-
Topik TulisanManajemen & Kepemimpinan
-
Sub Judul TulisanTugas yang Mendesak Tidak Berarti Penting
- Berikan Komentarmu
Mendesak. Akhir-akhir ini semuanya terkesan serba mendesak (urgent). Dengan lingkungan kerja yang serba didukung oleh teknologi, kita merasa bahwa semuanya harus dikerjakan sekarang, dan ini mulai menjadi norma yang umum. Padahal urgensi yang tak diperlukan (unnecessary urgency) dapat memiliki dampak yang membahayakan untuk jangka panjang, entah itu berakibat pada stress, kelelahan, atau bahkan ketidak-efisien-an.
Akan tetapi, tak semua hal yang mendesak merupakan sesuatu yang buruk. Pada beberapa kasus, urgensi memang diperlukan untuk menyelesaikan sesuatu secara cepat agar menampakkan hasil. Namun terlalu banyak urgensi dapat membawa dampak yang destruktif, baik terhadap moral dan produktivitas. Sebaliknya, nihilnya urgensi sangat mungkin membawa kita pada stagnasi. Maka dari itu, kita membutuhkan urgensi dengan dosis yang tepat.
Urgensi yang Tak Masuk Akal Justru Merusak Tingkat Produktivitas
Hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Journal of Applied Psychology membuktikan bahwa 40% dari orang Amerika mengalami kecemasan (anxiety) pada hari kerja, dan 72% di antara mereka mengatakan bahwa kecemasan ini memengaruhi pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Tak diragukan lagi bahwa teknologi mempunyai pengaruh besar terhadap fenomena ini. Saking terhubungnya dunia kerja, kita dialiri dengan informasi secara konstan sehingga tak memberikan cukup ruang dan waktu bagi kita untuk mencernanya. Untuk memenuhi permintaan mendesak ini, kita selalu saja sibuk, panik, dan terburu-buru untuk memenuhinya, namun tak bisa benar-benar efektif. Ini akan berujung pada stres berat dan rasa lelah yang sangat (burnout). Lebih dari itu, kemungkinan bagi kita untuk melewatkan tenggat pekerjaan akan semakin besar, yang ternyata juga menelan biaya bagi bisnis.
Oxford English Dictionary mendefinisikan urgency sebagai “hal penting yang membutuhkan tindakan cepat”. Namun di lingkungan kerja sekarang, tugas apapun yang sensitif terhadap waktu, entah hal itu penting atau tidak, hampir selalu mendapatkan tanda urgent atau mendesak. Urgensi yang tak diperlukan ini mampu memunculkan stres dan distraksi, hal ini sering disebut dengan unproductive urgency (urgensi tak produktif).
Terdapat dua jenis unproductive urgency, yakni: fake (palsu) dan avoidable (dapat dihindari). Fake urgency bisa saja terjadi akibat anggapan diri kita sendiri; contohnya, cepat-cepat membalas pesan yang sebenarnya kamu tahu bahwa pesan itu tak begitu mendesak untuk dibalas. Para peneliti menunjukkan bahwa interupsi singkat terhadap konsentrasi kita saat mengerjakan sesuatu membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mengembalikannya secara utuh. Di lain waktu, fake urgency bisa datang dari faktor eksternal; misalkan rekan kerja mu mengirimkan serangkaian email dengan subjek yang berubah dari “urgent” menjadi “URGENT!” hingga “REALLY URGENT!”. Ini dia lakukan agar dia mendapatkan perhatianmu.
Lalu apa yang dimaksud dengan avoidable urgency? Dalam kasus ini, hal penting yang mendesak memang terjadi, namun sebenarnya urgensi ini bisa dihindari. Avoidable urgency muncul akibat kita menunda-nunda pekerjaan (procrastination), kurangnya perencanaan dan kontrol (disorganization), komitmen yang berlebihan (overcommitting), atau manajemen waktu yang buruk.
Untuk menghindari terjadinya unproductive urgency, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, don’t cry wolf, atau dengan kata lain jangan bertindak layaknya ada sesuatu yang mendesak ketika sebenarnya tidak ada sama sekali. Perlakukan pekerjaan sebagai hal yang mendesak hanya ketika pekerjaan tersebut penting, tersisa sedikit waktu untuk melakukannya, dan tak dapat dihindari. Dengan email, penulis mempunyai ide akan sebuah fitur yang bernama “urgency token system”: sistem ini akan membatasi jumlah email “mendesak” yang bisa diterima oleh seseorang per bulannya. Jika quota email urgent mu habis, maka tak ada lagi email “urgent” yang masuk.
Menanamkan Pola Pikir yang Proaktif dapat Membantu untuk Mengendalikan Urgensi
Seperti yang sempat dibahas di awal, ada juga urgensi yang bersifat produktif dan masuk akal; hal ini terkait dengan sesuatu yang tidak bisa direncanakan dan membutuhkan tindakan cepat. Mungkin kamu baru saja mendengar informasi tentang lowongan kerja impian dan besok merupakan hari terakhir untuk mengumpulkan segala persyaratan pendaftaran. Atau mungkin perusahaanmu sedang menjalani investigasi terkait dengan peraturan dan atasanmu meminta laporan atas kondisi perusahaan sesegera mungkin. Urgensi yang produktif dapat menjadi jalan untuk memunculkan traksi dan momentum, dan ini adalah satu-satunya urgensi yang bisa kamu terima.
Di samping harus membatasi jumlah urgensi yang dapat kamu terima, penting juga untuk memperhatikan urgensi yang kamu datangkan kepada orang lain. Tak peduli apapun perananmu, tindakanmu yang tak dipikirkan dengan matang dapat membuat hari seseorang menjadi berantakan. Maka dari itu, prinsip dari Urgency Playbook yang kedua dan ketiga adalah: gunakan urgensi dengan bijak, dan hindari untuk mendatangkan unnecessary urgency kepada orang lain. Kedua prinsip tersebut memang saling berhubungan dan mewajibkanmu untuk memiliki gaya kerja yang proaktif. Saat kamu berkerja secara proaktif, kamu bertindak dengan cara yang memaksimalkan manfaat, dan meminimalkan kerugian, baik terhadap dirimu sendiri maupun orang lain.
Lalu bagaimana penerapan dari prinsip itu dalam keseharian. Pertama, buatlah rencana terhadap setiap kegiatan karena “failing to plan is planning to fail (gagal berencana adalah berencana untuk gagal)”. Ini bisa diterapkan terhadap pekerjaan mu maupun kehidupan pribadi. Kedua, “be someone who pays it forward”. Atau dengan kata lain, jadilah seseorang yang mampu menyadari kebutuhan rekan kerja atau orang terdekat; apakah cara kerjamu dapat memudahkan kerja dari rekan-rekanmu? Bantu mereka jika kamu memang memiliki waktu dan tenaga.
Mengapa harus berencana? Menurut penulis, terburu-buru untuk melakukan sesuatu akan menimbulkan banyak kesalahan, dan ujungnya, kita harus mengulangi pekerjaan tersebut dari awal. Mungkin kita sering terburu-buru karena kita merasa tak punya waktu, namun itu semua percuma saat kamu harus mengulanginya pada akhirnya. “Measure twice and cut once (ukur dua kali dan potong sekali)” begitu kata tukang kayu.
Selalu prioritaskan tugas berdasarkan tingkat pentingnya tugas tersebut, bukan urgensi. Untuk bisa berkembang di zaman yang banjir informasi ini, kamu harus pintar-pintar menyaring prioritas dan fokus mengerjakan hal terpenting terlebih dahulu. Selain itu, coba untuk menghindari menunda-nunda pekerjaan. Biasanya procrastination ini terjadi saat tugas tersebut terkesan kompleks dan memakan banyak waktu, atau tak adanya tekanan dari pihak eksternal; karenanya penulis menyarankan agar kamu dapat menemukan seseorang yang bisa mengingatkanmu atas tanggung jawabmu. Terakhir, pikirkan beberapa langkah kedepan dan apa yang harus dilakukan saat hal tak berjalan sesuai rencana.
Terapkan Sebuah Sistem yang Proaktif untuk Meningkatkan Produktivitas dan Mengatur Kerja Secara Efektif
Coba amati sistem produktivitas mu saat ini. Apakah sistem yang ada memaksamu untuk bekerja secara reaktif alih-alih secara proaktif? Katakanlah kamu menerima sebuah pemberitahuan email masuk; email tersebut tidak mendesak untuk direspons, namun email tersebut menarik perhatianmu sehingga kamu bereaksi secara kompulsif. Ini yang disebut dengan first-minute reactivity.
Kemudian ada juga yang disebut dengan last-minute reactivity. Contohnya saat kamu memberitahu diri bahwa kamu akan membalas sebuah email nanti, akan tetapi kamu berujung melupakannya dan justru harus berurusan dengan email tersebut saat tugas yang ada di dalamnya menjadi urgent. Dalam prosesnya, prioritas yang telah kamu susun menjadi berantakan dan tekanan dari tugas tersebut melebar kepada rekan kerja lain karena kelalaianmu yang sebenarnya bisa dihindari. Terdengar familiar bukan?
Maka dari itu, prinsip ke-empat dari The Urgency Playbook berbunyi “The trick to maximizing your productivity is to operate in the proactive zone (trik untuk memaksimalkan produktivitas adalah dengan bertindak pada zona proaktif)”. Yang dimaksud dengan berada pada zona proaktif adalah “being clear on timeframes (jelas dalam menentukan jangka waktu dari sebuah tugas)”. Jadi di saat kamu memberi atau menerima tugas, pastikan kamu mengetahui tenggat waktunya.
Kedua, atur semua jadwal pertemuan maupun komitmen terhadap pemenuhan tugas pada satu lokasi atau medium. Mungkin saat ini kamu menggunakan sebuah kalender digital untuk menandai jadwal meeting mu, sedangkan untuk kumpulan tugas-tugas (to-dos) harian tersebar di aplikasi, buku catatan, atau mungkin di kepala. Menggabungkan seluruh tugas dan jadwal pertemuan pada sebuah tool sederhanda seperti Microsoft Outlook atau Gmail akan memberikan visibilitas yang lebih baik terhadap jalannya hari dan kendali atas seluruh pekerjaan.
Ketiga, atur aktivitasmu berdasarkan waktu. Dengan kata lain, kamu disarankan untuk memblokir jangka waktu yang spesifik pada kalender atau mengalokasikan hari tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu. Jangan lupa untuk memberikan highlight pada tiga prioritas utama setiap harinya dan berjuanglah untuk menyelesaikannya. Dengan melakukan ini selama 10 menit setiap hari, daya fokusmu akan semakin tajam. Berikan batasan waktu maksimal untuk meeting dalam satu minggu sehingga kamu punya cukup waktu untuk menyelesaikan prioritas dan tugas-tugas administratif lain.
Terakhir, matikan notifikasi email. Kamu tentu tidak perlu tahu setiap kali ada email yang masuk. Merespons setiap email yang masuk akan menjadi distraksi dan justru mengurangi produktivitas. Untuk hal-hal yang benar-benar mendesak, beri tahu semua rekan kerjamu untuk menyampaikannya melalui telepon atau berdiskusi secara langsung. Percayalah bahwa gaya kerjamu memengaruhi gaya kerja rekan-rekanmu, terutama jika kamu adalah seorang pemimpin. Semua yang telah disampaikan hingga titik ini adalah hal dasar, namun jika ini dilakukan secara konsisten, dampak positif pada produktivitas akan terasa.
“Knop Urgensi” Dapat Dieseuaikan untuk Mengatur Prioritas yang Saling Berkompetisi
Walaupun penulis memberi tips terkait urgensi, beliau juga sempat memiliki masalah dengan urgensi saat menuliskan bukunya. Batas waktu penyelesaian buku terlihat masuk akal saat pertama kali beliau tetapkan. Namun tak lama kemudian, beliau membeli sebuah rumah baru dan harus berurusan dengan proses pindah rumah, sehingga kesulitan untuk menemukan waktu menulis.
Alih-alih menjadi panik, beliau menuliskan email kepada publishing editor nya untuk melihat apakah terdapat kelonggaran yang bisa diberikan. Dan ternyata ada. Dengan hanya mengajukan pertanyaan, beliau dapat menegosiasikan urgensi. Ini adalah contoh tentang bagaimana sebuah batasan waktu dapat disesuaikan untuk mengurangi tekanan demi menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Di samping waktu, terdapat elemen-elemen lain dari pekerjaan yang dapat diatur (seperti kualitas, cakupan, anggaran, sumber daya, dan risiko) untuk “meredakan” urgensi.
Seperti knop volume, tingkat urgensi dapat dinaikkan atau diturunkan untuk mendapatkan keseimbangan yang tepat saat berhadapan dengan isu yang mendesak atau tenggat waktu yang semakin mendekat. Jika keterbatasan waktu menjadi hal yang utama dan tak dapat dinegosiasikan, maka knop lainnya dapat diatur sehingga diri atau anggota tim mu tak tumbang menghadapi tekanan.
Kita semua menginginkan untuk mempersembahkan pekerjaan yang berkualitas. Namun dengan mengutamakan kualitas tinggi, kita memerlukan lebih banyak waktu pengerjaan dan memperbesar risiko keterlambatan. Terkadang, memiliki kualitas yang cukup baik itu sudah cukup. Dan terkadang, 80% sempurna yang dikirimkan pada waktu yang tepat itu lebih baik dibandingkan dengan 100% sempurna yang datang terlambat. Moto yang sering didengar dalam industri manufaktur adalah “Kamu hanya dapat meraih dua dari tiga hal ini: cepat, murah, atau bagus.”
Knop selanjutnya adalah cakupan (scope). Mengatur cakupan kerja mewajibkan kita untuk memahami komponen mana saja yang benar-benar penting dikerjakan untuk meraih tujuan. Ini juga terkait dengan menyeimbangkan beban kerja antar anggota tim untuk memastikan bahwa mereka dapat menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline.
Kemudian, pertimbangkan juga sumber daya (resources) yang dimiliki. Jika tim “bengkok” saat berada di bawah tekanan, tim memerlukan lebih banyak tenaga untuk membantu, atau meminta anggota lain yang sedang tidak memiliki banyak tugas untuk membantu (sesuai dengan kapasitasnya). Sebaliknya, kamu juga dapat mengurangi sumber daya untuk meningkatkan urgensi.
Anggaran (budget) dapat mempercepat atau memperlambat pekerjaan. Memiliki uang lebih memungkinkamu untuk melimpahkan pekerjaan (outsource) ke pihak eksternal. Jadi coba cari- cari lembaga yang dapat menyediakan jasa yang berkualitas jika suatu saat diperlukan.
Knop terakhir adalah risiko (risk). Jika kamu memilih untuk mengambil jalan pintas demi mempercepat selesainya pekerjaan, maka kamu sedang mengambil risiko tinggi. Namun jika kamu adalah tipe seseorang yang menghindari risiko (risk-averse), kamu mungkin perlu menciptakan tingkat urgensi yang lebih tinggi agar tenggat waktu dapat dipenuhi. Jangan biarkan dirimu dipaksa untuk membuat keputusan dalam waktu yang singkat, terutama terkait dengan isu-isu penting. Jika mereka ingin mendapatkan keputusan yang cepat darimu, maka jawab saja “tidak”.
Ingat, kita semua sibuk, dan permintaan yang kamu ajukan mungkin bertentangan dengan prioritas dari pihak lain. Karenanya, prinsip yang ke-lima dari The Urgency Playbook adalah “Jangan selalu berharap untuk mendapatkan jasa (bantuan) secara instan (don’t always expect instant service).”
Untuk Melindungi Tim dari Urgensi Eksternal yang Tak Perlu, Seorang Pemimpin Dapat Meresponsnya atau “Menyerapnya”
Sekarang kamu tahu bagaimana caranya untuk menjadi lebih proaktif secara personal, tetapi bagaimana caranya untuk mengendalikan urgensi yang tak terkendali di dalam sebuah tim? Seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin sejati saat ia tahu bagaimana caranya untuk meredakan atau memanfaatkan urgensi demi menyelesaikan tugas yang tepat di waktu yang tepat pula. Kuncinya adalah menjaga rekan-rekan kerja untuk berada pada zona aktif dan produktif.
Karenanya, prinsip The Urgency Playbook yang ke-enam berbunyi: “gunakan alat yang tepat untuk menyampaikan pekerjaan yang mendesak (use appropriate tools for urgent requests).” Kita tahu bahwa email hampir digunakan untuk mengomunikasikan segala macam hal, sehingga email bukanlah alat yang tepat untuk menyatakan urgensi. Pastikan tim memiliki metode komunikasi yang efektif saat terdapat sesuatu yang benar-benar mendesak.
Kemudian, prinsip yang ke-tujuh berbunyi “menjadi responsif, alih-alih reaktif, adalah kunci (the key here is to be responsive, not reactive).” Perbedaan antara responsif dan reaktif di antaranya adalah: responsif bertindak secara terukur sementara reaktif bertindak secara gegabah dan dipaksakan, responsif dilakukan secara sadar sementara reaktif menggunakan insting, responsif lebih tenang dalam menghadapi keadaan sementara reaktif penuh dengan stres. Menjadi responsif bukan berarti menunda pekerjaan, namun ini hanyalah momen berefleksi singkat dengan meletakkan pen sejenak sebelum menandatangani sebuah perjanjian. Atau menjadi sadar dan mempunyai tujuan baik saat menginterupsi orang lain agar tak mengakibatkan distraksi yang tak diperlukan, yang juga merupakan prinsip ke-delapan dari The Urgency Playbook.
Saat kamu memberikan respons pada sebuah isu, pada dasarnya kamu sedang melakukan sederet tindakan kecil secara berurutan. Di saat tertentu, kamu perlu memberikan jeda untuk memahami ada hal apa di balik isu tersebut dan mengevaluasi apakah tugas ini masih relevan. Kemudian coba prioritaskan untuk mempertimbangkan opportunity cost jika kamu memilih untuk mengganti aktivitas dan putuskan untuk mengambil tindakan yang terbaik. Ini merupakan kebiasaan baik yang dapat ditanamkan dalam sebuah tim.
Salah satu manfaat dari mengambil jeda adalah ia memberikanmu kesempatan untuk menyelidiki asumsi-asumsi yang kamu percaya. Ketika kamu bereaksi secara buta terhadap sebuah tugas, kamu akan cenderung berasumsi bahwa pekerjaan ini mendesak – dan lupa jika tugas tersebut dapat dinegosiasikan. Sangat mungkin jika pekerjaan baru yang masuk mengandung banyak fake-urgent work. Peran pemimpin di sini adalah untuk menyadari dan menyerap tingkat urgensi sebenarnya dari tugas eksternal untuk mencegah timbulnya masalah atau kepanikan di dalam tim.
Alih-alih mengalihkan seluruh fokus tim mu untuk mengerjakan sebuah tugas yang mendesak, minta pihak pemohon untuk menjustifikasi urgensi dari tugas tersebut terlebih dahulu, apa alasannya? Jika kamu dapat melakukan ini dengan sopan sekaligus tegas, orang-orang akan melihat bahwa kamu berfokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
Kamu Perlu Menggerakkan Pasukanmu untuk Membangun Urgensi Internal yang Sehat dan Menciptakan Momentum
Penulis memutuskan untuk mendaki Gunung Carrauntoohil, yang merupakan gunung tertinggi di Irlandia, bersama sang anak. Satu-satunya masalah yang dihadapi dalam kegiatan ini adalah penulis memiliki ketakutan yang sangat terhadap ketinggian. Pemandu mereka tahu akan hal ini. Dia terus mengawasi tiap langkah dari sang penulis seiring dengan bertambahnya ketinggian sambil memberikan kata-kata penyemangat yang ramah. Hampir mencapai puncak, kemiringan dari lereng gunung menjadi curam, sang penulis pun berjuang keras. Jika saja ia kehilangan pijakan kakinya, ia akan jatuh terguling beberapa ratus meter ke bawah.
Penulis mulai panik. Merasa tak sanggup melanjutkan, dia jatuh berlutut. Kemudian tibe-tiba saja ia mendengar teriakan: “BERDIRILAH DERMOT. KAMU TAK AKAN MENCAPAI PUNCAK HANYA DENGAN BERLUTUT! AYOLAH KAWAN!”. “Apakah ini pemandu ramah tadi yang berteriak?” pikir penulis. Mendengar ini penulis bangkit dan mulai melangkah lagi. Sesampainya di puncak, ia ambruk ke tanah dengan perasaan senang. Sang pemandu pun menghampirinya sambil menjabat tangannya dan berkata, “Kerja bagus, aku tahu kamu dapat melakukannya!”. Taktik push and pull yang digunakan sang pelatih menunjukkan kekuatan mobilisasi yang bisa digunakan oleh pemimpin untuk menciptakan urgensi.
Mungkin kamu, sebagai pemimpin, sedang ingin meningkatkan rasa urgensi di dalam tim untuk menyelesaikan prioritas internal yang kritis. Untuk menggerakkan rekan kerja lain, kamu perlu mengomunikasikannya dengan sadar dan jelas. Ini semua dimulai dengan mendemonstrasikan bahwa kamu peduli dengan tugas tersebut dan berkomitmen secara penuh untuk menyelesaikannya saat tugas tersebut memang mendesak – ini merupakan prinsip the Urgency Playbook yang ke-sembilan.
Atau mungkin kamu ingin membangun momentum untuk sebuah proyek baru berjangka lebih panjang. Terkadang, kita sangat mudah terjebak dengan pikiran bahwa kita mempunyai waktu yang tak terbatas ketika tenggat waktu proyek adalah 6 bulan kedepan. Namun jika mobilisasi tidak terjadi di awal proyek, risiko untuk menghadapi setumpuk urgensi yang tak bisa dihindari akan semakin besar di saat mendekati tenggat waktu.
Maka dari itu, tetapkan tenggat waktu (deadline) yang dapat dipertanggung jawabkan. Jadilah bijak. Terlalu banyak deadlines (baik asli maupun palsu) dapat mendorong tim untuk memasuki zona reaktif. Alih-alih, tanamkan budaya yang menjunjung akuntabilitas. Ada dua cara untuk melakukan ini. Pertama, Jum’at adalah Jum’at; dengan kata lain, jangan biarkan tim mu menyelinap melewati deadline tanpa disadari. Kedua, izinkan adanya negosiasi – terbukalah untuk mendiskusikan deadline jika tim berpikir bahwa Jum’at ini bukanlah waktu yang tepat.
Kemudian, izinkan juga tim untuk bertanya “mengapa” terhadap sebuah tugas alih-alih membiarkan budaya “just do it (lakukan saja – tanpa tahu alasannya)” berkembang. Kebijakan sesederhana ini dapat memberdayakan dan memotivasi tim mu karena mereka mempunyai alasan dan tujuan yang jelas mengapa mereka harus mendukung proyek ini. Cara lain untuk memicu adanya tindakan adalah dengan mengakui dan memberikan perhagaan atas kerja keras fenomenal dalam menyelesaikan tugas mendesak. Mungkin penghargaan ini bisa datang dalam bentuk hadiah yang penuh arti (tak harus mewah) atau makan malam bersama tim. Terkadang ucapan terima kasih yang tulus juga sudah cukup.
Meredakan Urgensi yang Berulang Dapat Membantu Tim mu untuk Fokus Pada Prioritas yang Sebenarnya
Dalam memimpin, tiap perilakumu dilihat dan mempengaruhi setiap orang di dalam tim. Jadi penting bagi pemimpin untuk mencontohkan sikap dan kebiasaan baik yang ingin kamu lihat pada anggota tim lainnya. Salah satu praktik dari memimpin dengan mencontohkan adalah melakukan apa yang telah kamu katakan (prinsip terakhir dari the Urgency Playbook). Ini berarti kamu dapat memenuhi komitmen dan janji mu, atau menghubungi pihak yang bersangkutan dan melakukan negosiasi jika tak dapat dipenuhi. Arahkan dirimu pada kesuksesan dengan menjadi realistis terhadap diri saat berurusan dengan rencana dan janji-janji.
Cara lain untuk meredakan urgensi adalah meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan tim. Dalam salah satu workshop yang diadakan penulis, seorang peserta menceritakan tentang bos lamanya: “Tak peduli seberapa sibuknya beliau, ia selalu punya waktu untuk kita.” Kemampuan yang terlihat sederhana ini membutuhkan banyak kemauan dan usaha pada kenyataannya. Percayalah, dengan membuat dirimu ada bagi tim, ini akan mendatangkan banyak hal yang dapat menginspirasi dan menjaga mereka untuk tetap fokus.
Terakhir, ketika perjalanan menuju ke tujuan terasa berat, kamu dapat membantu tim untuk memfokuskan kembali usahanya dengan “menari di atas lantai dansa dan pergi ke balkon.” Apa maksudnya? Mengistirahatkan fisik dan mental sejenak di tengah-tengah kesibukan dan pekerjaan sambil menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mekanisme seperti ini memastikan kamu untuk merespons dari pada bereaksi. Selain itu, baik-baik dengan dirimu di momen-momen kegagalan, dan beri penghargaan bagi diri ketika kamu memperhatikan perubahan.
Semoga bermanfaat kawan, terima kasih!
Add a comment