-
Topik TulisanPerilaku Manusia
-
Sub Judul TulisanMengenali Apa Saja Yang Memengaruhi Cara Pandang Kita terhadap Risiko
- Berikan Komentarmu
Percaya atau tidak, risiko mempengaruhi segala hal yang kamu lakukan. Risiko tidak hanya memiliki makna “bahaya”, akan tetapi terdapat juga kesempatan di balik risiko. Benar bahwa jika tidak dikendalikan dengan benar, risiko dapat membahayakan dirimu. Akan tetapi, hal-hal baik juga datang bersama risiko. Hasil dari sesuatu yang memiliki risiko sangat tergantung dengan situasi dan sikapmu dalam menghadapi risiko tersebut.
Hubungan Manusia dengan Risiko Sangatlah Unik dan Kompleks
Bayangkan sebuah situasi di mana tiga orang yang saling berkawan berkesempatan untuk melakukan skydiving. Orang pertama adalah si pemberani; dia berkata iya tanpa harus berpikir panjang. Orang kedua tak begitu yakin; dia ingin memastikan bahwa skydiving adalah hal yang aman untuk dilakukan dengan melakukan riset kecil-kecilan. Dari risetnya, ia menemukan bahwa kemungkinan untuk tersambar oleh petir itu lebih tinggi dari pada meninggal dalam melakukan skydiving. Akhirnya, ia setuju untuk bergabung. Sementara orang ketiga cukup ketakutan. Namun ia lebih takut jika teman-teman nya menganggap dia sebagai seorang pecundang; dengan berat hati ia mengikuti keputusan dari kedua temannya. Walaupun mereka bertiga memutuskan untuk melakukan skydiving, masing- masing dari mereka telah melihat risiko dari sisi yang berbeda.
Jika kita kategorikan, orang pertama adalah seseorang yang memiliki sensitivitas rendah terhadap risiko. Menurutnya skydiving adalah hal yang tak membahayakan; jadi mudah sekali baginya untuk berpartisipasi. Orang kedua cukup sensitif dengan risiko sehingga dia perlu melakukan riset sederhana untuk mendapatkan data yang dapat meyakinkannya. Sementara orang ketiga adalah seseorang yang memiliki tingkat toleransi tertinggi terhadap risiko, mengapa? Ia sangatlah takut dengan bahaya yang mungkin muncul dalam melakukan skydiving, akan tetapi ia tetap saja melakukannya. Dengan kata lain, ia telah mengambil risiko terbesar dalam kasus ini.
Manusia dapat membuat keputusan yang mengejutkan dan tak logis ketika dihadapkan dengan risiko. Penulis sering kali memikirkan tentang neneknya yang sangat siap untuk menghadapi musim dingin dengan membekukan sayur-sayuran musim panas lebih awal dan menyimpan banyak sekali mentega. Meskipun sang nenek sangat waspada dengan makanan yang dikonsumsi di musim dingin, beliau menolak untuk pergi ke dokter ketika sakit. Pertanyaannya adalah, mengapa beliau sangat mengkhawatirkan makanan namun tak khawatir dengan kesehatannya?
Menurut penulis, ini disebabkan oleh kemampuan kita yang buruk dalam melihat “badak”. Badak di sini diartikan sebagai ancaman pasti yang dapat kamu lihat dari jarak yang tak begitu jauh. Contohnya, dalam skala global, sistem keuangan yang rapuh atau krisis perubahan iklim adalah ancaman yang sangat nyata namun kita begitu buta terhadapnya. Kita juga memiliki “badak abu-abu” kita masing-masing dalam kehidupan pribadi kita, entah itu terkait dengan hubungan yang berada diujung tanduk atau masalah kesehatan yang kian parah. Ya, mengejutkannya kita sangatlah buruk dalam menyadari ancaman “badak abu- abu” yang berlari menuju ke arah kita.
Saat kita mampu menyadari keberadaan risiko dengan lebih baik, kita akan merasakan manfaatnya. Menurut penulis, hal yang harus kita tuju adalah menemukan titik nyaman kita terhadap risiko (Goldilocks-style sweet spot); sebuah titik di mana risiko yang kita ambil tak begitu besar ataupun kecil. Namun tak semua orang menyukai titik tersebut. Beberapa orang cenderung tak berani mengambil risiko atau memilih jalan yang aman; tipe ini disebut penulis dengan Mama Bear. Sementara beberapa orang menyukai risiko (Papa Bear). Pada akhirnya, gaya orang dalam menghadapi risiko sangatlah beragam tergantung dari latar belakang mereka serta kepribadian mereka.
Risiko Ada di Sekelilingmu, dan Terdapat Banyak Cara Untuk Mendefinisikannya
Seorang pengusaha bernama Mariéme Jamme jarang sekali menggunakan kata “risiko”. Di masa kecilnya, kehidupannya di Prancis dan Senegal memberinya rasa trauma yang tak bisa dilupakan hingga kini mengingat beliau pernah menjadi korban dari praktik perdagangan manusia. Beliau mengetahui bagaimana rasanya ketika situasi dan kondisi sedang tak berpihak padanya. Beliau juga paham bagaimana kerja keras dan keberuntungan mempunyai peran yang besar terhadap kesuksesan. Bagi Mariéme, mengambil risiko sama halnya dengan mempunyai sesuatu untuk dituju dan bekerja sekeras mungkin untuk meraih tujuan tersebut. Maka dari itu, sebagai seseorang yang telah melalui banyak tantangan, beliau lebih memilih untuk menggunakan kata “harapan” daripada “risiko”.
Kata “risiko” tergolong sebagai kata yang baru saja kita kenal; kurang lebih kata tersebut digunakan pada abad ke-tujuh. Lalu, kata apa yang digunakan oleh manusia untuk menyebutkan risiko sebelum kata risiko itu ada? Menurut penulis, “hidup” adalah kata alternatif yang digunakan pada zaman dahulu. Konsep modern dari risiko pertama kali dikembangkan di bidang militer dan nautika sebelum akhirnya diadaptasi oleh dunia bisnis. Pada abad ke-17, seorang ahli matematika bernama Blaise Pascal berpendapat bahwa risiko tergantung pada dua hal, yakni: 1) Besarnya kemungkinan dari terjadinya sesuatu yang buruk 2) Gravity / Seriousness (besarnya dampak buruk yang ditimbulkan).
Bidang keuangan (finance) mempunyai caranya sendiri untuk mendefinisikan risiko. Menurut para pengelola keuangan, risiko adalah sesuatu yang dapat diukur dengan pasti. Mereka dapat menaruh angka yang spesifik pada risiko sehingga mereka tahu nilai “sebenarnya” dari sebuah aset. Namun seberapa akuratkah risiko dapat diukur? Ini adalah masalah yang cukup besar ketika kita menaruh angka yang merefleksikan risiko hanya berdasarkan pada dugaan belaka.
Pada dasarnya, risiko sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau buruk, risiko berada pada titik yang netral. Dan satu lagi, risiko adalah sesuatu yang relatif; risiko tak hanya tergantung pada “tingkat keterbukaan seseorang terhadap risiko”, akan tetapi besarnya risiko juga tergantung pada kondisi dan situasi yang dihadapi oleh seseorang. Contohnya, seberapa besarkah risiko yang diambil oleh seorang pengungsi yang kabur dari negaranya yang sedang dilanda peperangan antar saudara? Bagi mereka, memilih untuk tetap tinggal di negara tersebut akan lebih membahayakan. Melarikan diri adalah pilihan yang lebih aman. Walaupun kedua aksi memiliki risiko negatifnya masing-masing, menetap di negara asalnya memiliki risiko negatif yang lebih besar.
Sidik Jari Risikomu Adalah Bagian Fundamental dari Identitasmu
Pada tahun 1901, seorang janda berumur 63 tahun bernama Annie Edson Taylor berkeinginan untuk terjun mengikuti arus dari Air Terjun Niagara (Niagara Falls) dengan menempatkan dirinya dalam sebuah tong/barel. Dia tidak berkeinginan untuk mencari sensasi. Tetapi ia sedang membutuhkan uang, dan menurutnya, aksi dalam barel ini adalah cara berisiko yang paling cepat untuk mendapatkan uang. Tapi mengapa Annie terlihat nyaman sekali dalam menghadapi risiko? Terdapat beragam faktor yang ikut berperan. Salah satunya adalah karena suami dan ayahnya meninggal secara tiba-tiba; ini mengajarkan pada Annie bahwa hidup hanya berlangsung sekejap saja. Sebelumnya Annie adalah seseorang yang kaya raya, namun kehilangan sebagian besar dari kekayaannya akibat hancurnya pasar saham. Maka dari itu Annie tak memiliki banyak pilihan.
Sidik jari risiko yang dimaksud oleh penulis bukanlah sidik jari yang sebenarnya. Menurutnya, sidik jari risiko akan berubah seiring dengan pengalaman hidup yang dilalui oleh seseorang. Hal ini dirasakan oleh seorang jurnalis bernama Frank Smyth. Di masa mudanya, Smyth adalah seorang reporter di medan perang yang tak kenal takut. Beliau meliput berita dari berbagai wilayah perang, mulai dari Kolombia, Rwanda hingga Sudan. Namun, saat dalam perjalanannya ke Iraq di tahun 1991, Smyth dituduh bahwa ia sedang menjadi seorang mata-mata yang membocorkan informasi sensitif ke pihak luar. Karena itu, Smyth menghabiskan 18 hari berikutnya dalam penjara Abu Ghraib. Lebih parahnya, Smyth bekerja sebagai reporter pekerja lepas sehingga tak ada satu organisasi media pun yang mendukungnya atau berusaha untuk membebaskannya.
Smyth cukup beruntung saat ia berhasil keluar dari penjara Abu Ghraib. Pengalaman ini membuatnya sadar bahwa beberapa risiko tidaklah setimpal dengan hasilnya. Pengalaman ini mengubah sidik jari risikonya secara permanen. Akhirnya, Smyth memutuskan untuk menjauhkan diri dari zona perang dan mulai mendirikan organisasi untuk mengedukasi para reporter perang.
Tak semua aspek dari sidik jari risiko dipengaruhi oleh pengalaman hidup. Pada beberapa kasus, risk fingerprint juga dipengaruhi oleh genetik. Menurut salah satu studi, terdapat sebanyak 124 penanda genetik (genetic markers) dalam genom manusia yang mempengaruhi bagaimana cara kita melihat risiko. Namun, markers tersebut hanya memiliki pengaruh sebesar 0,02% terhadap tingkat variasi toleransi risiko; ini adalah proporsi yang kecil jika dibandingkan dengan faktor lain.
Selain itu, faktor lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap risk fingerprint yang besarnya sama dengan genetika. Contohnya, orang akan cenderung berani untuk mengambil risiko setelah mengonsumsi makanan pedas atau mendengarkan musik yang keras. Jadi, sidik jari risiko adalah sesuatu yang kompleks, dapat berubah, dan aneh. Dan peran yang dimainkannya dalam kehidupan orang sangatlah besar.
Demografi yang Berbeda Cenderung Memiliki Sikap yang Berbeda Terhadap Risiko
Termasuk ke dalam kategori pengambil-risiko yang manakah kamu? Penasihat keuangan memanfaatkan pengetahuan tentang profil risiko dari seseorang untuk memberikan saran mengenai seberapa besar jumlah uang yang perlu diinvestasikan dan pada aset jenis apa uang sebaiknya diinvestasikan. Jika tingkat toleransi seseorang terhadap risiko rendah, maka sebaiknya ia berinvestasi pada obligasi/sukuk negara ritel yang relatif aman, daripada berpotensi tinggi untuk kehilangan uang jika membeli saham dari perusahaan yang buruk.
“The Risk Type Compass” yang dikembangkan oleh Psychological Consultancy dari Britania Raya dapat digunakan untuk membantu seseorang mengategorikan profil risiko. Pada kompas tersebut, terdapat 8 titik yang memiliki label berbeda yang disusun secara urut meliputi: wary (waspada), prudent (bijaksana), deliberate (melakukan sesuatu dengan sengaja dan tidak tergesa-gesa), composed (tenang & terencana), adventurous (petualang & pemberani), carefree (cuek atau bebas dari kegelisahan), excitable (sangat mudah terpacu dengan sesuatu yang baru), & intense (serius). Jika seseorang cenderung berada di posisi tengah (atau tak condong memihak ke salah satu kategori), maka selera terhadap risiko (risk appetite) dari orang tersebut masih mungkin sekali untuk berubah. Beberapa profesi tertentu cenderung jatuh ke dalam satu kategori; misalkan, pengawas lalu lintas udara cenderung jatuh ke kategori deliberate, sedangkan aktor kerap kali tergolong ke dalam kategori excitable atau intense.
Namun profesi tak menjadi faktor penentu satu-satunya; terdapat pula faktor lain seperti latar belakang, usia, jenis kelamin, dan bahkan penampilan fisik. Menurut salah satu studi, seseorang yang berbadan tinggi, gagah, dan menarik cenderung berani untuk mengambil risiko lebih besar. Beberapa generalisasi budaya juga benar adanya: misalkan orang Jerman cenderung suka menghindari risiko (risk averse), maka dari itu, mereka menempati posisi puncak dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan ketelitian seperti engineering. Lalu, terkait dengan usia, generasi milenial sering mendapatkan kritik terkait dengan perencanaan keuangannya. Generasi ini tak begitu peduli dengan dana pensiun jika dibandingkan dengan generasi yang lebih tua; mereka lebih khawatir untuk membayarkan utang-utang mereka dan mempersiapkan rainy-day funds (sejumlah uang yang disimpan untuk digunakan pada saat pemasukan reguler terganggu atau menurun sehingga kebutuhan sehari-hari tetap dapat terpenuhi).
Kemudian, bagaimana dengan jenis kelamin? Sekarang ini, terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahawa wanita mampu mengelola risiko dengan sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan pria, walaupun stereotip yang sering terdengar berkata sebaliknya. Stereotip ini begitu merusak sampai-sampai mempengaruhi prospek wanita untuk berkembang, baik dari segi pekerjaan maupun kehidupan secara umum. Tak jarang mereka juga dicemooh saat risiko yang mereka ambil berujung menjadi sebuah kesalahan. Sekarang kita tahu bahwa ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi risiko; akibatnya, perilaku seseorang cukup sulit untuk ditebak.
Tingkat Risiko yang Dapat Diterima Seseorang Itu Berbeda; Tergantung Dari Pengalaman dan Kepribadian
Saat gelombang pertama dari pademi COVID melanda New York di tahun 2020, rumah sakit adalah organisasi pertama yang merasakan dampak terbesarnya. Dengan pasokan peralatan perlindungan yang semakin menipis, suster-suster yang berada di ruang gawat darurat berada di zona bahaya. Lantas, bagaimana cara mereka menaggapi keadaan tersebut? Cukup beragam tentunya. Beberapa suster siap menghadapi risikonya dan melanjutkan untuk merawat mereka yang terinfeksi virus. Beberapa mengirim anak mereka untuk tinggal bersama teman atau keluarganya. Beberapa memutuskan tinggal di tempat terpisah untuk sementara. Beberapa melaksanakan proses dekontaminasi virus sebelum memasuki rumah. Beberapa suster memilih untuk mengundurkan diri. Namun ada juga beberapa pensiunan yang kembali menjadi suster untuk membantu mereka yang kesulitan. Beragam sekali keputusan yang mereka buat; ini karena mereka memiliki tingkat toleransi yang berbeda ketika dihadapkan dengan ancaman yang sama. Kepribadian dan pengalaman hidup sangat berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan.
Hal yang perlu diketahui selanjutnya adalah terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara risiko objektif, yang sering kali dikalkulasi oleh orang keuangan, dan risiko subjektif, risiko dari sudut pandang pribadi. Bayangkan, kamu adalah seorang penumpang pesawat dari Australia yang terbang ke Malaysia. Kamu merasa ada sesuatu yang salah dengan pesawat, dan tiba-tiba masker oksigen mulai muncul dari panel di atas kepala. Kebetulan awak kabin yang terlihat khawatir tak bisa berbahasa inggris. Dari situ, rasa khawatirmu mulai tervalidasi dan kamu mengasumsikan bahwa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Beruntungnya, sang pilot mampu melakukan pendaratan darurat dengan tenang dan segalanya berlangsung dengan aman. Namun apakah kamu mau untuk terbang lagi menggunakan pesawat yang sama? Setidaknya kamu masih ragu. Sangat normal bagi seseorang untuk memiliki risiko subjektif yang jauh lebih tinggi daripada risiko objektif.
Tentunya, mengukur risiko secara objektif akan sangat berguna. Ilmuwan di bidang risiko yang bernama David Spiegelhalter menemukan satuan micromorts (satuan yang secara objektif membandingkan sesuatu dengan risiko kematian) sebagai upayanya untuk mengukur risiko. Contohnya, menghisap 1,4 rokok, menghabiskan waktu selama dua bulan bersama seorang perokok, dan berpergian sejauh 230 mil dengan mobil memiliki tingkat risiko sebesar 1 micromort. Sementara melahirkan memiliki tingkat risiko 170 micromorts. Memiliki pemahaman yang baik mengenai risiko objektif dapat membantu kita melakukan penyesuaian terhadap keputusan yang kita buat.
Memiliki Tujuan dan Rasa Keterlibatan Menambah Tingkat Kewaspadaanmu Terhadap Risiko
Bulan Oktober di tahun 2017 merupakan waktu yang cukup aneh untuk masyarakat Korea Selatan. Presiden AS, Donald Trump, dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, saling adu mulut melalui media masa. Seoul, ibu kota Korea Selatan, adalah wilayah yang berada tak jauh dari zona sasaran tembak jika perang senjata benar-benar terjadi di antara AS dan Korea Utara. Namun ternyata, bukan ini hal yang dikhawatirkan oleh rakyat Korea Selatan. Mereka lebih terpaku dengan peristiwa dalam negeri yang membahas tentang dilengserkannya Presiden Park Geun-hye akibat praktik korupsi. Sang Presiden juga tidak cukup populer di masyarakat melihat kegagalannya dalam menangani bencana kapal ferry yang terjadi beberapa tahun silam. Namun dengan kemungkinan terjadinya perang nuklir yang sepertinya kian “nyata”, mengapa justru isu dari Sang Presiden yang kerap dibahas? Menurut penulis, ini karena rakyat Korea Selatan tak merasa terlibat dalam perseteruan antara AS dan Korut. Memang perang ini berisiko tinggi, namun Korea Selatan tak memiliki kendali terhadapnya.
Melihat hal ini, penulis berpendapat bahwa perilaku seseorang akan berubah ketika orang tersebut ikut terlibat dalam sebuah persoalan. Semakin terlibat seseorang dalam persoalan, semakin ia peduli dan ingin berkontribusi untuk memperbaiki keadaan.
Mari kita amati kasus dari komunitas-komunitas terpinggirkan yang acap kali terabaikan; mereka ingin mendapatkan utang untuk memulai bisnis. Karena mereka masih baru dan tak memiliki banyak pengalaman pada usaha yang hendak dijalankan, perbankan akan meminta bunga yang lebih tinggi saat meminjamkan uang. Bank menilai bahwa risiko untuk meminjamkan uang kepada mereka jauh lebih tinggi. Namun akhir-akhir ini terdapat banyak inisiatif yang berupaya untuk membantu para pebisnis terpinggirkan, salah satunya adalah Boston Impact Initiative Fund (BIIF). Mereka tak sekedar menyediakan dana, namun mereka juga memberi tujuan untuk para pengusaha.
Deborah Frieze merupakan pendiri dari gerakan tersebut. Alasannya? Deborah merasa bahwa ia adalah orang yang cukup beruntung dan memiliki previlese yang tak dimiliki banyak orang. Tiap kali ia mengambil “risiko”, ia selalu mendapatkan reward yang setimpal. Dari situ dia sadar bahwa selama ini orang-orang terpinggirkan yang memilih untuk mengambil “risiko” banyak menghadapi penolakan dan kecurigaan dari ekosistem usaha yang ada. Maka dari itu, beliau mendirikan organisasi yang mampu melayani mereka dan menjalankan bisnis dengan cara yang berbeda. Untuk pengusaha yang baru saja melangkahkan kaki di petualangan bisnisnya, mereka akan diberi bunga serendah mungkin atas utang yang mereka ajukan. Namun untuk bisnis yang sudah sukses, diwajibkan bagi mereka untuk membayar bunga yang lebih tinggi saat berutang. Selain itu, gerakan tersebut juga memberikan perlindungan ekstra untuk para investor kecil yang baru mulai berinvestasi.
Metode yang diterapkan Frieze bekerja dengan baik karena ia menyadari sebuah elemen penting dalam dunia bisnis yang sering kali terabaikan: yakni, tiap orang bergantung pada orang lain. Semua pihak yang memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh BIIF, entah itu peminjam atau pemberi pinjaman, merasa bahwa mereka sedang melakukan hal-hal yang bermakna secara bersama-sama. Lebih dari itu, risiko yang muncul dari tiap-tiap usaha yang dijalankan oleh peminjam dibagikan secara merata dengan cara yang dapat memperkuat kekukuhan sistem secara keseluruhan. Tak hanya mereka merasa terlibat dalam proses, mereka bergerak berdasarkan tujuan mulia. Inilah sesuatu yang tak dimiliki oleh sistem keuangan modern. Deregulasi di sektor keuangan sejak tahun 1980-an telah menciptakan sebuah sistem yang hanya meminimalkan risiko di sisi pemegang saham saja.
Setiap Keputusan Yang Kamu Buat adalah Sebuah Keputusan Yang Berisiko
Coss Marte telah menjadi seorang jutawan pada usia 22 tahun. Sayangnya ia menghimpun kekayaannya dengan menjual obat-obatan terlarang. Akhirnya, pada usia 23 tahun, ia mendapatkan hukuman penjara selama 7 tahun. Waktu di penjara, salah seorang dokter berkata padanya bahwa ia hanya memiliki waktu hidup selama 5 tahun saja melihat tingkat obesitas yang dialaminya sudah cukup parah. Dari situ, dia memutuskan untuk berubah. Dia berolah raga secara teratur untuk memperbaiki kondisi fisiknya. Setelah ia berhasil, ia membantu teman-temannya di penjara untuk melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, masa hukumannya berakhir; untuk memulai langkah barunya, ia memutuskan untuk membuka sebuah gym. Sayangnya, tak lama kemudian, pandemi COVID melanda dan memaksanya untuk mengubah strategi. Ia melakukan pivot bisnis dengan membuka sesi training daring yang tak disangka dapat bertumbuh dengan cepat. Dari kisah ini, kamu dapat melihat bagaimana risiko sangat menentukan arah hidup dari seseorang. Kita coba jabarkan.
Keputusan Marte untuk menghilangkan sebagian besar berat badannya adalah langkah yang penting untuk mengurangi risiko kematian. Membuka gym setelah keluar dari penjara juga berkaitan dengan risiko; sebagai mantan narapidana, sulit baginya untuk menemukan pekerjaan. Mau tidak mau, ia harus mempekerjakan dirinya demi dirinya sendiri. Kemudian, langkah lockdown yang diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi COVID-19 juga memaksanya untuk “keluar” dari cara berbisnis yang lama, dan “masuk” ke cara berbisnis yang baru. Jadi dari sudut pandang risiko, setiap kali Marte dihadapkan dengan risiko, ia berhasil untuk membuat sebuah keputusan yang brilian dan positif.
Sadar atau tidak, saat ini tiap pemuda yang ada di bumi juga sedang menghadapi risiko masif lainnya, yakni ancaman krisis iklim. Melihat hal ini, banyak anak-anak yang mulai mengambil langkah drastis untuk menghadapinya. Salah satunya adalah Haven Coleman yang berupaya untuk menekan politisi Amerika dan anggota kongres untuk menemukan solusi yang konkrit dan dapat diaplikasikan secara nyata. Coleman berpendapat bahwa, saat masa depannya terancam, ini adalah hal yang paling tepat dilakukan untuk meminimalkan risiko.
Seperti yang telah kita ketahui, tiap-tiap kita mempunyai sidik jari risiko unik yang dibentuk oleh banyak hal, mulai dari pengalaman hidup, gen, serta penampilan. Situasi & kondisi yang kita hadapi juga berpengaruh terhadap cara kita untuk “mengambil” risiko. Tak peduli siapapun kita, akan sangat bermanfaat jika kita semakin “melek” terhadap risiko sehingga langkah yang kita ambil dapat semakin terarah. Demikain, semoga bermanfaat.
Add a comment