Jika dilihat sekilas, psikologi modern sepertinya menawarkan wawasan menarik mengenai perilaku manusia, dan juga solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah paling serius yang dihadapi umat manusia, seperti ketidaksetaraan dan kekerasan antar ras. Namun psikologi tidaklah sempurna; menurut penulis, terdapat banyak ide di dalam nya yang masih memiliki kekurangan/cacat. Akan tetapi, saat ide-ide tersebut mulai disebarkan melalui media-media populer seperti TED talks, ke-tidak-akuratan dari ide tersebut seperti dikesampingkan begitu saja. Penulis menyarankan agar kita tidak langsung dapat mempercayai apa yang dikatakan oleh para “ahli”; ketika ide-ide yang setengah matang ini memasuki arus utama perbincangan, mereka sebenarnya dapat membawa lebih banyak mudarat dari pada manfaat.
Dilulio adalah penemu istilah atau ide “superpredators” yang berarti sekelompok orang yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan nan keji secara impulsif. Menurutnya, superpredators berperilaku demikian karena mereka tumbuh di lingkungan yang abusive (kasar), tak aman, dan dysfunctional sehingga mereka mengalami apa yang disebut dengan kemiskinan moral (moral poverty). Dilulio juga berpendapat bahwa jika mereka tak bisa diselamatkan pada usia muda, sebaiknya mereka dikurung dan dipisahkan dari kehidupan masyarakat “normal”. Konsep ini sangatlah populer dan berpengaruh besar, namun masalahnya, masih ada kecacatan dalam teori ini.
Setelah berjalan beberapa saat, ternyata teori superpredator ini tidak terbukti. Terdapat penjelasan lain yang lebih masuk akal akan terjadinya kekerasan pemuda pada akhir tahun 80- an hingga awal tahun 90-an, diantaranya adalah: akses yang mudah kepada senjata yang ternyata juga berhubungan dengan maraknya perdagangan narkotika. Ledakan tindakan kriminal oleh pemuda yang diprediksikan oleh para ahli di awal justru tidak terjadi, bahkan memasuki awal tahun 90-an, tingkat kriminalitas oleh pemuda berangsur menurun. Seperti beberapa konsep psikologi lainnya, superpredator merupakan konsep yang setengah matang. Istilah tersebut tidak pernah didefinisikan dengan jelas. Akan tetapi, ini bukanlah hal yang penting bagi media. Selama mereka sudah mendapatkan cerita yang menarik untuk dipublikasi dan telah diverifikasi oleh para “ahli”, maka fenomena ini adalah hal yang valid.
Sementara, para ahli lainnya tak melakukan banyak upaya untuk membantah istilah superpredator dari Dilulio sehingga pemahaman ini menyebar begitu saja. Istilah tersebut bahkan mendorong beberapa negara bagian di AS untuk mengubah hukumnya. Untuk mencegah terjadinya kekerasan remaja, negara-negara bagian tersebut mengizinkan remaja untuk diadili dan dihukum layaknya orang dewasa (dengan konsekuensi-konsekuensi tragisnya). Konsekuensi lain dari teori superpredator Dilulio adalah terbentuknya stereotip rasial negatif terhadap orang berkulit hitam mengingat banyak dari mereka yang tinggal di lingkungan tak sehat. Konsep superpredator ini tak hanya mengaburkan realitas dari fenomena kriminal yang ada di lapangan, akan tetapi ia juga memperlebar jurang pemisah antar ras di AS. Contoh ini menunjukkan hal negatif yang bisa terjadi saat konsep psikologi cacat, yang diproosikan oleh para ahli, menjadi tersebar dan berpengaruh besar.
Beberapa Studi Psikologi tak Mampu Menghadapi Proses Verifikasi Ilmiah yang Ketat
Ketika peneliti lain mencoba untuk mereplikasi studi tersebut dengan data sampel yang jauh lebih besar, mereka mendapatkan hasil yang jauh berbeda. Tak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya hubungan antara power posing dan perubahan perilaku ataupun perubahan level hormon. Selain itu, Dana Carney, rekan penulis (coauthor) dari studi yang dilakukan oleh Amy pada tahun 2016 menyatakan bahwa ia tak lagi percaya pada efek dari power pose. Carney menjelaskan bahwa para psikolog yang terlibat dalam studi power pose mungkin “tertipu” dengan hasil dari teknik statistik yang mereka gunakan yang disebut dengan p-hacking. Mau tak mau, teknik ini mengharuskan peneliti untuk memanipulasi data dengan cara yang meningkatkan risiko terjadinya false positive (sebuah hasil tes yang mengindikasikan adanya/terjadinya sesuatu padahal sesuatu tersebut tak benar-benar ada/terjadi).
Studi ini memunculkan beberapa poin menarik:
1) Isu manipulasi data dalam dunia psikologi menjadi terungkap berkat studi ini; maka dari itu, dibutuhkan reformasi yang serius dalam praktik penelitian.
2) Konsep power pose, yang didasarkan pada manipulasi data, dapat dipercaya oleh banyak orang karena ide tersebut diperkenalkan oleh seorang “ahli”. Selain itu, power pose datang pada saat self-help sedang menjadi topik pembicaraan masyarakat luas.
3) Dibawanya elemen feminist dalam mengkomunikasikan hasil penelitian membuat orangsemakin tertarik. Amy menyatakan bahwa power pose dapat dimanfaatkan oleh para wanita yang bekerja di sektor akademis maupun bisnis yang penuh dengan rintangan (terutama saat menghadapi pandangan remeh kaum lelaki terhadap kemampuan kaum wanita).
Secara teori, power pose dapat memberikan tiap individu rasa kendali atas diri; mungkin kamu tak mampu untuk mengubah sistem yang ada, akan tetapi, kamu dapat mengadaptasi perilakumu untuk menaklukkan situasi tersebut.
Ketika Sebuah Organisasi Mengadopsi Program Psikologi yang Tidak Efektif, Teknik-Teknik Lain yang Lebih Efektif Menjadi Terabaikan
Di tahun 2007, Angkatan Darat AS menyadari bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah krisis kesehatan mental. Banyak dari tentara yang menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): sebuah kondisi psikologi serius, yang jika tak diobati dengan baik, memiliki dampak yang merusak pada penderita maupun orang-orang disekitarnya. Angkatan Darat AS betul-betul membutuhkan solusi. Dengan bantuan dari ahli psikolog Martin Seligman dan tim, mereka menciptakan sebuah program bernama Comprehensive Soldier Fitness (CSF) yang pelaksanaannya berlandaskan pada positive psychology. Tujuan utama dari program ini adalah untuk memberikan rasa optimisme dan ketangguhan kepada para tentara yang nantinya akan melindungi kesehatan mental mereka. Program CSF ini diperkenalkan secara masif dan menjadi hal yang wajib. Hingga sekarang program tersebut masih dijalankan dan menelan biaya sebanyak USD 40 juta tiap tahunnya. Namun apakah program ini bekerja?
Sayangnya, terdapat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa positive psychology memiliki manfaat yang bisa dirasakan oleh penderita PTSD. Perlu diketahui bahwa awalnya, program psikologi orisinal Seligman, yang menjadi dasar pelaksanaan CSF, bertujuan untuk mencegah depresi pada remaja. Tentunya, terdapat perbedaan besar antara meningkatkan kesehatan mental dari para remaja dengan mengobati para tentara yang pernah mengalami trauma. Dalam psikologi, satu jenis treatment tak pasti cocok untuk diterapkan pada pasien yang berbeda. Banyak studi, salah satunya laporan di tahun 2014 oleh The Institute of Medicine, menunjukkan bahwa CSF mempunyai tingkat efektivitas yang terbatas untuk mengobati PTSD. Ada beberapa teknik lain yang mempunyai tingkat kesuksesan lebih tinggi jika dibandingkan dengan resilience training, salah satunya disebut dengan prolonged exposure: Dalam metode ini, pasien didorong untuk memproses trauma serta pemicunya dengan menghadapinya secara langsung alih-alih menghindarinya.
Tetapi sepertinya Angkatan Darat AS lebih menyukai ide yang lebih sederhana yang berbasis optimisme dan resilience. Staff senior AD tak merasa terganggu dengan kurangnya bukti atas efektivitas CSF. Positive psychology juga selaras dengan bahasa & budaya AD yang mendorong individu untuk terus meningkatkan kualitas diri dan mencapai kesuksesan melalui kerja keras dan sikap positif. Walaupun begitu, kita tak perlu mengabaikan positive psychology begitu saja; penting untuk kita menggunakan ilmu tersebut dengan berhati-hati, apa lagi saat organisasi tertentu bertanggung jawab untuk mengobati orang-orang yang rentan dalam skala besar. Akan sangat merugikan penderita, baik dari segi waktu, uang dan tenaga, jika mereka harus melewatkan treatment yang lebih efektif.
Sering Kali Kita Melebih-Lebihkan Pentingnya Perilaku dan Karakteristik dari Individu
Salah satu misteri yang masih coba untuk dipecahkan oleh para psikolog adalah: “rahasia menuju sukses”. Adakah satu karakteristik utama yang dimiliki oleh orang-orang sukses? Apakah itu IQ, atau kemampuan sosial? Menurut seorang psikolog ternama, Angela Duckworth, penentu utama dari kesuksesan adalah grit (kegigihan, ketekunan dan determinasi); beliau menyampaikan hal ini melalui TED talk nya di tahun 2013 & bukunya yang berjudul “Grit: The Passion of Power and Perseverance”. Menurut penelitiannya, grit dapat diukur dalam sebuah skala; tingkat grit dari seseorang dapat menjadi prediktor dari performa akademisnya. Selain itu Angela juga menyatakan bahwa grit merupakan kemampuan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Teori grit ini sempat populer. Namun penelitian ilmiah lanjutan menunjukkan bahwa ada kecacatan dari teori grit Angela.
Sebagian besar orang suka dengan ide bahwa kesuksesan yang diraih seseorang tergantung dari besarnya usaha yang dikeluarkan. Tekun, kerja keras, dan kamu bisa meraih apapun yang kamu inginkan. Begitu katanya. Di samping itu, terdapat obsesi yang berlebihan terhadap ide “karakter dalam pendidikan” di AS. “Sekolah harus membangun karakter dari siswanya dengan menanamkan nilai-nilai / karakter yang dapat membantu siswa untuk meraih masa depan yang cerah”. Namun kenyatannya, saat anak-anak memulai pendidikannya di tingkat TK, karakter dan pandangannya sudah dipengaruhi oleh faktor lain, seperti tingkat nutrisi dan kestabilan keluarga. Sangat tidak realistis untuk meminta sekolah mentransformasi karakter dari seorang anak. Grit bukan barang. Sang guru tak bisa memberikan grit begitu saja lalu sang anak sukses dengan sendirinya.
Lagi pula, jika seorang anak memiliki grit sejak awal sekalipun, tak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa grit menjadi penetu utama dari kesuksesan. Dalam bukunya, Angela menceritakan kisah dari Cody, seorang remaja yang kurang beruntung dengan latar belakang keluarga penuh dengan masalah, yang akhirnya berhasil melanjutkan pendidikannya ke MIT. Cody cukup beruntung karena memiliki seorang guru matematika yang sangat peduli. Prihatin dengan kondisi sang murid, guru tersebut membayarkan biaya belajar mengemudi Cody, mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya, dan memberinya dukungan dari segi emosional/batin.
Dalam bukunya, Angela mengatakan bahwa Cody adalah contoh dari seseorang yang sukses karena grit; namun pernyataan ini dapat dibantah dengan pendapat bahwa adanya dukungan dari sang guru baik dari segi keungan maupun emosional telah menguatkan Cody, dan merupakan faktor yang lebih relevan. Sukses atau tidaknya seseorang sangat ditentukan juga oleh beragam faktor lain, tak hanya grit. Sangat tidak adil untuk meminta anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang serba tidak berkecukupan untuk berusaha lebih keras ketika hal-hal di sekelilingnya sama sekali tak mendukung. Alih-alih menyalahkan atau memuji individu, fokus utama harusnya tertuju pada bagaimana cara mengubah kondisi masyarakat secara umum menjadi lebih baik.
Bias Rasial Implisit yang Dimiliki Tiap Individu Bukanlah Hal yang Perlu Dikhawatirkan
Akhir-akhir ini, rasialisme dipandang sebagai sebuah masalah individu; utamanya, masyarakat di AS diminta untuk memeriksa bias-bias implisit yang mereka bawa dalam alam bawah sadar. Bahkan kamu bisa mengecek bias-bias apa saja yang kamu miliki sekarang juga dengan menggunakan sebuah tes daring bernama “The Implicit Association Test” (IAT) yang dipromosikan oleh Harvard University. Untuk tes bias rasial, skor dari pengguna akan dikalkulasi oleh algoritma software berdasarkan waktu reaksi dari pengguna saat mereka diperlihatkan dengan kata-kata dan gambar-gambar berbeda yang berkategori “hitam” atau “putih”, dan baik atau buruk.
Tes IAT ini cukup populer dan digunakan oleh perusahaan seperti Google dan Starbucks yang menginginkan karyawannya untuk menyadari bias-bias yang mereka miliki sebagai bagian dari diversity training (latihan keragaman). Banyak yang menilai bahwa ini adalah scientific tool (metode ilmiah) yang dapat diandalkan dan mampu memberikan kekuatan emosional, terlebih saat kamu dapat melihat sisi alam bawah sadar diri. Ide ini cukup menarik; logikanya, jika orang-orang sadar akan bias yang mereka miliki, mereka akan berupaya untuk mengurangi terjadinya ke-tidak-setaraan ras (racial inequality) dalam keseharian. Tetapi penulis berpendapat bahwa masih terdapat bukti yang kurang cukup untuk meyakini efektivitas dari IAT.
Menurut seorang sosiolog dari Stanford yang bernama Robb Willer, bias implisit adalah sesuatu yang nyata; akan tetapi, bias tersebut memiliki konsekuensi yang tak begitu signifikan jika dibandingkan dengan faktor-faktor struktural lain seperti kesenjangan kekayaan antar ras dan tak meratanya akses kepada pendidikan di usia dini. Memang merenungkan bias-bias alam bawah sadar kita tak akan melukai siapapun, akan tetapi aksi tersebut juga tak bisa banyak memperbaiki keadaan. Menurut penulis, gagasan bias implisit ini adalah contoh lain di mana psikologi menawarkan quick & superficial fix (“solusi cepat dan dangkal”) untuk permasalahan masyarakat yang sebenarnya sangat kompleks. Masyarakat kerap jatuh pada lubang yang sama – kita terlalu mudah meyakini ide-ide yang setengah matang, dan terlalu mudah setuju untuk mengaplikasikan ide ini dalam keseharian, namun mengabaikan faktor-faktor lain yang sebenarnya lebih relevan.
Sebaiknya Para Psikolog Menerapkan Replikasi untuk Menguji Validitas dari Sebuah Studi
Jika kamu ingin mempunyai karir yang sukses di bidang psikologi, hasil tulisan atau buah pikiran mu harus diterbitkan. Agar bisa diterbitkan, kamu harus melaporkan penemuan-penemuan yang mempunyai hasil yang signifikan secara statistik. Akan lebih baik lagi jika penemuanmu dapat dikemas dalam narasi yang menarik untuk dipublikasi media, seperti konsep Superpredator yang ditemukan oleh Dilulio atau konsep Power Pose yang diperkenalkan oleh Amy.
Lalu, apa yang bisa psikolog lakukan untuk memastikan bahwa studi-studi mereka mendapatkan angka statistik yang signifikan? Salah satu praktik yang sering kali dilakukan adalah “hidden flexibility”: para peneliti menganalisa data kompleks melalui berbagai macam tes secara acak dan tak akan berhenti sebelum mereka mendapatkan metode statistik yang menghasilkan angka statistik yang signifikan. Praktik kedua terpopuler adalah HARKing yang berarti Hypothesizing After the Results are Known (Berhipotesis Setelah Hasilnya Diketahui). Saat HARKing dilakukan, peneliti akan cenderung menutup-nutupi teori asli yang mereka ajukan di awal yang sebenarnya gagal atau salah. Namun, jika kamu adalah seorang psikolog yang ingin membuktikan validitas dari penelitianmu, atau menguji penemuan dari peneliti lain, kamu harus melakukan replikasi.
Banyak psikolog yang mulai khawatir dengan praktik-praktik cacat seperti ini dan menekankan agar replikasi dapat selalu dilakukan. Terdapat solusi lain yang mungkin untuk diterapkan, salah satunya adalah pre-registrasi: solusi ini mewajibkan para peneliti untuk membagikan secara terbuka terkait rencana penelitian beserta dengan hipotesis nya sebelum eksperimen dilaksanakan. Harapannya, praktik ini dapat mencegah para peneliti dari melakukan perubahan teori atau manipulasi data secara tiba-tiba.
Bahkan Ketika Sebuah Konsep Psikologi Dinyatakan Valid, Penting untuk Tidak Melebih- Lebihkan Kegunaannya
Kabar baiknya adalah, tidak semua hal dalam psikologi perlu dibantah. Ada beberapa konsep psikologi yang memiliki fondasi ilmiah yang solid. Contohnya, kamu mungkin pernah mendengar konsep nudging; Barack Obama merupakan salah satu penggemar dari konsep ini. Tak seperti teori lainnya, nudging hampir dapat dikatakan sebagai teori yang manfaatnya dapat memenuhi apa yang media beritakan. Lalu apa itu nudging? Ini adalah sebuah cara untuk mempengaruhi perilaku seseorang melalui bagaimana pilihan-pilihan tersebut dipresentasikan atau “dihidangkan”. Contohnya, jika buah & sayuran ditempatkan pada lokasi yang mudah untuk dilihat dan dijangkau pada toko, maka pelanggan dapat “didorong” (nudged) untuk membuat pilihan makanan yang lebih sehat. Sama hal nya, perilaku dari seseorang dapat secara halus dipengaruhi oleh hal-hal kecil seperti pengingat dalam bentuk SMS atau formulir resmi yang didesain dengan jelas.
Menggunakan intervensi yang sederhana dan tak kentara untuk memengaruhi perilaku publik adalah ide yang menarik. Arsitektur pilihan (mendesain bagaimana pilihan-pilihan itu ditampilkan) akan sangat membantu pemerintah dalam menggiring masyarakat dalam memilih sesuatu; cara ini akan lebih efektif jika dibandingkan dengan memaksakan kehendak/kebijakan kepada masyarakat yang mungkin akan mendatangkan perlawanan keras. Selain itu, ini adalah solusi yang murah dan mudah. Dapatkah quick fix semacam ini bekerja?
Tunggu dulu, nudging memang didasarkan pada behavioral science, dan banyak studi juga menunjukkan bahwa beberapa nudges dapat bekerja dengan efektif. Tapi ini tidak berarti bahwa nudging adalah konsep yang sempurna. Lagi pula, manusia adalah mahluk yang rumit. Akan cukup sulit untuk mengetahui secara pasti nudges yang seperti apa yang dapat bekerja dengan baik.
Isu lain yang lebih mengkhawatirkan terkait nudging adalah, karena metode ini mudah untuk diterapkan, besar kemungkinannya bagi pemerintah untuk mengabaikan akar utama dari sebuah permasalahan. Misalkan, pemerintah sedang berupaya untuk menjauhkan masyarakat dari mengonsumsi minum-minuman bersoda yang tak sehat dengan hanya melakukan nudging. Diterapkannya nudging tidaklah cukup karena ada banyak faktor yang berperan terhadap kemunculan fenomena ini. Pemerintah seharusnya berusaha untuk menggali masalah lebih dalam dengan mengajukan pertanyaan seperti “Mengapa ada permintaan yang begitu besar terhadap soda di pasar?” atau “Apakah orang membeli soda karena tidak ada alternatif minuman lain dengan harga yang terjangkau?”.
Konsep nudging ini memanglah berguna, namun juga memiliki keterbatasan. Nudging harus dipandang sebagai alat, bukan idelogi. Masyarakat akan mendapatkan manfaat dari psikologi selama kita sadar akan keterbatasan dari konsep tersebut.
Masyarakat Perlu Mengakui Kompleksitas dari Perilaku Manusia dan Berhenti untuk Mencari Solusi Cepat
Otak kita suka sekali dengan cerita yang simple dan penjelasan yang elegan. Selain itu, kita juga berusaha dengan begitu keras untuk meyakinkan diri bahwa kita bisa memahami apa yang terjadi di dunia. Akan sangat menggembirakan jika masyarakat dapat mengakhiri rasialisme hanya dengan mengungkap bias-bias alam bawah sadar yang dimilikinya; sebuah ide yang menarik untuk diceritakan, namun tak cukup realistis.
Sulit juga untuk menyalahkan para psikolog yang terus mencari cerita sederhana, menarik dan dapat diingat untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam keseharian. Cerita yang bagus mendatangkan lebih banyak uang, dan mendapatkan perhatian lebih dari media. Sekalinya para peneliti ini diberi “panggung dan sorotan lampu” untuk berbicara, diberi pendanaan untuk penelitiannya dan bisa berbagi ilmu melalui TED talks, akan sangat sulit bagi mereka untuk tak datang dengan cerita yang sederhana dan elegan; apalagi untuk mengakui kesalahan yang diperbuat.
Ini adalah waktunya untuk melakukan reformasi di bidang psikologi dan berhenti untuk jatuh ke lubang jebakan dari cerita sederhana. Bagaimanapun juga, perilaku manusia dan semua masalah yang terkait dengannya merupakan sesuatu yang kompleks. Dan menurut penulis, masalah yang kompleks membutuhkan solusi dan penjelasan yang sama rumitnya. Solusi cepat tak akan bisa menyelesaikan masalah untuk jangka panjang.
Add a comment