-
Topik TulisanPolitik
-
Sub Judul TulisanAlasan-Alasan Tumbangnya Negara
- Berikan Komentarmu
Mengapa beberapa negara bisa menjadi begitu kaya sementara beberapa negara lainnya terjebak dalam kemiskinan? Bagaimana beberapa negara dapat meraih kemakmuran dan menjunjung tinggi toleransi, sementara negara lainnya tenggelam dalam despotisme dan menjadi korban dari segelintir penguasanya yang rakus? Menurut penulis, disparitas ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengembangan institusi-institusi negara.
Kecenderungan Sebuah Negara Menjadi Kaya atau Miskin Tidak Tergantung pada Geografi, Budaya, dan Ilmu
Di sebuah perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat, terdapat sebuah wilayah yang terbagi di antara keduanya. Wilayah itu disebut dengan Nogales. Penduduk Nogales yang berada di negara bagian Arizona AS mempunyai taraf hidup yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Nogales, Kota Sonora, Meksiko. Penduduk Nogales Arizona mempunyai akses yang lebih baik kepada fasilitas kesehatan & pendidikan, tingkat kriminalitas yang relatif rendah, serta menikmati pendapatan rata-rata rumah tangga yang lebih tinggi tiga kali lipat. Lalu apa yang menyebabkan perbedaan ini?
Hipotesis geografi (geography hypothesis) telah menjadi teori yang paling berpengaruh dalam menjelaskan terjadinya fenomena kesenjangan; tetapi dalam kasus Nogales, teori geografi gagal untuk memberikan argumen yang tepat. Awalnya, teori ini diadopsi dan didukung oleh seorang filsuf dari Prancis bernama Montesquieu. Beliau berpendapat bahwa penduduk yang tinggal di wilayah lebih hangat dan tropis itu lebih pemalas dibandingkan dengan mereka yang tinggal di wilayah beriklim sedang (temperate climes) yang biasanya pekerja keras. Di zaman modern ini, teori tersebut secara perlahan telah berubah dengan menaruh penekanan lebih terhadap kehadiran penyakit di wilayah-wilayah yang lebih hangat seperti Afrika, Asia Selatan dan Amerika Tengah. Namun fenomena dari Nogales ini jelas menolak mentah-mentah penjelasan dari hipotesis geografi. Selain itu, lompatan ekonomi yang diraih oleh Bostnawa, Malaysia dan Singapura telah membuktikan bahwa tak semua negara yang berada di iklim hangat mengalami kemunduran.
Dua teori klasik lain yang sering dikutip pun gagal dalam mempertahankan argumennya.
Teori kedua adalah hipotesis budaya (cultural hypothesis). Pada awal abad ke-20, seorang sosiolog Jerman, Max Weber, mengeklaim bahwa tingginya tingkat industrialisasi Eropa barat dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia dipengaruhi oleh “etos kerja Protestan”. Tetapi coba lihat negara Korea, sebuah semenanjung yang semula homogen secara budaya sampai akhirnya perpisahan antara Korea Utara dan Korea Selatan terjadi. Hipotesis budaya saja tidak dapat menjelaskan timbulnya kesenjangan di antara keduanya. Menurut penulis, adanya perbatasan (border) justru yang menyebabkan terjadinya disparitas, bukan perbedaan budaya yang signifikan antara kedua kubu.
Teori ketiga, ignorance hypothesis (hipotesis ketidaktahuan), berpendapat bahwa kemiskinan merupakan akibat dari langkanya ilmu terkait kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Sebagai argumen kontra nya, penulis berpendapat bahwa bantuan dari negara asing serta saran atau nasihat dari beberapa ahli yang diberikan kepada beberapa negara di Afrika telah gagal untuk membawa perubahan positif yang mampu bertahan lama.
Perbedaan Taraf Hidup Antar Negara Bisa Dijelaskan dengan Baik oleh Perbedaan Kelembagaan (Institutional Differences)
Lupakan teori-teori “besar” yang mencoba untuk menjalaskan perbedaan tingkat kemakmuran antar negara. Menurut penulis, dua hal yang benar-benar berpengaruh terhadap kemakmuran hanyalah institusi-institusi ekonomi dan politik dari negara. Ya, kemakmuran sebuah negara ditentukan oleh lanskap kelembagaan ekonominya, yakni sistem serta regulasi yang mengatur perilaku ekonomi di dalam batas negara. Lanskap tersebut meliputi hukum properti, kekuatan pelayanan publik serta akses terhadap keuangan/pembiayaan. Institusi ekonomi ini jatuh ke salah satu dari dua kategori: ekstraktif atau inklusif.
Lembaga ekonomi yang inklusif cenderung merangsang keberhasilan ekonomi dan didesain untuk mendorong partisipasi di dalam aktivitas-aktivitas ekonomi. Mereka juga memelihara kebebasan ekonomi. Di negara-negara seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat contohnya, peraturan pasar (market rules) didasarkan pada hukum properti pribadi, sektor perbankan yang maju, dan sistem edukasi publik yang kuat. Peraturan-peraturan ini membuat masyarakat paham bahwa mereka dapat bekerja keras dan terus berinovasi dengan kepastian bahwa usaha yang mereka curahkan akan terbayarkan dan kekayaan mereka akan tetap terjaga.
Sebaliknya, lembaga-lembaga ekstraktif memperoleh pendapatannya dari kelompok tertentu dalam masyarakat demi keuntungan/kepentingan sebagian kecil kelompok lain. Di negara Amerika Latin Kolonial misalnya, sebuah sistem dibangun atas dasar paksaan dan perampasan kekayaan masyarakat pribumi yang didesain untuk menguntungkan para penjajahnya. Di Korea Utara, keluarga Kim mendirikan sebuah rezim yang melakukan represi terhadap rakyat, mencabut perlindungan hukum atas properti pribadi mereka dan memusatkan semua kekuatan di tangan-tangan kaum elite yang terpilih.
Sama halnya dengan institusi ekonomi, institusi politik dapat tergolong sebagai inklusif atau ekstraktif.
Karakteristik utama dari institusi politik yang inklusif adalah pluralisme; dengan kata lain berbagai kelompok di dalam masyarakat terwakilkan dari segi politik, karenanya kekuasaan dibagikan diantara mereka masing-masing. Agar institusi benar-benar bisa menjadi inklusif, penting juga untuk menjaga institusi tersebut tersentralisasi. Sentralisasi kekuasaan mengakibatkan adanya penegakan supremasi hukum (the rule of law being upheld) sehingga tak perlu antara satu kelompok dengan kelompok lain bertengkar demi meraih superioritas.
Jika institusi politik minim dengan pluralisme atau sentralisasi, maka mereka secara umum bisa digolongkan ke dalam kelompok ekstraktif. Keuntungan dari institusi politik yang inklusif adalah adanya pembagian kekuasaan (power-sharing) antar kelompok. Ini akan berujung pada penghapusan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bersifat ekstraktif sehingga konsekuensi nya adalah manfaat ekonomi bersama (mutual economic benefits) untuk semua kelompok masyarakat.
Peristiwa Tunggal yang Terjadi pada Momen Kritis (Critical Juncture) dapat Menghasilkan Jejak Institusional yang Berbeda
Satu peristiwa tertentu membawa pengaruh signifikan terhadap periode-periode pertengahan dan modern awal di Eropa lebih dari pada peristiwa-peristiwa lainnya. Pada pertengahan abad ke-14, pandemi Black Death (Maut Hitam) menyebar di sepanjang rute-rute perdagangan dari negara-negara di ujung timur hingga benua Eropa. Hampir separuh dari populasi di benua Eropa meninggal dalam cengkeraman wabah tersebut. Di samping kematian, tumbangnya ekonomi yang mengikutinya benar-benar membentuk Eropa untuk abad-abad mendatang. Maka dari itu, penulis menyebut The Black Death sebagai contoh dari sebuah momen kritis (critical juncture), yakni sebuah peristiwa yang mampu menggulingkan keseimbangan sosial & politik dari sebuah negara, sebuah benua, atau bahkan seluruh dunia.
Sebelum Black Death melanda Eropa, sistem ekonomi dan sosialnya dibentuk oleh pemerintahan dan pengendalian yang begitu ekstraktif yang disebut dengan feodalisme. Seorang raja dari sebuah negara merupakan pemilik tanah negara yang kemudian ia alokasikan kepada beberapa pejabat tingginya; sebagai balasannya, mereka diwajibkan untuk menyediakan pasukan militer ketika dibutuhkan. Tanah ini kemudian diolah oleh kaum tani (peasants) yang dikendalikan oleh kaum “bangsawan”. Kaum tani harus membayarkan sebagian besar dari hasil panen mereka kepada para pemilik tanah dalam betuk pajak. Mereka tak diperbolehkan untuk bermigrasi tanpa izin dari tuan bangsawannya. Lebih dari itu, kaum bangsawan juga mempunyai kekuatan hukum atas mereka. Akan tetapi, the Black Death telah mengakibatkan kekurangan tenaga kerja yang cukup masif. Di Eropa barat, peristiwa ini memungkinkan kaum tani untuk memberontak dan mempunyai kapasitas lebih untuk meminta pajak lebih rendah dan lebih banyak hak dasar yang harus dipenuhi oleh tuannya.
Namun hal yang sama tak bisa diterapkan di Eropa Timur. Di sana, kaum tani kurang mampu untuk berorganisasi; inilah yang membuat pemilik tanah mampu untuk menindas mereka. Kontras dengan negara di Eropa Barat, lembaga-lembaga di Eropa Timur menjadi semakin ekstraktif seiring dengan semakin meningkatnya pajak yang diminta dari kaum tani. Karenanya, bisa dikatakan bahwa Black Death membentuk sebuah momen kritis yang mengawali momen pembubaran feodalisme dan berdirinya institusi yang tidak begitu ekstraktif di Eropa Barat. Sementara hal yang sebaliknya terjadi di Eropa Timur. Terdapat sebuah istilah untuk fenomena di mana sebuah momen kritis mengakibatkan perubahan jalur dari institusi negara, ini dikenal dengan institutional drift. Ini berarti wilayah-wilayah yang awalnya berkarakteristik cukup mirip mulai bercabang ke arah-arah yang berbeda.
Sesuatu yang cukup mirip pun terjadi pada beberapa abad setelahnya. Di waktu itu, hal yang menjadi critical juncture adalah ekspansi perdagangan global dan penjajahan Amerika. Kejadian ini mempercepat proses institutional drift karena tidak semua negara di Eropa mendapatkan keuntungan ekonomi dari peristiwa ini. Mungkin butuh waktu beberapa abad hingga efek institusional nya terasa, namun hanya membutuhkan sedikit critical junctures saja untuk mengakibatkan institutional drift yang menghasilkan perbedaan besar terkait lanskap institusional dari negara-negara yang dulunya tak jauh berbeda.
Kemakmuran dari Negara Penerap industrialisasi seperti Inggris Disebabkan oleh Lembaga- Lembaga Politik Inklusif yang Dikembangkan Beberapa Abad Sebelumnya
Pada periode modern, terdapat satu negara yang bergerak cepat untuk melakukan industrialisasi. Negara itu adalah Inggris. Inggris telah memulai proses industrialisasi nya pada abad ke-17, dan sesampainya di abad ke-19, Inggris merupakan sebuah negara adikuasa global. Lalu pertanyaannya adalah: mengapa Inggris? Ini semua berkat institusi politik negara yang saat itu sudah terbentuk sehingga lembaga-lembaga ekonomi yang inklusif dapat terbentuk dengan sendirinya.
Fondasi awal menuju kesuksesan sudah dirumuskan jauh sebelumnya. Penandatanganan Magna Carta di tahun 1215 merupakan cetak biru dari parlemen Inggris. Namun hal yang lebih kritis adalah the Glorious Revolution of 1688. Kejadian ini memungkinkan William III, yang didukung oleh parlemen, untuk menggulingkan James II. Sebagai imbalan atas dukungan mereka, parlemen inggris diberi lebih banyak kuasa, sementara kekuasaan dari kerajaan dikurangi. Tidak seperti raja, para anggota parlemen dipilih, walaupun hanya oleh para pemilik tanah (landowners) saja. Maka dari itu, anggota parlemen yang terpilih mengutamakan kepentingan dari pihak minoritas, sehingga menciptakan lembaga-lembaga ekonomi yang inklusif dan mendukung partisipasi aktif warga di dalam ekonomi. Akibatnya, hal-hal yang menyangkut hak-hak kepemilikan properti pun diabadikan di dalam hukum, dan hukum perlindungan yang lebih kuat diciptakan sebagai insentif untuk mendorong investasi dan berkembangnya inovasi.
Parlemen juga mereformasi sistem perbankan. The Bank of England didirikan di tahun 1694. Salah satu tujuan utamanya adalah pemberian kredit agar penduduk inggris bersedia untuk berinvestasi. Sistem perpajakan pun mengalami reformasi. Untuk mendukung terjadinya produksi barang (manufacturing), perpajakan atas barang-barang produksi seperti kompor pun dihapuskan dan diganti dengan pajak atas tanah. Aparatur negara yang jumlahnya terus bertambah juga memungkinkan proses pemungutan pajak dan cukai yang lebih efisien. Ide besar di balik sistem ini adalah agar uang pajak dapat diinvestasikan kembali kepada negara (dalam bentuk infrastruktur umum) sehingga ekonomi negara dapat terstimulasi. Pada abad ke- 18 dan ke-19, kondisi infrastruktur negara membaik secara dramatis. Pertama, kanal-kanal dibangun, dan kemudian jalur kereta api pun menyusul. Kedua sistem transportasi ini membuat aliran barang jadi dan bahan mentah di dalam negara semakin lancar.
Secara bersamaan, semua faktor ini memfasilitasi proses industrialisasi inggris yang begitu cepat. Sekarang para produsen / pabrik memiliki alat dan metode untuk memproduksi barang secara massal. Kemudian barang-barang ini dikapalkan ke seluruh penjuru dunia. Keuntungan yang didapatkan perusahaan pun dikenakan pajak dan diputarkan kembali ke dalam ekonomi Inggris. Pada saat itu, kapitalisme berjalan dengan baik. Tetapi bagaimana ledakan ekonomi ini dengan infrastruktur yang mendukung memungkinkan institusi-institusi di Inggris menjadi semakin inklusif?
Institusi yang Inklusif Dapat Menciptakan Siklus-Siklus Kebajikan (Virtuous Cycles)
Mari lanjutkan pembahasan kita tentang Inggris. Bukan sebuah kebetulan bahwa ketika institusi-institusi inklusif didirikan dengan tepat, hasilnya adalah reformasi ekonomi yang inklusif. Tak hanya menstimulasi pertumbuhan ekonomi, institusi tersebut juga memperkuat kondisi internal mereka dari waktu ke waktu. Saat institusi politik Inggris menjadi semakin pluralistis, menjadi kepentingan utama bagi tiap fraksi di dalam nya untuk memastikan bahwa kekuatan fraksi yang lain dibatasi oleh hukum.
Langkah demi langkah, di abad ke-19 dan ke-20, institusi-institusi ini menjadi kian inklusif. Hak untuk memilih tak lagi dipegang oleh para elite pemilik tanah, melainkan diperluas kepada semua penduduk Inggris baik pria maupun wanita, tak peduli seberapa banyak kekayaan mereka. Keberhasilan ini berkat upaya bersama dari mereka yang dicabut haknya. Pegawai yang mogok kerja, kerusuhan sosial, melakukan petisi, dan berkampanye, semua kegiatan ini memiliki perannya masing-masing.
Kesuksesan dari mereka yang dicabut haknya ini tak berdiri sendiri. Institusi yang telah terbentuk di Inggris memang didesain untuk bisa diajak berkompromi. Menjadi kepentingan dari para elite juga agar stabilitas dan pemerintahan dapat dijaga secara tertib. Tak ada alasan yang tepat untuk membiarkan runtuhnya sebuah sistem yang telah terbukti sukses secara finansial. Lebih baik untuk mendengarkan dan memenuhi permintaan rakyat, dari pada membiarkan revolusi merenggut negeri.
Diperluasnya hak untuk memberikan suara juga menandai sebuah peralihan menuju institusi politik yang lebih pluralistis dan lebih mampu untuk mewakili kepentingan ekonomi dari masyarakat yang lebih luas. Ini memicu institusi ekonomi menjadi lebih inklusif.
Media massa juga berperan besar dalam menjaga keterbukaan informasi terkait pemerintahan. Mereka adalah pihak yang memonitor perbuatan dari para pemegang kuasa dan menjaga agar rakyat tetap mengetahui kejadian-kejadian politik terkini. Singkatnya, media memastikan bahwa proses pemeriksaan dan penyeimbangan itu tetap berjalan agar sikap inklusif dari lembaga- lembaga politik tetap terjaga.
Di AS, pada peralihan abad ke-20, “Robber Barons” (perkumpulan kecil pebisnis dan pengusaha elite) menciptakan monopoli yang hanya dikuasai oleh perusahaan seperti “Standard Oil” dan “the US Steel Company”. Namun di tahun 1901 dan 1921, Presiden Theodore Roosevelt, William Taft dan Woodrow Wilson menetapkan hukum anti-monopoli yang memungkinkan untuk mencegah Robber Barons mendapatkan kekuasaan ekonomi yang lebih besar. Berkat kerja media juga, penyalah gunaan kekuatan oleh para perusahaan monopoli bisa menjadi isu pembicaraan publik dalam skala nasional. Sesegera itu juga hampir seluruh masyarakat meminta adanya reformasi.
Konsolidasi Kekuatan Sering Kali Berdampak Buruk Terhadap Perkembangan Ekonomi dari Sebuah Negara
Merupakan hal yang natural bagi para pemimpin cerdas untuk selalu memilih kemakmuran di atas kemiskinan demi negara mereka. Sayangnya, para elite politik sebenarnya hanyalah sekelompok individu yang mengutamakan kepentingan pribadinya, dan ini mempunyai efek yang berlawanan terhadap kemajuan.
Mesin cetak merupakan contoh utamanya. Ditemukan di Mainz di tahun 1445, keberadaannya di akhir abad ke-15 mulai menyebar ke daerah-daerah sekitar seperti Strasbourg, Roma, Florence, London, Budapest, dan Krakow. Akan tetapi, Kerajaan Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) tak satupun memilikinya. Bagi mereka, mesin cetak melambangkan sebuah ancaman terhadap kekuasaan mereka. Maka dari itu umat muslim dilarang untuk mencetak dalam bahasa Arab. Baru di tahun 1727 proses cetak tersebut diperbolehkan; meskipun begitu, ahli agama dan hukum selalu berada di lokasi cetak untuk mengawasi seluruh prosesnya. Dampak yang ditimbulkan oleh mesin cetak cukup signifikan. Diperkirakan bahwa hanya 2% - 3% dari masyarakat Kerajaan Ottoman yang merupakan kaum terpelajar; sementara di Inggris persentase masyarakat terpelajar berkisar antara 40% - 60%.
Faktor lain yang menjadi penghambat dari pertumbuhan ekonomi adalah ketakutan akan “creative destruction” (destruksi kreatif) di antara elite politik itu sendiri. Creative destruction adalah proses yang dihasilkan dari inovasi-inovasi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi sehingga dapat memusnahkan sektor-sektor ekonomi tertentu. Contohnya adalah perkembangan dari mesin jahit yang mengantarkan kepada kehancuran industri tekstil tradisional.
Di awal-awal dari abad ke-19, Kaisar Francis I dari Austria sudah dikenal sebagai seseorang yang paling anti terhadap industrialisasi. Hingga di tahun 1811, penggunaan semua mesin baru dilarang, dan bahkan pembangunan rel kereta api pun ditentang. Kaisar Francis I mempunyai ketakutan akan teknologi baru yang memungkinkan sekelompok orang untuk melakukan revolusi. Di samping itu, terdapat kemungkinan bahwa industri-industri yang dikendalikan oleh para elite yang diistimewakan oleh sang Kaisar ini akan menjadi korbannya; ini berpotensi untuk meruntuhkan jejaring politik para elite. Akibat adanya ketakutan terhadap revolusi industri beserta dengan potensi creative destruction yang dibawanya, perkembangan Austria pun terganjal.
Di tahun 1883, ketika 90% dari produksi besi dunia sudah memanfaatkan batu bara, Austria masih bergantung pada arang yang mana jumlah energi yang dihasilkan tidak begitu efisien. Kondisi ini menggambarkan seakan revolusi industri tak pernah terjadi di Austria. Bahkan, ketika Kerajaan Austro-Hungarian runtuh setelah Perang Dunia Pertama, industri tekstil dan tenun dari Austria masih belum sepenuhnya ter-mekanisasi.
Institusi-Institusi yang Ekstraktif Meninggalkan “Warisan Abadi”
Kita telah melihat bagaimana perkembangan lembaga-lembaga yang inklusif dari waktu ke waktu. Sementara itu, institusi ekstraktif juga melalui perjalanan yang mirip; sejarah tak hanya membentuk mereka, tetapi secara efektif memperpanjang dan melanggengkan keberadaan mereka. Ini dapat dilihat dengan jelas pada lembaga perbudakan dan pengaruhnya terhadap sejarah secara persisten.
Perbudakan telah ada di Afrika sebelum datangnya para penjajah asal Eropa di abad ke-17. Para penjajah asing ini berburu tenaga kerja untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan tebu di “Dunia Baru” (New World). Kehadiran mereka “menyadarkan” penguasa di daerah lokal bahwa mereka dapat meraup banyak uang dengan cara menjual para budak kepada penjajah asing. Secara otomatis angka perbudakan meningkat tajam. Para tawanan perang dan pelaku kriminal diperbudak secara masal. Pada beberapa komunitas, perbudakan juga menjadi satu-satunya bentuk hukuman. Sebagai ganti atas para budak sekaligus barang berharga yang telah disediakan, para pedagang mengimpor persenjataan dari Eropa untuk digunakan di Afrika. Tentunya, pengimporan senjata ini memicu lebih banyak kekerasan yang terjadi di antara suku- suku Afrika.
Walaupun sebenarnya secara teknis perdagangan budak telah diakhiri dunia di tahun 1807, perbudakan masih terus berlanjut di Afrika. Hanya saja, di saat itu budak bagaikan komoditas yang dipaksa bekerja, namun hanya di benua Afrika saja, guna memproduksi barang untuk memenuhi permintaan internal maupun pasar ekspor. Walaupun pergerakan kemerderkaan Afrika mulai meraih banyak kesuksesan pada separuh kedua dari abad ke-20, lembaga-lembaga ekstraktif yang didirikan oleh para penjajah tetap bertahan.
Contohnya sebuah negara yang bernama Sierra Leone yang merupakan negara jajahan Inggris dari awal abad ke-19 hingga tahun 1961. Kerajaan Inggris menunjuk local Paramount Chiefs (kepala daerah tertinggi) sebagai pemimpin negara yang mewakili kerajaan Inggris. Sementara, hingga hari buku ini diterbitkan, sang Paramount Chiefs dipilih sebagai kepala daerah seumur hidup oleh Tribal Authority (Otoritas Suku) yang merupakan badan politik kecil yang anggotanya terdiri dari keluarga bangsawan yang dahulu ditetapkan oleh Inggris. Dan menurut mereka, hanya seseorang dari anggota mereka sendiri lah yang memenuhi syarat untuk menjadi Paramount Chiefs. Bukankah ini merupakan sistem politik yang sangat ekstraktif?
Hal yang sama juga terjadi pada sistem ekonomi Sierra Leone. Di tahun 1949, Inggris menetapkan sebuah dewan yang disebut dengan “Sierra Leone Produce Marketing Board”. Dewan ini berjanji untuk melindungi para petani dari fluktuasi harga. Namun sebagai imbalannya, mereka meminta “sedikit upah”. Tentu upah yang awalnya sedikit ini menggelembung menjadi setengah dari pendapatan para petani di pertengahan tahun 1960-an. Bahkan kemerdekaan negara pun gagal untuk mengakhiri praktik yang menyengsarakan ini. Faktanya, di bawah kepemimpinan Siaka Stevens yang menjadi perdana menteri di tahun 1967, para petani dipaksa untuk menyerahkan 90% dari pendapatan mereka dalam bentuk pajak. Lalu mengapa institusi-institusi semacam ini tak runtuh setelah kemerdekaan?
Institusi yang Ekstraktif Menciptakan Lingkaran Setan Kemiskinan
Secara umum, institusi yang ekstraktif muncul ketika para pemimpin menolak perkembangan dan justru berupaya untuk mengonsolidasikan kekuatan demi melanggengkan kekuasaannya. Tujuan utama dari struktur yang ekstraktif adalah untuk menjaga cengkeraman kekuasaan dari para elite, sehingga cukup bisa dipahami bahwa mereka ingin mengabadikan struktur tersebut. Lihat saja beberapa negara bagian di AS pada abad ke-19. Di sana, para elite pemilik tanah berkulit putih mendapatkan keuntungan dari hasil kerja keras para budak berkulit hitam yang tak memiliki hak politik ataupun ekonomi.
Setelah peristiwa “The American Civil War” (Perang Sipil Amerika) dan kemenangan sisi utara di tahun 1865, perbudakan dihapuskan, dan rakyat berkulit hitam mendapatkan haknya untuk menyumbangkan suara. Namun para elite pemilik tanah di bagian selatan AS masih tetap ada dan siap untuk mengeksploitasi para mantan budak sebagai sumber tenaga kerja yang murah. Sebagai upaya untuk mengonsolidasikan kekuatan, mereka memperkenalkan pajak perseorangan (poll tax) dan tes literasi untuk menyaring siapa saja yang berhak menjadi calon pemilih (potential voters). Tentu, niat dari peraturan ini adalah untuk mencabut hak pilih dari black voters (pemilih berkulit hitam) yang sedari awal dihalangi untuk menerima pendidikan yang diperlukan. Dinamika dari ketidakseimbangan kekuatan ini juga dirumuskan dalam Jim Crow laws di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; hukum ini justru mendukung ada nya segregasi rasial. Fasilitas umum antara mereka yang berkulit hitam dan putih pun dibedakan. Keberadaan dari institusi yang ekstraktif semacam ini terus berlanjut, bahkan setelah adanya perubahan rezim.
Seorang sosiolog asal Jerman, Robert Michels, melabeli kecenderungan untuk melanggengkan kekuasaan ini dengan sebutan “the iron law of oligarchy”. Hal ini lah yang terjadi pada Afrika pasca merdeka. Lembaga-lembaga ekstraktif yang didirikan oleh penjajah dari Eropa masih beroperasi secara efektif di sana. Tak perlu dikatakan lagi, sudah menjadi semacam kewajiban bagi mereka yang diberi kekuasaan oleh institusi-institusi semacam ini untuk mengonsolidasikan kekuasaan nya lebih jauh.
Contohnya adalah Siaka Stevens yang merupakan presiden pertama Sierra Leone. Siaka Stevens secara aktif mendiskriminasi kaum Mende, sebuah kelompok etnis yang mendukung lawan politiknya. Stevens melemahkan pertumbuhan ekonomi di wilayah di mana kaum Mende tinggal dengan cara memusnahkan rel kereta api yang digunakan untuk kegiatan ekspor; ya semua ini dia lakukan hanya untuk menghancurkan lawannya. Stevens pun memiliki lebih banyak kekuasaan, namun di saat itu juga lembaga negara tidak lagi mewakili kepentingan dari rakyatnya.
Pertumbuhan di Bawah Institusi yang Ekstraktif itu Bukanlah Hal yang Tidak Mungkin, Namun Akan Sulit untuk Berlanjut
Uni Soviet, di lihat dari sisi manapun, bukan lah sebuah negara yang menjunjung adanya institusi-institusi politik atau ekonomi yang inklusif. Memang patut diakui bahwa semenjak berdirinya negara tersebut hingga memasuki tahun 1970-an, kesuksesannya di beberapa bidang tertentu tak dapat diragukan lagi. Masyarakatnya inovatif dan merupakan negara pertama yang berhasil mengirimkan kosmonaut ke ruang angkasa. Ekonomi nya juga sempat berkembang. Pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahunnya sempat mencapai angka 6% antara tahun 1928 hingga 1960.
Satu alasan di balik pertumbuhannya yang menakjubkan adalah diambil alihnya negara-negara yang kurang berkembang pada beberapa abad terakhir. Pada saat itu, tatanan feudal baru saja disingkirkan dari Uni Soviet. Akibatnya, realokasi sumber daya dari sektor agrikultur kepada sektor industrial yang lebih produktif merupakan keputusan yang masuk akal. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang masif. Aneh bukan? Negara dengan institusi ekonomi yang ekstraktif dapat meraih pertumbuhan ekonomi sedemikian rupa. Namun saat kamu amati lebih teliti, terdapat hal-hal yang janggal. Terdapat sedikit hak milik properti dan para pekerja berisiko dipenjarakan jika didapati bermalas-malasan. Kondisi ini diperparah dengan adanya institusi politik yang ekstraktif. Tak perlu diragukan lagi, kesuksesan ekonomi yang dibangun oleh institusi yang ekstraktif tak akan bertahan lama.
Negara dengan sistem politik yang ekstraktif juga rawan mengakibatkan pertengkaran antar kaum elite yang pastinya berpotensi mendatangkan instabilitas dan membatasi pertumbuhan negara. Setiap orang dapat melihat “hadiah besar-besaran” serta kekayaan yang dapat dituai setelah kekuasaan absolut berada di tangan. Maka dari itu, wajar jika setiap orang menginginkan untuk menggigit buah ceri yang menggoda itu.
Demikian yang dapat kami tuliskan, mohon maaf jika masih terdapat kekurangan. Semoga bermanfaat kawan!
Add a comment