Saat kita terburu-buru untuk meninggalkan rumah karena tak ingin terlambat untuk menghadiri sebuah pertemuan penting, tiba-tiba saja kita melupakan letak dari sesuatu yang ingin kita bawa, entah itu dokumen, kunci, ataupun gadget. Kamu padahal yakin sekali bahwa tadi malam kamu meninggalkan benda tersebut di atas meja makan dan tak ada orang lain yang memindahkannya sama sekali. Bagaimana bisa ingatan tentang hal sesederhana ini hilang dari pikiran kita? Adakah hal yang kita bisa lakukan untuk meningkatkan daya ingat kita? Terlebih ingatan akan sesuatu yang penting untuk membantu kegiatan sehari-hari kita.
Semua Ingatan Pasti Akan Memudar, Akan Tetapi Ada Cara Untuk Menjaga Ingatan Yang Ingin Kamu Simpan
Pernahkah kamu mendatangi sebuah pesta dan disapa oleh orang asing yang wajahnya terasa familiar? Setelah beberapa saat berbincang, baru saja kamu sadar bahwa kamu pernah berjumpa dengannya beberapa bulan yang lalu. Momen memalukan seperti ini dapat terjadi kepada siapapun, dan ini merupakan “dosa” pertama dari “7 dosa mematikan dari ingatan manusia”, yakni: transience (kesementaraan). Ingatan itu bersifat transient – yakni ia akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu tanpa kita menyadarinya.
Sebuah studi yang diadakan oleh peneliti di California menunjukkan bagaimana otak kita mengalami penurunan kemampuan seiring waktu. Studi ini diadakan setelah dibebaskannya O.J. Simpson di tahun 1995 dari tuduhan atas pembunuhan terhadap sang istri dan satu orang laki-laki lain. Di saat itu, sekelompok siswa diminta untuk memberikan penjelasan mendetail mengenai kasus ini serta hasil dari sidang di pengadilan. 15 bulan kemudian, kelompok siswa yang sama diminta untuk menjelaskan tentang hal yang sama; hanya 50% dari mereka yang mampu memberi penjelasan seakurat dari penjelasan pertama mereka. Setelah 3 tahun berlalu, tes yang sama dilakukan dan hanya 30% dari mereka yang mampu mempertahankan ingatan mereka mengenai kejadian tersebut.
Penemuan ini bukanlah hal yang mengejutkan. Tanpa melakukan penelitian pun kita sudah merasakannya dalam keseharian. Percobaan lain mengenai ingatan pernah dilakukan oleh filsuf Jerman yang bernama Hermann Ebbinghaus. Beliau mengembangkan “forgetting curve” (kurva lupa) yang mampu menunjukkan bagaimana ingatan manusia memudar dari waktu ke waktu. Dalam percobaannya, beliau mencoba menghafalkan sekelompok kata- kata yang tak masuk akal. Setelah 9 jam berlalu, beliau telah melupakan 60% dari kata-kata tersebut. Pada akhir bulan, 75% dari kata-kata itu benar-benar tak berbekas di ingatannya.
Namun jangan khawatir, terdapat beberapa teknik yang kami bisa kamu lakukan untuk memperlambat hilangnya ingatan. Metode yang disebut dengan mnemonics ini dikembangkan oleh masyarakat Yunani di jaman dulu. Dengan mnemonics, setiap kali kamu ingin mengingat informasi baru, kamu diwajibkan untuk menghubungkan atau mengasosiasikan informasi tersebut dengan sebuah tempat, gambar atau angka yang berarti untukmu dan memiliki kaitan (secara konteks) dengan informasi tersebut. Dengan memberikan konteks terhadap informasi, ia akan semakin mudah untuk diingat. Misalkan, kamu baru saja bertemu dengan seorang pria berbadan gagah bernama Bruce, lalu untuk memudahkan mengingat namanya, kamu membayangkan bagaimana Bruce dapat memberikan “bruise” (memar-memar) saat kamu berkelahi dengannya. Dengan begitu, tiap kali kamu bertemu dengannya dan melihat badan gagahnya, akan terlintas dipikiranmu kata-kata “Bruce the bruiser”. Untuk mempelajari lebih dalam mengenai teknik mnemonics, kalian bisa lihat video berjudul “Mnemonics: Memory Tricks (Examples)” ini ya.
Terkadang Kesulitan Untuk Menjaga Ingatan Disebabkan oleh Cara Kita yang Salah Dalam Mencatatkannya ke Pikiran
Mungkin kamu pernah berasumsi bahwa pemenang dari kejuaraan ingatan tak akan pernah melupakan barang apa saja yang harus ia beli saat berbelanja di supermarket. Tentunya ia juga pernah lupa, terlebih saat ia sedang sibuk membalas pesan singkat sambil mengingat- ingat apa yang harus ia beli. Kasus kegagalan mengingat ini sering disebut dengan absent-mindedness yang berarti seseorang tak memberikan perhatian yang cukup terhadap tugas yang sedang dilakukannya sehingga ia hanya mampu merekam sebagian informasi yang masuk, atau bahkan tidak sama sekali. Jadi, tak berarti bahwa seringnya kamu melupakan di mana letak kunci motor merupakan tanda bahwa daya ingatmu mulai menurun; akan tetapi, ini lebih dikarenakan oleh perhatianmu yang sedang tertuju pada hal lain saat kamu meletakkan kunci.
Sebuah percobaan yang diadakan oleh dua orang psikolog bernama Christopher Chabris dan Daniel Simons mampu menunjukkan sejauh apa seseorang dapat mengacuhkan terjadinya hal lain saat ia sedang menaruh perhatian penuh pada suatu hal. Dalam percobaannya, dua psikolog ini meminta peserta untuk melihat sebuah video dari sekelompok orang yang mengenakan baju putih dan hitam yang saling mengoperkan bola basket. Selain itu peserta juga diminta untuk menghitung berapa kali bola tersebut dioper. Beberapa saat setelah video diputar, terdapat seorang pria yang mengenakan kostum gorila berjalan di antara para pemain sambil memukuli dadanya. Mengejutkannya, saat peserta ditanya apakah ada sesuatu yang aneh dari video tersebut, hanya separuh dari mereka yang memperhatikan bahwa ada seorang pria yang berlari mengenakan kostum gorila. Klik video berjudul "selective attention test” ini untuk melihat bagaimana cara penelitian tersebut bekerja.
Namun tak hanya itu yang membuat kita lupa. Ada saatnya di mana kita sudah mencatatkan informasi tersebut dengan benar, akan tetapi kita belum menetapkan sebuah isyarat/sinyal yang tepat untuk mengingatkan kita akan hal tersebut. Misalkan, dengan menuliskan tentang tugas apa saja yang perlu dilakukan di hari ini secara mendetail di dalam buku catatan sama sekali tak akan berguna ketika kamu tak menetapkan isyarat yang dapat mengingatkanmu untuk membuka buku tersebut di saat yang tepat.
Lalu bagaimanakah contoh dari isyarat yang tepat? Misalkan kamu sedang menjalani sebuah perawatan dan dokter mewajibkanmu untuk mengonsumi obat di pagi dan malam hari. Menaruh obatmu di lemari dapur tak akan membantumu untuk mengikuti jadwal minum obat yang sesuai. Akan tetapi, saat kamu menempatkan obat-obatan tersebut di samping sikat gigi yang terletak di wastafel, hampir pasti kamu bisa teringat untuk meminum obat. Ini adalah sebuah dorongan visual di lokasi yang tepat dan di waktu yang tepat, karena kebanyakan dari kita menggosok gigi di pagi hari dan saat menjelang tidur.
Bahkan Saat Kita Sudah Menghafalkan Sebuah Informasi Dengan Baik, Mental Block Mampu Mencegah Kita Untuk Mengingatnya
Rasanya cukup memalukan ketika kita tak mampu mengingat nama seseorang saat berjumpa dengannya, terlebih jika kamu baru saja bertemu dengannya beberapa hari lalu. Padahal kamu yakin bahwa kamu telah menghafalkan namanya, namun rasanya nama tersebut seperti tersangkut di ujung lidah dan tak mau keluar. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada skenario ini? Penulis menyebutkan bahwa informasi akan nama itu sedang di-block. Jika kita tidak mengasosiasikan nama dari seseorang dengan suatu hal yang familiar saat kita menghafalkannya, maka informasi tentang nama itu seakan berdiri sendiri dan akan sulit untuk otak membuat akses jaringan yang terhubung kepadanya.
Contohnya, saat kita bertemu dengan seseorang yang bernama Hakim yang bekerja sebagai hakim, kita akan cenderung lebih mudah untuk mengingat pekerjaannya dari pada namanya. Kenapa demikian? Karena informasi tentang pekerjaan dapat mengingatkan kita kepada lokasi di mana ia bekerja dan bagaimana ia menghabiskan waktunya; di saat itu, otak kita membuat lebih banyak asosiasi dan jejaring yang menghubungkan informasi tentang pekerjaan dengan informasi lainnya sehingga membuatnya lebih mudah untuk diingat. Jadi, agar kamu mampu mengingat informasi yang sangat rawan untuk terblokir, buatlah sebanyak mungkin asosiasi terhadap informasi tersebut.
Kita Cenderung Mencampur Aduk Ingatan Tentang Orang, Tempat dan Benda, Lebih Sering Dari yang Kita Pikirkan
Jika kamu pernah salah menyebut nama dari dokter umum langgananmu dengan nama dari dokter gigimu, kamu sedang mengalami sebuah fenomena ingatan yang disebut dengan misattribution (salah atribusi).
Salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi terkait dengan misattribution adalah tentang pencarian tersangka kedua dari peristiwa pengeboman di Oklahoma City pada tahun 1995. Seorang saksi mengeklaim bahwa ia pernah melihat tersangka kedua yang diduga sebagai pembantu dari teroris utama, Timothy McVeigh, saat mereka berdua sedang mengunjungi gerai yang dimiliki oleh sang saksi untuk menyewa sebuah kendaraan. Saksi ini memberikan penjelasan yang cukup mendetail dari tersangka kedua, sampai-sampai ia juga menyebutkan tato yang dimiliki oleh tersangka di tangan. Orang yang dideskripsikan olehnya memang benar adanya, bukan sekedar imajinasi. Namun sayangnya, orang yang dideskripsikan oleh saksi adalah seorang tentara tak bersalah yang sedang menemani rekannya, yang kebetulan berwajah mirip dengan Timothy McVeigh, untuk menyewa kendaraan.
Hal-hal semacam ini mudah sekali untuk terjadi karena cenderung lebih mudah bagi manusia untuk mengingat wajah dari seseorang dibandingkan dengan mengingat tempat di mana mereka melihat orang tersebut secara sekilas. Jika sebuah informasi tak memiliki hubungan yang kuat dengan satu waktu atau tempat tertentu, maka akan mudah sekali untuk informasi tersebut tercampur aduk dengan ingatan lain.
Bahaya dari misattribution memiliki konsekuensi serius di dunia nyata, khususnya jika itu terkait dengan sistem keadilan kriminal. Penelitian terkini dari kasus-kasus kriminal menunjukkan bahwa saat uji DNA digunakan untuk memperkuat bukti-bukti lapangan, 90% dari identifikasi yang diberikan oleh saksi mata tidaklah tepat. Maka dari itu, sederet langkah telah dilakukan untuk meminimalkan efek buruk yang timbul akibat misattribution yang dilakukan oleh saksi. Saat ini polisi tak lagi meminta saksi mata untuk menunjuk siapa pelaku tindak kriminal dari sederet tersangka yang diperlihatkan kepadanya karena saksi akan cenderung memilih tersangka yang mirip – walaupun sebenarnya pelaku tak berada di barisan tersebut. Akhir-akhir ini, saksi hanya diminta untuk memberikan sinyal berupa thumbs up atau thumbs down untuk setiap tersangka yang diperlihatkan padanya untuk mengindikasikan seberapa besar potensi dari tersangka itu sebagai pelaku. Praktik-praktik semacam ini mendorong saksi mata agar dapat meneliti ingatannya lebih dalam.
Saran Dari Orang Lain Dapat Mengubah Ingatan Kita Secara Drastis
Ketika proses wawancara berjalan, peneliti menanyakan pertanyaan yang sangat jelas: “Pernahkah kamu melihat rekaman video saat pesawat jatuh menabrak apartemen?”. Lebih dari separuh responden menjawab “pernah”. Tak lama setelahnya, studi yang sama dilaksanakan, dan mahasisw(a/i) yang menjawab iya meningkat menjadi 2/3 dari keseluruhan. Tak hanya itu, kali ini mereka juga mendeskripsikan kejadian dengan cukup mendetail, seperti sudut kemiringan pesawat saat menabrak bangunan, dan apa yang terjadi setelahnya. Padahal sebenarnya, tak ada satu pun video rekaman yang beredar di masyarakat. Dari studi ini kita tahu bahwa hanya dengan sebuah pertanyaan yang mengandung sugesti, yang mengimplikasikan bahwa ada video rekaman dari kecelakaan, cukup untuk mendorong responden menciptakan false memories (ingatan palsu) secara mendetail.
Maka dari itu, memahami elemen sugesti dari sebuah pertanyaan sangatlah penting saat kita berurusan dengan masalah hukum. Mendapatkan testimoni yang salah (false testimonies) dari seseorang tak memerlukan penanya untuk mengencamnya dengan siksaan fisik; yang mereka butuhkan hanyalah menanyakan pertanyaan yang menjurus secara berulang sampai pada titik di mana responden mulai mempertanyakan ingatan mereka sendiri.
Secara Tak Sadar, Kita Mengubah Ingatan Kita Agar Sesuai Dengan Pandangan Kita Mengenai Dunia di Saat Ini
Pernahkah kamu mendengar istilah bias konsistensi (consistency bias)? Singkatnya, saat kita mengalami bias konsistensi, kita cenderung percaya bahwa pandangan kita mengenai sesuatu di saat ini adalah sama dengan pandangan kita di masa lalu. Bias konsistensi ini membantu kita untuk menciptakan narasi-narasi yang mudah kita pahami dan masuk akal bagi kita.
Untuk melihat adanya bias konsistensi, sebuah studi mencoba untuk mewawancarai beberapa pasang kekasih sebanyak dua kali dalam rentang waktu 4 tahun. Salah satu peserta menjawab bahwa hubungan mereka berjalan dengan baik di sesi wawancara kedua, dan di saat itu juga ia teringat dengan jawabannya yang sama di sesi wawancara pertama. Namun terdapat juga peserta lain yang menjawab hubungan mereka baik-baik saja di sesi wawancara pertama, dan kemudian menjawab hubungan sedang dalam kondisi buruk di sesi wawancara kedua; anehnya, di saat itu juga bias konsistensi mulai mempengaruhinya. Peserta mulai mengingat (dengan cara yang salah) bahwa ia juga mengatakan hubungannya sudah berada pada kondisi buruk semenjak sesi wawancara pertama. Untuk mempertahankan konsistensinya, ia menyampaikan bahwa sejak dahulu hubungannya telah berjalan tak sesuai dengan keinginan.
Berbicara tentang narasi, otak sebelah kiri (left hemisphere) adalah bagian yang mempunyai peran untuk membuat narasi-narasi dari setiap perbuatan yang kita sendiri lakukan dan berpotensi untuk memunculkan bias saat mengutarakan pendapatnya. Untuk memastikan kebenaran dari hipotesis ini, seorang peneliti bernama Michael Gazzaniga mengadakan sebuah studi di Dartmouth College dengan pasien-pasien yang koneksi antara otak sebelah kiri dan kanannya telah terganggu (split brain). Perlu kamu ketahui bahwa otak sebelah kiri terhubung dengan mata sebelah kanan, dan otak sebelah kanan terhubung dengan mata sebelah kiri. Dalam percobaannya, Gazzaniga mencoba untuk menunjukkan gambar-gambar tertentu yang ditujukan ke masing-masing bagian otak dengan menggunakan sebuah layar khusus (dividing screen).
Beliau menemukan hal yang cukup mengejutkan: otak bagian kiri manusia selalu mencoba untuk menciptakan narasi untuk menjelaskan tiap perbuatan yang dilakukan, walaupun sebenarnya otak kiri tak memahami sepenuhnya tentang apa yang sedang terjadi pada otak bagian kanan. Di salah satu percobaannya, sebuah kartu yang berisi instruksi untuk berjalan ditampilkan di layar dalam waktu singkat; instruksi ini ditujukan untuk otak sebelah kanan. Setelah melihat instruksi tersebut, pasien segera berdiri dan berjalan. Walaupun otak kiri tidak paham mengapa tiba-tiba tubuh berdiri dan berjalan, otak kiri tetap berusaha untuk mencari penjelasan dari aksinya dengan memberi tahu sang peneliti bahwa ia ingin pergi ke toilet atau keluar untuk mencari air minum. Padahal otak kanan lah yang membuat tubuh berjalan karena melihat instruksi tersebut. Sebuah penemuan yang unik bukan? Lihat video penjelasan yang lebih lengkap di sini.
Kejadian-Kejadian Yang Paling Emosional Adalah Kejadian Yang Tidak Mudah Dilupakan Dari Ingatan
Memiliki ingatan yang kuat tentang sebuah kejadian sangatlah mungkin terjadi jika kejadian tersebut memiliki pengaruh emosional yang kuat terhadap diri kita. Jika kamu pernah mengalami sebuah kejadian hebat dan kerap kali termenung dan terobsesi dengan masa lalu yang buruk ini, kamu sangat rentan untuk terjebak dalam arus “lingkaran negatif”. Dalam studi yang dilakukan oleh University of Michigan, peneliti memeriksa suasana hati dan kondisi emosi dari sekelompok mahasisw(a/i) setelah terjadinya gempa bumi. Mahasisw(a/i) yang cenderung terobsesi dengan aspek buruk dari bencana tersebut jauh lebih mungkin untuk mengalami depresi beberapa saat setelah gempa bumi melanda. Semakin mereka terpaku pada kejadian traumatis, semakin dalam depresi mereka.
Lalu apa solusinya? Apakah sebaiknya kita menghindari dan membuang jauh-jauh ingatan negatif ini? Bukan itu solusinya. Seorang psikolog Harvard bernama Daniel Wegner mengadakan sebuah penelitian untuk menunjukkan bahwa memaksa diri untuk tidak memikirkan sesuatu adalah hal yang counterintuitive (berlawanan dengan intuisi). Dalam penelitiannya, peserta diminta untuk mengatakan hal apapun yang keluar dari pikirannya pada saat itu juga selama 5 menit kedepan, namun di saat yang sama mereka diminta untuk tak memikirkan tentang beruang putih. Tiap kali pikiran tentang beruang putih itu muncul, peserta diminta untuk membunyikan bel. Walaupun mereka dapat menekan munculnya bayangan beruang putih untuk sejenak dari pikiran, ujung-ujung nya bayangan itu muncul kembali ke permukaan (rebound effect) dengan intensitas yang jauh lebih kuat. Lihat video dari penelitian di sini (Wegner’s White Bear Experiment).
Lalu apa solusi yang terbaik untuk menghadapi ingatan negatif? James Pennebaker dari University of Texas menemukan bahwa dengan membicarakan atau menulis tentang ingatan negatif yang terus muncul (dengan kata lain, meletakkan pengalaman-pengalaman negatif ini ke dalam konteks naratif) dapat membantu kita menghadapinya. Lepaskan segala jenis emosi yang telah kamu pendam cukup lama saat menuliskannya. Tak usah pedulikan tanda baca atau grammar saat membicarakan ingatanmu. Terbukti metode sederhana ini dapat memperbaiki suasana hati dari mereka yang sempat terjebak dengan ingatan negatif dan juga meningkatkan daya tahan tubuh. Semakin mereka sering mengungkapkan tentang ingatan negatif ini dari pikiran, semakin kecil dampak negatif yang dirasakan penderita kedepannya. Untuk lihat penjelasan langsung dari Pak Jammes, silahkan klik tautan video yang berjudul “The Expressive Writing Method”.
Add a comment