-
Topik TulisanManajemen & Kepemimpinan
-
Sub Judul TulisanMengamati Letak Kegagalan Startup
- Berikan Komentarmu
Jika kamu adalah salah satu pendiri dari sebuah startup, maka kamu sedang berada dalam sebuah perjalanan yang membutuhkan banyak kerja keras, kecerdikan, dan keberanian. Layaknya seorang kapten yang sedang memandu awak kapal melalui perairan yang penuh dengan rintangan, kemungkinan kapal untuk tenggelam cukup tinggi jika tak dikendalikan dengan benar. Agar startup mampu bertahan dan berkembang, yang seorang kapten butuhkan adalah sebuah “peta yang jelas” untuk menghadapi risiko yang terlihat sepele namun berefek mematikan. Peta ini datang dalam bentuk kerangka kerja (framework) yang mengevaluasi fungsi dari berbagai “komponen” startup dan di mana saja letak titik-titik tekanan (pressure points) yang menghambat perkembangan startup.
Untuk Mengevaluasi “Kesehatan” dari Startup, Diperlukan Kerangka Kerja (Framework) yang Dapat Diandalkan
Profesor Tom Eisenmann dari Harvard Business School adalah seorang yang ahli di bidang startups. Namun setelah meneliti startup selama 20 tahun, baru akhir-akhir ini beliau mendapatkan “tamparan keras”. Beliau pernah menginvestasikan uang pribadinya pada dua usaha yang didirikan oleh mantan muridnya; malangnya, beliau terpaksa ikut menanggung kerugian atas kegagalan yang dilanda oleh dua startups tersebut. Di samping itu, beliau tidak benar-benar mengetahui di mana letak utama dari kegagalan startups binaannya. Karenanya, beliau mulai menganalisa lebih dalam terkait dengan performa startups, dan cenderung mengesampingkan isu keadaan ekonomi yang lemah sebagai alasan kegagalan. Beliau berhasil mengidentifikasi bahwa terdapat 4 hal penting (crucial opportunities) yang harus diperhatikan oleh para pendiri untuk memeriksa “kesehatan” dari startups.
Hal penting pertama yang harus diperhatikan adalah “ide bisnis cemerlang” dari para pendiri. Ide ini harus benar-benar bisa memberikan solusi unik terhadap kebutuhan dari para calon pelanggan. Solusi tersebut haruslah efektif dalam memecahkan masalah dan berbeda dari apa yang ada di pasar pada saat ini.
Hal penting kedua adalah teknologi dan operasi. Ini terkait dengan sistem secara keseluruhan yang dibutuhkan untuk menciptakan produk, mengirimkan produk ke pelanggan, dan bagaimana seharusnya layanan purna jual (after sales) dilaksanakan.
Hal penting ketiga adalah profit formula (rumus untuk mendapatkan keuntungan). Formula ini dapat membantumu memproyeksikan jumlah pendapatan yang diperoleh dari penjualan, serta mengalkulasi berapa biaya yang harus dihabiskan untuk mencapai pendapatan tersebut. Profit formula yang kokoh akan dapat membantumu mengatur arus kas perusahaan dengan baik sehingga kegiatan operasional dapat berjalan dengan lancar.
Hal penting keempat adalah marketing (pemasaran). Ini terkait dengan cara perusahaan untuk mengkomunikasikan seputar produknya dan meyakinkan para calon pelanggan untuk menggunakan produk perusahaan. Kombinasi antara kualitas produk yang baik dengan strategi marketing yang efektif akan menghasilkan brand ambassador yang bersedia untuk mempromosikan produkmu tanpa harus dibayar.
Agar dapat bersaing di pasar, 4 aspek penting tersebut harus dapat saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Pendiri (Founder) Yang Memiliki Pengetahuan Terbatas Terkait Dengan Industri Akan Gagal Bersaing
Di bulan Maret tahun 2012, dua orang lulusan Harvard Business School, Alexandra Nelson dan Christina Wallace, meluncurkan startup yang bernama Quincy Apparel - sebuah perusahaan pemroduksi pakain bisnis untuk wanita dengan sistem ukuran pakaian yang unik (unique sizing system) sehingga pakaian terasa nyaman dikenakan dan terlihat pas di badan pelanggan. Dua pendiri ini terkenal dengan kecerdikannya. Mereka telah melaksanakan riset pasar, mengadakan pameran di beberapa tempat agar para calon pelanggan bisa mencoba sampel pakaian secara langsung, dan juga mendapatkan pendanaan awal (seed capital) sebesar USD 950.000. Pada awalnya, penjualan terlihat menggembirakan; 39% wanita yang membeli produk mereka di musim semi membeli lebih banyak item di musim gugur. Namun di balik layar, masalah lain mulai muncul. Walaupun para pendiri telah merekrut beberapa ahli di bidang fashion, mereka sendiri tak memiliki pengetahuan di industri tersebut. Ini adalah penyebab utama mengapa Quincy Apparel tak mampu bertahan lebih dari satu tahun setelah didirikan.
Di atas kertas, Wallace dan Nelson mempunyai kemampuan untuk menjalankan bisnis dengan benar. Dengan karismanya, Wallace mampu untuk menjual visi yang dijunjung oleh Quincy ke calon pelanggan. Sementara Nelson, seorang engineer yang terlatih, bertanggung jawab atas hal-hal analitis yang ada di perusahaan, di antaranya dalam hal strategi dan operasi. Setelah lulus kuliah, Nelson juga pernah memanfaatkan hari-hari musim panas nya untuk bekerja melakukan optimalisasi terhadap aspek persediaan barang (inventory) dari Hermès.
Namun sayangnya mereka berdua tak benar-benar memahami peran-peran spesial yang harus dikuasai oleh perusahaan pemroduksi garmen, seperti: pembuatan pola, pembuatan sampel, dan technical design. Bahkan mereka berencana untuk melakukan desain garmen secara mandiri dan hanya mempekerjakan seorang product manager untuk mengawasi proses manufaktur garmen. Keterbatasan pengetahuan ini menciptakan berbagai macam isu-isu operasional, mulai dari pemesanan bahan pakaian (fabric) yang tidak sesuai hingga tak memahami konvensi ukuran (sizing conventions). Tingkat pengembalian pakaian oleh pelanggan ke Quincy lebih tinggi 15% dari apa yang telah diprediksikan oleh Nelson; 68% dari mereka yang mengembalikan pakaian beralasan bahwa ukuran pakaian kurang pas di badan. Fakta ini membuktikan bahwa Quincy telah gagal untuk memenuhi janji “business attire that fit well” kepada pelanggan. Mau tidak mau, pengembalian pakaian ini menggerus keuntungan Quincy.
Dari kaca mata penulis, Quincy telah memenuhi tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh startup, yakni – ide yang bagus, pemasaran yang matang, dan profit formula yang masuk akal. Namun dari segi opersional, mereka masih sangat kurang berpengalaman; inilah yang menjadi titik kegagalan utama dari Quincy.
Jadi sangat disarankan jika startup mu bergerak di bidang atau industri yang tidak kamu kuasai, lakukan hal-hal lain yang dapat mengompensasi keterbatasan tersebut. Ajak orang yang kamu percaya untuk menjadi co-founder (pendiri), atau jalin kerjasama dengan seorang ahli yang dapat memberikan kamu arahan-arahan penting. Atau sebagai alternatifnya, perkaya dirimu dengan pengetahuan di industri tersebut agar kamu memiliki strategi perekrutan yang baik; dengan begitu, kamu akan memiliki gambaran yang jelas mengenai tim seperti apa yang perlu kamu bangun sehingga kesalahan fatal bisa dihindari.
Pendiri Startup yang Tak Memahami Pelanggan Akan Gagal
Sunil Nagaraj, seorang mahasiswa di Harvard Business School, memiliki ide untuk membuat software yang mampu melihat tingkat kecocokan antara mereka yang masih lajang berdasarkan data-data perilaku yang diperoleh dari penggunaan internet - mulai dari tontonan seperti apa yang mereka saksikan hingga musik seperti apa yang mereka dengarkan. Sunil berencana untuk mematenkan software nya yang ia beri nama Triangulate, setelah itu menjualnya dengan harga premium ke perusahaan-perusahaan penyedia jasa kencan (dating companies).
Untuk melihat apakah data perilaku penggunaan internet dapat mengindikasikan tingkat kecocokan antara dua orang, Sunil melakukan pengujian terhadap 100 orang relawan. Sayangnya, software yang ia buat tidak berfungsi pada komputer dari beberapa relawan, yang mengakibatkan distribusi dari hasil pengujian cenderung tidak simetris. Tak kehilangan semangat, Sunil tetap melangkah dan terus memperbaiki softwarenya. Namun tanpa pengetahuan mengenai kondisi pasar, ia seperti melangkah dengan mata tertutup.
Sunil sangat tidak sabar untuk membangun software tersebut, sampai-sampai ia melakukan kesalahan yang sering kali dilakukan founder, yakni the false start (awal yang salah). Ia menginvestasikan waktu dan uang pada sebuah produk sebelum ia mengonfirmasi bahwa terdapat kebutuhan akan solusi tersebut. Alih-alih melakukan riset pasar, Sunil mengasumsikan bahwa perusahaan penyedia jasa kencan bersedia untuk membayar harga mahal. Namun kenyataannya, banyak orang menilai bahwa algoritma tidak cukup mambantu untuk memilih profil dari seseorang yang mereka sukai. Proses pengambilan keputusan yang dilalui tidak sama dengan saat mereka memilih penyedia jasa keuangan yang mengharuskan mereka untuk benar-benar tahu detil dari produk yang ditawarkan.
Sunil juga gagal dalam mempertimbangkan apakah para pengguna jasa bersedia ketika jejak-jejak mereka di internet terus diawasi, yang mana ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap privasi. Penulis berpendapat bahwa dari awal, ide tersebut memiliki kecacatan. Jikalau Sunil sudah melakukan survei terhadap orang yang menggunakan jasa kencan daring terlebih dahulu, maka ia akan sadar tentang isu ini lebih awal. Berbekal informasi tersebut, ia dapat mempertimbangkan ulang apakah menginvestasikan waktu dan uang di produk tersebut merupakan hal yang terbaik.
Seperti seseorang yang “jatuh cinta pada pandangan pertama”, sangat mudah bagi para pendiri untuk terburu-buru membuat prototipe atau minimum viable product sebelum mereka melakukan riset. Padahal menurut penulis, menciptakan prototipe adalah langkah terakhir yang harusnya diambil sebelum produk yang sebenarnya diproduksi; bukan langkah awal. Penciptaan MVP hanya bisa terjadi saat kamu sudah memahami siapa target pelangganmu dan apa kebutuhannya sehingga desain prototipe yang kamu buat sesuai dengan keinginan mereka.
Tak Menganalisa Pertumbuhan (Growth) Sejak Dini Dapat Menyebabkan Kegagalan Startup
Di tahun 2014, Lindsay Hyde mendirikan sebuah perusahaan pet-care (perawatan hewan peliharaan) yang diberi nama Baroo. Gerai pertamanya ia buka di lantai dasar dari sebuah gedung residensial di Selatan Boston. Lindsay menawarkan layanan kelas bintang lima untuk jasa-jasa perawatan seperti: grooming, dog walking, play dates, dan feeding. Tak butuh waktu lama, nama Baroo dikenal oleh seluruh penghuni di satu gedung tersebut. Lindsay sangat gembira dengan kesuksesan pertamanya dan komisi sebesar 6% yang mereka hasilkan.
Melihat hal ini, 4 gedung lain di Boston meminta Baroo untuk membuka gerai di lokasinya. Kemudian tanpa pikir panjang, Baroo melakukan ekspansi gerai ke 25 gedung yang ada di Chicago. Satu tahun setelahnya, Baroo juga membuka gerai di Washington DC dan New York. Dengan ekspansi yang begitu cepat di pertengahan tahun 2017, Lindsay menjadi abai terhadap kondisi keuangan Baroo yang sedang berdarah-darah. Di bulan Februari tahun 2018, terpaksa Baroo dinyatakan bangkrut. Menurut penulis, keruntuhan ini disebabkan oleh gagalnya Baroo untuk mengidentifikasi seperti apa perilaku dan karakteristik dari para pengadopsi awal (early adopter) jasa Baroo di Boston Selatan. Sangat mungkin target customer yang tinggal di wilayah berbeda memiliki karakteristik yang berbeda pula.
Proses ekspansi yang terlalu cepat mengakibatkan runtuhnya kegiatan operasional, mengganggu kestabilan kondisi tim, serta melukai hubungan Baroo dengan partner dan pelanggannya. Namun ini hanyalah efek samping. Menurut penulis, yang menjadi penyebab utama dari keruntuhan Baroo adalah fenomena false positive yang terjadi ketika para founders salah dalam menginterpretasikan kesuksesan startup di tahap awal. Berdasarkan kesuksesannya di awal, pendiri berasumsi bahwa calon pelanggan yang menjadi target di wilayah lain akan menerima produk mereka dengan tingkat antusiasme yang sama. Dalam kasus Baroo, founder percaya bahwa sekitar 70% pemilik hewan peliharaan di gedung- gedun daerah lain akan menggunakan jasa Baroo; sayangnya, bukan ini yang terjadi.
Lindsay gagal untuk mempertimbangkan kondisi-kondisi spesifik yang membawanya kepada keberhasilan di Boston Selatan. Alasan pertama adalah karena gedung di gerai pertamanya relatif baru, hanya ada sedikit penghuni yang sudah berlangganan dengan jasa pet-care di daerah lokal. Selain itu, banyak dari pemilik hewan di sana merupakan kru film Hollywood yang harus berpindah lokasi ke Boston untuk sementara dalam rangka pengambilan gambar; di samping itu, mereka memiliki banyak uang namun tak memiliki banya waktu, sehingga jasa yang ditawarkan Baroo sangat sesuai dengan kebutuhan mereka. Karakateristik pelanggan Baroo di sana sama sekali tidak mewakili kondisi target pelanggan Baroo di pasar mainstream.
Agar tak salah dalam menginterpretasikan kesuksesan di tahap awal, coba analisa apakah karakteristik dari para pengadopsi awal produk sudah mewakili karakteristik dari calon pelanggan mainstream; atau adakah kejadian luar biasa yang mempengaruhi kesuksesan mu? Jika memang startup sudah berjalan dengan baik, jangan terlalu terburu-buru untuk melakukan ekspansi. Untuk mendengarkan podcast yang membahas kegagalan Baroo langsung dari penulis dan CEO nya, klik di sini.
Startups Yang Terlalu Cepat Melakukan Ekspansi, Cepat Gagal Pula
Fab.com adalah sebuah website penjual perabot dan barang-barang rumah tangga yang memberikan potongan besar dalam waktu singkat (flash sale). Fab.com memiliki segala hal yang diperlukan untuk menjadi perusahaan besar: Jason Goldberg, yang sukses mendirikan startup lain dan berhasil mengumpulkan dana sebesar USD 170 juta dari VC untuk Fab, memegang kendali utama dari Fab.com. Dalam waktu 12 hari setelah pembukaan, Fab mencatatkan penjualan barang yang nilainya setara dengan USD 600.000. Tiga tahun setelah diluncurkan, Fab melakukan ekspansi ke Eropa. Ekspansi ini memaksa Fab untuk menghabiskan uang sebesar USD 14 juta per bulan agar mampu bertahan. Untuk mengurangi baiaya operasional, Fab memberhentikan 80% tenaga kerjanya di AS dan fokus untuk bersaing di pasar Eropa. Namun pada tahun ke-4, Goldberg harus menutup operasi di AS sepenuhnya. Dengan bertumbuh terlalu cepat, Fab telah menuntun dirinya sendiri ke jurang kematian.
Fab adalah korban dari fenomena speed trap. Fenomena ini terjadi ketika sebuah stratup mengalami kesuksesan awal yang luar biasa dan mendapatkan banyak pendanaan untuk mendorong pertumbuhan ekstra cepatnya. Namun terkadang, kesuksesan awal ini merupakan tanda dari market yang mulai tersaturasi / jenuh. Pada tahun kedua saja, Fab menghabiskan uang sebanyak USD 40 juta hanya untuk iklan. Namun upaya inipun tak mampu memperbanyak jumlah pelanggan yang sepertinya sudah mencapai puncaknya.
Agar terbebas dari arus speed trap, founder dapat melaksanakan tes RAWI (Ready, Able, Willing dan Impelled). Lalu bagaimana penjelasan dari RAWI?
Pertama, coba evaluasi apakah startup mu sudah “ready” (siap) untuk berkembang (scale- up)? Apakah model bisnis dari startup mu sudah teruji? Apakah kamu yakin bahwa customer base (pelanggan setia) dari perusahaan masih memiliki ruang untuk tumbuh? Apakah perusahaan memiliki margin keuntungan yang cukup untuk bertahan ketika tingkat pertumbuhan pelanggan lebih rendah dari apa yang telah diharapkan?
Kedua, coba evaluasi apakah startup mu “able” (mampu). Apakah perusahaan mampu mengakses sumber daya yang dibutuhkan untuk tumbuh dengan cepat, termasuk jumlah staff? Dan akankah startup mampu untuk melatih dan mengatur jumlah staff yang lebih banyak?
Ketiga, apakah pendiri memiliki kemauan (“willing”) untuk tumbuh? Sebagai founder, kamu harusnya paham bahwa memperbesar ukuran perusahaan akan meningkatkan beban kerja dan tingkat stress. Contohnya, saat kamu menggalang dana dari venture capital sebagai bahan bakar untuk tumbuh, ini akan memperkecil porsi dari saham (equity) yang dimiliki oleh para original founder. Atau dengan kata lain, kamu akan mengalami lebih banyak tekanan untuk uang yang lebih sedikit.
Terakhir, apakah startup memiliki dorongan dari dalam (“impelled”) untuk tumbuh? Ataukah pendiri memutuskan untuk scale-up hanya karena kemunculan dari kompetitor dan kamu ingin memenangkan sebagian besar pangsa pasar saja? Jika memang ini alasannya, kamu harus yakin bahwa biaya untuk mendapatkan pelanggan baru tak melebihi keuntungan. Dengan meninjau tiap poin ini secara triwulanan, kamu dapat mengevaluasi dengan lebih baik apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk scale-up. Jangan melangkah jika hanya ada ruang yang terbatas untuk tumbuh.
Startups Tanpa Manajemen Senior Yang Tepat Akan Gagal
Dot & Bo adalah sebuah perusahaan e-commerce yang menjual perabot dan pernak-pernik dekorasi rumah dalam bentuk paket-paket yang telah ditata agar terlihat seperti dekorasi yang ada di TV Shows. Startup ini didirikan oleh seorang pengusaha bernama Anthony Soohoo di awal tahun 2013 dengan jumlah pelanggan setia yang terus meningkat dan mampu menghasilkan pendapatan sebesar USD 15 juta di tahun 2014 saja. Permintaan yang datang tak henti-henti ini memberikan tekanan besar terhadap tim di gudang dan tim pengirim barang. Karenanya Soohoo memutuskan untuk merekrut seorang Vice President of Operations (VPO). Memang, VPO yang Soohoo pilih memiliki CV yang menakjubkan, namun ia tak memiliki pengalaman di bidang operasional e-commerce. Kurangnya pengalaman sang VPO mengacaukan banyak hal di perusahaan seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan. Menyadari hal ini, Soohoo mencoba untuk merekrut VPO baru, namun kehadirannya sudah terlalu telat sehingga di bulan September 2016 sebagian besar aset dari Dot & Bo harus dilikuidasi.
Lalu di mana letak kesalahan VPO pertama? Tugas utama dari VPO Dot & Bo di saat itu adalah menentukan sistem enterprise resources planning (ERP) mana yang sebaiknya digunakan. Sistem ERP ini krusial untuk membantu perusahaan mengatur kegiatan operansional seperti: melacak jumlah barang di gudang serta memonitor kegiatan pengiriman barang (deliveries). Namun sayangnya, sistem ERP yang dipilih oleh VPO pertama tak dapat menangani variasi waktu pengiriman yang berbeda-beda dari para pemasok barang. Akibatnya, tim customer service (CS) kewalahan menjawab pertanyaan mengenai pengiriman yang telat atau tak sampai ke lokasi pelanggan. Dot & Bo tak mampu menangani permintaan yang semakin menumpuk sampai-sampai waktu respon untuk tiap email pelanggan molor menjadi 11 hari. Saking buruknya sistem, para staff CS bahkan tak dapat mengetahui kemana seharusnya pengiriman itu dilaksanakan.
Sebagai kompensasi atas keterlambatan pengiriman, Dot & Bo menggunakan jasa pengiriman express yang akhirnya memotong keuntungan perusahaan. Di saat yang bersamaan, pemasaran di media sosial terus meningkatkan jumlah penjualan sehingga menambah beban operasional yang saat ini saja sudah hampir tak berfungsi. Secara sekilas, masalah operasional perusahaan nampaknya datang dari sistem ERP, tetapi menurut penulis, kurangnya pengalaman VPO pertama dalam sektor e-commerce lah yang mengakibatkan kehancuran perusahaan. Seseorang dengan pengalaman khusus akan memilih sistem ERP yang lebih baik yang dapat menyesuaikan sistem dengan model supplier Dot & Bo yang cukup kompleks.
Jadi, jika kamu ingin agar startup mu dapat bertahan saat proses scale-up berlangsung, kamu membutuhkan tim senior yang sesuai untuk menjabat di kursi manajemen. Rekrut seorang spesialis daripada generalis walaupun nampaknya si generalis memiliki pengalaman yang mengesankan. Tanpa joki yang tepat, kuda pacu tak akan mampu melewati garis finis di posisi awal. Jika kondisi keuangan perusahaan tidak memungkinkanmu untuk merekrut spesialis senior, temukan spesialis dengan posisi mid-level. Dengan begitu, startup akan tetap dapat menikmati insight dari sang spesialis dengan gaji yang lebih rendah.
Startup Yang Terlalu Ambisius Dengan Pencapaiannya Cukup Rentan Terhadap Kegagalan
Mental pengusaha yang inovatif memainkan peran penting dalam mendorong kemajuan masyarakat. Berkat kemampuan, mimpi besar mereka, serta ambisinya untuk melaksanakan proyek-proyek inovatif, masyarakat dapat menikmati kemudahan hidup yang tak bisa dirasakan sebelumnya. Shai Agassi adalah salah satu orang tersebut. Di tahun 2007, Agassi berambisi untuk membuat mobil elektrik sebagai kendaraan utama yang digunakan masyarakat sehingga tingkat polusi lingkungan dapat mereda. Sayangnya, tujuan mulianya ini gagal. Investasi sebesar USD 900 juta pada perusahaan yang ia beri nama Better Place ini tak bisa ditutupi oleh penjualan mobil elektrik yang hanya mencapai 1.500 unit saja. Apakah ini menandakan bahwa visi Agassi sedikit terlalu ambisius?
Agar proyek nya bisa berjalan, Agassi harus bergantung pada banyak sekali faktor yang berada di luar kendalinya. Contohnya, agar harga dari mobil elektrik dapat semakin terjangkau, Agassi butuh cukup banyak calon pelanggan untuk membeli produknya. Ia juga harus meyakinkan pelanggan bahwa akan ada cukup stasiun pengisian ulang daya baterai dan stasiun penggantian baterai di sekitar pelanggan. Selain itu, Better Place membutuhkan beberapa partner manufaktur karena tiap pelanggan akan menginginkan jenis mobil yang berbeda.
Pada akhirnya, Agasi tak mampu untuk membuat produk yang cukup menarik bagi consumer; selain itu pembangunan infrastruktur pengisian daya yang menjadi perhatian utama dari calon pelanggan menyulitkan Better Place untuk memasang harga terjangkau. Riset awal menunjukkan bahwa 20% dari rumah tangga di Israel, lokasi yang menjadi incaran Better Place, akan mempertimbangkan untuk membeli kendaraannya bahkan jika kendaraan tersebut 10% lebih mahal dari mobil biasa. Agassi menargetkan untuk menjual produknya ke 50% dari orang yang berminat, namun target ini gagal ia capai.
Jika konsep bisnis yang kamu tawarkan mempunyai risiko tinggi, ada beberapa langkah yang dapat kamu lakukan untuk memitigasi beberapa risiko tersebut:
Pertama, ingat bahwa manusia adalah mahluk yang takut terhadap perubahan radikal, walaupun perubahan tersebut demi kebaikan; maka dari itu, lakukan moderasi terhadap inovasimu agar pelanggan tidak harus keluar terlalu jauh dari zona nyamannya untuk menyelaraskan keberadaan dari produkmu terhadap gaya hidupnya.
Kedua, ciptakan prototipe yang belum berfungsi sepenuhnya dan dapatkan masukan dari focus group. Masukan dari mereka akan membimbing mu dalam menentukan tahap desain selanjutnya sambil mengukur tingkat ketertarikan calon pelanggan terhadap produk.
Terakhir, jangan tergoda untuk membesar-besarkan permintaan pasar hanyak untuk menarik perhatian investor. Dengan melakukan ini, kamu hanya akan menetapkan target penjualan yang tak akan pernah kamu raih. Dengan menyatakan secara jujur tentang jumlah pelanggan potensial yang bisa ditarget, akan lebih mudah bagimu untuk menentukan waktu yang tepat untuk mengembalikan investasi modal.
Pulih Dari Kegagalan Adalah Hal Yang Mungkin
Setelah Quincy Apparel bangkrut, Christina Wallace berada pada kondisi yang menyulitkan. Tak hanya mimpinya yang hancur, ia juga ditimpa oleh banyak utang. Satu-satunya jalan keluar untuknya adalah dengan kembali bekerja. Ia tak bisa membayangkan bahwa ia akan memimpin kembali sebuah startup; baginya, menjadi karyawan dari sebuah startup sudahlah cukup. Langkah pertamanya untuk menyembuhkan diri adalah dengan bergabung pada sebuah program pelatihan stratup di Kota New York bernama Startup Institute. Setelah selesai di sana, beliau mulai memberanikan diri untuk menjadi pendiri dari sebuah startup yang bergerak di bidang EdTech (Educational Technology) yang mendukung wanita untuk terjun ke dunia iptek sebelum akhirnya menjadi seorang pengajar di Harvard Business School. Kegagalan nya di awal dalam membangun startup tak mengganggu kesuksesannya dalam jangka panjang.
Agar bisa kembali pulih dari kegagalan, penulis menyarankan kita untuk melalui proses 3R:
Fase pertama yang harus dilalui setelah gagal adalah “Recovery” (pemulihan). Setelah gagal dalam membangun startup, kondisi keuanganmu tak akan baik-baik saja. Sangat wajar bagi founder untuk menumpuk banyak utang dari credit card, sementara menggunakan gaji pribadinya untuk diinvestasikan kembali secara maksimal pada perusahaan. Di saat yang sama, hubungan mu dengan orang-orang terdekat juga akan menjadi renggang karena waktu kerja yang panjang memaksamu untuk menjauhkan diri dari mereka. Rasa terisolasi ini terasa semakin parah seiring dengan munculnya emosi-emosi negatif akibat kegagalan – entah itu kesedihan, rasa malu, atau bersalah. Untuk menghindari kemunculan depresi, temukan hal-hal yang dapat mendukung dirimu melalui waktu ini. Hidupkan kembali kebiasaan gaya hidup sehat, lakukan terapi emosi, dan lakukan kembali aktivitas-aktivitas yang kamu nikmati.
Setelah kamu dapat mencerna emosi-emosi negatif itu, lakukan R yang kedua, yakni “Reflection” (perenungan). Dalam fase ini, kamu akan mengidentifikasi apa saja yang telah kamu pelajari dengan melihat seluruh pengalamanmu dari kaca mata yang objektif. Ini adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan mengingat ego kita akan selalu mencoba untuk menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diri sendiri perbuat. Namun saat kamu mampu mengalahkan kecenderungan ini, akan ada banyak sekali pengetahuan berharga yang kamu dapatkan darinya.
Fase terakhir dari proses penyembuhan adalah “Reentry” (mencoba kembali). Hanya 50% dari founder yang gagal mampu untuk melalui fase ini. Kamu mungkin khawatir jika kegagalanmu sebelumnya akan membuat investor ragu dengan kemampuanmu. Justru manfaatkan kegagalan itu sebagai senjatamu: sampaikan bahwa kegagalan yang telah kamu lalui memberikan banyak pelajaran sehingga rencana bisnis baru yang kamu bawa sekarang sudah jauh lebih matang dan dewasa. Buktikan bahwa kamu punya pengalaman dan bertekad untuk menjadi lebih bijaksana dalam melalui permasalahan.
Semoga bermanfaat!
Add a comment