-
Topik TulisanEkonomi
-
Sub Judul TulisanMendefinisikan Kembali Makna dari Nilai (Value)
- Berikan Komentarmu
Siapakah pihak yang paling produktif dalam menciptakan “nilai” (value) bagi ekonomi dunia untuk saat ini? Kebanyakan orang akan berpendapat bahwa mereka yang bekerja pada sektor perbankan dan bisnis besar merupakan penyumbang “nilai” terbesar terhadap ekonomi. Namun benarkah? Jasa keuangan bahkan tak dimasukkan ke dalam perhitungan akutansi nasional sebelum tahun 1970-an. Dulu bank hanya dianggap sebagai pihak yang melakukan redistribusi “nilai” di dalam ekonomi, bukan pencipta “nilai” itu sendiri. Pemahaman modern yang berkembang mengenai nilai ekonomi saat ini masih berada pada tahap awal, dan masih mungkin sekali untuk berubah. Maka dari itu, penulis mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali siapa sebenarnya pencipta “nilai” yang hakiki.
Bagi Para Ekonom Terdahulu, Nilai Diciptakan Oleh Para Pekerja, dan Diperah oleh Para Pemilik Tanah
Apakah semua pekerjaan bersifat produktif? Pertanyaan sederhana ini sudah diperdebatkan oleh manusia semenjak abad ke-tujuh. Bapak ekonomi yang bernama François Quesnay percaya bahwa semua “nilai” berasal dari tanah; sehingga hanya pekerjaan yang berkaitan dengan tanah saja, seperti pertanian dan pertambangan, yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan produktif. Sementara, pekerjaan lain hanyalah proses distribusi & penjualan produk yang dihasilkan dari tanah untuk mendapatkan uang. Quesnay juga berpendapat bahwa uang dan barang beredar di antara 3 golongan masyarakat, yakni: pekerja lapangan (yang mengekstrak sesuatu dari tanah), artisan (perajin yang menciptakan sesuatu dengan bahan mentah yang telah diekstrak), dan sterile class (yang terdiri dari kaum bangsawan dan pemilik tanah). Mengingat sterile class sebagai pihak yang memiliki tanah, mereka hanya menyedot “nilai” dari ekonomi dengan menyewakan tanah mereka. Dengan kata lain, mereka adalah pihak yang tidak produktif.
Seiring dengan berjalannya waktu, teori ekonomi pun ikut berkembang. Namun pandangan Quesnay mengenai ketidak-produktifan pemilik tanah masih berlaku untuk waktu yang cukup lama. Ekonom klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx pun setuju dengan beliau. Menurut Adam Smith, seseorang dapat menghasilkan uang dengan tiga cara, yakni: gaji, keuntungan, atau uang sewa; pihak pemroduksi/pabrik adalah pihak yang paling produktif mengingat dari situ lapangan pekerjaan dan keuntungan dapat diciptakan sampai- sampai pemilik tanah dapat menikmati hasilnya tanpa harus bekerja. Namun menurut Adam Smith, pasar bebas yang ideal haruslah terbebas dari “sewa menyewa”. Mengapa? Beliau percaya bahwa seharusnya uang dapat diinvestasikan kembali kepada sektor yang produktif; karena dengan begitu, para pekerja dapat memproduksi lebih, dan kekayaan dari pihak-pihak yang terlibat pun dapat ikut bertumbuh. Namun ketika uang itu dibayarkan untuk sewa tanah, sangat mungkin bagi para bangsawan dan pemilik tanah untuk menghabiskan uang nya dengan cara yang tidak bijak. Ini adalah hal yang buruk bagi ekonomi.
David Ricardo kemudian melanjutkan lebih dalam mengenai teori yang dibangun oleh Smith pada awal abad-19. David mendefiniskan uang sewa sebagai keuntungan yang didapatkan dari “kepemilikan” secara mutlak (monopoli) dari suatu sumber daya yang tergolong langka. Lalu beliau mengobservasi bagaimana hukum sewa menyewa berlaku di dunia nyata: jika seorang tuan tanah memiliki sebidang tanah yang memiliki lokasi strategis/subur/produktif, ini akan memicu para petani/pemroduksi untuk bersaing menyewa tanah tersebut sehingga harga sewa tanah kian meningkat. Teori dari Ricardo mengenai sewa menyewa ini tak hanya berlaku untuk tanah, akan tetapi untuk semua industri yang masih berada dalam monopoli satu pihak. Contohnya, naiknya harga dari obat khusus yang dipatenkan, serta harga minyak dan gas yang dipengaruhi oleh anggota-anggota OPEC (negara pemroduksi minyak dan gas). Ini semua masih bisa dikategorikan sebagai kegiatan sewa menyewa atau ekstraksi nilai (value extraction) dari sumber daya yang bersifat langka.
Dalam Ekonomi Neo-Klasik, Besarnya Nilai Dari Sesuatu Tergantung Dari Pandangan Konsumen, Bukan Pekerja
Smith, Ricardo dan Karl Marx menganut pada labor theory of value yang memiliki pengertian: Akan selalu ada “nilai” pada barang yang diproduksi oleh para pekerja. Semakin banyak usaha yang dikerahkan oleh pekerja terhadap suatu barang, maka semakin besar nilai dari barang tersebut.
Namun pada peralihan abad ke-20, konsep baru mengenai “nilai” mulai muncul. Para ekonom neo-klasik datang dengan theory of marginal utility (teori utilitas marginal) yang berpengaruh besar terhadap ekonomi modern. Teori ini melihat sesuatu dari sisi konsumen yang kurang lebih berbunyi: Nilai dari sesuatu tergantung pada seberapa besar produk tersebut dibutuhkan, dan seberapa langka keberadaan dari produk tersebut. Karenanya, besarnya nilai adalah sesuatu yang bersifat subjektif. Penggagas utama dari teori ini adalah seorang ekonom dari Inggris yang bernama Alfred Marshall. Menurutnya, nilai akan berubah secara konstan tergantung pada tingkat utilitas/kegunaan dari item tersebut. Misalkan, berapa jumlah uang yang kamu rela bayarkan untuk segelas es jeruk pada saat ini? Menurut teori utilitas marginal, harga akan tergantung kepada kondisi tubuhmu; kamu akan rela untuk membayarkan uang lebih tinggi di saat kamu haus. Faktor lain yang berkontribusi adalah kelangkaan. Seandainya segelas es jeruk tersebut adalah es jeruk terakhir yang bisa dinikmati di dunia, maka pantas bagi penjual untuk memberikan harga yang tinggi.
Saat kamu menerima “kebenaran” dari teori utilitas marginal, tak ada lagi yang namanya “kerja tak produktif”. Selama terdapat orang yang bersedia untuk membayarkan jasa/fasilitas/hasil kerja yang ditawarkan, maka pada dasarnya, kegiatan tersebut bisa dikategorikan sebagai hal yang produktif. Satu-satunya cara untuk menjadi tidak produktif adalah dengan menjadi pengangguran. Teori marginalisme ini juga memengaruhi konsep sewa menyewa. Bagi ekonom klasik, sewa menyewa termasuk kedalam kategori pendapatan yang berbeda. Namun bagi ekonom neo-klasik, memberikan harga sewa yang tinggi untuk tanah hanyalah upaya dari pemilik tanah untuk memaksimalkan nilai yang mereka bisa ambil. Dengan kata lain, saat kita menganggap nilai dan harga sebagai hal yang sama, mendapatkan uang hanya dengan melakukan sewa menyewa bisa dianggap sebagai hal yang produktif.
Produk Domestik Bruto (PDB) Adalah Cara Pengukuran Nilai Yang Cacat
Mengukur kekayaan dari sebuah negara adalah hal yang cukup rumit. Salah satu metode pengukuran yang paling umum digunakan saat ini adalah Produk Domestik Bruto. Namun terdapat hal yang ganjil dengan metode ini. Mari kita lihat bagaimana penghitungan PDB diterapkan pada sektor sewa menyewa properti. Tiap negara mempunyai proporsi tingkat kepemilikan rumah yang berbeda; menyewa rumah adalah hal yang lebih sering dilakukan di Swiss jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Maka dari itu, angka pembayaran sewa menyewa properti ini berkontribusi besar terhadap PDB Swiss jika dibandingkan dengan AS. Mungkin secara sekilas, ini terkesan tidak adil untuk AS. Namun solusi yang ditawarkan pun terdengar lebih aneh. Untuk menyeimbangkan “lapangan bermain” di tingkat internasional, setiap orang yang memiliki sebuah properti dan mendiami properti tersebut dapat dikatakan bahwa ia sedang menyewa properti dari dirinya sendiri. Pendapatan “yang dibuat-buat” dari bidang sewa menyewa ini kemudian dimasukkan ke dalam kalkulasi PDB. Di Amerika sendiri, jumlah pendapatan dari “sewa menyewa properti” mewakili USD 1 triliun dari PDB (5% dari keseluruhan).
Konsep dari PDB mulai diperbincangkan saat Perang Dunia ke-2 berlangsung mengingat terdapat banyak pemerintahan negara yang membutuhkan akuntansi pemerintahan. Menjawab permintaan tersebut, saat perang dunia berakhir, PBB (United Nations) sudah mengembangkan apa yang disebut dengan System of National Accounts (SNA): sebuah buku panduan yang masih digunakan oleh negara-negara di dunia untuk menghitung PDB hingga sekarang. Prinsip yang digunakan oleh SNA adalah prinsip marginalist yang berarti: “segala sesuatu yang memiliki harga mempunyai efek “nilai tambah” terhadap ekonomi negara”. Saat prinsip ini diterapakan pada level nasional, kalian akan menemukan beberapa msaasalah.
Lihat saja dampak dari peraturan ini di sektor keuangan. Sampai dengan tahun 1970-an, penghasilan dari sektor keuangan tak pernah dicantumkan ke dalam PDB. Bank dianggap sebagai institusi yang tidak produktif (mereka hanya berfungsi untuk meredistribusikan uang yang ada). Namun sayangnya sektor keuangan berkembang dengan begitu cepat sehingga untuk mengeluarkan pendapatan sektor keungan dari PDB menjadi keputusan yang sulit. Penulis berpendapat bahwa kelemahan terparah dari metode PDB terletak pada bagaimana caranya ia memperlakukan value (nilai). PDB tak membedakan antara jasa yang menambahkan nilai terhadap ekonomi negara dengan jasa yang hanya “memerah nilai” dari kegiatan produktif yang sedang berjalan.
Dampak Dari Pertumbuhan Sektor Keuangan Terhadap Ekonomi Negara Tak Sebaik Yang Kita Harapkan
Apa yang muncul di pikiranmu saat tarif angkutan umum naik secara terus menerus? Bisa jadi kegiatan operasional bisnis angkutan dikelola dengan cara yang tidak efisien, atau mungkin juga terdapat monopoli pasar oleh satu pihak sehingga ia bebas mengatur harga. Apapun alasannya, ini adalah hal yang sulit untuk diterima. Akan tetapi, saat kita melihat industri keuangan, pemerintah justru terkesan memberi kebebasan kepada para pemain industri untuk melakukan praktik-praktik yang membahayakan. Sejak tahun 1970, telah terjadi banyak deregulasi di sektor keuangan, sampai-sampai porsi pendapatan dari industri keuangan terhadap PDB Amerika Serikat dan Inggris semakin membesar. Apakah ini memang tanda-tanda kesuksesan yang sebenarnya?
Bank pernah dianggap sebagai pihak yang mampu menciptakan nilai terhadap ekonomi mengingat banyak dari mereka yang menginvestasikan uang nya pada bisnis baru, sehingga mereka ikut mendukung pertumbuhan dari ekonomi negara. Akan tetapi, tingkat investasi mereka di dunia bisnis tak banyak berkembang. Justru banyak institusi keuangan yang mengembangkan cara-cara baru untuk meraup keuntungan, entah itu dengan menawarkan produk-produk aset keuangan derivatif yang cukup rumit untuk dipahami hingga jasa manajemen aset. Tak jarang pula kita temukan nasabah yang rela untuk membayarkan biaya yang cukup mahal kepada perusahaan-perusahaan pengelola aset.
Memang, jika dilihat dari jumlah uang yang dihasilkan, sektor keuangan bisa dibilang sukses. Namun seberapa besar kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi negara? Jika memang mereka benar-benar berhasil menjalankan peran utamanya, maka seharusnya, PDB negara dari sektor lain harus berkembang lebih cepat dari sektor keuangan itu sendiri. Mereka seharusnya membantu negara untuk meraih ekspansi ekonomi secara merata. Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya; pertumbuhan dari sektor keuangan melampaui pertumbuhan dari angka PDB negara. Dengan kata lain, para pemain di industri keuangan malah menyedot nilai yang dihasilkan dari industri produktif lain; mereka menghisap nilai dari ekonomi negara.
Mantan CEO Goldman Sachs, Lloyd Blankfein, pernah berkata “Karyawan Goldman Sachs termasuk (kedalam golongan) orang-orang yang paling produktif di dunia”. Blankfein mengatakan ini satu tahun setelah krisis keuangan global terjadi di tahun 2008. Bagaimana bisa ia mengatakan hal ini? Padahal kita tahu bahwa mereka merupakan salah satu pihak yang menyebabkan krisis tersebut terjadi. Selain itu, jika pemerintah AS tak menggelontorkan uang sebanyak USD 125 miliar kepada Goldman Sachs di tahun 2008, mereka tak akan mampu bertahan hingga sekarang. Lalu mengapa pemerintah membantu mereka? Ternyata pemerintah juga memiliki maksud tersembunyi. Dengan memperlakukan sektor keuangan sebagai bagian “produktif” dari ekonomi, maka mereka tak perlu bekerja keras untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Membiarkan sektor keuangan ambruk sama hal nya dengan menghancurkan “pertumbuhan ekonomi”.
Pada Beberapa Dekade Terakhir, Praktik Finansialisasi Telah Menjangkau Industri Lain
Finansialisasi adalah sebuah proses ekonomi yang memungkinkan terjadinya pertukaran (atau jual beli) antara satu pihak dengan pihak lain melalui perantara instrumen keuangan. Satu fakta unik mengenai finansialisasi: di tahun 2000-an, Ford (perusahaan produsen mobil asal AS) menghasilkan semakin banyak uang dengan memberikan pinjaman untuk pembelian mobil. Ini adalah hal yang cukup sering terjadi. Semenjak tahun 1970-an, sebagian besar ekonomi dunia telah ter-finansialisasi. Bahkan perusahaan non-keuangan seperti Ford pun telah mencari-cari cara nutuk meningkatkan pendapatan dari instrumen-instrumen keuangan. Semua ini dilakukan untuk memaksimalkan nilai yang dimiliki oleh pemegang saham.
Sepertinya tahun 1970-an merupakan awal dari berjalannya proses finansialisasi dunia, apa yang sebenaranya terjadi? Di tahun tersebut, seorang ekonom bernama Milton Friedman menuliskan sebuah artikel di majalah The New York Times yang berjudul “Tanggung Jawab Sosial dari Perusahaan Hanyalah Meningkatkan Keuntungannya”. Akibat tulisan ini, banyak bisnis yang mulai memprioritaskan upayanya untuk memaksimalkan nilai pemegang saham; tanpa mempedulikan bahwa akan ada pihak lain yang dapat “terluka” dalam prosesnya.
Di Inggris, mentalitas yang mendahulukan pemegang saham ini sudah menginfiltrasi perusahaan-perusahaan rumah perawatan dan penyedia air yang sebagian besar dimiliki oleh perusahaan ekuitas swasta (private equity) dengan struktur keuangan yang kompleks dan tidak transparan. Meskipun mereka adalah penyedia jasa-jasa publik yang sangat vital bagi seluruh golongan masyarakat, mereka sangat tega untuk memasang tarif mahal demi mendapatkan keuntungan lebih; akhirnya, lagi-lagi pemegang sahamlah yang menikmati pembayaran dividen dalam jumlah besar dari perusahaan.
Adapun perubahan cara dari perusahaan publik di AS dan inggris dalam memberikan bonus terhadap jajaran direksi: salah satu cara yang populer saat ini adalah share buybacks (pembelian saham perusahaan yang beredar di pasar oleh perusahaan itu sendiri). Dengan memberikan saham yang dibeli dari pasar kepada para direksi, mereka dapat menghindari pembayaran pajak. Selain itu, dengan melakukan share buybacks, jumlah peredaran saham perusahaan di pasar menjadi berkurang, sehingga hal tersebut mendorong terjadinya lonjakan harga saham; walaupun sebenarnya tak ada terobosan berarti yang diciptakan oleh perusahaan untuk pelanggan atau stakeholder lain. Jadi, untuk saat ini, “memaksimalkan nilai pemegang saham” bisa dilakukan hanya dengan memberikan uang lebih kepada jajaran direksi, dan memperlebar ketimpangan sosial antara top management dengan front liner. Praktik seperti ini hampir tak menciptakan “nilai” bagi pihak-pihak yang terlibat.
Pemerintah Telah Membantu Berkembangnya “Perusahaan Inovasi” dalam Menyedot Nilai dari Ekonomi Negara
“Perusahaan inovasi” mulai muncul kembali di berbagai bidang, mulai dari industri farmasi hingga media sosial. Para inovator ini juga mendapatkan beragam pengharagaan dari berbagai pihak, ini bisa dilihat dari tingginya harga saham saat proses Penawaran Umum Perdana Saham (IPO) sedang berlangsung, atau bantuan dari pemerintah dalam bentuk dana maupun kebijakan.
Fakta ini bisa dilihat pada perusahaan farmasi yang menikmati lonjakan pendapatan berkat adanya paten (atau hak cipta) yang mencegah kompetitor untuk menciptakan produk yang sama. Secara teori, adanya paten dimaksudkan untuk mendorong terjadinya inovasi. Akan tetapi, sekarang ini, paten hanya digunakan untuk menyedot nilai. Karena perusahaan pemilik paten merupakan satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi obat tertentu, maka mereka bebas untuk mengatur harga. Faktanya, ketika diluncurkan pada tahun 2014, obat bernama Sovaldi yang dikonsumsi dalam jangka waktu 3 bulan untuk menyembuhkan hepatitis C dipatok dengan harga USD 84.000 atau sekitar USD 1.000 per pil, walaupun untuk memproduksinya hanya memakan biaya sekitar USD 68-136.
Dari kaca mata ekonomi, fenomena ini menunjukkan bahwa tidak ada elastisitas permintaan untuk obat tersebut; atau dengan kata lain, ketika perusahaan meningkatkan harga, tidak akan terjadi penurunan terhadap permintaan karena orang akan rela untuk membayarkan berapapun uang demi kesembuhan dirinya atau orang yang dicintainya. Selain itu, perusahaan bebas untuk menaikkan harga, karena dengan adanya paten, kompetisi produk tidak akan terjadi. Selain itu, banyak penemuan di perusahaan swasta diinisiasi terlebih dahulu oleh institusi publik; jadi ide dari penemuan tersebut tidaklah murni dari hasil kerja keras mereka. Hal yang sama pun terjadi di industry teknologi: internet, GPS, layar sentuh, dan bahkan algoritma Google, pada awalnya semua dikembangkan dengan menggunakan uang rakyat.
Banyak bisnis juga didanai oleh pemerintah pada awalnya. Namun akhir-akhir ini para venture capitalist lah yang seperti nya mendapatkan sorotan dari media; seakan-akan mereka mau mengambil risiko besar dengan menggelontorkan miliaran uang yang memungkinkan startup untuk berhasil. Padahal sebenarnya, VC tak akan berinvestasi sebelum startup mampu untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Pemerintahlah (terutama di Amerika Serikat) yang mau mengambil risiko dan memberikan pinjaman besar di tahap awal berdirinya “perusahaan inovatif”.
Kita Harus Berhenti Berasumsi Bahwa Perusahaan Swasta Selalu Lebih Baik Dari Institusi Publik
Perlu diketahui bahwa kalkulasi PDB tidak berpihak kepada sektor publik. Banyak dari pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah diasumsikan sebagai pengeluaran yang tidak produktif; dengan kata lain, laba yang dihasilkan dari investasi pemerintah adalah nol. Padahal sangat mungkin jika uang tersebut diinvestasikan pada hal-hal yang dapat menggerakkan ekonomi, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan aset lain yang sangat vital dan mampu mendukung berjalannya kegiatan ekonomi. Maka dari itu, akan sangat mungkin bagi pemerintah untuk menghitung laba dari proyek-proyek investasi aset produktif, dan bahkan memasukkannya dalam kalkulasi PDB; namun para ekonom dan pemerintah memilih untuk tidak mencantumkannya.
Kita begitu sering mendengar pernyataan bahwa institusi publik itu buruk dan perusahaan swasta mampu menjalankan tugasnya dengan lebih baik, sampai-sampai pekerja di sektor publik memercayai kebenaran dari pernyataan ini. Mengejutkannya, ekonom klasik juga mendefinisikan pemerintah sebagai pihak yang tidak produktif, walaupun sebenarnya terdapat dampak positif dari investasi aset dan jasa yang ditawarkan oleh pemerintah. Pemahaman ini pun mencapai titik ekstrim nya pada abad ke-20; public choice theory menyoroti bagaimana pemerintah acap kali bertindak secara tidak efektif, entah itu disebabkan oleh nepotisme di tubuh pemerintahan atau pilihan investasi yang buruk. Di tahun 1980-an, pendapat tersebut digunakan untuk menjustifikasi dilakukannya privatisasi atau outsourcing proyek pemerintah ke pihak swasta. Sejak saat itu, banyak lembaga Private Finance Initiative (PFI-Inisiatif Keuangan Swasta) yang mulai bermunculan di Inggris. Kontrak-kontrak PFI memberikan akses kepada perusahaan swasta untuk menjalankan jasa pelayanan publik, yang dibayarkan oleh pemerintah, dan mereka dijamin akan mendapatkan keuntungan.
Lalu apakah langkah ini dapat menghemat uang yang telah digelontorkan pemerintah? Tidak juga. Dari tahun 1993-2006, 80 kontrak PFI telah disetujui di Skotlandia. Estimasi biaya awal dari proyek-proyek tersebut hanyalah sekitar £5,7 miliar, namun keputusan ini berujung menghabiskan lebih banyak uang pemerintah, yakni di angka £30,2 miliar. Malangnya lagi, 17 sekolah hasil pembangunan dari proyek harus ditutup karena tidak dipenuhinya standar keselamatan dan kualitas bangunan.
Ya, memang pendapat bahwa sektor publik itu buruk dan sektor swasta itu baik telah tertanam di benak kita. Ini semua tercermin pada cara kita mengalkulasi PDB, diberikannya keringanan pajak untuk perusahaan teknologi, dan dihamburkannya uang untuk mendanai proyek yang dikerjakan pihak swasta. Mungkin kita perlu memikirkan kembali tentang bagaimana seharusnya kita menggambarkan pemerintah. Alih-alih menganggapnya sebagai penghalang bagi kemajuan bersama, kita harus mencari cara baru agar sektor publik dan swasta dapat bekerjasama secara produktif untuk membangun bangsa.
Kita Harus Memikirkan Lebih Dalam Mengenai Makna Dari Nilai (Value), Karena Pada Dasarnya Nilai Tidak Sama Dengan Harga (Price)
Apa tujuan utama dari ekonomi? Menghasilkan banyak uang bukanlah tujuan utamanya. Pada dasarnya, jika ekonomi tak mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, maka ia tak akan berguna. Lalu bagaimana sebaiknya kesejahteraan rakyat diukur? Kita tahu bahwa PDB bukanlah metode yang baik untuk mengukur kekayaan negara, apa lagi mengukur kesejahteraan rakyat. Untuk dapat mengukur bagaimana keadaan ekonomi sebenarnya, penulis berpendapat bahwa kita harus memikirkan kembali apa yang dimaksud dengan “nilai” dan mengubah makna yang kata “nilai” bawa saat ini.
Semenjak marginal utility theory muncul, besarnya “nilai” ditentukan oleh besarnya harga, yang berarti: berapapun harga dari sesuatu, maka itu adalah nilai dari sesuatu tersebut. Namun, cara berpikir seperti ini menghasilkan sebuah sistem yang menganggap segala sesuatu yang memiliki harga sebagai sesuatu yang berharga – bahkan jika harga itu dihasilkan dari praktik yang tidak terhormat, seperti monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan paten yang dimilikinya. Namun apakah “nilai” benar-benar tercipta saat perusahaan farmasi menerima uang miliaran dolar dari penjualan obat yang telah dipatenkan? Jika uang ini tak diinvestasikan kembali ke dalam ekonomi, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa “nilai” telah tercipta dari praktik-praktik seperti ini.
Dengan kata lain, kita telah cukup lama berhenti untuk membedakan antara penciptaan nilai (value creation) dan ekstraksi nilai (value extraction), yang sebenarnya hanyalah menyedot uang dari peredaran. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya? Pertama-tama, kita bisa memikirkan bagaimana seharusnya kita memperlakukan sektor publik, dan mengakui peran pentingnya dalam ekonomi dengan tepat. Selain itu, pembuat kebijakan harus mencari ide baru tentang bentuk insentif yang tepat untuk diberikan kepada perusahaan karena akhir-akhir ini, kebijakan yang ada sepertinya hanya membuat yang kaya semakin kaya, serta memperlebar jarak ketimpangan.
Kita juga harus menemukan cara yang lebih baik untuk mengalkulasi PDB; sebuah metode baru yang dapat menyertakan segala hal yang menambahkan “nilai” dan menghilangkan segala sesuatu yang hanya menyedot “nilai”.
Ekonomi itu juga tentang cerita. Ini adalah saatnya bagi kita untuk berhenti menceritakan kisah tentang para bankers yang terkesan “sukses” padahal mereka hanya memanfaatkan fasilitas yang disediakan negara. Ini adalah saatnya untuk menceritakan kisah ekonomi yang berfokus pada “nilai” (yang dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyat).
Semoga bermanfaat kawan!
Add a comment