Selama kalian hidup, apakah segala hal yang kamu idamkan telah berjalan sesuai rencana? Mungkin tidak. Mungkin kamu berniat untuk mempelajari satu hal, tetapi justru berujung mendalami bidang yang sangat berbeda. Mungkin salah satu pilihan hidupmu yang berbeda telah mengubah rencana awalmu secara menyeluruh. Tentu kita semua tahu bahwa hidup itu berantakan dan seringkali terjadi dengan cara yang tak bisa diprediksi. Begitupun dengan kisah hidup sang penulis, Paul Kalanithi. Yang membuat pengalaman hidupnya semakin mendebarkan adalah karirnya di bidang bedah saraf; keputusan sekecil apapun dapat berakibat pada kejadian tak terduga dan bahkan dapat menentukan hidup atau mati dari seseorang.
Penulis Memiliki Dua Passion yang Tak Pernah Padam dalam Hidupnya: Literatur dan Ilmu Saraf
Semenjak masa mudanya, sang penulis, Paul Kalanithi, sudah terobsesi dengan sastrawan jenius seperti George Orwell, Albert Camus, Henry David Thoreau, dan beberapa tokoh lainnya. Kecintaannya yang mendalam terhadap sastra mendorongnya untuk mempelajari literatur saat mengenyam pendidikan perguruan tinggi nanti. Akan tetapi jalan hidupnya berubah sesaat sebelum kuliah musim panas dimulai. Paul menemukan bidang lain yang memikat hatinya, yakni: biologi manusia. Saat Kalanithi sedang bersiap berangkat menuju Stanford, salah seorang temannya (yang kemudian menjadi pacarnya) memberinya sebuah buku karya Jeremy Leven yang berjudul “Satan: His Psychotherapy and Cure by the Unfortunate Dr. Kassler, J.S.P.S”. Kalanithi terkagum dengan ide yang dituliskan oleh Lanven yang menyatakan bahwa otak hanyalah sebuah mesin organik yang memungkinkan pikiran manusia untuk ada, dari situlah Kalanithi mendaftarkan diri untuk mengikuti mata kuliah biologi dan ilmu saraf.
Selama perjalanannya di masa kuliah, Kalanithi terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan besar seperti, “apa yang memberikan hidup arti?”. Beliau mencoba mencari-cari jawabannya pada dua cabang ilmu, yakni literatur dan ilmu saraf. Kisah fiksi dan cerita adalah hal yang beliau anggap valid karena literatur merupakan manifestasi dari pikiran seseorang. Arti kehidupan itu sendiri bukanlah konsep yang sederhana; beliau mecoba memetik inspirasi dari penulis seperti T.S. Eliot melalui bukunya yang berjudul “The Waste Land”; dari sana Kalanithi mendapati hubungan antara ke-tidak-berarti-an (meaninglessness) dengan isolasi atau pengasingan. Pengetahuan ini menuntun Kalanithi untuk berpikir bahwa arti kehidupan terdapat pada hubungan antar manusia.
Akan tetapi, literatur hanya memberinya sebagian jawaban dari teka-teki, dan Kalanithi tahu bahwa untuk menemukan jawaban lainnya, ia harus terus mempelajari ilmu saraf. Karena otak adalah organ yang memungkinkan pikiran untuk ada, kemampuan manusia untuk menjalin hubungan-hubungan berasal langsung dari otak kita. Pandangan ini ia bentuk berdasarkan pengalamannya saat berkunjung ke rumah-rumah di mana orang dengan cedera otak dirawat. Di sana, beliau mengamati bahwa pasien tak benar-benar mampu untuk menjalin hubungan dengan yang lainnya. Ilmu saraf memberinya sebuah cara untuk menjelaskan hukum-hukum yang berlaku pada otak, yang merupakan pusat dari pemahamannya atas “Arti” secara luas. Berkat rasa penasarannya, ia mendaftarkan diri ke sekolah medis. Melalui pengalaman langsungnya saat berurusan dengan pasien lah di mana ia benar-benar mengerti arti dari kehidupan dan kematian.
Sekolah Medis Memberikan Kalanithi Pemahaman Secara Langsung akan Kehidupan, Kematian dan Arti
Setelah berbulan-bulan berjuang untuk mendapatkan kursi di sekolah medis, akhirnya Kalanithi diterima oleh Yale School of Medicine. Saat berada pada laboratorium anatomi, beliau dihadapkan pada kenyataan antara hidup dan mati. Sebagai bagian dari pekerjaannya, Kalanithi menghabiskan waktu berjam-jam membedah cadaver (mayat), menyayat kulit dan jaringan, hingga menggergaji tulang cadaver. Walaupun para siswa medis menutupi wajah cadaver dan tak tahu tentang nama atau identitas sebenarnya dari mayat tersebut, Kalanithi tetap tergerak oleh rasa kemanusiaannya. Suatu hari saat beliau sedang membedah perut dari salah satu cadaver, ia menemukan beberapa pil yang belum tecerna; baginya ini adalah sebuah tanda kehidupan dalam kematian.
Tetapi pengalaman Kalanithi menyangkut kehidupan dan kematian tak hanya ada di laboratorium anatomi saja. Saat beliau bertugas di ruang persalinan, kelahiran pertama yang beliau saksikan juga berujung pada kematian. Beliau mendapatkan penjelasan bahwa seorang wanita muda akan mempunyai anak kembar, namun ia dibawa ke rumah sakit lebih awal akibat persalinan prematur. Kehamilan wanita tersebut baru saja berlangsung selama 23,5 minggu (waktu kehamilan normal antara 37-40 minggu), dan para dokter telah mencoba berbagai cara untuk mempertahakan kehamilannya. Sayangnya, proses operasi caesar untuk mengeluarkan bayi perlu dilakukan jika mereka ingin menjaga sang ibu untuk tetap bertahan hidup. Kalanithi berada di ruang persalinan saat operasi berlangsung dan menyaksikan bayi kecil yang hampir tampak transparan dikeluarkan dari Rahim sang Ibu. Karena kondisinya yang masih prematur, organ dari bayi kembar itu tak mampu menopang fungsi tubuh, dan akhirnyapun kedua anak tersebut meninggal. Ini memberikan Kalanithi kesan bahwa hidup dapat datang dan pergi dalam seketika.
Dalam Masa Residennya, Kalanithi Mempunyai Tanggung Jawab yang Lebih Besar dan Bahkan Memiliki Pengalaman Langsung dengan Kematian
Dalam tahun ke-empat-nya di sekolah medis, Kalanithi memutuskan untuk mengambil spesialisasi di bedah saraf (neurosurgery). Ini bukan pilihan yang mudah, namun seakan ia mendengar panggilan dari bidang tersebut. Setelah kelulusan pendidikannya, ia menjalani masa residensi nya di Stanford, tempat di mana ia berlatih dan mempraktikkan ilmunya selama tujuh tahun ke depan. Pada proses residensi ini Kalanithi baru benar-benar merasakan tekanan nyata atas tanggung jawabnya sebagai dokter, sebuah situasi yang belum beliau bisa rasakan selama menjalani sekolah medis. Suatu hari, seorang anak bernama Matthew datang dengan keluhan sakit kepala. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dia memiliki tumor otak yang cukup besar, dan ini merupakan tanggung jawab Kalanithi untuk memutuskan apa tindakan selanjutnya.
Menghilangkan Tumor tersebut akan memberikan kesempatan pada Matthew untuk merasakan masa anak-anak seperti sedia kala, akan tetapi karena letak tumor nya yang berada di hypothalamus (bagian otak yang bertanggung jawab memunculkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti rasa lapar dan kantuk), kesalahan mikroskopis saja dapat mempunyai dampak yang fatal. Ini adalah keputusan yang berat, namun pada akhirnya Kalanithi membuat keputusan untuk mengoperasi dan menghilangkan tumornya.
Selama tahun pertamanya menjalankan residensi, Kalanithi telah menyaksikan banyak kematian. Ia melihat kematian akibat trauma (luka berat) pada kepala, luka tembak, pertengkaran dan kecelakaan lalu lintas. Kalanithi melihat seorang pecandu alkohol meninggal karena darahnya tak mampu lagi untuk menggumpal sehingga ia harus mengalami pendarahan hingga kematian. Kalanithi bahkan melihat seorang praktisi medis yang meninggal akibat pneumonia dan harus melalui proses otopsi di lab yang ia gunakan untuk bekerja selama bertahun-tahun. Ya tahun pertama adalah tahun yang menantang bagi Kalanithi, dan 5 tahun setelahnya tidak menjadi lebih mudah.
Dengan Bertambahnya Tanggung Jawab dan Rasa Lelah, Kalanithi Pernah Mengabaikan Sisi Kemanusiaan dari Pekerjaannya
Pada tahun kedua dari masa residensinya, Kalanithi berada dalam “panggilan”, atau dengan kata lain: dalam keadaan darurat, ia adalah orang pertama yang harus hadir. Tanggung jawab yang ia emban meningkat sesuai dengan level kemampuannya. Ia juga diberi otoritas untuk memutuskan apakah seseorang akan atau harus diselamatkan atau tidak.
Suatu saat seorang pasien dilarikan ke ruang operasi karena menderita trauma otak yang cukup parah. Tim dokter dan perawat telah menyelamatkan nyawanya, namun sang pasien kehilangan kemampuan berbicara atau makan secara mandiri untuk selamanya. Tak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan otaknya, terpaksa dia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam ruangan untuk menjalani perawatan. Walaupun jantung sang pasien masih berdetak, Kalanithi menjadi tak yakin apakah menyelamatkan hidupnya merupakan hal yang tepat untuk dilakukan.
Tak hanya itu, karena jam kerjanya yang sangat panjang dan kelelahan yang dialami, ia mulai mempertanyakan apakah ia telah menghargai sisi kemanusiaan dari pasiennya. Bagaimanapun juga, seperti rekan kerjanya, secara rutin Kalanithi bekerja ratusan jam dalam satu minggu, dan berada di bawah tekanan untuk selalu menunjukkan kemampuan terbaiknya, sehingga ia selalu merasa lelah. Kepalanya mulai sakit. Kalanithi mulai kecanduan dengan minuman berenergi untuk membuatnya tetap terjaga di malam hari. Sebelum mengendarai mobil untuk pulang ke rumah, ia akan tidur sebentar di dalam mobilnya.
Semakin hari, Kalanithi mulai tak bersabar dengan pasiennya dan memperkeruh situasi di antara mereka. Kalanithi pernah menghadapi seorang pasien yang baru saja mengetahui bahwa ia mempunyai kanker otak. Alih-alih menanyakan pertanyaan secara bertahap, Kalanithi justru terkesan terburu-buru dan ingin segera menyelesaikan percakapan tersebut. Ia tak mampu fokus menghadapi pasien. Tak begitu memedulikan ketakutan dan ketidak-yakinan yang dihadapi sang pasien, Kalanithi menyatakan bahwa operasi adalah satu-satu nya pilihan terbaik. Setelah sesi interaksi mereka berakhir, Kalanithi mulai merasa bersalah. Dia kembali teringat dengan dirinya di masa lalu yang memutuskan untuk menggeluti dunia medis karena hubungan yang dibangun antara manusia adalah bagian penting dari perjalanannya untuk menemukan arti hidup. Kalanithi kembali tersadar bahwa ia harus menghormati hubungannya dengan para pasiennya.
Kalanithi Bekerja di Lab Ilmu Saraf Sebelum Akhirnya Kembali ke Rumah Sakit untuk Mengemban Tanggung Jawab yang Lebih Berat
Di tahun ke-empat residensi, Kalanithi mendapatkan pelatihan di sebuah bidang yang melenceng dari spesialisasinya. Di lab ilmu saraf Stanford, ia belajar untuk menjadi seorang ahli saraf (seorang spesialis yang mempelajari sistem saraf meliputi anatomi dan biokimia dari saraf beserta dengan jaringannya). Menjadi seorang ahli bedah saraf (neurosurgeon) sekaligus ahli saraf (neuroscientist) adalah gelar yang prestise dan sulit untuk diemban. Kalanithi juga mengambil jalan yang berbeda jika dibandingkan dengan rekan sebayanya; saat banyak dari ahli saraf di lab yang mempelajari teknologi yang dapat membantu pasien (contohnya seorang pasien yang lumpuh dapat dibantu dengan kaki robot yang bisa digerakkan dengan pikirannya), Kalanithi justru ingin mempelajari fenomena sebaliknya.
Ya, Kalanithi sangat tertarik dengan bidang neuromodulation yang kegiatannya meliputi mencari cara untuk mengirimkan sinyal dari anggota tubuh robotik ke otak pasien. Jika penelitian di bidang neuromodulation ini berhasil, para teknisi dan insinyur dapat menciptakan anggota tubuh buatan yang mampu membantu otak untuk menanggapi kondisi lingkungan yang ada di sekitar sang pasien. Contohnya, saat seorang pasien amputasi berjalan dengan kaki robotik di atas permukaan yang tidak rata, ia akan berjalan dengan semakin mudah dan nyaman dengan sinyal umpan balik yang dikirimkan dari kaki buatannya ke otak.
Terlepas dari pencapaiannya yang mengesankan, Kalanithi tak bisa berlama-lama di lab. Setelah hampir dua tahun, dia kembali bertugas di rumah sakit sebagai kepala residen. Sebagai ahli bedah saraf dengan level pelatihan di tingkat ini, Kalanithi diharapkan dapat bekerja dengan cepat dan rapi sambil memegang lebih banyak tanggung jawab. Di momen ini Kalanithi menyadari bahwa keunggulan teknis (pengetahuan yang mendasar terhadap saraf) dibutuhkan dari sudut pandang moral. Dengan begitu besar hal yang dipertaruhkan oleh pasien dan keluarganya, niat baik saja tak akan cukup untuk membantu sang pasien. Kemampuan dokter merupakan hal yang krusial.
Contohnya, Kalanithi mendapat kabar bahwa Matthew, anak lelaki yang berhasil dia tangani beberapa tahun lalu, sedang mengalami kondisi yang memburuk. Matthew menjadi anak yang kasar dan tak dapat dikendalikan hingga akhirnya ia memerlukan perawatan khusus secara permanen. Secara tak sengaja, Kalanithi telah melukai bagian kecil dari otaknya saat ia berusaha mengeluarkan tumor dari otak.
Sesaat Sebelum Masa Residensinya Berakhir, Kalanithi Mendapat Kabar yang Mencekam
Sebagai manusia, Kalanithi beberapa kali pernah melakukan kesalahan, namun beliau juga banyak meraih pencapaian. Tak lama lagi masa residensinya berakhir. Kalanithi berhasil mengatasi segala rintangan yang datang dan melaksanakan semua operasi yang dibutuhkan. Beliau bahkan menerima penghargaan prestisius dan dihormati oleh dokter-dokter senior yang pernah bekerja dengannya. Selain itu, Stanford telah membuka sebuah posisi pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya; mereka menginginkan Kalanithi bekerja di rumah sakit sebagai neurosurgeon-neuroscientist dengan fokus pada neuromodulation.
Namun, pada saat masa residensinya tersisa 15 bulan saja, takdirnya tiba-tiba saja berubah. Selama 6 bulan terakhir, dia telah kehilangan berat badan dan menderita sakit punggung parah yang tak pernah ia alami sebelumnya. Ia memeriksakan dirinya ke dokter untuk melakukan X- ray. Sang dokter berkesimpulan bahwa gejala ini muncul karena ia bekerja terlalu keras. Kalanithi tak begitu yakin dengan kesimpulan tersebut, namun ia tetap berniat untuk menyelesaikan residensinya. Tak lama kemudian rasa sakit itu kembali, namun kali ini berpindah ke dadanya. Dia terus kehilangan berat badan yang diiringi dengan batuk yang tak henti-henti. Kalanithi menyadari bahwa gejala yang dirasakan merupakan indikasi dari penyakit kanker. Akhirnya sang dokter memutuskan untuk melakukan pemindaian ulang pada dadanya dan melihat gambarnya yang terlihat kabur. Secara langsung Kalanithi tahu apa artinya itu: paru-parunya penuh dengan tumor. Tulang belakang dan hatinya mengalami deformasi; kanker telah menyebar keseluruh tubuhnya. Kasus kanker Kalanithi sudah parah.
Kalanithi Kembali Merenungkan tentang Hidup dari Sudut Pandang Seorang Pasien dan Memperdebatkan Apakah Dia dan Istrinya Harus Memiliki Seorang Anak
Bagaimana kamu akan menghabiskan hari-harimu saat kamu tahu bahwa umur yang tersisa tak lagi panjang? Ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab. Selama masa perawatan, Kalanithi tak yakin tentang bagaimana ia harus melangkah dengan hidup maupun karirnya. Saat berdiskusi dengan dokternya, Emma, dia merasa terganggu dengan ketidak- tahuannya akan berapa lama waktu hidupnya yang tersisa. Lagi pula seandainya ia memiliki waktu beberapa dekade lagi untuk hidup, dia akan terus melakukan bedah saraf (neurosurgery), tetapi jika dia hanya memiliki waktu satu atau dua tahun saja, kemungkinan besar dia akan menghabiskan waktunya untuk menulis. Literatur dan menulis masih menjadi hal yang utama bagi dirinya, dan Emma menasihatinya untuk menaruh fokus pada hal yang benar-benar berarti.
Tetapi pengalaman hidupnya saat ini juga membingungkan baginya: Bagaimana bisa dia menjadi seorang dokter dan pasien dalam waktu yang sama? Sebagai seorang dokter, dia akan membaca seluruh buku medis untuk mendapatkan jawaban teknis, akan tetapi sebagai seorang pasien, dia akan mencari jawaban-jawaban filosofis dari literatur yang dia cintai.
Masih ada pertanyaan lain yang menggantung di pikirannya. Kalanithi dan sang istri, Lucy, yang selalu berada di sisinya mempertanyakan apakah mereka harus memiliki anak sebelum semuanya terlambat? Setelah mempelajari diagnosis penyakitnya, mereka segera menuju ke bank sperma untuk mempelajari pilihan yang paling tepat dengan risiko yang paling kecil. Dengan segala macam pertimbangan, akhirnya mereka memutuskan untuk memiliki anak. Dengan ketidak-yakinan akan berapa lama lagi Kalanithi dapat hidup, mereka memustuskan untuk membekukan sperma dari Kalanithi untuk menghindari komplikasi terhadap sperma yang mungkin ditimbulkan oleh perawatan medis terhadap penyakit kankernya. Beberapa waktu kemudian, Lucy dibuahi dengan sperma yang dibekukan dan hamil-lah dia.
Walaupun Dalam Keadaan Lemah, Kalanithi Menjadi Saksi Kelahiran Anak Perempuannya, dan Meniggal Tak Lama Setelahnya
Di tanggal 4 Juli 2014, anak perempuan pertama Kalanithi dan Lucy dilahirkan. Ia diberi nama Elizabeth Acadia (dipanggil Cady). Walaupun ia dapat bertahan cukup lama untuk menyaksikan kelahiran Cady, Kalanithi berada dalam keadaan yang semakin lemah. Saking lemahnya ia harus berbaring di atas ranjang di samping sang istri saat kelahiran Cady. Setelahnya, ia memutuskan untuk pulang ke rumah dengan keluarganya meskipun tubuh nya kurus, gemetar, dan bahkan tak mampu untuk melakukan hal-hal sederhana seperti duduk dan membaca.
5 bulan setelah kelahiran Cady, kanker di tubuh Kalanithi semakin merajalela. Kanker mulai mampu melawan pengobatan yang diberikan, entah itu obat khusus atau kemoterapi sekalipun. Fakta ini memmbuat rasa sedih yang dialami keluarganya semkain mendalam. Namun mereka masih saja mampu untuk menghargai dan mensyukuri momen-momen kecil dalam hidup, seperti mengundang teman-teman untuk makan malam dan bermain dengan sang bayi.
Sesampainya di bulan Februari tahun 2015, Kalanithi menjadi semakin lemah dan sering kali mual. Ia bahkan tak bernafsu untuk makan. Menurut hasil scan tubuh terbarunya, selain kanker yang semakin menggerogoti paru-parunya, tumor juga mulai tumbuh di otaknya. Kalanithi paham bahwa dua kombinasi penyakit ini akan memengaruhi pikirannya; dampak neurologis yang diakibatkan oleh tumor terhadap otak akan melucuti kemampuannya untuk berpikir secara logis, apa lagi menemukan makna dari kehiduapan.
Setelah Kematian Kalanithi, Sang Istri Merenungkan Kembali Masa-Masa Kebersamaan Mereka dengan Rasa Sedih Sekaligus Syukur
8 bulan setelah kelahiran Cady, Kalanithi dilarikan ke ruang gawat darurat karena mengalami kesulitan untuk bernafas. Sesampainya di rumah sakit, alat-alat pendukung untuk bernafas dipasangkan ke beliau. Dari awal mereka tahu bahwa ini hanyalah solusi sementara. Setelah mendiskusikan opsi-opsi perawatan terbaik baginya, Kalanithi meminta agar seluruh alat pendukung dapat dilepaskan. Jika ia harus menggunakan ventilator, ia tak akan pernah bisa terlepas dari alat tersebut. Kalanithi berkesimpulan bahwa percuma untuk tetap menjaga jantung nya tetap berdetak.
Di jam-jam itu, seluruh keluarga berada di sekelilingnya sambil melihat alat bantu pernafasan dilepas dari hidung Kalanithi. Morfin tambahan diberikan agar Kalanithi dapat sedikit terlepas dari rasa sakitnya. Satu demi satu sahabat dan rekan kerjanya datang untuk memberikan penghormatan terakhir dan menyampaikan kata-kata cinta mereka kepada Kalanithi. Akhirnya, Kalanithi menutup matanya di pukul 9 malam di tanggal 9 Maret 2015 pada usia 37 tahun.
Walaupun merasa hancur dan sedih dengan kepergian sang suami, Lucy juga teringat akan beberapa tahun terakhir bersama Kalanithi yang dihabiskan dengan penuh cinta dan arti. Sepasang kekasih ini menjadi tak terpisahkan seperti saat mereka pertama kali bertemu di bangku pendidikan. Keluarga Kalanithi juga saling menguatkan. Mereka saling menjaga selama Kalanithi berada di rumah sakit. Mereka juga mengahabiskan waktu layaknya keluarga normal dengan membicarakan tentang sepak bola, membacakan buku dengan lantang, dan menyantap masakan rumah sang Ibu bernama Indian dosa.
Dari pada berlarut dalam kesedihan, Lucy memilih untuk berbahagia yang diwujudkan olehnya dengan meneruskan naskah suaminya yang belum sempat terselesaikan hingga akhirnya menjadi buku yang menginspirasi banyak orang. Walaupun Kalanithi tak dapat menuntaskan bukunya seperti yang ia harapkan, ia telah berusaha dengan keras untuk mengerjakannya selama kondisi kesehatannya masih memungkinkan. Bukunya telah “lengkap”; atau dengan kata lain apa yang ia tuliskan dapat menangkap kenyataan yang sedang dihadapinya seiring dengan mendekatnya waktu kematian. Lucy percaya bahwa melalui bukunya, Kalanithi telah memenuhi harapannya. Dia tak hanya membantu orang lain untuk memahami dan menerima bahwa kematian merupakan bagian dari hidup, ia juga mengajarkan bahwa sangat mungkin untuk menjalani hidup dengan penuh integritas dan arti saat menghadapi kematian.
Add a comment