Saya pernah membaca satu kutipan tentang “akhir” dalam sebuah cerita,
“There are no happy endings. Endings are the saddest part”.
Setiap manusia memiliki ceritanya masing-masing. Dan setiap bagian dari cerita manusia terkadang juga menjadi bagian dari cerita manusia yang lain. Cerita saling menghubungkan. Oleh karenanya, ketika satu bagiannya hilang, cerita yang lain mungkin tidak akan lagi sama.
Begitu seseorang kehilangan orang yang dicinta, cerita mereka berubah, dan rasa sakit yang mereka alami bisa terasa sangat tidak tertahankan. Kesedihan bisa menjadi sangat rumit, mereka mungkin akan menangis, menjadi marah, menarik diri, merasa kosong dan terkadang bertanya-tanya apakah rasa sakit itu akan pernah berakhir? Di luar semua kerumitan tersebut, satu kutipan lain yang saya tahu yakni,
“Every story does have an ending. But every ending is a new beginning.”
Tahap Kesedihan
Mengutip dari Amy Morin dalam tulisan The Five Stages of Grief, sebuah teori yang dikembangkan oleh psikiater Elisabeth Kübler-Ross menunjukkan bahwa kita melewati lima tahap kesedihan yang berbeda setelah kehilangan orang yang dicintai, yakni meliputi: denial, anger, bargaining, depression, dan terakhir adalah acceptance. Siklus ini kemudian dikenal sebagai model Kübler-Ross. Berikut penjabaran yang saya rangkum dari beberapa sumber:
Pertama: Denial
Christina Gregory menuliskan dalam The Five Stages of Grief, bahwa pada tahap ini, kita tidak hidup dalam ‘realitas aktual’, melainkan hidup dalam realitas yang ‘lebih disukai’. Menariknya, penyangkalan dan keterkejutanlah yang membantu kita mengatasi dan bertahan dari peristiwa duka. Penolakan membantu dalam mengatasi perasaan sedih kita.
Alih-alih menjadi kewalahan diliputi oleh kesedihan, kita menyangkalnya, tidak menerimanya, dan mengguncangkan dampak penuhnya pada diri kita di satu waktu. Anggap saja sebagai mekanisme pertahanan alami tubuh kita yang mengatakan, “hei, hanya ada begitu banyak yang bisa aku tangani sekaligus.” Begitu penyangkalan dan keterkejutan mulai memudar, awal proses penyembuhan dimulai. Pada titik ini, perasaan yang pernah kita tekan muncul ke permukaan.
Amy menambahkan bahwa penyangkalan membantu kita meminimalkan rasa sakit yang luar biasa karena kehilangan. Menyangkalnya memberi kita waktu untuk menyerap kenyataan secara lebih bertahap dan mulai memprosesnya. Saat kita memproses kenyataan, selain kita sedang berusaha menyerap dan memahami apa yang terjadi, kita juga berusaha untuk bertahan dari rasa sakit emosional. Ini adalah mekanisme pertahanan yang umum dan membantu kita mati rasa terhadap intensitas situasi. Penyangkalan biasanya hanya pertahanan sementara bagi individu.
Perpisahan atau perceraian: “Mereka hanya kesal. Ini akan berakhir besok.”
Kehilangan pekerjaan: “Mereka salah. Mereka akan menelepon besok untuk mengatakan bahwa mereka membutuhkanku.”
Kematian orang yang dicintai: “Dia tidak pergi. Dia akan datang kapan saja.”
Diagnosis penyakit stadium akhir: “Ini tidak terjadi padaku. Hasilnya salah.”
Kedua: Anger
Ketika kita mulai hidup dalam kenyataan ‘aktual’ lagi, dan bukan dalam kenyataan ‘lebih disukai’, kemarahan mungkin mulai muncul. Ini adalah tahap umum untuk berpikir “mengapa aku?” dan “hidup ini tidak adil!”. Christina menuliskan bahwa kita mungkin terlihat menyalahkan orang lain atas penyebab kesedihan kita dan juga mengarahkan kemarahan kita kepada teman dekat dan keluarga.
Kita merasa tidak dapat mengerti bagaimana hal seperti ini bisa terjadi pada hidup kita. Jika kita kuat dalam iman, kita mungkin mulai mempertanyakan kepercayaan kita kepada Tuhan. “Di mana Tuhan? Kenapa dia tidak melindungiku?” Para peneliti dan profesional kesehatan mental setuju bahwa kemarahan adalah tahap kesedihan yang diperlukan. Mendorong kemarahan juga sangat penting untuk benar-benar merasakan kemarahan.
Diperkirakan bahwa meskipun kita mungkin tampak seperti berada dalam siklus kemarahan yang tidak ada habisnya, namun kemarahan itu akan hilang. Semakin kita benar-benar merasakan kemarahan, semakin cepat dia akan menghilang, dan semakin cepat kita akan sembuh. Tidaklah sehat untuk menekan perasaan marah kita. Hal ini adalah respon alami dan mungkin saja yang diperlukan.
Ketika kita mengalami peristiwa sedih, kita mungkin merasa terputus dari kenyataan. Hidup kita telah hancur dan tidak ada yang kokoh menjadi pijakan. Kita mungkin merasa ditinggalkan, bahwa tidak ada seorang pun di sana, kita sendirian di dunia ini. Arah kemarahan terhadap sesuatu atau seseorang adalah hal yang mungkin menjembatani kita kembali ke kenyataan, dan menghubungkan kita dengan orang lain lagi. Ini adalah “sesuatu” untuk dipahami dan langkah alami dalam penyembuhan.
Menurut Amy, bukan satu hal yang mengejutkan memang jika kita mengalami kemarahan setelah kehilangan. Ini berarti kita mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru dan kemungkinan besar kita sedang mengalami ketidaknyamanan emosional yang ekstrim. Ada begitu banyak hal yang harus diproses sehingga kemarahan mungkin terasa memungkinkan untuk menyalurkan emosi kita.
Kemarahan juga tidak berarti menjadikan kita sangat rentan. Namun, marah cenderung lebih dapat diterima secara sosial daripada mengakui bahwa kita merasa takut. Kemarahan memungkinkan kita untuk mengekspresikan emosi dengan lebih sedikit rasa takut akan penilaian atau penolakan.
Perpisahan atau perceraian: “Aku benci dia! Dia akan menyesal meninggalkanku!”
Kehilangan pekerjaan: “Mereka adalah bos yang buruk. Aku harap mereka gagal.”
Kematian orang yang dicintai: “Jika dia lebih peduli pada dirinya sendiri, ini tidak akan terjadi.”
Diagnosis penyakit stadium akhir: “Di mana Tuhan dalam hal ini? Beraninya Tuhan membiarkan ini terjadi!”
Ketiga: Bargaining
Ketika sesuatu yang buruk terjadi, pernahkah kita memergoki diri kita sedang membuat kesepakatan dengan Tuhan? “Tolong Tuhan, jika Engkau menyembuhkan suamiku, aku akan berusaha untuk menjadi istri terbaik yang pernah aku bisa dan tidak pernah mengeluh lagi.” Hal ini adalah tawar-menawar. Menurut Christina, tahap ini adalah harapan palsu. Kita mungkin salah membuat diri kita percaya bahwa kita dapat menghindari kesedihan melalui jenis negosiasi. Jika kita mengubah ini, kita akan mengubah itu.
Kita begitu putus asa untuk mendapatkan hidup kita kembali seperti sebelum peristiwa kesedihan terjadi. Kita bersedia untuk membuat perubahan besar dalam hidup dalam upaya menuju hidup yang normal kembali. Rasa bersalah adalah bumbu terjadinya tawar-menawar. Ini adalah ketika kita menanggung pernyataan “bagaimana jika” atau “seandainya” yang tidak pernah ada habisnya.
“Bagaimana jika aku meninggalkan rumah 5 menit lebih cepat, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.”
“Seandainya aku mengajaknya untuk pergi ke dokter 6 bulan yang lalu seperti yang aku pikirkan sebelumnya, kankernya bisa ditemukan lebih cepat dan dia bisa diselamatkan.”
Menurut Amy, ketika menghadapi kehilangan, rasa putus asa menyebabkan kita menjadi bersedia melakukan hampir apa saja untuk meringankan atau meminimalkan rasa sakitnya. Saat menawar, kita juga cenderung berfokus pada kesalahan atau penyesalan pribadi kita. Mungkin juga melihat kembali interaksi kita di masa lalu dan mencatat semuanya saat kita merasa terputus atau mungkin menyebabkan mereka sakit.
Perpisahan atau perceraian: “Seandainya aku menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, dia akan tetap tinggal.”
Kehilangan pekerjaan: “Seandainya aku bekerja lebih banyak di akhir pekan, mereka akan melihat betapa berharganya aku.”
Kematian orang yang dicintai: “Seandainya aku meneleponnya malam itu, dia tidak akan pergi.”
Diagnosis penyakit stadium akhir: “Seandainya saja kita pergi ke dokter lebih cepat, kita bisa menghentikan ini.”
Keempat: Depression
Christina menuliskan bahwa depresi adalah bentuk kesedihan yang diterima secara umum. Faktanya, kebanyakan orang langsung mengasosiasikan depresi dengan kesedihan, karena hal ini adalah emosi “sekarang”. Perasaan ini mewakili kekosongan yang kita rasakan ketika kita hidup dalam kenyataan, dan menyadari bahwa orang atau situasi itu hilang atau berakhir.
Pada tahap ini, kita mungkin menarik diri dari kehidupan, merasa mati rasa, hidup dalam kabut, dan tidak ingin bangun dari tempat tidur. Dunia mungkin tampak terlalu banyak dan terlalu berat untuk dihadapi. Kita tidak ingin berada di sekitar orang lain, tidak ingin berbicara, dan mengalami perasaan putus asa. Kita bahkan mungkin mengalami pikiran untuk bunuh diri dan berpikir “apa gunanya melakukan ini?”
Dalam tulisan Amy dijelaskan bahwa selama pengalaman kita memproses kesedihan, ada saatnya imajinasi kita menjadi tenang dan kita perlahan mulai melihat realitas situasi kita saat ini. Tawar-menawar tidak lagi terasa seperti pilihan dan kita dihadapkan dengan apa yang terjadi. Kita mulai merasakan kehilangan orang yang kita cintai lebih berlimpah. Saat kepanikan kita mulai mereda, kabut emosional mulai hilang dan kehilangan terasa lebih nyata dan tidak terhindarkan.
Perpisahan atau perceraian: “Mengapa terus berlanjut?”
Kehilangan pekerjaan: “Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan dari sini.”
Kematian orang yang dicintai: “Apa jadinya aku tanpa dia?”
Diagnosis penyakit stadium akhir: “Seluruh hidupku berakhir mengerikan seperti ini.”
Kelima: Acceptance
Tahap terakhir dari kesedihan yang diidentifikasi oleh Kübler-Ross adalah penerimaan. Bukan dalam arti “tidak apa-apa suamiku meninggal” melainkan, “suamiku meninggal, tapi aku akan baik-baik saja.” Menurut Christina, pada tahap ini emosi kita mungkin mulai stabil. Kita memasuki kembali kenyataan. Kita menerima kenyataan bahwa realitas “baru” adalah bahwa pasangan kita tidak akan pernah kembali, atau bahwa kita akan menyerah pada penyakit kita dan segera mati, dan kita baik-baik saja dengan itu.
Ada hari-hari baik, ada hari-hari buruk, dan kemudian ada hari-hari baik lagi. Pada tahap ini, tidak berarti kita tidak akan pernah mengalami hari buruk lagi, tapi, hari-hari baik cenderung melebihi hari-hari buruk. Pada tahap ini juga, kita mungkin terangkat dari kabut, kita mulai terlibat dengan teman-teman lagi, dan bahkan mungkin membuat hubungan baru seiring berjalannya waktu. Kita memahami orang yang kita cintai tidak akan pernah bisa tergantikan, tetapi kita terus bergerak, tumbuh, dan berkembang menjadi realitas baru kita.
Amy menambahkan bahwa ketika kita sampai pada penerimaan, bukan berarti kita tidak lagi merasakan sakitnya kehilangan. Namun, kita tidak lagi melawan kenyataan dari situasi kita, dan kita tidak berjuang untuk membuatnya menjadi sesuatu yang berbeda. Kesedihan dan penyesalan masih bisa hadir dalam fase ini, tetapi kita memiliki taktik bertahan secara emosional dari penyangkalan, tawar-menawar, dan kemarahan yang terjadi.
Perpisahan atau perceraian: “Pada akhirnya, ini adalah pilihan yang baik bagiku.”
Kehilangan pekerjaan: “Aku akan dapat menemukan jalan ke depan dari sini dan dapat memulai jalan baru.”
Kematian orang yang dicintai: “Aku sangat beruntung memiliki tahun-tahun yang indah bersamanya, dan dia akan selalu ada dalam ingatanku.”
Diagnosis penyakit stadium akhir: “Aku memiliki kesempatan untuk mengikat segalanya dan memastikan bahwa aku melakukan apa yang aku inginkan dalam minggu dan bulan terakhir ini.”
Bagaimana Membantu Orang Lain Saat Berduka?
Terkadang bisa menjadi sangat sulit untuk mengetahui apa yang harus dikatakan atau dilakukan ketika orang terdekat kita mengalami kehilangan. Berusaha melakukan yang terbaik untuk memberikan kenyamanan, tetapi terkadang upaya kita dapat terasa tidak mencukupi dan tidak membantu. Amy dalam tulisannya juga membagikan beberapa tips yang bisa kita pelajari tentang bagaimana kita bersikap kepada teman yang sedang berduka, antara lain:
Hindari menyelamatkan atau memperbaiki. Perlu diingat bahwa orang yang berduka tidak perlu diperbaiki. Dalam upaya untuk membantu, kita mungkin seringkali menawarkan respon yang membangkitkan semangat, penuh harapan, atau bahkan humor untuk mencoba meringankan rasa sakit mereka. Meskipun niatnya baik, pendekatan ini dapat membuat orang merasa seolah-olah rasa sakit mereka tidak terlihat, terdengar, atau valid.
Jangan paksa. Kita mungkin sangat ingin membantu dan membuat mereka merasa lebih baik, jadi kita percaya bahwa mendorong mereka untuk berbicara dan memproses emosi mereka sebelum mereka benar-benar siap akan membantu waktu penyembuhan mereka lebih cepat. Ini belum tentu benar, dan hal tersebut sebenarnya bisa menjadi hambatan bagi penyembuhan mereka.
Buat diri kita mudah dihubungi. Berikan ruang bagi orang untuk berduka. Ini memungkinkan orang tersebut mengetahui bahwa kita tersedia saat mereka siap. Kita dapat menawarkan mereka untuk berbicara dengan kita tetapi ingat untuk memberikan pemahaman dan validasi jika mereka belum siap. Yakinkan mereka bahwa kita ada di sana dan tidak perlu ragu untuk datang kepada kita.
Menurut Amy, ketika kita telah mempertimbangkan lima tahap kesedihan tersebut, penting untuk diketahui pula bahwa setiap orang dapat berduka secara berbeda. Kesedihan adalah satu hal yang sangat pribadi. Kita mungkin akan melalui setiap tahapannya atau bahkan mungkin tidak. Kita mungkin juga mengalami masing-masing tahap secara berurutan, atau mungkin berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya secara acak.
Selain itu, tidak ada periode waktu khusus untuk salah satu dari tahapan tersebut. Seseorang mungkin mengalami tahapan dengan cukup cepat, seperti dalam hitungan minggu, di mana orang lain mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk sampai ke tahap penerimaan. Berapa pun waktu yang kita perlukan untuk melewati tahapan ini adalah hal yang normal. Rasa sakit kita unik bagi diri kita dan proses emosional bisa terasa berbeda bagi setiap orang.
Kesedihan bukanlah perlombaan menuju garis finis, dan bukan pula kontes untuk melihat siapa yang paling cocok dengan tahapan Kubler-Ross. Hal ini adalah bagian dari kehidupan yang alami, meskipun sulit secara emosional, dan tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui lima tahap sederhana. Tetapi penting untuk tidak mengkritik diri kita sendiri jika kesedihan kita tidak berjalan seperti kebanyakan orang. Tetap semangat kawan!
Add a comment