Pernah merasa kewalahan seharian penuh? merasa sangat produktif dan terundung tugas tanpa henti? Bertanya-tanya bagaimana akan menyelesaikan semuanya dengan cepat, agar segera meluangkan waktu untuk diri sendiri atau bahkan mungkin bersenang-senang sesekali. Dunia seperti ingin terus menuntut semua waktu yang kita miliki.
Mengutip dari artikel yang ditulis oleh Lisa Quast pada laman Forbes, menjadi sibuk telah menjadi lencana kehormatan bagi beberapa orang. Hal itu membuat mereka merasa penting dan dibutuhkan, atau sebagai cara mereka untuk membangun statusnya. Meskipun mereka tahu bahwa hal buruk juga akan menjadi konsekuensinya; terganggu kesehatan, sering stress, kurang waktu relaksasi menyebabkan insomnia, sakit kepala dan kelelahan. Lisa menemukan fakta bahwa selama 10 tahun terakhir, dia telah melihat peningkatan dramatis dalam jumlah klien yang kecanduan sibuk kronis. Survei menunjukkan bahwa kecanduan terhadap kesibukan ini terjadi dalam penurunan jumlah hari liburan yang dilakukan orang Amerika setiap tahun.
“Being busy is a disease of our time”
— Pedram Shojai, Oriental Medicine Doctor (OMD) and author of The Urban Monk
Staf klinis di Mayo Clinic memperingatkan kita melalui tulisan Lisa, bahwa aktivasi jangka panjang dari sistem respons stres dan paparan berlebihan kortisol dan hormon stres lainnya dapat mengganggu hampir semua proses tubuh kita. Hormon stres tersebut dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti kecemasan, depresi, sakit kepala, penyakit jantung, gangguan tidur bahkan gangguan memori dan konsentrasi. Pedram Shojai berpendapat bahwa semua hal tersebut muncul setelah apa yang dia sebut dengan "kompresi waktu" yaitu ketika kita memasukkan terlalu banyak item ke dalam waktu yang terlalu sedikit dan kita merasa tertekan karenanya. Tapi itulah dunia yang kita tinggali, kita didorong untuk melakukan lebih dari sekadar merasa nyaman.
Dengan majunya berbagai platform media sosial saat ini seperti Instagram, Facebook dan Twitter, Shojai menambahkan bahwa akan semakin terdorong kita untuk terus membandingkan hidup dengan orang lain (atau setidaknya terhadap apa yang orang lain tunjukkan kepada kita) kemudian mengarahkan kita untuk mengimbangi secara sosial dan materi. Menurut Shojai, semua orang mengira mereka akan terlihat penting dan keren atas kemampuannya yang terus berproduktif. Faktanya, kita telah masuk ke dalam proposisi yang sangat menantang ini, dimana kita tidak pernah bisa bahagia hanya dengan bersantai. Jika kita santai, kita dianggap sebagai pecundang.
Tetapi apakah kita benar-benar sesibuk yang kita kira?
Erin Magner melalui tulisannya pada laman Well+Good, menemukan fakta bahwa dalam buku barunya, I Know How She Does It, Laura Vanderkam mendapati 143 ibu dengan six-figure jobs (pekerjaan dengan gaji 6 digit atau setara minimal $100.000 per tahun) yang mereka lakukan setiap jam dalam satu minggu. Faktanya, Laura menemukan bahwa wanita ‘sibuk’ yang tidak dapat disangkal ini, bekerja rata-rata hanya 44 jam seminggu dan tidur hampir 8 jam semalam, menyisakan 70 jam per minggu untuk keluarga, teman, dan keperluan pribadi. Menurut American Time Use Survey (ATUS), yang dilakukan setiap tahun oleh Biro Statistik Tenaga Kerja, juga menunjukkan data serupa.
“This is just human nature: we overestimate the things we don’t want to do — work, housework — and underestimate the things we do want to do”
— Laura Vanderkam, author of I Know How She Does It: How Successful Women Make the Most of Their Time
Bagaimana kita tahu jika kita telah candu terhadap kesibukan?
Lisa Quast menyarankan kita untuk meluangkan waktu sejenak dan bertanya pada diri sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan ini:
1. Bagaimana kita menggambarkan hari-hari kita? Apakah kita akan menyebut sibuk, kacau, atau banyak beraktivitas?
2. Bagaimana perasaan kita ketika menjadi sibuk? Apakah kita menikmati kegembiraan berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain sepanjang hari?
3. Rata-rata, berapa hari liburan yang kita ambil setiap tahun? Apakah kita mengambil lebih sedikit hari libur daripada yang diberikan atau bahkan melewatkan waktu liburan sama sekali?
4. Aktivitas apa yang biasanya kita lakukan saat tidak sedang bekerja? Apakah waktu istirahat kita penuh dengan aktivitas atau lebih banyak pekerjaan? Apakah kita jarang meluangkan waktu untuk duduk, bersantai dan membaca buku atau majalah untuk bersenang-senang?
5. Apakah teman dan keluarga lelah mendengar betapa sibuknya kita? Apakah kita memposting banyak aktivitas di media sosial? Apakah kita membicarakan aktivitas saat bertemu dengan teman atau keluarga secara langsung? Pernahkah kita melihat seseorang memutar mata (bersikap acuh) ketika kita berbicara tentang betapa sibuknya diri kita?
6. Apa tanggapan kita ketika seseorang bertanya, “Apa kabar?” Apakah tanggapan kita adalah, “Lagi pusing nih, lagi sibuk banget”?
Lantas, bagaimana kita bisa mematahkan kebiasaan buruk tersebut?
Jodi Clarke dalam tulisannya, How the Glorification of Busyness Impacts Our Well-Being, menyarankan untuk kita menetapkan batasan. Orang yang mengagungkan kesibukan dan jadwal yang terlalu padat cenderung mengalami kesulitan dalam menetapkan batasan dengan orang lain dan bersikap tegas. Saat kita belajar untuk mengatakan "tidak" pada satu proyek, tugas, dan janji yang berlebihan, kita mungkin takut bagaimana orang menanggapinya, terutama jika mereka tidak terbiasa mendengar 'tidak' dari kita. Lebih baik kita mengambil kendali atas waktu kita dan mengingat gambaran besarnya. Mengelola waktu dan membebaskan diri dari kesibukan yang berlebihan memungkinkan tetap terjaganya hubungan dengan teman dan keluarga, menjaga kesehatan fisik dan hidup dengan lebih banyak kedamaian dan kegembiraan.
Ingatkan diri kita tentang hal-hal tersebut saat kita akan menentukan ‘dimana harus menetapkan batasan’. Hal ini bukan tentang mengatakan “tidak” kepada orang di depan kita, tetapi tentang mengatakan “ya” kepada diri kita sendiri dan orang yang paling berarti bagi kita. Erin Magner membagikan pengalamannya bagaimana agar dirinya tetap sadar dan berhenti mengglorifikasi kesibukan, yaitu dengan senang hati mengingatkan diri bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup kita, daripada daftar tugas kita. Adapun cara lain yang disarankan oleh Emily Fletcher adalah dengan meditasi. Menurutnya, meditasi adalah cara paling efektif untuk menghilangkan stres dari tubuh. (Tanggapannya kepada orang yang mengatakan kepadanya bahwa mereka terlalu sibuk untuk bermeditasi; “If Oprah has time to meditate, you have time to meditate.”)
Kita perlu berhenti mengglorifikasi segala macam kesibukan di sekitar kita. Ternyata menjadi sibuk bukanlah hal paling membanggakan yang pernah kita capai. Merasa buruk ketika kesibukan tidak kita dapatkan juga bukan berarti kita tidak produktif. Stop telling people how busy we are! Berhenti membandingkan dan bersaing tentang siapa yang paling sibuk satu sama lain. Ketika Tuhan memberi kesibukan: atur waktu kita sebaik mungkin tanpa mengorbankan diri sendiri. Dan ketika Tuhan tidak memberi kesibukan: Hey! bukankah ini satu hadiah yang tidak semua orang bisa dapatkan? Berpikir cerdas, alokasikan waktu luang yang kita miliki untuk hal-hal lain yang dapat membuat kita bahagia.
Add a comment