dengan teliti. Perasaan cemas dan tekanan tersebut membuatnya semakin gelisah.
Namun, apa yang tidak diketahui Tian adalah bahwa sebagian besar teman sekelasnya juga merasakan hal yang sama ketika mereka berada di posisi itu. Mereka juga merasa gugup, khawatir, dan memperhatikan setiap kesalahan yang mereka buat sendiri. Mereka semua terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri, sehingga mereka tidak sepenuhnya memperhatikan setiap kesalahan yang dibuat oleh Tian.
Setelah presentasi selesai, Tian merasa lega dan merasa seperti sebuah beban telah terangkat dari pundaknya. Ia bertemu dengan beberapa teman sekelasnya yang memberikan pujian dan memberikan apresiasi atas presentasinya. Tian terkejut dengan respon positif yang ia terima, karena ia berpikir bahwa semua orang telah memperhatikan setiap kesalahan kecil yang ia buat.
Itulah bagaimana Spotlight Effect memengaruhi, Tian secara berlebihan memperhatikan dirinya sendiri dan menganggap bahwa semua orang juga memperhatikan dan menilainya sejeli dirinya sendiri. Namun kenyataannya, orang-orang di sekitar tidak terlalu memperhatikan setiap kesalahan kecil yang ia pikirkan.
‘‘Most people do not care about how you look or what you’re doing.’’
Mengapa Spotlight Effect terjadi?
Dalam budaya kita, seringkali ada stigma pada “melakukan sesuatu sendirian”, baik itu bepergian atau sekadar pergi makan siang di restoran. Bahkan stigma ini pernah menjadi bahan sub-plot dalam salah satu episode Friends:
Monica: “Maaf, ada apa dengan seorang wanita yang makan sendirian?”
Chandler: “Nah, jelas ada yang salah. Dia makan sendirian!”
Padahal, pada kenyataannya, menurut salah satu artikel The Decision Lab berjudul Why do we feel like we stand out more than we really do?, kebanyakan orang cenderung tidak memperhatikan atau peduli ketika orang lain melakukan sesuatu sendirian.
Namun, spotlight effect menciptakan ramalan yang menjadi kenyataan di sini: orang-orang merasa cemas untuk pergi keluar sendirian, dan bias kognitif ini membuat mereka percaya bahwa orang lain lebih memperhatikan mereka daripada yang sebenarnya, memperkuat kecemasan mereka. Dengan kata lain, spotlight effect menjelaskan kecenderungan kita untuk selalu merasa seperti “dalam sorotan”.
Bias ini sering muncul dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam situasi positif (seperti saat kita menyelesaikan presentasi dan melebih-lebihkan seberapa terkesan semua rekan kerja kita) dan dalam situasi negatif (seperti saat kita gagal dalam presentasi dan merasa seperti semua orang pasti menertawakannya di belakang kita).
Salah satu alasan mengapa efek sorotan bisa terjadi adalah karena kita lebih mengenal perilaku dan penampilan kita sendiri daripada orang lain, sehingga kita lebih sadar ketika ada sesuatu yang “aneh” tentangnya. Setiap orang pernah mengalami “bad hair day,” misalnya, atau pagi ketika mereka terbangun dan menemukan jerawat merah yang marah di wajah.
Ketika kita melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan atau merasakan perubahan dalam penampilan kita sendiri, terasa seperti semua orang juga harus sama terfokus pada hal tersebut persis seperti kita, tapi faktanya mereka tidak. Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa kita cenderung mengoverestimasikan seberapa banyak orang lain memperhatikan variasi dalam perilaku atau penampilan kita.
Tom Gilovich dan rekan-rekannya telah menerbitkan sebuah makalah pada tahun 2000 di Journal of Personality and Social Psychology. Dirangkum dari artikel Ryan Calderaro, berjudul Reducing Social Anxiety: The Spotlight Effect, dalam studi ini, para peneliti mengundang sekelompok mahasiswa di ruangan yang sama untuk menyelesaikan tugas yang tidak berhubungan.
Lalu, secara acak memilih salah satu mahasiswa untuk mengenakan kaus Barry Manilow, yang dari penelitian sebelumnya oleh Mendoza-Denton dianggap sebagai hal yang sangat memalukan bagi anak-anak kampus saat itu. Para peneliti meminta mahasiswa yang mengenakan kaus tersebut untuk memperkirakan berapa banyak orang di ruangan yang memperhatikan apa yang mereka kenakan. Hasilnya, mereka memperkirakan sekitar 50% dari orang di ruangan yang memperhatikan mereka.
Namun, kenyataannya, hanya 25% dari orang di ruangan yang dapat mengidentifikasi kaus Barry Manilow tersebut. Yang menarik, ketika mahasiswa yang berbeda ditanyai untuk menonton rekaman video kelompok-kelompok ini dan memperkirakan berapa banyak orang yang mereka pikir akan memperhatikan kaus tersebut, mereka memiliki perkiraan yang serupa dengan kenyataan, sekitar 25%.
Hal ini berarti bahwa mengenakan kaus Barry Manilow dan berada dalam situasi tersebut membuat orang-orang secara berlebihan memperkirakan berapa banyak orang yang akan memperhatikan. Studi kedua dilakukan di mana mahasiswa dapat memilih antara 3 kaus yang tidak memalukan: satu dengan gambar Bob Marley, satu dengan gambar Jerry Seinfeld, dan satu dengan gambar Martin Luther King Jr. Semua orang yang terkenal dan mudah dikenali.
Sekali lagi, mahasiswa yang mengenakan kaus memperkirakan sekitar 50% orang di ruangan akan memperhatikan dan mengingat kaus mereka. Dalam studi ini, hasil menunjukkan bahwa ternyata kurang dari 10% orang yang sebenarnya dapat mengidentifikasi orang yang ada di kaos tersebut.
Jadi, sementara kita khawatir tentang apa yang orang lain perhatikan tentang kita, kenyataannya, sebagian besar dari mereka tidak memperhatikan. Hal ini karena sebagian besar orang terlalu sibuk memikirkan diri sendiri atau sesuatu yang sedang mereka lakukan. Misalnya, jika kita berada dalam kelas kalkulus yang sama, ada kemungkinan sangat kecil bahwa kita akan memperhatikan kaus yang orang lain kenakan.
Mengapa? Karena kita memiliki kehidupan sendiri untuk dihadapi. Kita memikirkan apa yang akan kita makan setelah kelas, atau mencoba memahami perkuliahan yang sedang terjadi dalam kelas, atau memikirkan pertemuan nanti malam dengan orang tua pasangan. Ingatlah sekali lagi bahwa, sebagian besar orang tidak memperhatikan kita, dan sebagian besar dari mereka yang memang memperhatikan mungkin tidak begitu peduli.
Bagaimana Menghindari Spotlight Effect?
Keyakinan bahwa orang lain selalu memperhatikan kita bisa berbahaya bagi kesehatan mental, dan hal itu bisa menahan kita dengan membuat kita selalu merasa tidak percaya diri. Mencoba mengubah keyakinan bahwa orang lain terus-menerus memperhatikan dan memikirkan kita adalah bagian penting dari pengobatan kecemasan.
Artikel yang sama dari The Decision Lab melanjutkan bahwa hanya mengingat fakta “orang lain hampir tidak pernah memperhatikan kita sebanyak yang kita pikirkan” saja sudah cukup untuk mengatasi efek sorotan. Namun, jika hal itu tidak cukup berhasil, cobalah beberapa tips berikut dikutip dari Ashley Kaiser dalam tulisannya, 5 Ways to Overcome the Spotlight Effect (and Worry Less):
1: Terima Diri Sendiri Terlebih Dahulu
Seringkali, kita memperbesar sejauh mana orang lain mengkritik kita karena kita belum menerima diri sendiri. Kita berusaha untuk diterima oleh orang lain karena kita belum memberikan cinta pada diri kita sendiri. Kita harus belajar menghargai pendapat kita lebih dari pendapat orang lain. Begitu kita menyadarinya, kita tidak begitu memperhatikan persepsi orang lain.
Kita mulai menyadari bahwa kita bisa membuat diri sendiri bahagia. Dan kita mulai melihat bahwa kita memberikan tekanan yang tidak perlu pada diri sendiri untuk menyenangkan orang lain. Dengan mencintai diri sendiri dan menerima kekurangan yang indah, kita bisa merasa puas terlepas dari hasil situasi sosial apapun. Karena kita menerima bahwa kita sudah cukup dan akan selalu cukup. Terima diri kita apa adanya.
2: Sadari Reaksi Sebenarnya dari Orang Lain
Terkadang ketika kita sadar akan reaksi orang lain, kita tidak benar-benar memahami reaksi mereka yang sebenarnya. Pikiran kita tentang apa yang kita pikirkan bahwa mereka memikirkan kita memengaruhi reaksi kita. Baca lagi. Ini adalah konsep yang agak sulit untuk benar-benar dipahami.
Daripada meramalkan apa yang mereka pikirkan, berhenti dan dengarkan. Dengarkan kata-kata dan bahasa tubuh mereka. Karena ketika kita berhenti dan memperhatikan bagaimana mereka merespon, kita mungkin menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memperhatikan apa yang membuat kita merasa tidak percaya diri. Kesadaran sederhana ini dapat membantu memahami bahwa orang-orang tidak sepeduli yang kita pikirkan.
3: Sadari Bahwa Kita Bukan Bintang Utama
Mungkin terdengar keras. Namun, itulah kenyataannya. Dengan menganggap bahwa seluruh dunia begitu fokus pada diri kita, artinya kita mengabaikan fakta bahwa kita bukanlah satu-satunya manusia di planet ini. Kita menyadari bahwa egois jika menganggap semua orang sangat memperhatikan kita. Dan kesadaran ini dapat membebaskan kita untuk mengalihkan fokus secara tidak egois pada orang lain.
Terimalah bahwa di dunia yang begitu besar ini, hal yang membuat kita merasa rendah diri di mata publik hanyalah sebutir pasir. Dan tidak ada yang berhenti untuk memperhatikan setiap butir pasir. Jadi, lepaskanlah tekanan untuk tampil sempurna bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari kita. Menyadari betapa rendahnya kebermaknaan kita dengan rendah hati memungkinkan kita untuk hidup secara bebas di luar kacamata publik.
4: Gunakan Metode “So What”
Ketika kita terlalu memperhatikan persepsi orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri “lalu apa?”. Lalu apa jika mereka menganggap pakaian kita konyol? Atau lalu apa jika mereka berpikir kita gagal dalam presentasi? Pertanyaan ini seringkali membuat kita menyadari apa yang sebenarnya kita takutkan. Dan itu mengembalikan kendali emosi kita kepada kita.
Kita dapat bertanya pada diri sendiri “lalu apa” sebanyak yang kita butuhkan hingga stres dan kecemasan seputar kekhawatiran tentang apa yang orang lain pikirkan menjadi berkurang. Ini adalah alat yang sederhana dan kuat. Hal ini dapat membantu menyadari bahwa pada akhirnya tidak masalah apa yang orang lain pikirkan tentang kita.
5: Minta Masukan
Jika kita hidup dalam ketakutan bahwa orang lain terus-menerus menghakimi, tanggapan yang sehat adalah meminta masukan yang autentik dari orang-orang yang kita percaya. Alih-alih mengasumsikan orang-orang memiliki pikiran tertentu tentang kita atau pekerjaan kita, lebih baik untuk langsung menanyakannya. Dengan cara ini, tidak ada tebak-tebakan tentang apa yang mereka pikirkan.
Ini juga membantu kita menghindari narasi yang membuat merasa tidak percaya diri di dalam pikiran, tentang bagaimana mereka menghakimi atau menerima kita. Dan seringkali, masukan yang kita terima menunjukkan bahwa orang-orang tidak sekritikal terhadap kita, seperti yang kita pikirkan.
‘‘Some people live their lives as though they are this lead actor who never leaves the stage.’’
Dalam hidup, kita seringkali terjebak dalam efek sorotan yang membuat kita berpikir bahwa semua mata tertuju pada kita. Dalam momen-momen kecil, seperti resleting celana yang terbuka, kita merasa sangat malu, padahal mungkin tidak ada yang memperhatikan.
Efek sorotan dapat menciptakan kecemasan sosial yang memengaruhi kehidupan kita secara keseluruhan. Namun, saat kita menyadari bahwa perhatian orang lain tidak sebesar yang kita bayangkan, kita bisa mengatasi rasa khawatir dan membuat keputusan yang lebih bebas.
Jadi, berhentilah terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Jadilah diri kita sendiri dan hargai siapa diri kita sebenarnya. Ingatlah, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri jauh lebih penting daripada apa yang orang lain pikirkan. Terimalah diri kita, bebaskan diri dari bayangan sorotan dan hidup dengan percaya diri.
Add a comment