Mana yang lebih penting: memiliki beberapa mobil mewah atau menjalani hidup yang penuh dengan tujuan? Saya rasa tiap orang akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Namun melalui buku “The Wisdom of Insecurity”, Alan Watts mencoba untuk berargumen bahwa mencari kesenangan yang tak berujung dan mengikuti gaya hidup konsumerisme tak akan pernah benar-benar bisa membantu seseorang untuk mengisi ruang hatinya yang kosong.
Seiring Dengan Norma Sosial dan Agama Yang Semakin Ditinggalkan, Hidup Menjadi Semakin Tak Pasti
Rasa gelisah (anxious) dan tak aman (insecure) telah menjadi fenomena yang semakin banyak orang alami di kehidupan masyarakat modern. Tetapi coba kita tengok tak jauh ke belakang, pada umumnya kehidupan seseorang di era pre-modern berada dalam bimbingan atau setidaknya sedikit terpengaruh oleh doktrin dari agama. Walaupun hal ini terdengar kolot, kepercayaan yang teguh terhadap moralitas dan adanya kehidupan selanjutnya di alam akhirat telah membantu banyak orang untuk merasa lebih puas dengan kehidupan yang dijalaninya. Janji akan adanya balasan yang setimpal atas setiap perbuatan di dunia dapat memberikan ketenteraman dan membuat manusia lebih rendah hati.
Ya pada dasarnya, manusia mampu untuk menghadapi segala ujian yang datang menghampirinya selama ada sesuatu yang bisa dinantikan di kemudia hari (re: kehidupan alam akhirat). Seorang penganut agama yang taat akan bertahan untuk melihat hidup dari sisi poistifnya di saat ia sedang melalui momen-momen penderitaan terburuknya karena ia yakin bahwa kebahagian di alam akhirat telah menantinya. Namun pengaruh dari agama yang perlahan memudar di abad ke-20 ini telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Dengan keberadaan alam akhirat yang semakin dipertanyakan, terdapat banyak orang yang mengalami kesulitan untuk memahami apa makna sebenarnya di balik rasa sakit dan penderitaan hidup; “mengapa kita harus menderita saat kita hanya hidup sekali saja?”
Kehilangan narasi-narasi bermakna yang sempat dibawa oleh agama, kita mulai merasakan adanya ruang kosong di dada. Inilah mengapa manusia mulai mencari cara alternatif untuk mengisi ruang hampa ini dengan hiburan dangkal yang ditawarkan oleh kehidupan modern, entah itu dalam bentuk obat-obatan terlarang, berpesta-pora, atau bekerja melampaui batas. Metode alternatif ini memang dapat mengalihkan perhatianmu dari memikirkan hal- hal yang lebih bermakna dari kehidupan. Namun di saat yang sama, kamu mulai kehilangan kepekaan terhadap kondisi fisik dan psikis diri. Contohnya, semakin kamu mengonsumsi alkohol untuk mengisi lubang di dada, semakin tinggi juga tingkat toleransimu terhadap alkohol, semakin tak peka tubuhmu terhadap racun dalam tubuh. Keinginan untuk mengonsumsi stimulasi, lagi dan lagi, ini sangat tercermin di kehidupan masyarakat modern. Kita mengejar stimulasi tiada henti hanya untuk “memperkaya” kurangnya makna dalam kehidupan.
Konsumerisme Menjanjikan Kebahagiaan yang Tak Hakiki
Kamu mungkin pernah bergumam pada diri “seandainya aku naik jabatan atau punya rumah baru di ibu kota, pasti aku akan bahagia”. Banyak orang yang menghabiskan waktu-waktu berharganya untuk mengejar tujuan tersebut, namun ujung-ujungnya mereka hanya berjumpa kembali dengan rasa hampa setelah berhasil meraihnya. Menurut Alan Watts, ini adalah masalah mendasar dari konsumerisme, yakni proses mengerjar kebahagiaan yang tak pernah bisa berakhir. Namun sayangnya, pemahaman ini sering sekali ditanamkan oleh orang tua semenjak dini; berulang kali mereka berkata bahwa kebahagiaan dapat diraih saat sang anak mendapatkan nilai baik, lalu melanjutkan kuliah di universitas ternama, dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi agar bisa pensiun dengan tenang.
Tapi apakah benar? Setelah kamu memiliki pekerjaan yang nyaman dan sebuah rumah mewah, mungkin rasa hampa itu akan mengganggumu kembali dan kamu harus mengalihkan perhatianmu kepada sesuatu yang baru, salah satunya adalah dengan melihat rumput tetangga yang sepertinya selalu lebih hijau. Kemudian rasa gelisah itu kembali datang dan muncul keinginan untuk menyaingi “kesuksesan” si tetangga sebelah. Begitulah. Siklus “mengejar kebahagiaan” ini tak akan pernah benar-benar berhenti. Siklus jahat ini mampu mendorong seseorang untuk membuat keputusan-keputusan yang menyesatkan.
Tak jarang, gaya hidup konsumerisme ini mengarahkan seseorang kepada jalur karir yang salah. Orang tua, guru dan figur-figur ternama mungkin pernah meyakinkanmu bahwa mendapatkan pekerjaan bergengsi di perusahaan ternama haruslah menjadi tujuan dari seorang profesional muda. Namun sangat mungkin juga jika saran ini justru menjauhkanmu dari kebahagiaan di masa mendatang jika memang panggilan hidupmu yang sebenarnya adalah untuk membantu orang banyak dengan menjadi seorang perawat atau pekerja sosial. Sangat mudah untuk menghabiskan hidup dengan melakukan pekerjaan yang tidak memuaskan hati demi memenuhi harapan orang lain akan bagaimana seharusnya kebahagiaan di raih.
Tak Ada Suka Cita Tanpa Lara
Sangat wajar jika manusia menginginkan untuk merasakan suka cita tanpa harus mengalami sakitnya luka. Namun, ini bukanlah cara hidup & kehidupan bekerja. Untuk benar-benar bisa menghargai kebahagiaan yang ditawarkan oleh hidup, kamu harus melalui “lara” dalam setiap tahapnya. Layaknya barang, kebahagian dan keindahan hidup juga memiliki harganya sendiri. Bayangkan sebuah situasi di saat kamu melihat calon pasangan hidupmu untuk pertama kalinya, kemudian jatuh cinta dan berusaha untuk menjaga ikatan itu selamanya; dalam proses ini, kalian mungkin akan jatuh sakit dan sempat kehilangan keyakinan untuk bisa mempertahankan hubungan kalian, entah itu karena masalah ekonomi atau konflik keluarga. Namun di situ kalian tahu bahwa inilah harga yang harus dibayarkan untuk bisa merasakan kebahagiaan.
Lalu apa yang bisa kamu lakukan untuk menguatkan diri menghadapi kesengsaraan? Alan menyarankan agar kita berhenti untuk melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang positif dan negatif; namun cobalah menganggap kebahagian maupun ujian sebagai kejadian sesaat (temporary events) yang pasti akan berlalu. Dengan sudut pandang ini, kamu akan mampu menyadari bahwa ujian atau rasa sakit merupakan bagian penting dari kehidupan. Kesegaran dari tiap tegukan air akan terasa saat kita benar-benar merasa kehausan. Dan dengan sudut pandang inilah, kamu dapat keluar dari lingkaran jahat yang bisa mengambil alih kehidupan. Jadi tak perlu khawatir, karena kekhawatiran yang berlebihan hanya akan membawamu kepada kekhawatiran lainnya. Berhenti mencoba untuk mengatur segalanya, atur saja hal-hal yang masih berada dalam kendalimu.
Munculkan Kesadaranmu di Masa Kini
Pernahkah kamu mengalami momen di mana kamu merasa sedikit sedih dan putus asa, namun bukannya bersimpati terhadap kondisimu, salah seorang temanmu malah berkata “kamu sepertinya terlalu banyak mikir deh.” Mungkin di waktu itu kamu akan sedikit tersinggung. Tapi bisa jadi apa yang dia katakan benar adanya. Sebagian besar orang merasa kecewa dengan hidup karena mereka terlalu terpaku dengan apa yang mereka inginkan dan menyesali apa yang mereka telah lewatkan di masa lalu. Jadi, alih-alih terlalu mengkhawatirkan masa depan atau meratapi masa lalu, cobalah untuk fokus terhadap saat ini. Dengan kata lain, memikirkan sesuatu tak sama halnya dengan merasakan sesuatu tersebut secara langsung.
Mulai saja dari hal-hal yang kecil. Daripada hanya memikirkan tentang jumlah likes atau komentar yang akan kamu dapatkan dari foto semangkuk pastamu, lebih baik kamu berkonsentrasi untuk menikmati hidangan tersebut. Menghargai dan menikmati makanan lezat adalah satu pengalaman terbaik yang panca indra kita bisa berikan.
Lalu bagaimana jika pengalaman di masa kini hanya membuat kita tersiksa? Bukankah sebaiknya kita memikirkan masa depan yang cerah atau mengenang kembali ingatan- ingatan indah di masa lalu? Sebenarnya, melawan atau mengacuhkan emosi yang ada di masa kini hanya akan memperburuk keadaan. Menurut Alan, hidup ini layaknya sebuah sungai yang panjang dan berarus kuat. Guncangan akan muncul dari waktu ke waktu, dan yang kamu bisa lakukan adalah “mengendarai” guncangan tersebut. Melawan dan berenang melawan arus justru akan membuatmu tenggelam. Jadi cobalah untuk tetap tenang, dan kendarai arus sungai; jika saatnya tiba, sungai arus sungai akan membawamu ke tempat yang lebih aman. “If you embrace frightening emotions and experiences, the tensions will subside”.
Badan dan Pikiranmu Adalah Entitas yang Sama
Pernahkah kamu menghabiskan waktu berjam-jam, berjuang untuk memecahkan masalah yang sepertinya tak bisa dipecahkan. Tetapi saat kamu sedang mandi ataupun jalan di tengah taman, tanpa memikirkan apapun dengan sadar, tiba-tiba saja solusi itu muncul di pikiran. Ini adalah hal yang umum terjadi pada seseorang; saat kamu menyadari bahwa pikiran dan tubuhmu adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, akan sangat mungkin untuk mengakses seluruh potensi yang kamu miliki. Salah satu kegiatan yang dapat memfasilitasi terjadinya sinkronisasi antara tubuh dan pikiran ini adalah dengan membiarkan diri untuk sepenuhnya berinteraksi dengan lingkungan dan memperlambat intensitas pemikiran analitis yang dipaksakan. Ini akan memberi otakmu ruang untuk memproses informasi di alam bawah sadar yang berujung kepada penemuan-penemuan kreatif.
Wisdom dan potensi alam bawah sadar yang dimiliki seseorang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam aspek kehidupan. Contohnya saja dalam hal mengonsumsi makanan; banyak anggota dari suku-suku asli yang memberikan perhatian lebih terhadap tubuh dan membiarkan perut mereka mendikte seberapa banyak makanan yang harus dikonsumsi. Mereka benar-benar mendengarkan tubuh mereka; saat mereka mendapatkan sinyal bahwa perut telah puas, mereka akan berhenti makan. Namun sering kali kita mengacuhkan perut kita dengan mengandalkan kepala untuk mengatur seberapa banyak makanan yang harus dikonsumsi. Jadi latih pikiranmu untuk menyesuaikan diri dengan bagian tubuh yang lain dan biarkan kata hati (inner voice) menuntunmu. Saat tubuhmu tak setuju dengan hal yang sedang kamu lakukan, ia akan berteriak! Kadang tak ada salah nya juga untuk tak meragukan apa yang dikatakan oleh intuisimu.
Add a comment