-
Topik TulisanBiografi
-
Sub Judul TulisanPerjalanan Kisah Hidup Will Smith
- Berikan Komentarmu
Hampir tak ada yang tak tahu Will Smith, sang aktor kelas dunia. Namun di balik ketenarannya, terdapat kisah perjuangan dan pengorbanan yang membentuk dirinya yang sekarang.
Ketika kecil dulu, Will dan saudaranya, Harry, pernah diperintah ayahnya untuk membangun sebuah dinding walaupun sebenarnya mereka tak tahu bagaimana caranya. Dinding dari toko ayahnya runtuh. Ayah Will adalah seorang kontraktor, jadi dia tak ingin mempekerjakan orang lain untuk membenahinya. Kira-kira, dinding itu memiliki panjang 6 meter. Bagi Will dan Harry, tugas ini seakan tak berujung. Melihat anak-anaknya yang kehilangan semangat, sang ayah mendekat dan memberi tahu mereka untuk “melupakan” temboknya. “Tak ada tembok. Yang kamu hanya perlu pikirkan hanyalah batu bata yang ada di tangan mu. Tambahkan dan ratakan semen pada susunan tembok, kemudian letakkan batu bata di atasnya dengan sempurna. Kemudian ambil batu bata selanjutnya dan lakukan hal yang sama”. Tak jauh berbeda dengan hidup, yang harus kita lakukan hanyalah mengambil langkah demi langkah secara yakin.
Masa Depan Will
Di tahun 1985, Will yang berusia 17 tahun tinggal di Kota Philadelphia, lebih tepatnya di lingkungan kelas menengah Wynnefield yang rimbun. Saat itu Will baru saja kembali dari sekolah. Ketika memasuki rumah, Will merasakan terdapat sesuatu yang salah. Betul saja, ibunya yang berdiri di dekat meja dapur menampakkan wajah sedih sekaligus marah. Ini bukan hal yang biasa. Will sudah sering menghadapi kemarahan dari sang ayah yang memang peminum keras, pendisiplin dengan tampak garang, dan suasana hati yang tak bisa diprediksi. Tapi tidak dengan Ibu, Will dan Ibu nya tidak pernah berbeda pendapat. Namun tidak di hari ini.
Will memang bukan anak yang pintar dengan pelajaran, tapi nilainya di sekolah cukup untuk membawanya masuk ke perguruan tinggi berkualitas. Pendidikan Will menjadi perhatian utama bagi Ibunya. Hal yang perlu diketahui tentang Ibu Will adalah dia datang dari keluarga miskin dan bertempat tinggal di lingkungan yang buruk. Namun pendidikan perguruan tingginya lah yang menyelamatkannya sehingga ia dan keluarganya dapat tinggal di rumah yang layak seperti sekarang. Memang waktu telah berubah, tetapi bagi Ibunya, dunia masih menjadi tempat yang kejam, terutama bagi pemuda berkulit hitam seperti anaknya. Karenanya, melanjutkan kuliah meruapakan suatu keharusan bagi Will menurut sang Ibu. Sayangnya, akhir-akhir ini nilai yang didapatkan Will mulai menurun. Dan mungkin kenyataan inilah yang menjadi penyebab kemarahan sang Ibu.
Beberapa waktu yang lalu, sepupu Will memperkenalkannya kepada musik hip-hop, dari situlah Will mulai mendalami rapping (ngerap). Will juga membentuk grup musik dengan seorang disk-jockey yang bernama Jeff Townes. Mereka menyebut dirinya dengan Jazzy Jeff dan The Fresh Prince. Perlahan, nama mereka semakin dikenal banyak orang; debut pertama mereka di Philadelphia, dan kemudian semakin melebar ke New York. Hip-hop memang masih baru, namun orang-orang di industri musik percaya bahwa hip-hop akan meledak di masa depan; dan Jeff Will sedang mengendarai ombak tersebut. Bahkan ada percakapan tentang kesepakatan untuk melakukan rekaman bagi mereka.
Namun sang Ibu berpendapat bahwa hip-hop bukanlah karir. Hip-hop adalah hobi. Will diperbolehkan ngerap, tetapi Ibu tak mengizinkan Will untuk menjadi seorang rapper. Di momen itu juga Will mengatakan sesuatu yang mematahkan hati Ibunya, yakni Will tak ingin pergi kuliah. Ini membawa mereka ke jalan buntu; sang Ibu dan Will sangat kekeh dengan pendapat mereka masing-masing.
Bagi Ibu, pendidikan adalah sesuatu yang paling berharga. Namun bagi sang ayah, kerja keras adalah yang utama. Ibu Will memilih kata-katanya dengan cerdas dan hati-hati. Sementara sang Ayah seperti seorang penyair yang mahir menggunakan kata-kata kotor. Namun dengan hip- hop, mereka mempunyai pandangan yang sama, bahwa: perguruan tinggi meruapakan pilihan yang lebih aman jika dibandingkan dengan berkarir di bidang musik. Namun sang Ayah juga memiliki sisi artistik di balik penampilannya yang garang. Dahulu beliau ingin menjadi seorang fotografer, akan tetapi orang tuanya menyuruhnya untuk menjual kameranya. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya sang Ayah setuju bahwa Will dapat mengejar karir musiknya dengan satu syarat: jika Will tidak berhasil dalam waktu satu tahun, dia harus pergi kuliah.
Kebangkitan The Fresh Prince
Kemunculan hip-hop berawal dari street parties (pesta jalanan) yang ada di New York. Para disk jockeys (DJs) memainkan rekamannya dan mengulang-ulangi bagian dari lagu yang paling asik untuk digunakan berdansa. Hingga akhirnya para DJs menggunakan dua turntables agar mereka bisa memutar musik untuk lebih lama. Karena mereka sibuk mengendalikan dua piringan hitam yang dimainkan secara bersamaan, mereka tak punya waktu untuk berinteraksi dengan para pendengar. Dari situ lah peran MC (Master of Ceremonies) muncul; mereka mengajak audiens berbicara, membanggakan kemampuan sang DJ, dan meramaikan suasana. Tak lama kemudian, MC yang paling kreatif mulai mengucapkan kata-kata berima yang temponya menyesuaikan dengan ritme dari musik yang diputar sang DJ; Imigran dari Jamaika menyebut ini dengan “rapping.” Dan inilah kisah bagaimana musik hip-hop dilahirkan.
Di tahun 80-an, musik hip-hop masih tergolong baru dan beredar “di bawah tanah”. Orang- orang bilang bahwa hip-hop membawa suasana “fresh” (segar) ke dalam dunia musik. Pesan ini lah yang ingin disampaikan oleh Will dengan nama panggungnya. Ini juga caranya untuk membanggakan diri di depan orang-orang karena dia termasuk yang paling awal dalam memperkenalkan musik revolusioner ini. Tambahan “prince” di belakang nya merupakan pernyataan bahwa ia rapper terbaik yang bisa dijumpai di masanya. Ya, menyombongkan diri merupakan kegilaan sementara yang terjadi di awal era hip-hop. Segerombolan pendengar akan berkumpul untuk mendengar dua rappers yang bertukar kesombongan dan ejekan mengikuti irama musik. Biasanya mereka akan ber-lagak tangguh dan kasar layaknya gangster, membual tentang uang dan wanita.
Will memang seseorang yang berbeda. Di masa SMA, terdapat banyak temannya yang mempunyai suara lebih baik. Beberapa yang lain juga lebih jago dalam menuliskan puisi. Tetapi tak ada seorang pun yang mampu membuat kerumunan pendengar tertawa seperti Will. Dia juga punya keahlian untuk membuat lelucon dari hal-hal kecil di keseharian. Tak peduli seberapa tangguh lagak dari rapper lain, jika ia tak bisa membuat pendengar tertawa maka habis lah dia. Jika kamu lucu, maka tak ada yang bisa menghentikanmu.
Will membuat melucu terlihat begitu mudah. Padahal sebenarnya talenta dari the Fresh Prince dibentuk oleh etos kerja tak pantang menyerah yang dicontohkan sang ayah. Ketika anak-anak berbakat lain membolos dari kelas dan menghisap ganja, Will mengisi halaman demi halaman buku catatannya dengan kalimat-kalimat berima, mengucapkan bait demi bait puisi dan puncak leluconnya (punchlines) di depan kaca. Kamu tak perlu menjadi anggota gangster ketika kamu sudah bekerja sekeras ini.
Lagu pertama dari Jazzy Jeff dan The Fresh Prince yang berjudul “Girls Ain’t Nothing but Trouble” dirilis di tahun 1986. Sukses dengan lagunya, mereka mengeluarkan sebuah album di tahun 1987 dengan judul “Rock the House” yang terjual lebih dari 500.000 salinan. Ini semua hanyalah permulaan karir Will. Album kedua “He’s the DJ, I’m the Rapper” keluaran tahun 1988 terjual lebih dari 3 juta salinan dan membawa anugerah Grammy untuk dua musisi ini. Sebelum usianya menginjak 20 tahun, Will telah memiliki segalanya: ketenaran, kekayaan dan pujian. Seakan dia tak bisa tumbang. Tapi benarkah?
Jutawan yang Menyedihkan
Walaupun dia memiliki segalanya, Will pernah merasa kosong, mati rasa, marah, sakit, dan tak memiliki arah. Demi melampiaskan amarahnya, dia mengambil sebuah batang poker besi dari perapian, lalu memacahkan setiap panel kaca yang ada di hadapannya, kemudian pergi meninggalkan rumah. Dia baru saja mengetahui bahwa kekasihnya telah mencuranginya. Ketenaran, uang, dan rumah yang baru saja dibeli tak ada yang berarti tanpa keberadaan Melanie Parker di samping Will. Mereka telah bersama semenjak mereka berusia 16 tahun. Pandangan Will tentang dirinya sendiri sangat bergantung pada pendapat Melanie; apa yang harus Will lakukan atau tidak, bergantung pada persetujuan Melanie. Sempat muncul di benak Will bahwa jika Melanie mencuranginya, itu karena kekurangan yang ada pada diri Will; jika saja Will menjadi pria yang lebih baik, dia tak akan melakukan ini. Pandangan tersebut lah yang membawa Will kepada penderitaan.
Semua ini terjadi di tahun 1988, dan merupakan awal dari tumbangnya ketenaran The Fresh Prince. Semenjak putusnya mereka, Will mencoba untuk mengisi kekosongan itu dengan membeli rumah baru dan tiga mobil mewah tambahan untuk diparkir di depan rumahnya. Namun sang ayah tak kagum sama sekali. “We’ve all got one a**, ..., what’s anyone need three cars for?” kata ayahnya. Namun terdapat sekelompok orang lain di Philadelphia yang terkesan dengan aksi Will, yakni gangsters. Will mulai bergaul dan berpesta dengan mereka. Apapun mereka lakukan untuk bersenang-senang, entah itu berjudi, tidur dengan banyak wanita, mengonsumsi alkohol, dan lain sebagainya. Namun semua ini hanya membuatnya merasa semakin buruk. Sikap dan perilaku Will juga menjadi semakin kasar seperti sang ayah.
Will telah melakukan segala hal yang seharusnya menyenangkan, tapi ia masih saja merasa menderita. Di titik itu pemikiran yang menakutkan datang: “mungkin dirimu adalah masalahnya”. Will berusaha mengacuhkan pemikiran tersebut dengan “aku hanya membutuhkan lebih banyak uang, lebih banyak wanita dan lebih banyak Grammys”. Tetapi hal sebaliknya justru yang terjadi. Segala hal yang dimiliki oleh Will mulai menjauh dari dirinya, satu per satu.
Album berikutnya dari Jazzy Jeff dan The Fresh Prince yang berjudul “And in This Corner” dirilis di tahun 1989. Mereka menghabiskan dana $300.000 untuk menyewa studio rekaman di Jamaica, namun mereka hampir tak pernah menginjakkan kaki di dalamnya. Will terlalu banyak mengonsumsi rum punch di bawah terik matahari Karibia sampai-sampai kondisi fisiknya terpengaruh. Akibatnya, Will tak menghabiskan cukup waktu untuk menulis dan menyusun albumnya. Dan ini tercermin dari kualitas musik yang buruk pada album tersebut.
Kemalangan selanjutnya pun meninju Will tepat di muka. Will belum pernah membayarkan pajak satu sen pun ke pemerintah dari pendapatannya. Maka dari itu, The IRS (Internal Revenue Service), atau Direktorat Jenderal Pajak nya AS, mengambil hampir seluruh asset bernilai yang dimiliki Will (termasuk rumah dan mobil-mobilnya). Will jatuh miskin mendadak. Parahnya lagi, The FBI juga sedang melakukan pengawasan ketat terhadap rekan-rekan gangster nya. Tak ada hal lain yang mampu membuatnya bertahan di Philadelphia sehingga di tahun 1989 dia memutuskan untuk meninggalkan kota tempat ia tumbuh. Will meminjam uang sebagai DP untuk sebuah apartemen dan membeli tiket pesawat menuju ke Los Angeles.
Titik Balik
Benny Medina adalah Fresh Prince dari Bel-Air. Dia tidak lahir dan besar di Philadelphia barat, tetapi di Watts, Los Angeles (LA), salah satu daerah paling miskin yang dihuni sebagian besar oleh orang kulit hitam dan hispanik. Setelah ibunya meninggal, Benny tinggal dengan keluarga kaya berkulit putih di Bel-Air. Kemudian Benny mendapatkan kesempatan untuk terjun di industri hiburan hingga menjadi salah satu produser TV yang paling ternama di LA.
Saat Will bertemu dengannya di tahun 1989, Benny sedang mengerjakan sebuah naskah tentang kisah hidupnya dan dia membutuhkan seorang pemeran utama. Tak disangka, Benny menanyakan sebuah pertanyaan yang akan mengubah jalan hidup Will: “Can you act?” (Bisakah kamu berakting?). Secara logika, Will seharusnya menjawab tidak. Will tak pernah mengenyam pendidikan akting formal ataupun ikut ambil peran dalam proyek perfilman. Tapi tentu Will berpengalaman dalam menghibur dan membangkitkan gairah para pendengarnya secara langsung. Dia juga pandai berpura-pura menjadi orang lain saat berpenampilan di atas panggung. Maka dari itu Will menjawab bisa. Mendengar jawaban Will, Benny menganggap dia bisa berakting dan berjanji akan menghubungi Will.
Di Philadelphia, “Being Hollywood” (menjadi Hollywood) merupakan definisi dari seseorang yang tak tulus serta memiliki maksud lain dalam setiap perbuatan dan perkataannya. Will mengira bahwa Benny merupakan salah satu dari orang tersebut. Tak yakin dengan Benny, Will memilih untuk melupakan perjumpaan itu dan mencari pekerjaan lain. Namun setelah beberapa bulan berlalu, ternyata Benny benar-benar menghubungi Will. Dia mengajak Will untuk datang ke pesta ulang tahun dari Quincy Jones, produser dari album Michael Jackson. Ini adalah kesempatan langka untuk dapat berjumpa dengan seorang legenda di industri musik. Karenanya, Will memutuskan untuk datang.
Saat menjabat tangan Quincy, Will mendapatkan tatapan tajam darinya. Tatapan itu seakan mencoba untuk menganalisa siapa diri Will sebenarnya meskipun di luar sana nama Will sudah cukup dikenal. Setelah saling memperkenalkan diri dan berbincang ringan, Quincy menyambut Will dengan gembira dan tangan terbuka.
Will memberi tahu Quincy bahwa dirinya berasal dari Philadelphia barat. Menurut Quincy, itu adalah karakter dan latar belakang yang membedakan Will dari yang lain. Quincy meminta Will untuk mempertahankan siapa diri nya yang sebenarnya pada proyek berikutnya. Lalu tiba-tiba, Quincy menepukkan tangannya. Seluruh furnitur di ruangan pesta pun disingkirkan sehingga terbentuk ruang kosong di tengah-tengah. Para tamu terdiam dan perhatian tertuju pada Quincy dan Will. Di saat itu sebuah surat perjanjian pun diberikan kepada Will. “Semua orang yang perlu menandatangani perjanjian ini ada di ruang ini” begitu kata Quincy. Namun sebelum perjanjian ditandatangani, Will diminta untuk menunjukkan kemampuannya di depan kolega Quincy. Dan benar saja, Will mengeluarkan punchlines nya dengan cara yang menghibur sehingga seluruh penonton di ruangan tertawa. Tepuk tangan meriah dari penonton mengisi ruangan di akhir penampilan Will. Tak berlama-lama, Quincy memerintahkan para produser (termasuk Benny) dan Will untuk menandatangani kontak yang telah disusun.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1990 tersebut menjadi titik balik bagi Will. Penulisan naskah lengkap film, audisi pemain, final casting selesai di akhir bulan April. Kemudian pengambilan gambar dimulai pada pertengahan bulan Mei. Akhirnya pada tanggal 10 September 1990, episode pertama dari The Fresh Prince of Bel-Air mengudara untuk pertama kali di NBC. Will telah berhasil mencapai Hollywood.
Fondasi
Will baru saja menolak sebuah naskah film yang berjudul “Men in Black”. Untuk menjelaskan mengapa ia menolak untuk membintangi sebuah film karya Steven Spielberg, Will terbang ke sebuah rumah pribadi di daerah the Hamptons. Selama di perjalan, Will merasa gugup. Will ingin memberi tahu Spielberg bahwa dia sebenarnya suka dengan idenya, namun di saat yang sama Will ingin meyakinkan Steven bahwa ini bukan saat yang tepat untuk meluncurkan film tersebut. Will tentu tak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadi pemeran utama di “Men in Black”.
Belum lama Will memainkan peran sebagai kapten marinir AS yang bernama Steven Hiller; seorang tokoh yang berhasil menaklukkan situasi sulit, menyelamatkan bumi, dan memenangkan hati seorang wanita. Film yang dibintanginya ini, “Independence Day”, berhasil menyabet gelar sebagai film terlalris kedua di tahun 1996; “Independence Day” adalah tentang kemunculan alien di Bumi. Begitu juga dengan “Men in Black”. Karenanya dia tidak ingin membintangi film dengan tema yang sama di waktu yang berdekatan. Will tak ingin menjadi “the alien guy” dan mempersempit kesempatannya untuk memainkan peran lain.
Helikopter pun mendarat di lokasi. Spielberg telah menunggu Will di sana mengenakan t-shirt tua dan celana jeans. Perlu kalian tahu bahwa Spielberg merupakan direktur dari film-film legendaris seperti Indiana Jones, Jurassic Park, Jaws, Schindler’s List, dan E.T. Mereka kemudian berbincang sambil menyeruput lemon. Spielberg memahami apa yang dikhawatirkan Will; namun Spielberg juga menyampaikan bahwa Will melihat “Men in Black” dari sisi yang salah. “Men in Black” bukan lah cerita tentang aliens, akan tetapi ini tentang perjalan seorang pahlawan.
Cerita tentang kepahlawanan adalah salah satu naratif paling tua yang ada di dunia; umum ditemukan pada tiap budaya yang mempunyai kegemaran untuk menceritakan kisah secara turun temurun. Alur ceritanya berawal dari seorang pahlawan yang menerima sebuah “panggilan berpetualang” karena terjadi sesuatu terhadap tempat tinggal mereka sehingga memaksa mereka untuk melalui perjalanan berbahaya demi memahami apa yang sebenarnya terjadi. Biasanya kisah ini berpuncak pada cobaan berat (supreme ordeal) yang menimpa pemeran utama sehingga ia harus menghadapi situasi hidup dan mati. Jika mereka cukup bijaksana untuk mengatasi trauma, mereka akan menemukan kekuatannya untuk kembali berjuang. Akhirnya, mereka dapat memenangkan pertandingan dan membawa pulang kemenangan tersebut. Inilah yang menjadi hidup mereka menjadi sesuatu yang berharga.
Sebenarnya, banyak sekali film di dunia yang mengikuti pola ini. Bentuk “musuhnya” bisa sangat beragam entah itu aliens atau hiu atau negara musuh. Cerita-cerita kepahlawanan seperti ini sangat dekat dengan kita, mampu menggerakkan kita, dan bahkan bisa membuat kita tertawa atau menangis. Spielberg menyimpulkan bahwa elemen inilah yang harus di cari dari sebuah naskah atau tawaran. Pada saat itu juga, Spielberg berhasil meyakinkan Will untuk mengambil peran utama di Men in Black. Spielberg baru saja membuka jalan bagi Will menuju kesuksesan di dunia perfilman.
Ayah dan Anak
Anak kedua Will, Jaden, lahir di tahun 1998. Jaden mengikuti jejak ayahnya terjun ke dunia perfilman saat usianya masih 12 tahun dengan menjadi pemeran utama di film “The Karate Kid” bersama Jackie Chan. Will merupakan produser dari film tersebut, dan dia adalah seorang pemberi tugas yang tak kenal lelah. Semuanya harus tepat, terutama terkait dengan performa sang anak. Tiap adegan yang diperankan Jaden diambil secara berulang kali. Dan saat proyek film terlihat sudah akan selesai, Will memperpanjang pengambilan gambar di Cina selama 3 bulan lagi. Ini membuat Jaden marah dengan Will. Sebagai orang tua, Will mengatakan bahwa dia bertindak demi kebaikan Jaden, akan tetapi Jaden mempunyai pandangan berbeda. Will telah membuat hidup Jaden terasa seperti neraka karena Will takut jika film yang diproduksinya gagal.
Ketakutan Will akan kegagalan ini datang dari pengalamannya dengan sang ayah yang mempunyai prinsip bahwa: seorang tentara hanya akan berhasil saat dia fokus pada satu tujuan dan berani mengorbankan segalanya demi keberhasilan misi tersebut. 99% kemungkinan berhasil tak cukup baginya, ini adalah kepercayaan sang ayah. Dan kepercayaan ini dianut oleh Will juga. Kamu harus berfokus pada misimu dan menghancurkan segala hal yang menghalangimu; Kamu dapat memenangkan pertandingan atau kamu dapat mengkhawatirkan dan memikirkan tentang perasaan mereka yang ada di sekeliling mu.
Sulit untuk hidup dengan pria seperti itu. Will tahu tentang ini lebih baik dari pada yang lain, akan tetapi kenyataannya, Will mengulangi kesalahan yang sama seperti sang ayah. Will melihat Jaden semakin menjauh darinya. Di tahun 2012, Will pun menonton “I Shouldn’t Be Alive”, sebuah TV show yang menceritakan tentang pengalaman-pengalaman mendekati kematian (near-death experiences). Salah satu kisahnya adalah tentang seorang ayah dan anak yang tersesat di hutan belantara. Saat sang ayah terluka parah, anak laki-lakinya yang masih remaja harus pergi dalam perjalan berbahaya untuk menemukan bantuan demi keselamatan sang ayah. Ini adalah inspirasi yang tepat untuk proyek film Will Smith selanjutnya. Ini juga kesempatan bagi Will untuk memperbaiki hubungannya dengan Jaden.
Tak lama setelahnya, mereka mulai mengambil gambar untuk proyek film yang berjudul “After Earth”. Film ini menceritakan kisah tentang seorang ayah dan anak yang harus melakukan pendaratan darurat di Bumi jauh di masa depan, saat setelah planet bumi sempat tak dapat dihuni. Karakter Jaden harus berjalan melalui tanah tak bertuan dan hutan belantara untuk menyelamatkan sang ayah (yang diperankan oleh Will). Tak seperti film Karate Kid, di sini Will memilih untuk tak memegang kendali utama terhadap film. Will ada di sana hanya untuk mendukung Jaden, bukan untuk “memanfaatkan” nya. Dan Jaden memperhatikan perubahan ini dari sang ayah.
Suatu hari, seorang koordinator meminta Jaden untuk memperagakan sebuah gerakan aksi yang Jaden merasa tak nyaman untuk melakukannya. Jaden mencoba untuk menolaknya, tetapi sang koordinator tak mau mendengar kata tidak. Will sedang tak berada di lokasi di saat itu. Dia hanya melihat apa yang terjadi melalui layar monitor. Jaden berpendapat bahwa gerakan tersebut tak realistis. Namun tetap saja koordinator memaksa untuk mengambil beberapa gambar. Karena hal ini, Jaden meminta tolong krunya untuk memanggil ayahnya untuk mendapatkan nasihat dan pendapatnya. Ini adalah salah satu momen di mana Will bangga menjadi seorang ayah.
Walaupun kualitas film tak sebagus yang diharapkan, Will tak begitu mempedulikan hasilnya. Proses pengambilan gambar film adalah hadiah utama yang didapat Will dari proyek ini. Will tak lagi menjadi musuh dari sang anak. Di sini, Will menjadi seseorang yang dipercaya oleh Jaden, seseorang yang dapat ia andalkan di saat ia membutuhkan bantuan dan dukungan.
Mengucapkan Selamat Tinggal
Salah satu prinsip yang paling penting untuk diingat dalam pembuatan film (filmmaking) adalah “akan lebih mudah untuk menyusun naratif yang menarik saat kamu mulai dari belakang”. Dengan kata lain, kamu harus mengetahui akhir dari cerita terlebih dahulu. Sama halnya dengan punchline dari sebuah lelucon; jika kamu mengetahui kesimpulan dari leluconnya, kamu akan mengetahui detail dan petunjuk seperti apa yang harus dibocorkan saat cerita disampaikan sebelum akhirnya mencapai puncak cerita. Segala hal yang ada dalam cerita memiliki tujuan; dan setiap jalan memiliki ujung tertentu.
Akan tetapi hidup bukanlah film. Jalan cerita dari film telah tertata rapi. Namun dengan hidup, kita tak akan mengetahui akhirnya sebelum kita sendiri sampai pada titik tersebut. Orang-orang disekitar kita dapat bersedih atau berbahagia saat kita tak lagi di dunia.
Budaya di berbagai belahan dunia memiliki tata cara dan kebijaksanaannya masing-masing saat menghadapi kematian. Contohnya, kitab Buddha Tibet mengajarkan bahwa orang yang sedang berada pada kondisi sekarat harus dihujani dengan rasa cinta tanpa syarat pada momen-momen terkhirnya. Praktik ini akan membebaskan mereka dari segala ekspektasi, dan memungkinkan mereka untuk meninggal dengan tenang.
Selama 5 bulan, Will mencoba untuk menggali dan memahami ilmu kebijaksanaan ini sebagai persiapan untuk mendalami perannya dalam film Collateral Beauty (2016) tentang seorang ayah yang berjuang untuk berdamai dengan kematian anak perempuannya.
Di saat itu juga Will mengetahui bahwa ayahnya dalam kondisi sekarat. Sudah beberapa kali sang ayah bersenggolan dengan kematian. Dia pernah bertahan dari 2 kali serangan jantung saat Will masih kecil. Pada serangan jantung ke dua, tangan kirinya lemas sehingga ia harus mengendarai mobil sendirian ke rumah sakit dengan hanya menggunakan tangan kanan. Namun kali ini sepertinya kesempatan dia yang terakhir. Dampak dari bertahun-tahun merokok dan meminum alkohol dengan keras akhirnya datang juga. Dokter memprediksi bahwa ayah Will memiliki waktu 6 minggu.
Will mempunyai hubungan yang sulit dengan ayah. Dia kerap memukuli Ibu Will dan mengucapkan kata-kata kasar kepadanya. Sebagai seorang anak, Will bersumpah akan membalas apa yang ia perbuat terhadap ibunya. Dalam salah satu momen terkelamnya, Will bahkan pernah berpikir untuk mendorongnya dari anak tangga. Namun dengan ujung hidup dari sang ayah semakin mendekat, rasa balas dendam itu telah meninggalkan pikiran Will. Dia ingin membuat meninggalnya sang ayah menjadi lebih mudah dengan melihatnya sebagai ayah melampaui kesalahannya. Memberi akhir yang layak atas pencapaiannya selama ini.
Di suatu malam, Will duduk di samping ayahnya yang sedang berbaring dan memberi tahunya bahwa ia telah melakukan cukup kebaikan dalam hidupnya. Sang ayah tak mengharapkan Will untuk mengatakan hal ini. Sambil menarik sebatang rokoknya, Sang ayah tak mau mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Ayah telah menjalani hidup dengan baik, ucap Will lagi. Will pun berjanji akan menjaga semua orang yang ayah cintai saat ia telah pergi. Ayahnya pun mengangguk, air matanya berlinang, namun tatapannya tetap tertuju pada layar televisi. Dua minggu kemudian, sang ayah meninggal.
Sekian kawan, semoga bermanfaat!
Add a comment