Jika kita amati, saat ini sebagian besar dari hukum yang dituliskan dalam perundang- undangan tidaklah diputuskan oleh rakyat, melainkan dituliskan dan disetujui oleh “wakil rakyat”. Padahal keputusan “wakil rakyat” terhadap undang-undang dapat memiliki pengaruh besar terhadap jalan hidup dan kesejahteraan hidup dari seluruh rakyat. Walaupun rakyat melakukan pemungutan suara dari waktu ke waktu, kita tak banyak berpartisipasi dalam proses politik dan hanya melihat berjalannya pembuatan hukum dari kursi penonton saja. Padahal keterlibatan rakyatlah yang bisa mempererat ikatan yang telah terbentuk dalam sebuah negara. Saat rakyat berhenti terlibat, maka negara akan selalu berada dalam ancaman korupsi dan potensi untuk terpecah belah semakin nyata.
Keberadaan Negara Hanya Akan Sah Ketika Rakyat Setuju Untuk Hidup di Negara Tersebut Tanpa Adanya Paksaan
Dalam mengawali tulisannya, Rousseau berpendapat bahwa “Man is born free, but he is everywhere in chains.” Secara tidak langsung, ini adalah bentuk kutukan Rousseau terhadap pemerintahan Eropa pada zamannya. Chains (rantai) yang dimaksud di sini adalah berlakunya hukum dan konvensi yang dipaksakan oleh “masyarakat kelas atas” terhadap rakyat, yang sebenarnya hanya mengekang kebebasan rakyat. Pembatasan atas kebebasan manusia mungkin bisa dijustifikasi ketika rakyat bisa merasakan manfaatnya terhadap kesejahteraan dan ketenteraman hidupnya secara langsung. Akan tetapi hal yang sering terjadi adalah hukum hanya dimanfaatkan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaannya, sementara rakyat hanya semakin sengsara. Dari sudut pandang rakyat biasa, hidup di bawah pimpinan penguasa tidaklah menguntungkan. Maka dari itu, pertanyaan yang ingin dijawab oleh Rousseau melalui tulisannya adalah: “Apakah hal-hal yang memberikan penguasa hak untuk mengatur hidup dari mereka yang dipimpin?”
Opini pertama yang muncul dipikirannya adalah secara alami, penguasa lebih unggul jika dibandingkan dengan rakyat jelata. Sebagai perumpamaan, hubungan antara penguasa dan rakyat itu mirip seperti hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Orang tua memiliki kekuasaan sah atas anaknya karena mereka lebih mampu dan berpengalaman dalam menjalani hidup, dan berkat orang tua juga anak-anak dilahirkan ke dunia. Namun seketika itu juga, Rousseau menolak pendapatnya yang pertama. Selain karena banyak otoritas politik yang tak memiliki kemampuan untuk memimpin, alam juga tak memunculkan seorang pemimpin secara tiba-tiba.
Opini kedua yang Rousseau pertimbangkan adalah penguasa memiliki kekuasaan yang sah karena ia adalah satu-satunya pihak yang paling perkasa dan mampu menundukkan populasi. Namun lagi-lagi beliau menolak pendapat keduanya; kekuatan saja tak mampu menghasilkan legitimasi. Akan tetapi, agar lembaga pemerintahan dapat dianggap sah, rakyat harus menyadari tentang manfaat yang pemerintah dapat berikan sehingga mereka rela untuk tunduk. Namun jika rakyat tunduk hanya karena mereka dipaksa dan tak bisa berkata tidak terhadap kekuasaan, maka sikap tunduk mereka tak dilatarbelakangi oleh kebebasan.
Akhirnya, Rousseau berkesimpulan bahwa agar sebuah negara bisa dikatakan sah, rakyatnya harus tunduk kepada negara secara bebas tanpa paksaan. Di sini lah asal mula dari munculnya kontrak sosial yang berarti negara dapat dibentuk secara sah ketika orang di dalamnya secara bersama-sama memutuskan untuk bersatu dan setuju untuk bekerja sama demi terciptanya keuntungan bersama (mutual benefit). Dalam kontrak sosial, rakyat rela untuk membatasi kebebasan mereka masing-masing karena pada akhirnya mereka dapat menikmati kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan yang tak akan mampu mereka dapatkan ketika mereka hidup secara sendiri-sendiri.
Manusia Hanya Akan Menyadari Kemanusiaannya Secara Utuh Saat Mereka Berada di Bawah Supremasi Hukum (Rule of Law)
Sebelum manusia membentuk komunitas-komunitas yang mana hubungan di antara individunya dilandasi oleh kontrak sosial, jalan hidup manusia sempat diatur oleh state of nature (keadaan alamiah). Dalam state of nature, Rousseau berpendapat bahwa tiap manusia memiliki “natural freedom” (kebebasan alamiah). Dalam kondisi tersebut, manusia tak memiliki batasan dalam bertindak; mereka dapat memenuhi segala keinginan dan nafsu yang muncul di benak mereka, kapanpun itu, tanpa memikirkan konsekuensinya.
Namun setelah memasuki era kontrak sosial, nenek moyang kita mulai melepaskan segala bentuk “natural freedom” agar mereka bisa merasakan segala manfaat yang dibawa oleh hidup dalam komunitas; manusia menukarkan kebebasan alamiah demi mendapatkan kebebasan sipil (civil freedom). Walaupun di saat itu manusia tak dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya, rasa aman dan kesejahteraan secara materi yang ditawarkan oleh hidup bersama dapat memungkinkan manusia untuk melakukan hal-hal yang lebih mulia. Tak lagi bertindak berdasarkan nafsu, manusia dipaksa untuk mengendalikan diri mereka dan memikirkan secara matang tentang konsekuensi dari setiap hal yang mereka perbuat demi kebaikan bersama. Terbentuknya lembaga hukum dalam sebuah komunitas menjadi titik awal di mana manusia menjadi mahluk yang rasional dan memiliki moral untuk pertama kalinya.
Semenjak manusia hidup di dalam sebuah komunitas, kita mulai mempunyai dua kesadaran yang terpisah (split consciousness). Di satu sisi, kita masih memiliki bagian diri yang ingin memuaskan hawa nafsu dan berniat untuk mendahulukan kepentingan pribadi. Namun di sisi lain, kita sebagai mahluk sosial memiliki kesadaran untuk memenuhi kewajiban kita terhadap komunitas dan anggota lain; selain itu kita juga memiliki kesadaran untuk tak melanggar hak yang dimiliki orang lain. Dua kesadaran ini harus dijaga secara seimbang.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan split consciousness secara jelas, coba bayangkan momen di mana kita akan membayarkan pajak. Sebagai individu yang memiliki kepentingan pribadi, ada satu sisi di mana kita tak ingin membayarkan pajak karena ini dapat mengurangi kemampuan kita untuk membeli sesuatu yang kita inginkan. Namun di sisi lain, kita juga berkeinginan untuk hidup di sebuah negara yang aman, damai dan sejahtera, dengan begitu kita meyakinkan diri bahwa membayarkan pajak adalah sesuatu yang akan memberikan kebaikan untuk bersama. Hasrat dari tiap individu untuk memenuhi kewajiban demi kebaikan bersama dalam sebuah masyarakat disebut dengan general will (kehendak umum).
Dalam Sebuah Negara Yang Sah, Hukum Harus Mencerminkan Kehendak Umum Dari Masyarakat
Pada masa di mana negara dipimpin oleh raja ataupun ratu, hanya seorang pemimpin lah yang memiliki kedaulatan atau otoritas mutlak untuk menjalankan kehendaknya terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Namun menurut Rousseau, ini adalah pandangan yang salah; tak seharusnya kedaulatan hanya berada di tangan dari satu atau sekelompok orang saja, akan tetapi sumber sebenarnya dari otoritas dalam masyarakat adalah kontrak sosial itu sendiri yang merupakan sebuah ekspresi dari kehendak umum masyarakat. Dalam pandangan Rousseau, raja tak lagi berdaulat atas rakyat, akan tetapi rakyatlah yang berdaulat atas raja.
Jadi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan rakyat yang berdaulat atas negaranya? Secara sederhana, ini berarti bahwa rakyat di dalam negara tersebut memiliki kebebasan mutlak untuk memilih hukum yang dapat mengatur mereka. Dalam sebuah negara yang ideal, sebelum hukum ditetapkan, hukum tersebut harus terlebih dahulu disetujui oleh seluruh rakyat karena pada akhirnya merekalah yang akan merasakan akibat dari dilaksanakannya hukum tersebut. Contohnya, hukum yang bertujuan untuk menjaga hak dan kebebasan yang dimiliki manusia adalah hukum yang sah karena kita setuju bahwa hukum tersebut akan memberikan manfaat kepada semua orang.
Dalam keadaan yang ideal, the laws (hukum yang dianut rakyat) akan berbentuk seperti catatan tertulis tentang segala hal baik yang dipercaya oleh rakyat secara bersama-sama. Saat hukum diabsahkan, pada dasarnya komunitas menyatakan bahwa mereka siap dan berkomitmen untuk menjunjung tinggi hukum tersebut demi kebaikan bersama. Negara yang hukumnya berada di tangan rakyat disebut dengan republik. Selain itu, Rousseau juga berpendapat bahwa institusi pemerintahan yang bertugas untuk menerapkan hukum dalam keseharian dapat memiliki bentuk yang beragam. Bahkan sebuah kerajaanpun bisa dikategorikan sebagai sebuah republik selama kerajaan tersebut hanya menjalankan kehendak rakyat. Akan tetapi, kerajaan bukanlah bentuk pemerintahan yang paling ideal untuk sebuah republik, karena kedaulatan tak seharusnya berada di tangan satu orang. Agar konflik kepentingan bisa dihindari, orang yang memiliki peran untuk menegakkan hukum tak boleh sama dengan mereka yang memutuskan hukum.
Dari 3 Jenis Pemerintahan, Aristokrasi (Pada Masanya) Memiliki Paling Banyak Keunggulan
Jika dikategorikan, cara untuk menjalankan pemerintahan terbagi menjadi 3 jenis: demokrasi, aristokrasi dan monarki. Yang membedakan dari ketiga jenis pemerintahan ini adalah pihak yang terlibat dalam penyusunan hukum. Ketika seluruh atau sebagian besar dari masyarakat ikut berpartisipasi untuk menyusun dan mengimplementasikan hukum, pemerintahan tersebut disebut dengan demokrasi. Ketika hanya sebagian kecil orang saja yang terlibat, pemerintahan tersebut bisa dikategorikan sebagai aristokrasi. Namun, saat hanya terdapat satu orang saja yang memegang kekuasaan penuh terhadap hukum, ini adalah pemerintahan berjenis monarki. Namun pada praktiknya, sangat mungkin untuk mencampurkan cara kerja dari 3 pemerintahan yang berbeda ini.
Mari kita bicarakan tentang demokrasi terlebih dahulu. Penting untuk diketahui bahwa apa yang dimaksud oleh Rousseau dengan demokrasi cukup berbeda dengan demokrasi yang kita pahami saat ini. Dalam pandangannya, demokrasi adalah pemerintahan untuk rakyat, oleh rakyat; atau dengan kata lain, ini adalah sebuah sistem yang melibatkan seluruh rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Walaupun sistem ini bisa dianggap sebagai sistem yang ideal, dalam praktiknya, ini adalah sistem yang tidak efisien dan hampir mustahil untuk dilaksanakan dalam negara yang luas. Bayangkan saja apa jadinya jika setiap warga negara menjabat sebagai pegawai negeri. Oleh karena itu, beliau berpendapat bahwa demokrasi hanya dapat diterapkan di negara-negara yang sangat-sangat kecil dari segi luas tanah maupun jumlah penduduk.
Bentuk selanjutnya adalah monarki. Beliau mengakui bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang sangat efisien semenjak segala keputusan berada di tangan satu orang. Namun hal ini juga yang membuat monarki sebagai bentuk pemerintahan yang cukup berbahaya. Apa jadinya jika sebuah negara dipimpin oleh raja yang korup, kejam, dan tak memiliki kompetensi sama sekali untuk memimpin? Selain itu, monarki juga memiliki masalah tentang penerus takhta kerajaan dari waktu ke waktu. Saat seorang raja meninggal, ia juga akan meninggalkan ruang hampa kekuasaan yang mungkin akan diperebutkan oleh banyak pihak; dan ini dapat memicu terjadinya perang antar saudara atau warga. Hal ini jugalah yang kerap kali melanda kerajaan Romawi di zamannya. Maka dari itu Rousseau tak merekomendasikannya.
Alternatif pemerintahan terbaik yang disarankan oleh Rousseau adalah aristokrasi. Mungkin masyarakat modern memiliki pandangan yang negatif mengenai aristokrasi; namun pada dasarnya, arti secara harfiah dari aristokrasi adalah “dipimpin oleh orang-orang yang terbaik”. Tentu pada kenyataannya, di negara aristokrasi, kursi kepemimpinannya tak selalu diisi oleh orang yang memiliki kemampuan yang sesuai dan diperlukan. Akan tetapi, memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki seseorang tetaplah cara yang elok untuk memastikan bahwa rakyat telah menunjuk orang-orang yang tepat untuk duduk di kursi pengemudi kepemimpinan.
Majelis Rakyat Adalah Tempat Terbaik Untuk Menyampaikan Kehendak Rakyat
Apapun bentuk pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara, pemerintah haruslah bersikap terbuka dan bertanggung jawab penuh atas kedaulatan negara (yakni rakyat itu sendiri). Kedaulatan lah yang menentukan hukum, dan pemerintah merupakan pelaksana dari hukum. Karena itu pemerintah juga harus memastikan bahwa rakyat siap untuk memenuhi janjinya dan harus taat terhadap hukum yang telah ditetapkan bersama. Keberadaan dari the sovereign (rakyat) dan pemerintah harus saling melengkapi serta menyeimbangkan antara satu sama lain.
Namun pada kenyataannya, bukan keseimbangan dan kolaborasi dari kedua belah pihak yang terbentuk, akan tetapi persaingan ketat yang semakin subur. Terutama dari sisi pemerintah, sering sekali mereka mengingkari kewajiban yang telah diamanahkan. Walaupun ini tak bisa ditoleransi, hal-hal semacam ini memang rentan sekali terjadi mengingat mereka adalah manusia yang mungkin tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Jika ini yang terjadi, sangat mungkin bagi rakyat untuk kehilangan kepercayaan terhadap hukum yang acap kali disalahgunakan; dan akhirnya rakyat memilih untuk berhenti memberikan restunya terhadap kontrak sosial yang ada. Maka dari itu, wajib hukumnya bagi rakyat untuk mengevaluasi pemerintah secara berkala untuk memastikan bahwa mereka masih bekerja mewakili kehendak rakyat. Dan menurut Rousseau, cara terbaik untuk melakukan ini adalah dengan melakukan pertemuan melalui majelis rakyat.
Walaupun Rousseau sendiri tak mengungkapkannya secara jelas, beliau adalah pendukung dari sistem demokrasi langsung (direct democracy). Rakyat mengkomunikasikan kehendak umumnya dengan berkumpul bersama di sebuah tempat umum untuk menyuarakan perhatian dan keresahannya secara kolektif. Saat bermajelis, rakyat dapat mengusulkan, mendiskusikan serta melakukan pemungutan suara terhadap hukum yang baru. Mereka juga dapat memanfaatkan majelis untuk menilai performa dan keabsahan dari pemerintahan yang sedang berjalan.
Mungkin mengharapkan seluruh rakyat dari sebuah negara untuk hadir dan berkumpul mendiskusikan kondisi negara di satu tempat adalah hal yang tak realistis, namun Rousseau tahu bahwa majelis negara semacam ini pernah dilaksanakan di masa lalu. Salah satunya dilaksanakan di awal berdirinya Republik Romawi; ratusan ribu rakyat bersedia untuk mengikuti majelis umum tersebut setiap minggunya. Majelis ini mereka sebut dengan Comitia yang berfungsi sebagai badan yang berdaulat dari Romawi; di sana, pemungutan suara atas diberlakukannya sebuah hukum dilakukan. Majelis ini tidak hanya sekedar diisi dengan kegiatan administratif yang bersifat formal dan membosankan, ini adalah sebuah forum yang menjaga detak jantung dari keberlangsungan sebuah republik. Dengan menyatukan suara melalui comitia, partisipasi rakyat dan semangat untuk menegakkan hukum begitu terasa, dan ini adalah kunci sukses dari terlaksananya kontrak sosial.
Negara Sebaiknya Menanamkan Kebajikan Sipil (Civic Virtues) dengan Menetapkan Sebuah Agama yang Didukung oleh Negara
Jadi apakah yang dimaksud dengan kebajikan sipil (civic virtues)? Pada dasarnya kebajikan sipil adalah sifat dan kebiasaan positif yang dimiliki oleh seorang warga negara. Mereka tertib dalam menyumbangkan suaranya, mematuhi hukum yang ada, dan berkomitmen untuk menjaga kesehatan dari komunitas dan negaranya (baik dari segi fisik maupun mental). Merosotnya tingkat kebajikan sipil dapat mengancam persatuan yang telah terbentuk di antara warga. Ketika warga negara mulai kehilangan rasa kewajiban sosialnya, mereka cenderung menempatkan kepentingan pribadi mereka di atas kebaikan bersama. Saat hal tersebut terjadi, tak lama lagi negara akan terbagi-bagi ke dalam faksi-faksi politik yang berbeda-beda, yang tiap faksinya memiliki agendanya masing-masing.
Maka dari itu, Rousseau berpendapat bahwa kegiatan memupuk dan menyuburkan kebajikan sipil merupakan hal yang harus didukung oleh negara. Menurut beliau, cara yang cukup efektif untuk meraih tujuan tersebut adalah dengan membangkitkan kembali gagasan tentang agama yang didukung oleh negara (state-sponsored religion). Pada kehidupan masyarakat kuno, keberadaan agama hampir selalu terkait dengan wilayah negara. Tiap budaya kuno mempunyai agama dan dewa-dewi nya masing-masing yang dipercaya selalu berada di antara mereka dan melindungi mereka. Agama mempunyai cara yang menarik untuk menceritakan kisah lahirnya dari sebuah negara; selain itu agama memberikan ritual dan tradisi yang dapat dipraktikkan bersama sehingga mampu mempererat rasa persaudaraan di antara rakyat. Pada zaman dulu, agama hampir tak dapat dipisahkan dari negara.
Namun datangnya Agama Kristen ke dunia membawa sedikit perubahan terhadap hubungan antara agama dan negara. Kristen adalah agama evangelis yang tak memihak atau bersekutu dengan negara manapun. Sejak awal, latar belakang dari para pengikut Agama Kristen sudah sangat beragam; para pengikut tak memiliki hubungan etnik atau hubungan budaya dengan kemunculan Agama Kristen. Alhasil, kebangkitan dari Agama Kristen memungkinkan gereja dan negara untuk hadir sebagai dua entitas yang berbeda. Pernah terjadi pembagian kekuasaan yang cukup janggal di negara-negara yang mayoritas warganya penganut agama Kristen; gereja memiliki sederet hukum dan nilai yang bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Rousseau merasa bahwa Agama Kristen sangat memfokuskan ajarannya terhadap hal-hal spiritual yang kadang mengabaikan urusan-urusan publik (public affairs).
Karena pandangan inilah, Rousseau berargumen bahwa agama yang disponsori oleh negara perlu digalakkan kembali. Untuk menghilangkan salah tafsir, beliau percaya bahwa selama pandangan dari seseorang tak mengganggu keharmonisan umum, maka tiap orang bebas untuk mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Selain itu, beliau mengusulkan agar warga negara harus diajari tentang civic religion (agama sipil) yang menanamkan tentang beberapa dogma dasar yang mampu mendorong pengikut untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Dogma yang dimaksud di sini meliputi hal seperti percaya bahwa hukum dan perundang-undangan adalah hal yang suci, serta wajib hukumnya untuk menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan.
Semoga kalian dapat mengambil manfaat dari pandangan yang dibawa oleh Jean-Jacques Rousseau. Terima kasih!
Add a comment