Dalam “Faust I”, sebuah mahakarya sastra Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (seorang sastrawan) menuliskan “Kata-kata hanyalah sekedar suara dan asap (words are mere sound and smoke).” Namun apakah ini benar?
Menurut Frank Luntz, pendapat Wolfgang tidaklah benar. Kata-kata mengandung arti serta gagasan, sehingga memilih kata-kata yang tepat sangatlah vital untuk memenangkan hati dari para pendengarnya, entah itu untuk urusan politik, periklanan atau bahkan kehidupan pribadi. Setiap kali kita berbicara dengan rekan organisasi, atasan, anak-anak atau teman, kita harus mempertimbangkan kata yang kita gunakan dengan hati-hati agar pesan yang kita maksudkan dapat diterima dengan jelas. Lalu bagaimanakah caranya untuk menemukan kta-kata yang dapat menyampaikan pesan sesuai dengan yang kita maksudkan?
Agar Komunikasi Berjalan Efektif, Kamu Harus Tahu Siapa Pendengarmu
Pernahkah kamu berada dalam sebuah situasi di mana kata-kata yang kamu katakan benar- benar di-salah arti-kan oleh lawan bicaramu? Jika hal ini pernah terjadi, mungkin terdapat kekurangan dalam caramu berkomunikasi. Atau dengan kata lain, kamu tak pandai dalam berkata-kata. Jangan panik, kamu tidak sendiri. Faktanya, kebiasaan berbahasa dengan buruk begitu tersebar sehingga kita kerap kali mengalami kesalah-pahaman, entah itu tentang politik, bisnis, hingga kehidupan sehari-hari. Sebenarnya ini terjadi karena tiap orang memiliki pemahaman yang berbeda terhadap kata-kata. Dua kata yang secara teknis memiliki arti yang sama dapat menimbulkan reaksi yang berbeda saat didengar oleh orang yang berbeda.
Contohnya, “kesejahteraan (welfare)” dan “bantuan untuk masyarakat miskin (assistance to the poor)” pada dasarnya memiliki arti yang sama. Saat kamu bertanya pada orang Amerika, hanya 23% yang akan menjawab bahwa pemerintah AS terlalu sedikit dalam menganggarkan dana untuk “kesejahteraan”. Akan tetapi 68% menjawab bahwa anggaran dana “batuan untuk masyarakat miskin” masih terlalu kecil. Kalian bisa lihat perbedaanya saat terdapat perubahan kata. Di sini jelas terlihat bahwa cara yang berbeda dalam menyampaikan gagasan yang sama dapat menimbulkan konotasi yang berlawanan dalam pikiran. Di benak rakyat Amerika, kata “kesejahteraan (welfare)” memunculkan gambaran “ratu kesejahteraan (welfare queens)” dan pengeluaran pemerintah yang boros dan tak bermanfaat. Sementara kata “bantuan untuk masyarakat misikin” mengingatkan mereka dengan pemberian bantuan / derma dan rasa simpati yang ditunjukkan oleh agama Kristen.
Komunikasi yang efektif tidak sepenuhnya tentang pesan yang kamu sampaikan atau arti dari kata-kata tersebut secara objektif, akan tetapi ia sangat tergantung pada bagaimana lawan bicara memahaminya. Sangat penting untuk mempertimbangkan prakonsepsi (gagasan awal dari seseorang sebelum mendapatkan penjelasan) dari para pendengar, terutama terkait dengan kepercayaan dan ketakutan mereka.
Seorang novelis dari Inggris bernama George Orwell paham akan hal ini. Pada buku terkenalnya yang berjudul “1984”, Orwell “bermain” dengan ketakutan-ketakutan personal dari para pembacanya. Contohnya, dalam salah satu bagian beliau menjelaskan tentang “Ruang 101 (Room 101)” sebagai sebuah tempat di mana seseorang dihadapkan dengan ketakutan terbesarnya. Karena ketakutan dari tiap pembaca itu berbeda, kata Ruang 101 diasosiasikan dengan mimpi buruk personal dari tiap-tiap pembaca. Tapi bagaimana caranya untuk memastikan bahwa pesan yang kamu sampaikan dipahami sesuai dengan apa yang kamu maksudkan?
Bahasa yang Efektif itu Jelas, Sederhana dan Tertata dengan Baik
Seberapa sering kah kamu mengambil kamus (bahasa Indonesia atau bahasa asing) untuk mencari arti dari kata yang tidak kamu ketahui? Kebanyakan orang jarang atau bahkan tidak pernah melakukan hal tersebut, dan ini bukanlah masalah besar. Lagi pula jika kita menggunakan kata-kata yang asing dan rumit, pesan yang kita sampaikan juga akan sulit untuk diterima. Maka dari itu, lebih baik menggunakan kata-kata yang jelas dan lugas.
Lalu bagaiamana caranya untuk berbicara atau berkomunikasi se-efektif mungkin?
1) Pertama, penting untuk menggunakan kata yang sederhana dan kalimat yang pendek; semakin sederhana kamu menyampaikan ide/gagasan, semakin mungkin gagasan tersebut untuk diterima. Pada akhirnya kata-kata yang lebih pendek selalu memiliki dampak yang lebih besar. Contohnya, sebelum disebut dengan Mac, jajaran komputer produksi Apple ini disebut dengan Macintosh, yang terlalu panjang untuk diucapkan.
Kalimat yang lebih pendek juga lebih mudah untuk diingat. Contohnya, banyak orang- orang Amerika yang mengingat slogan kampanye Dwight Eisenhower di tahun 1952 berbunyi “I like Ike”; Ike merupakan nama panggilannya sebagai kandidat presiden yang lebih mudah untuk diucapkan.
Sebaliknya, mengabaikan aturan sederhana ini juga dapat mengakibatkan masalah besar. Salah satu alasan mengapa John Kerry kalah dalam pemilihan presiden tahun 2004 adalah karena sebagian besar orang Amerika tak bisa memahaminya. Dia cenderung menggunakan kata-kata yang rumit dan kalimat yang terlalu panjang. Contohnya, beliau menyatakan preferensinya terhadap “progressive internationalism” dibandingkan dengan “too often belligerent and myopic unilateralism of the Bush Administration (kebijakan yang suka berperang dan cenderung diputuskan secara unilateral dari administrasi Bush)”. Pada akhirnya, banyak orang Amerika yang tak paham dengan apa yang beliau sampaikan.
2) Kedua, penting juga untuk menjelaskan dengan cermat relevansi dari pesanmu (memberikan konteks terhadap pesan). Maka dari itu, pesanmu harus disusun dengan struktur yang tepat.
Contohnya, jika kamu ingin menawarkan sebuah solusi, pendengarmu harus mengetahui apa masalahnya terlebih dahulu. Tanpa konteks awal, pesanmu tak akan berharga sama sekali.
Bahasa yang Efektif dapat Menghidupkan Imajinasi dan Memikat Indra dari para Pendengarnya
Percaya atau tidak, bahasa adalah sesuatu yang dahsyat. Menysusun beberapa kata tertentu dalam satu kalimat seperti “seekor jerapah sedang mengendarai sepeda” saja sudah cukup untuk memicu otak dari para pembaca untuk menggambarkan situasi tersebut. Gambaran mental itu muncul karena sulit bagi kita untuk tidak membayangkan sebuah mahluk ber-leher panjang, mengayuh sepeda, yang terlalu kecil baginya, tanpa daya. Bahkan, kita dapat memanfaatkan kemampuan imajinatif & indra manusia sebagai alat untuk menyampaikan pesan.
Jika diperhatikan, slogan iklan yang baik sering kali memanfaatkan kata-kata yang memicu timbulnya imajinasi dengan melibatkan beberapa panca indra manusia. Contohnya slogan M&M yang cukup terkenal “melts in your mouth... (meleleh di mulut...)”. Ketika kamu mendengar atau membacanya, secara sadar atau tidak, kamu akan membayangkan rasa cokelat yang meleleh pada lidahmu. Pemanfaatan kata-kata yang memicu panca indra untuk membayangkan sesuatu disebut penulis dengan sensualization.
Sensualization ini dapat dipicu dengan menggunakan satu kata sederhana: “imagine (bayangkan)”. Ketika kamu meminta seseorang untuk membayangkan sesuatu, kamu sebenarnya sedang meminta mereka untuk menciptakan sebuah gambaran/penglihatan personal yang didasarkan pada emosi dan keinginan terdalam mereka. Gambaran yang bersifat personal ini mempunya efek yang dahsyat dan menurut penulis, ini adalah alasan utama mengapa lagu John Lennon yang berjudul Imagine merupakan salah satu dari lagu beliau yang dikenal dan diingat oleh banyak orang.
Di samping elemen visual yang dibawa oleh bahasa/kata-kata, terdapat elemen sonik (atau suara) yang juga sama pentingnya. Kesuksesan dalam menyampaikan pesan juga dapat diraih dengan memanfaatkan “sisi musikal” dari kata-kata. Contohnya, kamu dapat menggunakan kata-kata yang terdengar mirip untuk digunakan dalam satu kalimat sehingga membuat kalimat tersebut semakin mudah untuk diingat. Kembali ke slogan M&M yang terkenal, pengulangan huruf M dalam “Melts in your Mouth...” membuat slogan itu menempel di kepala. Sama halnya dengan pengulangan huruf I di dalam slogan “Intel Inside”. Strategi sonik yang lain adalah dengean menggunakan kata yang bunyinya sama dengan apa yang kamu deskripsikan. Contohnya, slogan Kellog Rice Krispies “Snap, Crackle, and Pop” adalah suara yang kamu dapatkan saat kamu mengonsumsi sereal.
Bahasa yang Efektif Menyentuh Emosi Pendengarnya
Para penulis Hollywood hidup dengan aturan yang berbunyi “kata-kata harus mampu “mengaduk-aduk” emosi dari para penontonnya”. Mereka tahu bahwa saat bahasa/kata-kata mampu menyentuh perasaan seseorang, kata-kata tersebut akan meninggalkan kesan yang kekal di ingatan para audiens. Kunci untuk mencapai hal ini adalah dengan menemukan kata- kata yang dapat diterapkan pada sebuah situasi di mana tiap orang merasa familiar dengannya, sebuah strategi yang disebut dengan humanization (humanisasi). Atau akan lebih baik lagi jika kata-kata tersebut dapat mewakili pengalaman personal dari kehidupan seseorang, teknik ini disebut dengan personalization (personalisasi).
Pidato dari Martin Luther King Jr. yang berjudul “I Have a Dream” adalah contoh yang tepat dari penerapan humanisasi. Pesan inti dari pidato ini adalah sebaiknya kita tidak menghakimi manusia berdasarkan penampilannya, akan tetapi berdasarkan karakternya. Pesan ini tidak hanya berlaku untuk pengikutnya yang berkulit hitam, akan tetapi ini merupakan prinsip dasar yang harus dianut oleh seluruh rakyat Amerika, bahkan umat manusia pada umumnya.
Dalam konteks keseharian, para pengiklan selalu menggunakan teknik humanization dan personalization untuk dapat membangun hubungan dengan pelanggannya. Pesan dikemas dengan memperhatikan pengalaman keseharian dari pelanggan yang menjadi target sekaligus mendemonstrasikan bagaimana dengan mengonsumi produk dari pengiklan dapat membuat hidup pelanggan menjadi lebih baik. Contohnya, untuk jajaran produk skincare, Olay menggunakan slogan “Love the skin you’re in (cintai kulit yang kamu miliki)”. Permainan kalimat ini seakan mendukung kita untuk merasa nyaman dengan kulit yang kita miliki dan membantu untuk membangkitkan rasa percaya diri dengan penampilan apa adanya yang sepertinya dibutuhkan oleh kebanyakan orang.
Teknik lain yang dapat digunakan untuk menimbulkan dampak emosional adalah dengan menanyakan pertanyaan. Menyambut para audiens dengan sebuah pertanyaan yang membutuhkan respon cepat akan memicu proses berpikir (thought process) dan menuntun audiens kepada sebuah kesimpulan secara mandiri. Namun jika kamu mengungkapkan kesimpulannya secara langsung, mereka tidak akan penasaran dengan apa yang kamu sampaikan. Saat mereka dapat sampai pada sebuah opini berdasarkan kesimpulan mereka sendiri, dampak emosional yang ditimbulkan akan lebih mendalam.
Contohnya, saat debat presiden di tahun 1980, Ronald Reagan mengajukan pertanyaan yang sederhana kepada pemberi suara: “are you better off today than you were four years ago? (apakah kamu (termasuk kehidupanmu) lebih baik hari ini dibandingkan dengan empat tahun yang lalu?)”. Dengan menanyakan pertanyaan tersebut, dia memicu terjadinya proses berpikir yang membuat para audiens tersadar bahwa negara berada dalam kondisi yang “lebih buruk” saat dipimpin oleh Presiden Jimmy Carter. Teknik ini memungkinkan Reagan untuk memenangkan banyak suara saat hari pemungutan tiba.
Bahasa yang Efektif Menemukan Titik tegah Antara Konsistensi dan Hal yang Baru
Dua perangkap besar yang harus dihindari saat berkomunikasi dengan audiens mu adalah: 1) membuat bosan pendengar dengan menyajikan informasi yang sudah diketahui dan 2) membanjiri audiens dengan ide-ide baru hingga sulit untuk dicerna. Kunci menuju penggunaan bahasa yang efektif adalah dengan mencapai keseimbangan antara keduanya dan menghindari sisi ekstrim. Banyak perusahaan yang berbuat kesalahan dengan mengubah slogan mereka terlalu sering.
Misalkan Coca-Cola: tahukah kamu tagline dari perusahaan tersebut saat ini? Mungkin tidak. Mereka sudah mengubahnya beberapa kali, dan ini telah menghancurkan citra mereka. Contohnya, dari tahun 2009 hingga 2016, slogan mereka adalah “Open happiness”, tetapi setelah tahun 2016, mereka mengubahnya menjadi “Taste the feeling”. Bandingkan dengan Wheaties, sebuah perusahaan yang sampai sekarang sukses menggunakan tagline yang diciptakan di tahun 1935, yakni: “The breakfast of champions”.
Di sisi lain, orang-orang juga mudah bosan. Maka dari itu, untuk melengkapi slogan yang bersifat konsisten, perusahaan juga membutuhkan sesuatu yang baru yang dapat mengejutkan audiens dan menarik perhatian mereka. Di tahun 1950an, perusahaan manufaktur mobil cenderung membuat mobil dengan ukuran besar. Namun Volkswagen mengejutkan pasar dengan kampanye suksesnya yang berjudul, “Think Small”. Tapi ingat, dalam menyampaikan kampanye baru, kamu harus melakukannya secara kredibel; pesan yang kamu sampaikan tidak boleh bertentangan dengan fakta dan persepsi umum. Contohnya, selama kampanye presiden di tahun 2000, Al Gore dipermalukan oleh khalayak luas sehingga ia kehilangan kredibilitas karena ia mengaku sebagai penemu internet.
Terakhir, penting untuk mempertahankan autentisitas (atau jati diri sebenarnya). Cara yang paling mudah untuk mewujudkan ini adalah dengan menjadikan tindakan nyata atas hal-hal yang telah kamu ucapkan. Selama kampanye pemilihan presiden di tahun 1992, George Bush Sr. secara tak sadar membaca “Message: I Care” dalam pidatonya, padahal kata message dalam kartu isyarat tersebut hanyalah penanda bahwa I Care merupakan pesan inti yang seharusnya disampaikan. Selain gagal dalam berpidato, beliau juga gagal dalam mengomunikasikan bahwa politik yang mereka lakukan bersumber dari kepedulian (care). Sementara itu lawan kandidat presidennya adalah Bill Clinton. Dia berjanji akan “Put people first (Menomorsatukan rakyat)” dan menjelaskan rencana aksinya untuk meraih hal tersebut dengan menyediakan program healthcare (perawatan kesehatan) dan pendidikan dengan kualitas tinggi. Tujuan yang dilengkapi dengan rencana aksi nyata dari Bill membawanya menuju kemenangan.
Memahami Audiensmu Merupakan Hal yang Penting Untuk Meraih Komunikasi yang Efektif
Agar bahasa dan kata dapat benar-benar menjadi efektif, kamu harus memahami pendengarmu. Lebih spesifiknya, kamu harus mengetahui apa yang menjadi harapan, kepercyaan dan prasangka/prakonsepsi dari para audiens.
Contohnya, jika audiens mu adalah orang Amerika, kamu harus waspada dengan miskonsepsi (kesalahpahaman) tentang rakyat Amerika pada umumnya. Mungkin kamu berasumsi bahwa banyak orang Amerika yang berpendidikan tinggi, padahal jika kamu coba pelajari lebih dalam, hanya 29% dari orang Amerika yang berusia 45 tahun ke atas yang memegang gelar S1 atau lebih tinggi. Selain itu, hanya 1 dari 4 orang Amerika yang berusia lebih dari 25 tahun pernah menjalani pendidikan perguruan tinggi.
Miskonsepsi umum lainnya tentang orang Amerika adalah mereka memberikan suara berdasarkan agenda politik dari kandidatnya. Namun pada kenyataannya, mayoritas orang Amerika tidak tahu atau peduli dengan opini-opini politik; alih-alih mereka berfokus pada karakter, citra dan apakah tokoh tersebut dapat dipercaya.
Mari kita amati apa yang dilakukan oleh George W. Bush saat terjadinya gejolak nasional setelah peristiwa 9/11 melanda. Sebenarnya, cukup jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahannya tidak begitu efektif, akan tetapi Bush memahami audiens nya dengan sangat baik. Beliau tahu bahwa rakyat Amerika menginginkan seorang panglima tertinggi (commander in-chief) yang tampak kuat dan bertekat untuk melindungi kemerdekaan Amerika Serikat. Bush telah berhasil menampakkan citra tersebut kepada rakyat; inilah yang membuat beliau terpilih kembali menjadi presiden di tahun 2004.
Aspek lain dari para audiens yang penting untuk diingat adalah bagaimana persepsi mereka terhadap kata-kata tertentu yang sering digunakan. Lagi-lagi, jika audiens mu orang Amerika, penting untuk mengetahui bagaimana kata-kata seperti “kemerdekaan”, “keadilan” dan “kesempatan” dipandang dalam budaya lokal. Kamu mungkin berpikir bahwa kata-kata “kemerdekaan” memiliki konotasi positif. Akan tetapi kata tersebut terlalu sering digunakan oleh administrasi George W. Bush sampai pada titik di mana kata “kemerdekaan” diasosiasikan dengan Republican Party. Sama hal nya, kata “keadilan” telah diasosiasikan dengan Democrats Party karena mereka adalah pihak yang paling sering menggunakannya. Di sisi lain, kata yang paling disukai oleh rakyat Amerika adalah “kesempatan”; sebuah kata yang terbebas dari asosiasi terhadap salah satu partai dan berada di “tengah-tengah”.
Add a comment