Di Dunia yang Terus Berubah, Akan Sangat Membantu Apabila Kamu Mampu Untuk “Mengubah Pikiranmu”
Di tahun 2009, Blackberry (BB) menguasai pangsa pasar terbesar untuk produk kategori telepon genggam di Amerika Serikat. Mulai dari Bill Gates hingga Presiden Obama menyatakan bahwa mereka tak akan bisa hidup tanpa Blackberry. Di kalangan anak muda Indonesia pun, menggunakan gawai BB dapat meningkatkan status sosial mereka di mata teman sebayanya. Tetapi apa yang terjadi 5 tahun kemudian? Pangsa pasar BB turun drastis menjadi 1% saja. Apa penyebabnya? Menurut penulis, ini karena Mike Lazaridis, penemu dari Blackberry, tak mau mengubah pikiran atau pandangannya mengenai industri telekomunikasi.
Apple mulai mengeluarkan iPhone dengan fitur radikalnya sejak tahun 2007 dan perlahan mulai mengambil sebagian pangsa pasar. Di saat yang sama, Lazaridis tetap percaya bahwa sebagian besar pengguna hanya akan menggunakan gawainya untuk membuat panggilan dan komunikasi via email saja. Beliau tak pernah membayangkan bahwa pengguna akan memanfaatkan gawai sebagai media pembayaran ataupun pengganti kamera digital saku.
Sebelum kalian terburu-buru menghakimi Mike, coba lihat dirimu sendiri. Mungkin kamu pernah membuat kesalahan yang sama. Benar bukan? Entah kamu adalah seorang pengusaha, mahasiswa atau karyawan biasa, kamu hampir bisa dipastikan pernah secara keras kepala mempertahankan pendapatmu meskipun kenyataannya pendapat tersebut sudah tak relevan untuk dipertahankan. Jika kamu masih mempertahankan sikap tersebut, sebaiknya kamu harus memikirkannya kembali. Dunia sekarang berubah dengan begitu cepatnya akibat evolusi teknologi dan informasi. Di tahun 2011 sendiri, secara rata-rata manusia telah mengonsumsi informasi 5 kali lebih banyak dibandingkan manusia yang hidup di tahun 1986.
Menurut penulis, mengetahui bagaimana cara untuk berpikir saja itu tidak cukup; kita juga harus mengetahui bagaimana caranya untuk re-think (mengubah pikiran/pendapat yang kamu percaya) sehingga kamu dapat mengintegrasikan informasi baru yang muncul kepada kepercayaan (belief system) yang telah terbentuk dan menyusun ulang strategi untuk menjalani hidup yang lebih baik. Oke, setuju. Tapi bagaimana cara untuk menerapkannya? Anggap dirimu layaknya seorang ilmuwan. Mereka selalu saja penasaran tentang segala hal yang tak mereka ketahui; saat mereka mendapatkan data baru, mereka akan segera mengubah pandangan mereka terhadap subjek yang sedang diteliti. Ilmuwan memulai segala sesuatunya dengan pertanyaan, bukan jawaban. Mereka akan terus menerus menguji teori mereka berdasarkan pada data serta bukti nyata, bukan sekedar intuisi.
Sebuah penelitian terhadap perusahaan startup di Italia menemukan bahwa pendiri (founders) yang memikirkan bisnisnya “secara ilmiah” dapat menghasilkan lebih banyak omzet dibandingkan mereka yang tidak. Peneliti berkesimpulan bahwa pemimpin yang berpikir secara ilmiah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk sukses karena mereka akan segera melakukan penyesuaian terhadap model bisnis mereka ketika terdapat sesuatu yang salah.
Kamu Mungkin Tak Mengetahui Apa yang Tak Kamu Ketahui
Untuk sebagian besar manusia, titik lemah (blind spot) terbesar yang kita miliki terdapat pada segala hal yang mana kita tak memiliki pengetahuan yang cukup terhadapnya. Ini mungkin terdengar aneh, namun banyak studi menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki nilai buruk di bidang penalaran logis dan selera humor, juga memiliki kepercayaan diri yang berlebihan terhadap kemampuan mereka di bidang tersebut. Parahnya lagi, manusia cenderung enggan untuk meningkatkan kemampuannya ketika ia percaya bahwa ia memiliki kemampuan yang baik di bidang tersebut, padahal kenyataannya kemampuannya tak cukup sama sekali jika dibandingkan dengan kemampuan rata-rata orang lain yang mendalami bidang yang sama.
Sekarang pertanyaannya adalah, apa yang dapat menjadi obat untuk kebutaan terhadap inkompetensi diri ini? Jawabannya adalah kerendahan hati (humility).
Ketika kamu mengadopsi perilaku rendah hati, kamu akan mengakui bahwa terdapat banyak hal yang tak kamu ketahui yang akhirnya menuntunmu untuk mempelajari hal-hal baru dan mendorongmu untuk menjadi manusia yang lebih berkompetensi. Tak usah khawatir, kerendahan hati tak akan menurunkan rasa percaya dirimu; dua sikap ini justru akan saling melengkapi. Rasa rendah hati akan membuatmu berani bertanya tentang “apakah kamu telah menggunakan metode yang tepat untuk memecahkan sebuah masalah?”; sementara rasa percaya diri akan membantumu untuk tetap terus berjalan ketika menghadapi rintangan.
Cara lain untuk mengetahui blind spot dari diri adalah melalui sebuah “konflik”. Menurut penulis, ada dua jenis konflik yang kerap muncul dalam sebuah tim yakni: relationship conflict dan task-based conflict. Relationship conflict tak hanya berupa ketidak-setujuan dalam berpendapat terhadap suatu subjek, tetapi ada elemen emosi dan rasa ketidak- sukaan terhadap lawan bicara yang ikut berperan di dalamnya. Di sisi lain, dalam task-based conflict, pihak yang bersangkutan hanya memperdebatkan strategi dan metode yang paling efektif digunakan untuk memecahkan sebuah masalah atau untuk mencapai sebuah tujuan, tanpa memiliki niatan untuk menyakiti perasaan dari lawan bicara.
Penulis, Adam Grant, sempat meneliti performa tim dari beberapa startups yang ada di Silicon Valley. Beliau menemukan bahwa tim dengan pencapaian terbaik lebih sering mengalami task-based conflict, terutama di tahap awal dari proses dijalankannya sebuah proyek. Selain itu, mereka juga jarang mengalami relationship conflict, walaupun mereka terlihat keras dalam mendiskusikan hal-hal teknis dari sebuah solusi, tetapi tak ada rasa dendam antar mereka setelahnya.
Negosiator yang Ahli Melakukan Tiga Hal Ini untuk Mengubah Pikiran dari Lawan Bicaranya
Apa yang biasanya kamu lakukan untuk meyakinkan seseorang bahwa apa yang kamu sampaikan itu benar adanya? Pada awalnya, penulis berkeyakinan bahwa menunjukkan bukti demi bukti yang relevan kepada lawan bicara adalah cara yang paling efektif untuk meyakinkan bahwa pendapat yang disampaikan lawan bicara itu salah. Namun sekarang penulis sadar bahwa untuk memenangkan sebuah perdebatan, kita tak hanya memerlukan logika. Untuk memenangkan perdebatan, sebaiknya kamu mengikuti 3 langkah berikut:
1. Temukan Common Ground (Kesepahaman dari Topik Perdebatan) dengan Lawan Bicara
Dalam menghadapi sebuah perdebatan atau negosiasi, kita sering kali memperlakukannya layaknya sebuah kompetisi tarik tambang. Kita pikir dengan hanya membombardir lawan debat dengan alasan-alasan logis, mereka akan mulai terseret menuju ke sisi kita. Sayangnya menurut penulis metode ini kurang tepat; sebaiknya anggaplah perdebatan layaknya sebuah dansa. Di saat-saat tertentu, negosiator yang lihai bersedia untuk mengambil beberapa langkah mundur yang nantinya akan memberinya ruang untuk bergerak kedepan. Saat berdebat, coba berikan pengakuan pada lawan bahwa sebenarnya kamu setuju dengan pendapatnya untuk beberapa poin tertentu; dengan begitu ia akan mulai menurunkan “benteng pertahanannya” dan memberi ruang untuk mempertimbangkan argumen logismu. Menemukan sebuah kesepahaman (common ground) adalah kunci.
2. Negosiator Ulung Dapat Memenangkan Perdebatan dengan Lebih Sedikit Argumen
Ingat, cara kerja perdebatan itu tak seperti timbangan dua lengan yang mana timbangan dapat bergerak ke satu sisi ketika terdapat lebih banyak beban (atau argumen) di sisi tersebut. Justru dengan menyampaikan banyak argumen lemah yang tak memiliki koherensi antara satu dengan yang lainnya akan memperluas titik kelemahanmu. Lawan bicara dapat merobohkan logika yang kamu coba bangun dengan menyasar titik terlemah dari fondasi yang telah kamu persembahkan. Sementara, negosiator ulung hanya akan menyampaikan sedikit argumen yang memiliki kualitas tinggi. Ia hanya akan mempersembahkan argumen dengan fondasi kuat sehingga sulit untuk dirobohkan.
3. Negosiator Terbaik Berperilaku Layaknya Seorang Ilmuwan
Alih-alih menceramahi lawan debat dengan sudut pandangnya, negosiator ahli akan memperlihatkan rasa penasarannya terhadap pendapat dari lawan layaknya seorang ilmuwan. Mereka sering kali mengajukan pertanyaan terhadap lawan debat untuk menghilangkan rasa penasaran itu. Bisa saja pertanyaan itu berbunyi “Apakah kamu tak dapat melihat sisi-sisi kebenaran dari proposal yang saya ajukan?”. Penelitian juga menunjukkan bahwa negosiator terbaik mengakhiri 20% dari komentar atau pendapatnya dengan sebuah pertanyaan; angka ini 2 kali lebih banyak dari negosiator pada umumnya.
Bahkan Kepercayaan Buta Terhadap Sebuah Paham atau Doktrin Dapat Diubah
Merasa prihatin dengan paham yang dianut oleh anggota Ku Klux Klan (KKK), seorang musisi Daryl Davis mulai berbicara kepada mereka di tahun 1983 untuk mengubah pandangan dari kelompok yang paling rasis di Amerika Serikat ini. Semenjak hari itu, beliau sudah berhasil mengubah pandangan dari banyak anggota KKK dan akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan KKK dengan sendirinya. Jadi bagaimana caranya untuk mengubah prasangka buruk dari anggota KKK terhadap kelomok lain yang sudah sangat mengakar di pikiran? Menurut pengalaman Davis, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menunjukkan kepada mereka betapa sewenang-wenangnya kepercayaan yang mereka anut.
Dalam setiap percakapan dengan anggota KKK, Davis menekankan bahwa alasan mereka memercayai paham rasis ini hanyalah karena mereka terlahir di lingkungan keluarga dengan paham KKK. Davis mengajak mereka berpikir “Bagaimana seandainya jika kamu dilahirkan pada sebuah keluarga yang tak memiliki tradisi aktif yang menjunjung tinggi supremasi manusia berkulit putih? Akankah kamu akan memercayai nilai yang sama?”. Dengan mendorong mereka untuk merenungkan akar dari kepercayaan rasis yang mereka anut, David memberi mereka jalan untuk melihat bahwa kepercayaan KKK memiliki fondasi yang sangat cacat dan rapuh. Proses perenungan mandiri inilah yang membuat mereka mulai mengajukan pertanyaan kritis terhadap kepercayaan ini. Tak ada yang mampu mengubah kepercayaan seseorang selain dirinya sendiri.
Jadi, jika kamu menginginkan seseorang untuk mempertanyakan kembali prasangka- prasangka buruk yang mereka miliki terhadap kelompok lain, tak akan cukup jika kamu hanya menyampaikan sebuah argumen yang menunjukkan mengapa kepercayaan mereka salah. Alih-alih, coba tunjukkan bahwa mereka telah menganut sesuatu hanya berdasarkan pada sebuah kebetulan belaka; dan jika mereka memercayai nilai tersebut dengan buta, ini adalah sesuatu yang konyol.
Kamu Bisa Membujuk Seseorang Dengan Menanyakan Pertanyaan yang Tepat
Kadang cara terbaik untuk bisa mengubah pikiran seseorang adalah dengan mewawancarainya. Pada tahun 2018, di sebuah rumah sakit di Quebec Kanada, seorang ibu muda bernama Marie-Hélène menolak untuk memberikan bayi prematurnya sebuah suntikan vaksin yang bisa memberikan tubuh sang bayi kekebalan terhadap penyakit campak. Suster di bangsal bersalin tahu bahwa hanya ada satu orang yang dapat membantu meyakinkan Marie bahwa vaksin perlu diberikan, yakni Dr. Arnaud Gagneur, sang vaccine whisperer. Dalam prosesnya, beliau menggunakan sebuah teknik yang disebut dengan motivational interviewing yang cukup efektif untuk mengubah perilaku seseorang; entah itu untuk membujuk seseorang berhenti merokok, atau lebih banyak melakukan olah raga, hingga menghentikan kecanduan terhadap judi.
Lalu bagaimana cara kerjanya? Pada intinya, akan lebih efektif untuk membujuk seseorang ketika mereka mampu untuk menemukan alasan di balik benar atau tidaknya sebuah argumen berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Tugas sang pembujuk hanyalah memberikan mereka jalan untuk memikirkan kembali pemahaman mereka; dalam kasus ini, pewawancara harus menerapkan sikap kerendahan hati dan menunjukkan rasa penasaran yang murni terhadap lawan bicara. Pertama, sang pewawancara dapat mencari tahu mengapa seseorang bisa memiliki pemahaman yang ia percayai sekarang dan menemukan hal apa yang kira-kira dapat memotivasi seseorang untuk mengubah pikirannya. Dalam kasus Marie-Hélène, Dr. Gagneur memulai wawancaranya dengan menanyakan bagaimana perasaan Marie terhadap vaksin campak. Setelah itu Dr. Gagneur menanyakan bagaimana perasaannya mengenai hal-hal buruk yang mungkin bisa terjadi ketika Tobie, sang anak, tak diberikan vaksin.
Biasanya, ketika kita mencoba untuk membujuk seseorang, pihak pembujuk akan lebih banyak berbicara; tetapi dalam kasus motivational interviewing, pembujuk dianjurkan untuk lebih banyak mendengar. Dalam proses pembujukan, Dr. Gagneur tak menunjukkan ketidak- setujuannya terhadap Marie, tetapi beliau berusaha untuk memahami ketakutannya terhadap vaksin. Pengakuan sederhana terhadap sudut pandang dan perasaan orang lain ini disebut dengan reflective listening.
Di ujung proses wawancara, Dr. Gagneur menekankan bahwa Marie memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memilih akankah Tobie mendapatkan vaksin atau tidak. Ketika seseorang menolak untuk mengubah pikiran, bisa saja itu bukan karena ia tak setuju dengan pendapatmu, tetapi ia ingin mempertahankan kebebasannya untuk memilih. Jadi, sangat penting untuk membiarkan seseorang mengetahui bahwa mereka mampu untuk berubah dan bebas untuk memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Akhirnya Marie bersedia untuk memberikan vaksin terhadap Tobie, tanpa perlu menggunakan pemaksaan.
Seseorang Enggan untuk Mengubah Pandangannya Ketika sebuah Isu Disajikan dengan Sudut Pandang Hitam dan Putih
Di tahun 2006, Al Gore meluncurkan sebuah film dokumenter berjudul “An Inconvenient Truth” yang membahas tentang perubahan iklim. Tujuan dibuatnya dokumenter ini adalah untuk membuka mata pemerintah dunia, perusahaan global, serta seluruh golongan masyarakat akan kegentingan untuk melindungi planet bumi sekarang juga. Tetapi 15 tahun setelah dokumenter ini diluncurkan, seberapa besar perubahan yang terjadi terhadap cara pandang masyarkat Amerika mengenai perubahan iklim? Ternyata dampaknya tidak se-signifikan yang diharapkan. Di tahun 2018, hanya 59% dari masyarakat Amerika yang memandang perubahan iklim sebagai masalah penting untuk segera disolusikan, dan 16% dari mereka berpikir bahwa perubahan iklim bukanlah sebuah permasalahan. Lalu mengapa kampanye perubahan iklim yang sering kali digaungkan ini tak membawa banyak perubahan?
Seorang aktivis seperti Gore sering membingkai isu perubahan iklim seolah-olah hanya ada dua sisi pendapat yakni: mereka yang mendukung pendapat ilmuan dan menganggap perubahan iklim adalah hal yang nyata, sementara di sisi lain terdapat kelompok yang menolak adanya perubahan iklim (climate change deniers). Menurut penulis, pendekatan seperti ini tak efektif untuk membujuk orang mengubah pendapatnya. Kita justru akan terjebak di dalam situasi binary bias; ini adalah sebuah situasi di mana kita cenderung menyederhanakan sebuah isu yang sebenarnya memiliki berbagai macam sudut pandang berbeda ke dalam dua kelompok saja.
Menyangkut isu perubahan iklim, kebanyakan masyarakat Amerika tidak sepenuhnya mendukung salah satu sisi. Ada dari mereka yang agak khawatir dengan perubahan iklim, beberapa dari memilih untuk masa bodoh, dan lainnya masih ragu akan kebenaran argumen yang dibawa oleh kedua belah pihak. Padahal menurut penulis, orang-orang akan cenderung lebih mau mengubah pandangannya atau at least mengikuti setiap perkembangan yang terjadi ketika isu ini disajikan dengan berbagai macam pandangan. Pendekatan ini akan mendukung orang-orang untuk tidak fokus terhadap sisi emosional dan irasional dari memilih kelompok mana yang benar, akan tetapi mereka akan mulai memfokuskan diri dengan ilmu pengetahuan di balik sebuah fenomena sehingga aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan dapat diambil.
Budaya Organisasimu Mempengaruhi Kemampuan Tim untuk Mengubah Pandangan
Perilaku rethinking ini juga sangat diperlukan untuk sebuah organisasi. Di tahun 2003, Pesawat Ulang Alik Columbia dari NASA lepas landas. Namun anehnya, bagian foam dari roket rontok pada saat itu juga. Tim pengawas roket di bumi menilai bahwa ini bukanlah masalah yang besar. Hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya dan roket berada dalam keadaan baik-baik saja. Mengejutkannya, ketika pesawat kembali memasuki atmosfer bumi, pesawat mulai mengalami retakan-retakan yang berujung pada meledaknya pesawat. Kejadian ini menelan nyawa dari 7 orang astronaut. Jika saja tim pengawas roket di bumi memikirkan kembali peranan penting dari foam, maka mereka akan dapat mengantisipasi kejadian ini lebih awal.
Di tahun 2003, budaya NASA sangat berpusat pada kinerja. Prioritas utama mereka adalah menyelesaikan semua tugas dengan standar yang tinggi di setiap saat. Dengan penekanan yang sangat tinggi terhadap hasil, tak ada banyak ruang untuk melakukan proses rethinking. Penulis berpesan bahwa jika kamu ingin tim yang kamu pimpin memiliki kemampuan rethinking dan memiliki kebiasaan untuk mengkaji ulang keputusan-keputusan, maka perusahaan perlu mengadopsi budaya belajar (learning culture) yang lebih memprioritaskan pada pertumbuhan (growth) baik dari sisi pengalaman pribadi maupun tim, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perkembangan emosional; tak hanya sekedar mengejar growth dalam hal pendapatan.
Dalam budaya belajar, akan selalu ada elemen keraguan terhadap metode yang digunakan untuk memecahkan masalah di benak para karyawan. Mereka selalu sadar bahwa ada banyak hal yang mereka belum pahami. Lagi-lagi, dengan begini mereka akan tetap rendah hati daripada harus menderita di kemudian hari akibat rasa percayaan diri yang berlebihan. Terbukti, perusahaan dengan budaya belajar adalah perusahaan paling inovatif dan jarang melakukan kesalahan.
Selain itu, budaya belajar dapat dibangun dengan memberikan keamanan psikologis terhadap para karyawan; di kondisi ini mereka akan merasa nyaman untuk mengambil risiko karena mereka tahu bahwa mereka tak akan menerima hukuman dengan melakukan sesuatu yang baru atau sesuatu yang berada di luar kebiasaan perusahaan. Jika kesalahan atau eror terjadi, mereka juga tak akan ragu memberi tahukannya kepada rekan kerja lain atau manajer karena kesalahan bukanlah sebuah aib. Justru dengan berterus terang, masalah yang sebelumnya tersembunyi menjadi semakin mudah untuk diidentifikasi dan disolusikan.
Berbeda dengan perusahaan yang menekankan pencapaian, karyawan akan dihukum ketika melakukan kesalahan; maka dari itu mereka akan mencoba untuk terus menutupinya, dan ini akan menjadi penghambat pertumbuhan perusahaan. Jadi kabarkan kepada tim mu bahwa berbuat kesalahan dan mencoba untuk memikirkan ulang pendekatan yang mereka telah lakukan adalah sesuatu yang justru kamu inginkan; dan ini adalah satu-satunya cara agar sebuah organisasi dapat belajar, tumbuh dan berhasil dalam jangka panjang.
Add a comment