-
Topik TulisanKesehatan & Nutrisi
-
Sub Judul TulisanAsal Muasal Obesitas
- Berikan Komentarmu
Terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana sebaiknya makanan dikonsumsi. Beberapa berkata bahwa kita harus menghindari lemak agar tubuh lebih sehat. Sementara beberapa yang lainnya menyarankan kita untuk menjadi vegan atau tak mengonsumsi karbohidrat sama sekali. Pada dasarnya, semua “solusi ajaib” itu menawarkan satu hal yang sama: membuat tubuh lapar akan kalori.
Namun apakah cara ini dapat bekerja? Ya untuk sesaat. Tapi sebagai mana yang diketahui oleh para pediet, berat badan yang hilang biasanya tidak akan bertahan lama. Bahkan beberapa dari pediet justru bertambah berat badan jika dibandingkan saat mereka memulainya. Harus ada cara yang lebih baik untuk menjaga berat badan dan merawat kesehatan. Andrew Jenkinson (penulis) percaya bahwa sebaiknya kamu menghindari semua metode itu dan mempelajari bagaimana cara kerja sebenarnya dari metabolisme tubuhmu.
Evolusi dari Organisme Bersel Tunggal dalam Menghasilkan Energi
Cerita ini dimulai sekitar 4 miliar tahun yang lalu ketika planet bumi masih berada pada tahap awal perkembangannya. Di saat itu, langit masih terlihat begitu gelap, laut bumi sering kali mengalami badai tropis, dan bumi masih tak memiliki oksigen. Rantai-rantai kimia sederhana berbasis karbon mengapung dan melayang-layang tanpa tujuan di laut tua bumi (primordial soup). Kemudian secara tak sengaja, rantai kimia tadi menemukan cara untuk mereplikasi dirinya sendiri.
Pada awalnya, replika-replika ini hanya mampu mengintegrasikan zat kimia yang mengapung dengan bebas di sekitarnya ke dalam struktur mereka. Namun beberapa waktu kemudian, mereka memisahkan struktur itu menjadi dua rantai, yang merupakan bentuk primitif dari DNA, dan mulai membentuk salinan baru yang benar-benar mirip. Seiring dengan waktu, replika- replika ini menjadi semakin kompleks hingga terbentuklah mahluk hidup pertama di bumi, yang masih beradap ada tahap evolusi, bernama: bakteri bersel tunggal.
Di dalam dinding protektif sel bakteri merupakan letak dari kode DNA bakteri; formula yang ada di dalam DNA memungkinkan bakteri untuk melakukan reproduksi. Dari sudut pandang evolusioner, bakteri sel tunggal hanya mempunyai satu tugas, yakni: tumbuh dan bertahan cukup lama untuk melahirkan bakteri generasi baru. Tetapi untuk melakukannya, bakteri memerlukan energi. Bakteri pendahulu sangatlah efisien dalam mengonversi makanan menjadi energi yang dapat digunakan oleh berbagai komponen di dalam sel bakteri. Namun karena mereka tidak dapat memproses oksigen, terdapat batasan terhadap jumlah energi yang dapat mereka hasilkan.
Keterbatasan energi ini tentu menjadi penghalang bagi berkembangnya mahluk hidup dengan sistem yang lebih kompleks. Kemudian, sekitar 3 miliar tahun lalu, sebuah bakteri jenis baru yang dapat memproses oksigen muncul. Tak seperti bakteri yang ada, bakteri yang baru merupakan sebuah powerhouse (sumber energi). Ia menyerap banyak sekali makanan dan menciptakan energi dalam “skala industri”. Bakteri lama jelas tak dapat berkompetisi dengan bakteri baru. Alih-alih, mereka membentuk sebuah sinergi. Bakteri lama menelan bakteri baru, namun mereka tak mencernanya, sehingga bakteri baru hidup di dalamnya.
Dengan sinergi ini, kedua pihak mendapatkan keuntungan: bakteri lama mampu memberikan perlindungan dari para pemangsa kepada bakteri baru, namun di saat yang sama bakteri baru menyalurkan energi yang dihasilkannya kepada bakteri lama. Susunan sistem baru antara dua bakteri ini disebut dengan endosymbiosis. Lalu, sampailah kita di masa kini di mana semua mahluk hidup, mulai dari tanaman, ikan, jamur dan hewan menciptakan energi menggunakan sistem “stasiun energi” yang sama yang disebut dengan mitochondria. Tanpanya, hidup di permukaan bumi seperti yang kita tahu tak akan pernah mungkin. Sel tak akan pernah cukup memproduksi energi jika ia berdiri sendiri, apalagi membuat kita bertahan hidup. Untuk memperjelas pemahamanmu, silahkan tonton video ini kawan.
Otak Manusia Membutuhkan Lebih Banyak Energi sehingga Organ Lain Harus Menyesuaikan
Penulis percaya bahwa semua mahluk hidup merupakan keturunan dari nenek moyang bersel tunggal; Ini berarti bahwa semua organisme menciptakan energi dengan cara yang sama. Bagaimana? Mitochondria yang ada di dalam sel mengubah makanan menjadi energi yang kemudian disimpan di dalam molekul yang bertindak layaknya baterai yang disebut dengan adenosine triphosphate, atau ATP. Molekul ATP ini seperti “mata uang” kehidupan. Bahkan virus-virus menggunakannya walaupun sebenarnya mereka merampas ATP dari sel-sel yang mereka serang.
Karena semua organisme memiliki jumlah sel yang terbatas, mereka harus memenuhi semua kebutuhan dan fungsi vitalnya dengan batasan anggaran energi (energy budget) yang ketat. Tiap spesies mempunyai anggaran ini, namun beberapa dari mereka mempunyai cara yang lebih kreatif untuk mengaturnya.
Homo sapiens dengan anatomi modern muncul sekitar 250 ribu tahun yang lalu. Yang membedakan mereka dengan Homo erectus, nenek moyang non-kera yang paling awal, adalah ukuran otaknya. Otak Homo sapiens mengonsumsi sekitar 25% dari kalori yang dikonsumsinya. Lalu bagaimana kita menemukan sumber daya untuk memfasilitasi berfungsinya organ yang sangat "mahal" itu? Jawaban singkatnya adalah, kita melakukan pemotongan konsumsi energi di organ lain.
Anggaran energi dari tiap hewan itu berhubungan dengan ukuran tubuhnya. Semakin besar hewan tersebut, maka semakin banyak sel yang dimilikinya, yang berarti memiliki mitochondria pemroduksi ATP yang lebih banyak. Pada hewan menyusui (mamalia), energi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup tergantung dari berat badannya. Manusia yang berbobot 65 kg membutuhkan lebih banyak energi dari pada seekor anjing, kecuali anjing itu adalah Saint- Bernard yang berukuran 65 kg juga.
Hewan yang anggaran energi nya hampir mirip dengan manusia adalah primata berukuran besar. Contohnya gorilla yang kita asumsikan mempunyai akses yang mudah kepada banyak makanan: Organ mereka mirip dengan manusia dari segi ukuran dan berat, dan mereka juga mampu menghasilkan energi yang sama dengan manusia. Perbedaan mendasarnya adalah otak kita berukuran 4 kali lebih besar dari primata-primata ini. Lalu, dari mana tubuh kita dapat menemukan energi ekstra untuk otak besar ini? Jawabannya terletak pada usus (pencernaan) kita yang jauh lebih pendek, dan tak memerlukan banyak energi, dibandingkan gorilla. Mengapa saluran pencernaan manusia lebih pendek? Karena kita bisa melakukan sesuatu yang gorilla tak bisa lakukan, yakni kita bisa memasak.
Penemuan Api Membentuk Manusia Modern, Baik itu Secara Biologis Maupun Budaya
Mahluk pra-manusia mengembangkan otak yang lebih besar dibandingkan dengan primata lain, jauh sebelum Homo sapiens muncul sekitar 250.000 tahun lalu. Contohnya, Homo erectus bisa memperdaya simpanse sekitar 1 juta tahun lalu. Bukti arkeologis juga memberikan gambaran kepada kita tentang apa yang dapat mereka lakukan dengan energi tambahan pada otak (extra brainpower): mereka mampu menciptakan peralatan dasar dan menyempurnakan ilmu berburu mereka. Lambat tapi pasti, mereka mulai meninggalkan diet vegetarian yang dilakukan oleh saudara primata mereka.
Tak seperti spesies yang lainnya, manusia tak mengembangkan gigi yang lebih tajam dan rahang yang lebih kuat seiring dengan proses evolusinya menjadi predator karnivor. Sebaliknya, ukuran gigi dan rahang justru mengecil. Semakin banyak daging yang dikonsumsi pra-manusia, semakin mereka menjadi manusia. Untuk memahami alasan di balik fenomena ini, kita tak bisa hanya melihat apa yang mereka konsumsi, tetapi juga bagaimana mereka mengonsumsinya.
Di kaki bukit yang berumput di provinsi Northern Cape Afrika Selatan, terdapat kompleks gua besar yang dikenal dengan Wonderwerk. Untuk waktu yang lama, manusia pernah tinggal di gua-gua ini. Sebelum manusia, mahluk-mahluk pra-manusia seperti Homo erectus yang menghuninya. Sebelumnya lagi, gua ini ditinggali oleh kera-kera. Dipercaya bahwa, selama dua juta tahun, Wonderwek telah dihuni oleh hewan mamalia besar.
Kemudian di tahun 2012, para arkeolog menemukan bukti bahwa Homo erectus mulai memasak menggunakan api di dalam Wonderwerk sejak satu juta tahun yang lalu. Api ternyata dimanfaatkan oleh mahluk pra-manusia lebih awal dari yang telah diperkirakan. Namun, mengapa penemuan ini signifikan? Pertama, fakta ini memberi tahu kita bahwa cephalization (proses evolusi otak yang ukurannya lebih besar dari pada umumnya) bertepatan dengan kemunculan teknik memasak dengan api. Inilah yang membantu kita untuk menjelaskan mengapa tubuh manusia mampu mentransfer sumber-sumber energi dari pencernaan ke otak.
Memotong-motong daging sehingga berukuran kecil dan memasaknya dengan api membuat daging lebih mudah untuk dikunyah dan ditelan. Nenek moyang kita tak mengembangkan gigi tajam dan rahang yang lebih besar karena mereka tak memerlukannya. Inovasi teknologi dan budaya telah membantu manusia mempermudah kerja dari organ-organnya. Penggunaan api juga mempermudah mahluk pra-manusia dalam mencerna akar-akaran dan umbi-umbian. Tak seperti makanan mentah, yang memerlukan banyak energi untuk bisa diubah menjadi bahan bakar tubuh, makanan yang telah dimasak itu seakan sudah dicerna sebelumnya. Memasak dengan api membantu kita menguraikan ikatan-ikatan molekul makanan dan membuat nutrisi yang sulit diakses menjadi lebih mudah.
Gorila mempunyai saluran pencernaan yang lebih panjang dari manusia karena makanan yang mereka konsumsi adalah makanan mentah yang sulit untuk dicerna. Makanan matang adalah makanan yang lebih efisien untuk diubah menjadi bahan bakar. Hasilnya, saluran pencernaan manusia menjadi lebih kecil dan pendek sehingga dapat memberikan energi tambahan untuk otak.
Keberlangsungan Tubuh Dapat Dijaga Karena adanya Negative Feedback System
Sejauh ini kita telah mengikuti jejak evolusi yang dimulai dari bakteri bersel tunggal hingga menjadi Homo sapiens pemakan daging dan berotak besar. Yang menjadi pembicaraan utama dalam setiap perkembangan mahluk adalah energi. Namun sebelum kita melanjutkan eksplorasi tentang bagaimana kita menciptakan dan menggunakan energi, kita harus membicarakan tentang negative feedback systems (sistem umpan balik negatif) terlebih dahulu.
Hampir semua sistem membutuhkan negative feedback. Misalkan saja kantor, ia mempunyai sekumpulan aturan, salah satunya adalah kantor hanya beroperasi dari jam sembilan pagi sampai lima sore. Ketika terjadi penyimpangan dari peraturan ini, sistem tersebut akan membenarkan dirinya. Misalkan salah seorang karyawan selalu datang terlambat, oleh karenanya manajernya menegur sang karyawan untuk mengikuti peraturan yang ada. Umpan balik negatif dari sang manajer menyelaraskan perilaku karyawan dengan peraturan yang ada pada sistem. Tubuh kita juga bekerja dengan cara yang sama.
Sebuah negative feedback system membutuhkan dua komponen, yakni: sebuah sensor dan sebuah sakelar (switch). Sensor berfungsi untuk mendeteksi penyimpangan. Saat penyimpangan terjadi, sakelar akan terpicu sehingga ia akan mengembalikan sistem untuk bekerja seperti apa yang telah diperintahkan. Dalam conton kantor tadi, sang manajer merupakan sensor. Dia mendeteksi adanya karyawan yang datang terlambat dan mengeluarkan sebuah peringatan verbal yang merupakan sakelar untuk mengubah perilaku dari karyawan tersebut.
Tubuh kita juga memiliki negative feedback system. Misalkan saja tentang hidrasi. 60% dari tubuh kita merupakan air, dan kita hanya dapat berfungsi jika kita dapat menjaga tingkat air dalam tubuh pada angka tersebut. Dehidrasi (hilangnya cairan tubuh) mengakibatkan pusing, tubuh terasa lemas, dan pada akhirnya kematian jika dibiarkan. Sebaliknya, hidrasi berlebihan (over-hydration) dapat mengakibatkan kejang fatal yang sama berbahayanya. Koreksi dari situasi ini pada waktu yang tepat adalah kunci untuk menjaga keberlangsungan tubuh.
Ginjal merupakan sensor hidrasi kita. Ketika ginjal mendeteksi bahwa kita telah mengonsumsi terlalu banyak atau terlalu sedikit air, ia akan menggunakan hormon bernama renin untuk mengirimkan pesan pada dua buah sakelar. Sakelar pertama mengendalikan rasa haus sehingga kita tahu seberapa banyak air yang harus dikonsumsi. Sakelar kedua mengatur berapa banyak air yang harus dikeluarkan dari tubuh melalui urine.
Katakanlah kamu belum meminum apapun selama 12 jam. Ginjal mendeteksi ini dan memicu reaksi sakelar pertama. Kemudian otak menerima sinyal rasa haus dan membuatmu hanya memikirkan tentang di mana air bisa ditemukan. Di saat yang sama, ginjal mematikan sakelar kedua. Inilah alasannya mengapa urine mu berwarna lebih gelap dan lebih terkonsentrasi saat kamu mengalami dehidrasi, ginjalmu sedang mencoba untuk menjaga tingkat cairan tubuh. Sebaliknya, jika kamu terlalu minum banyak air, ginjal akan menonaktifkan sakelar rasa haus dan meningkatkan produksi urine. Tidak hanya urine, tubuh menggunakan sistem yang sama untuk mengendalikan konsumsi energi dan penyimpanannya.
Makan Berlebihan (Overeating) Meningkatkan Level Pembakaran “Bahan Bakar” Kita
Air bukanlah satu-satunya hal yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Tubuh kita juga membutuhkan energi untuk menjaga sel dan organ tubuh tetap bekerja. Melihat sejarah di masa lalu, dulunya makanan dianggap sebagai sesuatu yang langka. Dengan masa paceklik yang kerap menjadi ancaman, memprediksi secara akurat akan berapa banyak energi yang perlu disimpan untuk masa depan merupakan sebuah keuntungan evolusioner. Akan tetapi, tubuh ini tak mampu menimbun energi tanpa batas; mencoba untuk melakukan itu hanya akan membuat tubuh begitu gemuk sampai-sampai tak mampu bergerak, dan justru ini akan menjadi hambatan. Lalu bagaimana tubuh menyikapi hal ini? Ya, tubuh juga memanfaatkan negative feedback system.
Di tahun 1976, seorang peneliti Amerika bernama Ethan Sims mengadakan sebuah percobaan dengan para sukarelawan dari narapidana penjara negara di Burlington, Vermont. Sims tertarik untuk mempelajari tentang obesitas. “Apa yang terjadi jika manusia secara sengaja makan berlebihan selama tiga bulan untuk meningkatkan berat badan mereka sebesar 25%?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sims meningkatkan asupan kalori harian dari para tahanan yang awalnya 2200 menjadi 4000 kalori (hampir dua kali lipat dari kebutuhan kalori laki-laki dewasa). Seperti yang diperkirakan, berat badan mereka meningkat dengan cepat. Namun setelah beberapa saat, sesuatu yang aneh terjadi. Walaupun mereka mengonsumsi makanan yang penuh kalori, penambahan berat badan justru mendatar setelah mencapai titik tertentu. Penasaran dengan hal ini, Sims menambah asupan tahanan menjadi 10.000 kalori. Mengejutkannya, banyak dari partisipan yang masih saja gagal menambah berat badan. Apa yang terjadi?
Jawabannya muncul saat Sims mengukur tingkat metabolisme para tahanan (atau seberapa cepat tubuh mereka membakar energi). Beliau menemukan bahwa tingkat metabolisme dari setiap relawan telah meningkat; mereka membakar kalori pada tingkatan di atas rata-rata.
Beberapa waktu setelahnya, sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa ini bukanlah anomali. Di tahun 2006, para peneliti di Mayo Clinic Rochester, Minnesota, mengamati 21 percobaan overfeeding (pemberian makanan berlebihan); dan terkonfirmasi bahwa overfeeding meningkatkan laju metabolisme sebesar 10%. Data-data tersebut membuktikan bahwa tubuh mencoba untuk melindungi kita dari penambahan berat badan berlebihan seperti yang dilakukan oleh ginjal kita untuk mencegah terjadinya over-hydration (hidrasi berlebihan). Jika ini adalah yang terjadi, berarti tubuh kita juga akan melidungi kita dari hilangnya berat badan (weight loss) bukan?
Pembatasan Asupan Kalori Menurunkan Tingkat Metabolisme
Aturan pertama dari metabolisme datang dalam bentuk sebuah persamaan: energi masuk dikurangi energi keluar sama dengan energi yang disimpan. Mari coba kita jabarkan aturan ini menjadi sedikit lebih tidak abstrak. Tiap makanan pasti mengandung energi yang bisa tubuh konversikan menjadi panas, gerakan, dan pikiran. Jika kamu mengonsumsi kalori lebih dari yang kamu habiskan, kamu akan menyimpan energi yang tak digunakan di dalam sel lemak. Menurut persamaan ini, hilangnya berat badan harusnya menjadi hal yang sederhana: yang kamu harus lakukan hanyalah membakar lebih banyak energi dari pada yang dikonsumsi. Dan memanglah ini yang menjadi kunci dari sebagian besar pola diet di luar sana. Namun kenyataannya tidak sesederhana ini. Setelah hilangnya berat badan di awal, para pediet biasanya tak akan kehilangan berat badan setelah mencapai titik tertentu. Justru sering kali, berat badan mereka cenderung naik setelah berhenti diet. Untuk mengerti penyebabnya, kita perlu memahami fisiologi dari diet melaparkan diri.
Di tahun 1944, Ancel Keys, seorang ilmuwan nutrisi yang sedang naik daun dari Minnesota University merancang sebuah studi untuk melihat apa yang terjadi pada tubuh seseorang saat ia melaparkan diri. Para relawan penelitian ini diizinkan untuk mengatur pola makannya sesuai dengan pola kerja mereka sebagai pekerja kasar. Namun selama 12 minggu kedepan, kalori yang mereka konsumsi dibatasi pada 3200 per hari. Setelah 3 bulan berlalu, jumlah kalori ini dikurangi menjadi 1500 per harinya (kondisi setengah kelaparan) yang dilakukan selama 3 bulan tambahan. Setelah 6 bulan berlalu, tingkat metabolisme dari partisipan menurun. Ini bukanlah hal yang mengejutkan. Pada umumnya, orang yang berbobot lebih besar mempunyai tingkat metabolisme yang lebih cepat dari pada orang yang berukuran kecil. Awalnya, Keys memprediksi bahwa tingkat metabolisme akan turun sebesar 25%, akan tetapi yang terjadi justru tingkat metabolism turun sebesar 50%. Saat memeriksa lebih jauh, dia juga menemukan bahwa detak jantung para relawan menjadi lebih lesu dan lebih lambat. Bahkan suhu tubuh mereka pun ikut turun, seakan tubuh ingin berhenti berfungsi.
Pola makan seperti ini juga memiliki dampak jangka panjang. Saat partisipan kembali ke diet normal mereka, berat badan mereka justru naik dengan begitu cepat – ini merupakan sebuah perkembangan yang Keys kaitkan dengan metabolisme yang “tertahan”. Setiap relawan dalam penelitian berujung memiliki berat badan lebih jika dibandingkan dengan saat mereka berpartisipasi pada penelitian pertama kali, dan banyak dari masa otot tubuh tergantikan oleh timbunan lemak.
Jadi mengurangi konsumsi kalori itu sama seperti mengurangi asupan air yang memicu terjadinya negative feedback. Dihadapkan dengan kelaparan, tubuh mencoba untuk menyimpan energi sebanyak mungkin dengan menurunkan tingkat metabolisme. Sekarang kita bisa mengerti mengapa diet sangat mungkin untuk gagal. Tubuh tak mengetahui bahwa apakah terbatasnya jumlah kalori yang masuk disebabkan oleh fenomena musim paceklik (langka makanan) atau karena keinginan pribadi. Karena tubuh cenderung mengutamakan keberlangsungannya, ia menganggap bahwa yang terjadi adalah kelangkaan makanan, sehingga tubuh terpicu untuk menghemat energi yang memperbesar kemungkinannya untuk dapat bertahan hidup. Saat kamu kembali kepada pola makan normal, tubuh tetap menjaga metabolisme pada level rendah untuk memastikan bahwa kamu memiliki energi yang cukup untuk bertahan yang berdampak pada penambahan berat badan dengan lebih cepat.
Hormon Leptin Mengendalikan Berat Badan Kita
Jika kita berhenti membatasi asupan kalori dan kembali ke diet normal, tingkat metabolisme tubuh tidak dapat kembali begitu saja ke tingkatan yang dahulu. Tubuh tetap saja membakar “bahan bakar” dengan lambat dan menyimpan energi dalam sel lemak (sebagai “tandon keamanan” (safety buffer) jika saja pembatasan asupan kalori, yang dianggap tubuh sebagai musim paceklik makanan, masih terjadi). Ini merupakan alasan mengapa diet asupan kalori tak dapat bekerja; biologi tubuh bekerja untuk melawan kondisi kepalaran. Namun tubuh juga mencegah kita untuk menambah banyak berat badan dengan meningkatkan tingkat metabolismenya saat ia terlalu diberi banyak makanan (overfeeding). Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem negative feedback terkait energi ini?
Di tahun 1994, Jeffrey Friedman, seorang ahli genetika molekuler dari AS menemukan sebuah hormone yang bernama leptin. Penemuan ini memberikan peneliti jawaban yang dapat menjelaskan bagaimana sistem negative metabolic feedback bekerja.
Ingatkah kalian tentang bagaimana ginjal menggunakan hormon renin untuk mengirimkan pesan? Ternyata, sel lemak bekerja dengan cara yang mirip. Sel lemak menggunakan hormon leptin untuk berkomunikasi dengan hypothalamus, bagian pusat otak yang mengendalikan berat badan (weight-control center). Leptin memberi tahu hypothalamus seberapa banyak jumlah energi tang telah disimpan oleh tubuh. Kemudian otak menggunakan informasi tersebut untuk mengoperasikan dua buah sakelar: pertama untuk mengendalikan rasa lapar, kedua untuk meningkatkan atau menurunkan tingkat metabolisme.
Ketika kita makan berlebihan dan menyimpan energi lebih pada sel lemak, sel-sel tersebut kemudian melepaskan leptin ke dalam aliran darah. Hypothalamus membaca pesan ini dan menyadari bahwa tubuh memiliki energi yang cukup dan memicu kedua sakelar (switches) yang membuat selera makan turun dan mempercepat metabolisme. Mekanisme inilah yang akhirnya membatasi masuknya energi tambahan dan menguras sisa kelebihan energi dengan lebih cepat sehingga mencegah terjadinya lonjakan berat badan.
Leptin juga berperan dalam mencegah hilangnya berat badan. Ketika kita membatasi jumlah kalori yang masuk, jumlah dari sel lemak pada tubuh secara otomatis ikut menurun sehingga hormon leptin yang diproduksipun ikut merosot. Ini menjadi sinyal bagi hypothalamus untuk meningkatkan selera makan dan menurunkan kecepatan metabolisme badan. Mekanisme inilah yang berperan dalam memperlambat hilangnya berat badan dan memungkinkan kita untuk menambah berat badan dengan cepat saat makanan berkalori kembali tersedia.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa tubuh kita seharusnya mampu untuk menjaga kondisi dan ukuran badan kita agar tetap ideal. Seperti sistem hidrasi yang menghentikan kita dari meminum terlalu banyak air, sistem metabolisme energi seharusnya dapat mencegah kita dari mengonsumsi terlalu banyak makanan. Sayangnya, bukan ini yang terjadi di dunia – obesitas telah menjadi epidemi kesehatan global, terutama pada negara-negara barat. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kebanyakan Makanan Barat Modern Memicu Fenomena Obesitas
Nenek moyang kita merupakan kelompok hunter-gatherers (pemburu-pengumpul). Daging dan umbi-umbian bertepung seperti ubi jalar dan ubi manis menjadi makanan utama mereka. Mereka juga suka dengan jeroan berlemak seperti hati dan sumsum tulang. Sayur-sayuran alami, buah-buahan, biji-bijian, kacang dan rempah-rempah menjadi pelengkap makanan mereka. Tubuh manusia modern masih sangat mirip dengan tubuh homo sapiens di masa lalu, namun makanan yang kita konsumsi dengan mereka cukup berbeda.
Menurut hasil survei di tahun 2016 yang menganalisa kebiasaan makan dari 9000 orang Amerika, hampir 60% dari asupan kalori harian berasal dari makanan olahan. Data dari negara barat lainnya juga memiliki pola yang sama. Manusia modern jauh lebih sedikit mengonsumsi lemak alami, memakan lebih banyak gula dan minyak sayur olahan industri. Kebiasaan makan ini ternyata menyabotase sistem negative metabolic feedback yang didesain untuk melindungi tubuh dari obesitas.
Di tahun 1970-an, penyakit jantung merebak di masyarakat. Dalam menghadapi krisis kesehatan publik ini, pemerintah mencoba mencari jawaban melalui penelitian. Sayangnya para ilmuwan yang diandalkan oleh pemerintah bukanlah pihak yang mampu memberikan jawaban secara objektif. Ini dikarenakan banyak penelitian yang berpengaruh didanai menggunakan uang yang bersumber dari perusahaan-perusahaan berkepentingan. Pelobi penelitian terbesar datang dari industri gula, oleh karenanya mereka menjadikan lemak jenuh yang ditemukan pada daging merah, produk susu, dan mentega sebagai penyebab utama (atau kambing hitam) dari krisis kesehatan ini. Risiko kesehatan yang datang dari konsumsi gula yang terus meningkat justru disembunyikan.
Mulai di tahun 1980-an, pemerintah meluncurkan kampanye yang menentang konsumsi dari lemak tersebut. Dan menurut penulis, keputusan ini menjadi salah satu akibat utama dari epidemi obesitas yang terjadi sekarang. Mengapa? Konsumsi dari minyak sayur seperti minyak bunga matahari, canola, dan kedelai telah meningkat tiga kali lipat semenjak pemerintah mendesak kita untuk mengabaikan lemak jenuh. Minyak sayur olahan ini mengandung banyak lemak omega-6 (sejenis lemak tak jenuh ganda, polyunsaturated fat, yang dikandung oleh kacang dan biji-bijian). Namun omega-6 dapat menyebabkan dua hal: Pertama, omega-6 dapat menstabilkan lemak yang membuat mereka semakin terlindung dari kerusakan/basi (membantu para produsen memotong biaya). Kedua, omega-6 dapat menumpulkan efektivitas dari leptin (yang sebenarnya membantu tubuh kita tetap langsing); ini adalah hal yang buruk bagi kesehatan kita.
Pedoman pemerintah untuk mengurangi lemak jenuh dalam produk makanan memunculkan dilema bagi para produsen: “Bagaimana caranya untuk menghasilkan makanan enak yang membuat seseorang ketagihan tanpa menggunakan mentega?” Jawabannya adalah dengan menggunakan banyak gula. Sejak 1980, terdapat peningkatan konsumsi gula sebesar 20% oleh masyarakat pada umumnya. Ini mengacaukan tingkat gula darah di tubuh kita. Ketika tingkat gula darah melonjak, kita memproduksi terlalu banyak insulin yang sebenarnya menyebabkan sel-sel menyerap lebih banyak gula dari darah. Mekanisme ini menurunkan kadar gula dalam darah dan membuat kita mengidam-idamkan lebih banyak gula (yang juga mendorong kita untuk mengonsumsi lebih banyak makanan). Secara biologis, tubuh kita telah diprogram untuk mencegah terjadinya obesitas. Namun makanan di sekitar kita telah membajak program tubuh kita.
Semoga bermanfaat kawan!
Add a comment