Kita hidup di zaman yang penuh dengan peluang. Entah itu tentang memilih karir, atau menentukan seorang pasangan, atau menemukan sumber berita yang terbaik, kita memiliki banyak sekali pilihan yang tersedia. Lalu mengapa kita merasa tak begitu bahagia dalam hidup? Mengapa banyak dari kita mengalami stres dan hampa? Bukan kah kita bisa mendapatkan apapun yang kita inginkan?
Jawabannya adalah mungkin karena kita mencoba untuk melakukan semuanya. Begitu banyaknya pilihan yang terbuka justru membuat kita konsentrasi terhadap banyak pilihan dan peluang yang berbeda di setiap waktu. Singkatnya, kita terlalu membebani diri dengan banyak hal sampai pada titik di mana kita merasa lelah secara mental dan tak lagi menemukan motivasi diri. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Apapun yang Kamu Lakukan dalam Hidup akan Menjadi Sebuah Perjuangan, Maka dari Itu Kamu Perlu Menemukan Perjuangan yang Tepat Untukmu
Apa yang kamu inginkan dari hidup? Dengan kata lain, apa tujuan besar dan paling utama yang ingin dituliskan pada batu nisanmu di saat meninggal kelak? Ini bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Mungkin banyak dari kita akan berkata, kita menginginkan kebahagiaan, sebuah keluarga yang mencintai, dan sebuah pekerjaan yang kita nikmati; namun bukankah ambisi seperti ini terasa tidak jelas (vague)? Menurut penulis, ambisi yang tak jelas itu problematik karena ambisi tersebut tak akan mendorong mu untuk berjuang meraih kesuksesan. Kenyataan berkata bahwa, jika kamu ingin mencapai sesuatu dalam hidup, kamu harus berjuang, kerja keras, dan tekun. Menemui kemunduran dan kesulitan dalam prosesnya merupakan sebuah kepastian. Jika kamu tak memiliki tekat penuh untuk meraih tujuan itu, kamu akan menyerah saat dihadapkan dengan kesulitan.
Katakanlah menjadi seorang CEO adalah tujuan utamamu. Menjadi CEO pastinya terdengar bergengsi dengan segala kewenangan, kekuasaan, dan tanggung jawab yang dipegangnya. Namun menjadi CEO bukanlah sesuatu yang mudah. Umumnya, CEO bekerja selama 60-jam dalam seminggu, mereka harus membuat keputusan-keputusan sulit, dan mereka harus siap untuk memecat karyawan, lagi dan lagi. Jika kamu tidak bersikeras berkeinginan menjadi CEO, rintangan ini akan menghancurkan semangatmu, dan kemungkinan untuk menjadi sukses akan semakin tipis.
Karena perjuangan merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari, kamu harus menemukan sesuatu yang berharga untuk diperjuangkan. Kamu harus mengidentifikasi hal apa yang benar- benar kamu nikmati. Menurut penulis, mengerjakan sesuatu yang membuatmu bahagia berarti kamu tak akan terpengaruh oleh “pertarungan” yang datang secara konstan, justru kamu akan menyukainya.
Mark Manson, si penulis buku, menyadari bahwa dia menikmati menulis dengan tema perkencanan; dari situ dia memutuskan untuk membangun sebuah blog dengan konten berupa nasihat atau saran dalam berkencan. Awalnya, dia merasa ini sebagai sebuah tantangan, namun karena ia mencintai apa yang dilakukan, dia justru bertumbuh subur dengan kesulitan yang ada. Pada akhirnya, perjuangan itu terbayarkan. Blog nya menarik perhatian dari ratusan ribu pelanggan. Penghasilannya dari situ menghasilkan lebih dari cukup uang untuk menggantikan pekerjaan full-time nya.
Tidak ada gunanya mencari kehidupan yang mudah, kehidupan tanpa kesulitan. Satu-satuya cara untuk melangkah kedepan adalah menemukan sebuah tujuan yang kamu ingin perjuangkan. Akan tetapi, sama pentingnya untuk mengatakan tidak kepada semua perjuangan dan tugas yang tidak memberikan kebahagiaan padamu. Jadilah “kejam” dan berhenti mengejar sesuatu di dalam hidup yang tak membuat mu bahagia. Konsentrasi lah pada sedikit hal-hal hebat dan abaikan hal-hal lain (don’t give a f*ck about everything else).
Penderitaan dapat Mengarahkanmu kepada Hal-Hal Hebat, Tetapi Jika Kamu tak Memiliki Nilai yang Tepat, Kamu tak Akan Pernah Bahagia
Contoh terbaik terkait sukses melalui penderitaan dapat ditemukan di dunia seni. Bagaimanapun juga, kita cenderung membayangkan artis sebagai seseorang yang dilanda kemiskinan yang karyanya kurang terapresiasi, namun dia menolak untuk menyerah sampai kegeniusannya diakui. Dan stereotipe semacam ini sebenarnya cukup akurat.
Lihat saja kisah dari seorang gitaris Dave Mustaine. Di tahun 1983, Mustaine dikeluarkan dari band nya saat mereka akan mencapai ketenaran. Dilumuri dengan kemarahan atas penolakan ini, Mustaine menjadi terpicu untuk menunjukkan kepada kawan band lamanya betapa salahnya keputusan mereka. Selama dua tahun, dia bekerja tak kenal lelah untuk meningkatkan kemampuannya dan menemukan musisi untuk membuat sebuah band yang lebih baik. Band baru yang dibentuknya bernama Megadeth, yang kemudian menjadi salah satu band ternama dunia dan mampu menjual lebih dari 25 juta rekaman.
Akan tetapi, dengan kesuksesan Megadeth sekalipun, Mustaine masih belum bahagia. Dia masih saja membandingkan kesuksesaan Megadeth dengan band lamanya, yakni Metallica, yang juga merupakan band metal ternama dunia. Karena dia selalu membandingkan pencapaiannya dengan Metallica, Mustaine menganggap dirinya gagal, meskipun kesuksesan yang nyata terpampang jelas dihadapannya.
Ketidakbahagiaan yang terus dirasakan Mustaine memberi tahu kita akan sebuah perilaku berbahaya, yakni: mengukur kesuksesan diri sendiri dengan membandingkannya terhadap kesuksesan orang lain. Bagi Mustaine, satu-satunya jalan agar dia bisa merasa sukses adalah dengan menjadi lebih sukses dari kawan-kawan band sebelumnya; secara otomatis dia telah menakdirkan diri untuk menjadi tidak bahagia. Maka dari itu, penulis menyarankan bahwa kamu perlu menemukan nilai-nilai yang lebih sehat sebagai cara untuk menghakimi pencapaianmu.
Pete Best memberikan contoh brilian tentang bagaimana nilai yang tepat dapat menuntunnya kepada kebahagiaan. Seperti Dave Mustaine, Pete juga dikeluarkan dari grup saat mereka akan memulai ketenarannya. Band yang ditinggalkan Pete adalah The Beatles yang merupakan band terbesar di sepanjang sejarah dunia. Menyaksikan kawan-kawan band lamanya mencapai puncak ketenaran, Pete jatuh ke dalam jurang depresi yang cukup dalam. Namun di saat-saat terpuruknya, dia mencoba untuk mengubah nilai-nilai yang dia percaya. Pete menyadari bahwa apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup adalah memiliki keluarga yang mencintainya dan kehidupan keluarga yang bahagia. Tentu ia masih ingin bermain musik, namun dia tak menginginkan kesuksesan di bidang musik sebagai definisi dari hidupnya. Keputusan untuk mengubah fokusnya telah menuntun Pete menjalani hidup yang bahagia dan merasa cukup. Pete bahkan kembali menikmati musik dengan band yang biasa-biasa saja. Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa nilai-nilai yang kita percaya itu lebih penting dari pada kesuksesan saat kita berbicara tentang kebahagiaan.
Banyak Orang Cenderung Fokus dengan Nilai-Nilai yang Tak Berfaedah; Penting bagi Kita Menemukan Nilai yang Bermanfaat untuk Dipercaya
Di bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa mengukur seberapa berharganya kamu dengan membandingkan diri terhadap orang lain hanya akan mendatangkan kekecewaan. Ini adalah salah satu dari sekian banyak nilai-nilai tak berfaedah (shitty values) yang dapat menggelincirkan kamu dari jalanmu menuju kebahagiaan.
Menurut penulis, pleasure (kesenangan/kenikmatan) juga salah satu nilai tak berfaedah yang sering kali dijadikan prioritas oleh banyak orang dalam hidup. Padahal mengejar kesenangan di atas segalanya bukanlah hal yang sehat; nilai ini biasanya nilai yang dipegang erat oleh pecandu narkotika, pezina, dan glutton. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang menganggap kesenangan sebagai hal yang paling agung akan cenderung mudah gelisah dan depresi.
Menggunakan kesuksesan material sebagai tolok ukur atas keberhasilan hidup merupakan shitty values lainnya. Mendambakan mobil yang lebih besar dari tetangga, atau memamerkan jam Rolex barumu, ini kerap terjadi, dan bahkan kamu mungkin sempat tertarik dengan nilai ini. Padahal sebenarnya materi yang berlebih tak meningkatkan kualitas kesehatan jasmani dan rohani. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa saat kebutuhan dasar kita untuk hidup terpenuhi, meningkatnya kekayaan tak dapat meningkatkan kebahagiaan. Mengejar harta juga mempunyai efek merugikan jika saja dalam mengejarnya kita mengorbankan keluarga, kejujuran atau integritas kita.
Lalu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari nilai-nilai tak berfaedah? Kita harus mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang berharga sebagai pegangan hidup. Menurut penulis, nilai-nilai yang baik harus memiliki karakteristik berikut:
- Be based in reality (berdasarkan pada realitas/kenyataan)
- Be helpful to society (dapat membantu masyarakat)
- Have an immediate and controllable effect (mempunyai dampak secara langsung dan dapat dikendalikan)
Misalkan saja kejujuran. Kejujuran adalah nilai yang baik untuk dipegang karena kamu dapat mengedalikannya (hanya kamu yang dapat memutuskan untuk berkata jujur atau tidak), dan dengan kejujuran, kamu bisa memberikan masukan jujur yang bersifat membangun kepada orang lain (kejujuran dapat membantu orang lain). Beberapa nilai lain yang dapat kita internalisasi di antaranya adalah: kretivitas, kemurahan hati (generosity), dan kerendahan hati (humility).
Terkadang Kita Merasa Menjadi Korban, Namun Perubahan Positif Hanya Akan Terjadi Saat Kamu Bertanggung Jawab Atas Hidupmu Sepenuhnya
Tiap tahun, ribuan pelari amatir ikut serta dalam perlombaan maraton. Banyak dari mereka melakukannya untuk mengumpulkan uang yang nantinya disalurkan untuk kegiatan sosial. Walaupun banyak dari mereka yang kesulitan untuk menyelesaikannya, sebagian besar dari pelari maraton bangga atas pencapaian mereka. Sekarang coba bayangkan, alih-alih mengikuti maraton secara sukarela, kamu dipaksa untuk ikut serta. Tak peduli sebaik apapun kamu berlali, kemungkinan besar kamu akan membenci seluruh pengalaman yang ditawarkan oleh lomba maraton ini.
Merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu dapat menghilangkan kenikmatan yang datang bersama kegiatan tersebut.
Menyedihkannya, banyak dari kita merasakan pengalaman dalam menjalani hidup sebagai beban. Entah itu wawancara kerja yang gagal, penolakan dari orang tersayang, atau bahkan bis yang terlewatkan, kita melihat diri kita sebagai korban yang tidak berbahaigia atas keadaan hidup.
William James pernah menjalani hidup dengan sudut pandang tersbeut. William dilahirkan di sebuah keluarga kaya ber-privilese di abad ke-19 Amerika. Sejak awal, kondisi kesehatannya memang tidak baik; sering kali ia muntah secara berturut-turut dan mengalami kejang punggung. Di masa mudanya ia bermimpi menjadi seorang pelukis, tetapi ia kesulitan untuk menghasilkan karya yang dikagumi, selain itu ayahnya kerap mengejeknya atas kurangnya bakat yang dimilikinya. Kemudian dia memutuskan untuk mengejar karir di bidang kedokteran atau pengobatan, namun lagi-lagi gagal dan mengundurkan diri dari sekolah medis.
Merasa tak berbahagia, tak sehat secara jasmani maupun rohani, tanpa adanya dukungan keluarga maupun pekerjaan tetap, sempat muncul keinginan untuk bunuh diri di benaknya. Namun kemudian, dia membaca tulisan dari seorang filsuf bernama Charles Peirce. Argumen utama yang dibicarakan Peirce adalah “setiap orang harus bertanggung jawab 100% atas kehidupan mereka sendiri”. Ini adalah sebuah pesan yang mengena untuk William. Dari situ William menyadari bahwa penderitaannya berasal dari kepercayaannya bahwa dia adalah korban dari pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar. Entah itu karena penyakitnya atau kritik dari sang ayah, dia menyalahkan situasi yang sepertinya tak dapat ia kendalikan, dan ini membuatnya merasa tak berdaya. Saat itu dia sadar bahwa hanyalah dirinya yang dapat bertanggung jawab atas hidupnya dan perbuatannya. Diberdayakan dengan pola pikir yang baru, dia pun memulai hidup nya dari awal. Setelah bertahun-tahun kerja keras, James akhirnya mampu menjadi seorang pionir dalam bidang American psychology.
Jadi jika kamu pernah merasa menjadi korban, coba ingatlah kisah William James dan mulai mencoba untuk bertanggung jawab atas hidupmu. Bayangkan saja jika kamu ditinggalkan oleh pasanganmu. Gampang sekali jika hanya menyalahkan mantan pasangan kita dengan menganggap dia kejam dan tak peduli. Namun akan lebih bijak untuk mencari tahu apa saja peran mu dalam menggagalkan hubungan tersebut. Mungkin kamu mengabaikan pekerjaan rumah yang seharus nya kamu kerjakan, atau mungkin kamu tidak mendukung ambisi yang dimiliki oleh pasanganmu. Dengan menyadari dan mempelajari kesalahanmu, kamu dapat memperbaiki diri dan menghindari masalah yang sama di masa depan. Dengan begitu kamu dapat hidup dengan lebih berbahagia.
Kita Sering Melarikan Diri Ketika Identitas Diri Kita Terancam, Mungkin Satu Konsep dari Ajaran Buddha ini Dapat Membantu
Coba bayangkan: Kamu adalah seorang senior manager di perusahaan besar dan terkenal. Kamu menyukai pekerjaanmu dan juga kompensasi yang diberikan perusahaan, seperti mobil mewah dan juga pakaian trendi. Rekan kerja serta atasanmu menaruh simpati dan respeknya terhadap kamu. Menjadi seorang senior manager adalah dirimu, identitasmu.
Sekarang coba gambarkan, kamu mempunyai kesempatan untuk menduduki jabatan direksi di perusahaan tersebut dengan syarat memimpin sebuah proyek strategis terlebih dahulu. Akan tetapi, kesempatan ini juga datang dengan risiko substansialnya. Jika kamu gagal menjalankan proyek tersebut dengan sempurna, kamu akan kehilangan segalanya: pekerjaan, mobil, respek dari rekan kerja, dan juga identitasmu (yang merupakan hal yang paling penting). Apakah kamu akan mengambil kesempatan tersebut? Sebagian besar orang tak berminat untuk menjalankannya. Ini merupakan fenomena dari sebuah hukum yang penulis sebut dengan Manson’s Law of Avoidance – kecenderungan untuk melarikan diri dari semua hal yang mengancam identitas kita.
Walaupun menghindari risiko besar (seperti yang digambarkan di atas) mungkin terlihat bijak, kecenderungan kita untuk melindungi identitas kita justru sering kali menjadi penghambat, bukan penolong. Contohnya, beberapa artis dan penulis amatir menolak untuk memublikasikan atau menjual karya mereka. Mereka takut jika saja saat karya atau tulisannya diperlihatkan ke publik, tak akan ada orang yang menyukainya. Mencoba dan gagal akan menghancurkan identitas mereka; sebuah identitas yang telah dibangun berlandaskan kemungkinan menjadi seorang artis hebat. Maka dari itu, mereka memilih untuk tidak mencoba sama sekali.
Beruntungnya, terdapat sebuah cara untuk mengurangi efek negatif dari Manson’s Law of Avoidance pada diri, yakni dengan menerapkan sebuah konsep dari ajaran Buddha yang mengatakan bahwa: “identitas adalah sebuah ilusi”. Label apapun yang kamu berikan pada dirimu, entah itu kaya, miskin, bahagia, sedih, sukses, kegagalan, semua ini hanyalah kepercayaan yang kita pegang (yang sebenarnya dapat dilepaskan) atau istilah yang sering digunakan adalah mental construct. Label ini tidak benar-benar nyata sehingga tidak seharusnya label ini mendikte kehidupan kita. Maka dari itu, kamu disarankan untuk melepaskan identitas tentang dirimu yang telah terbangun di pikiran.
Membebaskan diri dari sebuah identitas merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Mungkin kamu selama ini menganggap dirimu sebagai seorang yang career-minded, atau dengan kata lain kamu selalu mengutamakan pekerjaanmu, dan hal-hal lain (seperti keluarga dan hobi) datang di urutan setelahnya. Bebaskan dirimu dari “citra diri” yang membatasi sehingga kamu bebas untuk melakukan apa yang membuatmu bahagia, entah itu menghabiskan waktu dengan anak-anakmu atau menyusun lego-lego yang sempat kamu abaikan itu.
Kamu Perlu Menerima Kesalahan dan Bersikap Jujur pada Diri Sendiri Jika Kamu Ingin Melihat Perubahan Positif pada Diri
Tidak kah kamu membenci orang-orang yang berpikir bahwa merekalah yang selalu benar? Walaupun mereka diberi tahu bahwa mereka salah berulang kali, mereka tetap saja tak mau mendengarkannya. Beruntungnya dirmu bukan lah orang yang seperti itu, iya kan? Sayangnya terkadang kita juga seperti itu di. Di saat-saat tertentu, kita memiliki delusi bahwa kitalah yang benar.
Coba perhatikan contoh ini: salah satu teman dari dari sang penulis baru saja bertunangan. Secara umum, orang-orang melihat calon pengantin pria sebagai seseorang yang baik dan ramah. Namun, saudara laki-laki dari calon pengantin wanita tak memiliki pandangan yang sama. Dia tak henti-hentinya mengkritisi calon partner hidup pilihan saudaranya dan yakin bahwa calon suaminya akan menyakiti dia pada akhirnya. Sebagian besar orang tahu bahwa anggapan saudara laki-laki calon mempelai wanita ini salah. Tetapi sekeras apapun mereka mencoba, mereka tak mampu menyadarkan saudara laki-lakinya.
Jika kamu ingin menghindari bersikap seperti saudara laki-laki dari calon mempelai wanita ini, kamu harus bersedia untuk menanyakan pada diri sendiri apakah kamu salah, lagi dan lagi. Hanya dengan melakukan ini, baru kamu akan mampu menaklukkan “titik-titik buta” yang mengakibatkan kamu bersikeras dengan pendapat yang kamu anggap benar. Implementasinya tak semudah yang kamu kira lho. Terkadang kita mempertahankan kepercayaan yang salah ini untuk menutupi kebenaran yang terasa tidak nyaman tentang diri kita. Dengan kata lain, kita sedang tidak jujur dengan diri kita.
Kembali ke contoh di atas: sangat mungkin jika kebencian kepada calon pengantin pria ini bertujuan untuk menyembunyikan rasa takut dan tak nyaman yang dirasakan oleh saudara laki- laki calon mempelai wanita. Mungkin dia iri bahwa saudara perempuannya telah menemukan cinta sejatinya, sementara dia belum menemukannya. Atau mungkin dia cemburu karena saudara perempuannya akan lebih banyak memberikan perhatiannya ke calon suaminya, bukan ke dia. Atau mungkin dia marah karena saudara perempuannya tak lagi begitu memperhatikan apa yang menjadi keinginan dia. Apapun alasannya, lebih mudah untuk membuat asumsi yang keliru dari pada harus menghadapi secara langsung rasa gelisah dan rasa tak aman yang dia rasakan. Beruntungnya, kamu tak perlu jatuh ke dalam perangkap yang sama. Dengan selalu siap untuk menanyakan kepercayaanmu dan menghadapi kegelisahanmu, kamu dapat bertindak dengan cara yang lebih sehat dan membahagiakan.
Cinta yang Romantis Dapat Menjadi Sesuatu yang Merusak Kecuali Jika Kamu Dapat Mengendalikannya
Romeo dan Juliet mungkin merupakan salah satu cerita cinta yang paling ternama di dunia. Ini bukanlah cerita yang berakhir bahagia. Sebaliknya, ini adalah kisah yang berantakan, melibatkan pembunuhan, pengasingan, dan perseteruan yang akhirnya berujung dengan kedua kekasih ini membunuh diri mereka sendiri. Kisah tragis dari kekasih bernasib sial ini menyoroti betapa destruktifnya terkadang kekuatan cinta yang romantis. Penelitian pernah menunjukkan bahwa hubungan romantis yang bergairah mempunyai efek stimulasi terhadap otak yang mirip dengan kokaina: Kamu berada di kondisi “sakau” yang sangat intens dan kemudian “jatuh” sadar dengan begitu kerasnya saat hubungan itu berakhir. Rasa sakau itu bekerja bagai candu sehingga kamu ingin kembali merasakan “high” dengan intensitas yang sama, walaupun tidak dengan orang yang sama. Ini merupakan resep sempurna untuk mencicipi rasa sakit dan derita.
Jadi apa yang harus kita lakukan? Apakah sebaiknya kita melepaskan diri dari hubungan percintaan sepenuhnya? Pendapat ini tidaklah tepat. Percintaan yang romantis dapat menjadi hubungan yang sehat ataupun sesuatu yang beracun; ini tergantung pada apakah hubungan tersebut memenuhi kriteria tertentu. Percintaan yang tidak sehat terjadi ketika setiap partner menggunakan hubungan mereka untuk merelakan diri dari masalah pribadi masing-masing. Mungkin mereka tak merasa bahagia dengan hidup mereka, maka dari itu mereka memanfaatkan perasaan yang muncul dari hubungan ini sebagai distraksi. Sayangnya, tak ada satu orang pun yang mampu menutupi masalah pribadi mereka selamanya, sehingga pengelakan diri dari masalah yang berwujud gairah dalam hubungan ini pasti akan pudar pada waktunya.
Sebaliknya, cinta yang sehat ada ketika kedua pihak peduli sepenuhnya dengan hubungan yang mereka jalin. Dari pada menggunakan hubungan ini sebagai distraksi, mereka setia dan berbakti kepada satu sama lain. Dari pada hanya memikirkan tentang perasaan mereka masing-masing, mereka justru saling mendukung dan peduli antara satu sama lain. Akan tetapi, dukungan ini memang harus diinginkan dan tidak dipaksakan. Jika salah satunya melewati batas dan justru malah ingin mengendalikan pasangannya dengan mencari-cari cara untuk menyelesaikan semua masalahnya tanpa diminta, masalah justru akan menyusul mereka di suatu hari. Jika salah satu pasangan mencari-cari cara untuk mendominasi pasangannya, ini merupakan bukti nyata dari cinta yang tidak sehat.
Manusia Benar-Benar Takut Akan Kematian, Karenanya Mereka Mencoba Hidup Terus Menerus untuk Melampauinya
Kamu mungkin benci untuk memikirkannya, tetapi suatu hari kamu pasti akan mati. Untuk benar-benar memahami seberapa besar kematian memegang kendali atas hidup kita, mungkin kita dapat mempelajari tulisan dari Ernest Becker. Becker adalah seorang dokter antropologi yang jauh dari kata konvensional. Walaupun kematian dininya membatasi karir akademiknya, dia pernah menuliskan sebuah buku yang berpengaruh tentang kematian yang berjudul “The Denial of Death”. Dalam buku ini, Becker menyajikan dua ide utama.
1) Pertama, manusia benar-benar takut mati. Tidak seperti hewan, manusia mampu berpikir tentang situasi-situasi hipotesis: kita dapat membayangkan akan seperti apa hidup kita jika saja kita memilih sebuah jurusan yang berbeda saat masih menjalani masa kuliah, atau memutuskan untuk menjadi seorang apoteker alih-alih seorang guru. Akan tetapi, dengan kemampuan ini juga, kita dapat mengimajinasikan akan seperti apa kehidupan setelah kita meninggal nanti. Ide pertama ini membawa kita ke ide yang kedua.
2) Semenjak kita ditakdirkan untuk mati, kita mencoba untuk menciptakan sebuah “diri konseptual” di pikiran kita yang seakan, akan terus hidup setelah kita menemui ajal. Dengan kata lain, kita menghabiskan kehidupan yang fana ini untuk mencari-cari “proyek keabadian” (atau sesuatu yang akan bertahan sebagai legasi yang kita tinggalkan). Ini memicu keinginan yang menggebu pada beberapa orang untuk mengejar ketenaran, sementara beberapa yang lainnya mungkin ingin meninggalkan jejak mereka dalam hal agama, politik, atau bisnis.
Akan tetapi proyek keabadian ini terkadang memunculkan masalah pada masyarakat. Orang- orang ingin menata dunia, atau setidaknya sebagian dari dunia, sesuai keinginan mereka yang tidak jarang mengakibatkan peperangan, kehancuran dan kesedihan. Lebih dari itu, menurut penulis ini adalah sesuatu yang tidak sehat bagi individu. Keinginan yang menggebu untuk meninggalkan jejak menimbulkan stres serta kegelisahan.
Beruntungnya, terdapat sebuah solusi yang cukup mudah. Kita harus berhenti untuk memperjuangkan “keabadian” di dunia. Kita harus berhenti memedulikan (stop giving a f*ck) tentang ketenaran dan kekuasaan, dan alih-alih mengalihkan perhatian kita pada momen ini, di sini, di saat ini. Cari makna di masa kini dan cobalah untuk menebarkan kebahagiaan dan sukacita di manapun kamu berada. Penulis berpendapat bahwa not giving a f*ck tidak harus dibatasi pada pikiran tentang kematian. Mencoba menjadi seseorang yang disukai oleh semua orang juga hanya akan membawamu ke rasa pedih. Jika kamu ingin mengejar hidup yang bahagia, fokuslah pada hal-hal yang kamu nikmati, entah itu dalam wujud perjuangan yang menyenangkan (joyful struggle) atau menjalani hubungan yang sehat. Hal-hal lainnya hanyalah distraksi yang tak bermanfaat.
Semoga ringkasan ini bermanfaat kawan. Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam menginterpretasikan.
Ringkasan dari buku ini sangat bagus. Yang saya paling deep dengan sebuah kalimat kita tidak harus membuat semua orang suka kepada kita, cukup enjoyful struggle. Terkadang saya terlalu bersikap baik kepada orang walaupun orang tersebut acuh, Terkadang saya kepikiran, kenapa ya orang itu cuek. But right now i know that. Thanks you for giving. Very helpfull.
Mawar Nur Febriyanti
April 23, 2023 at 7:56 amRingkasan dari buku ini sangat bagus. Yang saya paling deep dengan sebuah kalimat kita tidak harus membuat semua orang suka kepada kita, cukup enjoyful struggle. Terkadang saya terlalu bersikap baik kepada orang walaupun orang tersebut acuh, Terkadang saya kepikiran, kenapa ya orang itu cuek. But right now i know that. Thanks you for giving. Very helpfull.
Syihabuddin Alfikri
April 24, 2023 at 5:05 amTerima kasih Kak atas komentarnya! Semoga tulisan kami bermanfaat!