Apa saja ciri-ciri dari seorang pemimpin bisnis yang sukses? Pekerja keras, berorientasi kepada sukses, dan mampu menginspirasi orang lain untuk mengikuti langkah mereka adalah beberapa dari ciri-ciri yang pasti. Namun ciri tersebut hanya mengungkapkan sebagian sisi saja. Saat sebuah perusahaan berada pada kondisi yang berbeda, maka perusahaan tersebut membutuhkan jenis pemimpin yang berbeda pula. Seorang pemimpin yang mewajibkan dirinya untuk memiliki kendali penuh atas perusahaan mungkin cocok untuk menjalankan sebuah perusahaan yang kompleks dan berukuran besar. Akan tetapi orang yang sama tak akan mampu untuk membawa sebuah organisasi kreatif menuju kesuksesan mengingat di sana kolaborasi antar pihak merupakan kunci.
Jadi, termasuk jenis pemimpin yang manakah kamu? Dengan memahami ini, kamu akan menemukan cara untuk mengatasi kelemahanmu dan mencari peran pemimpin yang cocok dengan keunggulanmu. Dengan begitu, kemungkinan bagimu untuk meraih kesuksesan di posisi senior tententu akan semakin besar.
Pemimpin Alfa (Alpha Leaders) itu Karismatik, Layaknya Seorang Raja
Pada malam musim panas di bulan Agustus tahun 2015, 2.000 penonton yang antusias sedang mencari letak kursinya untuk menyaksikan opera Verdi’s Il Trovatore. Pertunjukan ini merupakan bagian dari festival opera tahunan di Salzburg. Salah satu kios terbaik di rumah opera tersebut telah disediakan untuk Peter Brabeck-Letmathe (kepala jajaran direksi (chairman) dari perusahaan produsen makanan terbesar di dunia, Nestlé). Ya, Nestlé merupakan salah satu sponsor utama dari festival tersebut, dan Brabeck-Lermathe secara resmi berada di sana sebagai perwakilan dari perusahaan. Seperti pada acara lainnya, keberadaannya saja cukup mencuri perhatian banyak orang tanpa ia harus melakukan sesuatu yang dramatis.
Menurut penulis, Brebeck-Letmathe adalah seorang pemimpin alfa; ia memesona, percaya diri, dan “mencolok”. Kepribadiannya yang kuat telah memainkan peran penting dalam memimpin sebuah perusahaan dengan penjualan per tahun sebesar £60 miliar. Kamu akan selalu tahu saat kamu berada di sekitar para pemimpin alfa; layaknya seorang raja, mereka akan membawa dirinya seolah mereka adalah orang yang paling penting di ruangan. Mereka tentu menginspirasi, akan tetapi mereka juga mengintimidasi. Setiap staff mencoba untuk memperhatikan setiap kata yang mereka ucapkan dan khawatir jika apa yang dilakukan tidak sesuai keinginan.
Para pemempin alfa percaya pada diri mereka sendiri dan memimpin dengan kendali yang absolut. Gaya kepemimpinan ini mungkin terkesan egoistis, namun pemimpin alfa memang membutuhkan tingkat kepercayaan diri sebesar itu karena biasanya mereka memimpin perusahaan multinasional dengan portofolio bisnis yang luas. Mereka tak mempunyai ruang untuk meragukan keputusan, atau memimpin berdasarkan konsensus. Mereka sangat berorientasi kepada masa depan. Mereka juga tahu bahwa dibutuhkan waktu untuk membangun sebuah kerajaan, maka dari itu mereka tak takut untuk menunggu dan menginvestasikan uang lebih untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) yang akan semakin memperluas portofolio bisnis perusahaan.
Di bawah kepemimpinan Brabeck-Letmathe, Nestlé menghabiskan waktu 25 tahun untuk mengembangkan Nespresso (coffee-making system). Hari ini, Nespresso menjadi barang pokok di kantor-kantor dan di rumah-rumah masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Ini merupakan tanda bahwa alpha sangat berkomitmen terhadap permainan jangka panjang, jika dimungkinkan, mereka ingin mempertahankan bisnisnya selama beberapa dekade ke depan, dan memperbesar pangsa pasarnya dari waktu ke waktu. Hingga tahun 2015, Brabeck- Letmathe telah bekerja di Netslé selama 50 tahun; Nestlé merupakan karya hidupnya.
Namun, zaman alpha ini akan segera berakhir. Kita memasuki era dimana manfaat dari inklusivitas menjadi semakin terlihat. Jajaran direksi pun mulai mempertanyakan tentang gaya kepemimpinan yang otokratis. Jika kamu seorang alpha dan ingin meneruskan kepemimpinan di lingkungan kerja yang kontemporer, kamu harus sedikit melemaskan “cengkraman” mu dan menjadi individu yang kolaboratif. Coba delegasikan tugas, dengarkan suara pelanggan dan pemangku kepentingan (stakeholder), dengan begitu kamu akan dapat mempertahankan posisimu di tampuk kepemimpinan sambil menyesuaikan diri dengan praktik bisnis modern.
Pemimpin Pemecah Masalah (Fixer Leaders) Adalah Pahlawan yang Dibutuhkan Perusahaan di Saat Krisis
Dame Moya Greene baru saja menjabat sebagai CEO dari Royal Mail (Britania Raya) selama 6 minggu sebelum sebuah krisis terjadi. Di hari Jum’at sebelum akhir pekan tiba, beliau baru saja mengetahui bahwa mungkin tidak akan terdapat cukup arus kas untuk membayar gaji karyawan di periode berikutnya. Beruntungnya, Greene adalah seseorang yang mau mencari solusi. Beliau direkrut dengan tugas utama mengeluarkan Royal Mail dari keadaan bangkrut, seperti yang pernah beliau lakukan dengan Canada Post dan Transport Canada. Mengetahui hal ini, Greene membatalkan semua rencana akhir pekannya sehingga di saat hari kerja nanti dia sudah mempunyai rencana yang dapat menjawab permasalahan arus kas.
Fixers merupakan pemimpin yang tepat di saat krisis. Perusahaan membutuhkan seorang fixer saat mereka menghadapi tantangan yang dapat mengancam keberadaan: entah itu karena kegagalan infrastruktur perusahaan, atau pelanggan setia yang tiba-tiba hilang dalam waktu semalam. Fixers mampu mengambil langkah cepat dan tidak takut dengan risiko. Dihadapkan dengan kondisi darurat arus kas, Greene melakukan tindakan yang cukup berisiko: yakni meminta pemberi utang terbesar perusahaan untuk memperpanjang waktu pelunasan utang. Mendengar hal ini, karyawan perusahaan menjadi lebih waspada dan sadar akan kondisi keuangan perusahaan yang cukup buruk. Kepanikan bisa terjadi kapanpun. Namun taruhan dari Greene terbayar. Justru langkah ini mengundang dukungan untuknya; para karyawan menyadari bahwa dia adalah satu-satunya orang yang dapat menyelamatkan perusahaan.
Seorang fixer seperti Greene mempunyai bakat untuk menyederhanakan masalah yang kompleks. Greene sangat jeli dalam menyadari titik tekanan yang menjadi penghambat pada sistem dan ia akan mencari cara untuk memperlancar aliran tersebut.
Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Sir Christopher Bland. Beliau menjadi chairman dari BT (sebelumnya dikenal dengan British Telecom) saat perusahaan sedang menanggung beban utang sebesar £28 miliar. Solusi yang beliau tawarkan hanya terdari 4 poin utama saja; poin ini membantu setiap orang dalam tim nya untuk fokus pada tindakan yang kritis. Lalu apakah tindakan ini membuat Bland menjadi pemimpin yang disukai karyawannya? Sama sekali tidak, fixers cenderung tidak peduli. Tidak seperti alpha, fixers tak begitu memperhatikan perasaan karyawan. Yang mereka inginkan hanyalah kesuksesan, bukan kepopuleran. Dan jika kebijakan mewajibkan dia untuk memotong gaji atau memecat karyawan, maka itu yang akan dia lakukan. Saat perusahaan sudah kembali dalam keadaan stabil, mereka akan memilih untuk pindah; siap untuk menghadapi tantangan dan keadaan darurat berikutnya.
Founder Leaders (Para Pemimpin Pendiri) Adalah Visioner yang Berkembang dalam Lingkungan yang Penuh Tantangan
Di musim panas tahun 2015, Sir Richard Branson – pendiri dari The Virgin Group – mengunjungi lounge dari Virgin Atlantic di Bandara Heathrow (yang terletak di London). Dia berjabat tangan dengan para staff dan kemudian memasuki sebuah ruangan untuk mendiskusikan penerbangan perdana Virgin Atlantic dari London ke Detroit (AS). Seperti biasa, seorang pengusaha sangat bersemangat saat ia meluncurkan sesuatu yang baru.
Menurut penulis, Branson merupakan salah satu pendiri perusahaan yang sejati. Dia kreatif dan suka dengan cara yang tak konvensional. Branson mengenakan celana jeans ke banyak pertemuan jauh sebelum tampilan ini diadopsi oleh para pebisnis yang ada di Silicon Valley. Dan kegemarannya akan hal-hal yang menyenangkan (fun) tak akan mengehentikannya untuk membangun kerajaan bisnis nya yang terbentang dari industri perbankan, penerbangan, telekomunikasi, dan lain sebagainya. Founders bagaikan bintang rock di dunia bisnis. Karena ketenaran dan kekayaannya, mereka diburu oleh media yang ingin mendokumentasikan kesuksesan mereka. Mengambil risiko adalah sesuatu yang mereka suka. Terdapat daya tarik tertentu di diri mereka yang mengungguli tipe kepemimpinan (leadership types) yang lain.
Kisah mereka sesuai dengan apa yang dibayangkan banyak orang. Ya, mereka adalah seseorang yang mempunyai ide cemerlang dan mengembangkannya menjadi produk yang disukai oleh pasar. Dalam perjalanan tersebut, mereka mengumpulkan banyak pengikut dan kolega yang setia untuk bekerja di samping para founder. Namun di balik kemewahan dan pesona ini adalah hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Berkat kepercayaan mendalam (passion) terhadap produk yang sedang dibangun, mereka mempunyai daya juang yang tak padam. Saat kerajaan mereka sudah terbangun, passion adalah sesuatu yang menjaga mereka di kursi kepemimpinan. Bahkan saat pihak lain mengajukan pembelian atas kepemilikan perusahaan, jarang dari mereka yang tertarik.
Bagi founder, kekayaan merupakan sesuatu yang bagus untuk dimiliki, akan tetapi kekayaan tak sama berharganya dengan “menjalani mimpi (living the dream)”. Karena para pendiri memiliki visi yang jelas dan tak berminat bekerja untuk orang lain, mereka sering termotivasi untuk mendirikan start-ups; sering kali mereka menjadi sangat terikat secara emosional dengan start-up nya sampai-sampai sulit bagi mereka untuk berpindah ke perusahaan lain, bahkan jika waktunya sudah tepat. Akan tetapi, setelah bisnisnya sudah tergolong mapan dan segala jenis inovasi sudah dilakukan, “kaki mereka akan terasa gatal”. Mereka tak terbiasa dengan kegiatan rutinitas pada bisnis yang sudah berfungsi dengan baik.
Scion Leaders (Para Pemimpin Penerus) Melanjutkan Warisan Keluarga
Di bulan September tahun 1982, Jean-François Decaux harus melakukan panggilan bisnis dari sebuah telepon umum di Hamburg. Hal ini mungkin terdengar aneh; lagi pula ayah beliau adalah pemiliki bisnis yang sangat sukses di Prancis. Jika kamu pernah tinggal di Eropa, mungkin kamu sudah pernah mendengar nama perusahaannya, yakni JCDecaux; mereka bergerak pada jasa penyediaan ruang iklan di ruang publik (outdoor adverts). Akan tetapi, ayah Decaux memberi tahunya bahwa tak ada tempat baginya untuk bekerja di perusahaan cabang Prancis. Dari situ, Decaux muda berniat untuk membuktikan pada ayahnya bahwa ia juga bisa membantu perusahaan untuk berkembang. Dia pernah belajar bahasa Jerman di sekolah, sehingga Decaux pergi ke Kota Hamburg (Jerman) dengan tujuan untuk mengembangkan JCDecaux ke negara tetangga. 40 tahun kemudian, Decaux menjadi co-chief executive dari perusahaan, dan di tahun 2019 perusahaan mencatatkan laba sebesar €266 juta.
Scions adalah pemimpin penerus yang memutuskan untuk bergabung pada bisnis keluarga. Kesempatan yang mereka peroleh juga warisan. Namun kesempatan ini datang dengan tekanan yang besar untuk melanjutkan pembangunan legasi yang telah diciptakan oleh orang tua dan kakek nenek mereka. Scions tak hanya mewarisi posisi puncak ini, akan tetapi mereka diwajibkan untuk memahami sejarah panjang yang pernah dilalui oleh keluarga. Latar belakang inilah yang menjadi panduan utama terhadap strategi bisnis mereka. Saat Decaux menelepon walikota Hamburg dari bilik telepon, dia menyampaikan model bisnis yang sang ayah pernah sampaikan saat JCDecaux memperlebar sayapnya ke Belgium dan Portugal. Decaux membujuk walikota Hamburg untuk setuju dengan kontrak 20 tahun. Sesaat setelahnya, dua saudara laki- lakinya melakukan hal yang sama di Italia dan Spanyol.
Walaupun mempunyai seorang scion dalam manajemen perusahaan dapat mendukung tradisi yang sudah berlangsung lama dalam bisnis, terkadang sikap keras kepala mereka dapat menjadi penghambat pada pasar kontemporer yang tren nya selalu saja berubah. Contohnya, di akhir tahun 90-an, Decaux dan saudaranya harus membujuk sang ayah untuk membeli bisnis-bisnis yang lebih kecil. Hal semacam ini sangat bertentangan dengan apa yang sang ayah percaya. Tetapi, Decaux dan saudaranya menyadari bahwa jika mereka tak membeli bisnis-bisnis tersebut, maka kompetitornya yang akan membelinya, dan ini berpotensi untuk mendorong JCDecaux keluar dari bisnis. Tak mudah memang menjadi penerus dari orang tua yang sukses, kritikan akan datang padamu dari berbagai macam arah. Namun jika kamu benar-benar mampu untuk memegang peran sebagai penerus perusahaan dan belajar dari para pendahulu, maka kamu akan dikenal sebagai pemimpin yang hebat, tidak hanya sekedar seseorang yang asetnya hanyalah nama yang terkenal.
Lover Leaders (Pemimpin Pencinta) Mengombinasikan Pengetahuan Mendalam tentang Industri dengan Passion
Kondisi gym di New York pada Sabtu pagi selalu saja sibuk. Puluhan penggemar fitness meregangkan dan menggerakkan badan mengikuti melodi musik yang energik. Dan di tengah- tengah mereka, berdiri seorang instruktur bernama Joey Gonzales yang memimpin kelas fitness dengan ciri khas antusiasmenya yang tak terbendung. Tak ada yang mewajibkan Gonzales untuk memimpin sesi fitness tersebut; beliau berada di sana karena rasa cintanya terhadap fitness. Saking cintanya, dia masih saja mendaftarkan diri sebagai pelatih di Barry’s Bootcamp di hari Sabtu walaupun dia sebenarnya adalah CEO dari perusahaan tersebut. 14 tahun sebelum menduduki posisinya, Gonzales bergabung dengan Barry’s sebagai salah satu anggota. Yang memotivasinya untuk menjadi instruktur fitness adalah rasa cintanya terhadap kesehatan; seiring dengan waktu, dia menaiki tangga untuk memimpin jejaring studio fitness yang sedang bertumbuh pesat ini. Baginya, Barry’s tidak hanya sekedar pekerjaan, Barry’s adalah jalan hidup. Hubungan yang mendalam dengan profesinya inilah yang membuat Gonzales menjadi seorang Lover leader.
Pemimpin Lovers mampu melengkapi profesionalisme dengan ikatan emosi yang mendalam terhadap bidang yang dicintai demi menciptakan dampak positif. Gairah mereka membedakan mereka dari pemimpin lain yang tak memiliki hubungan personal dengan bidang yang digeluti. Ketika seorang lover membicarakan produk atau jasa yang mereka tawarkan, terpancar rasa cinta itu di mata pendengar. Tak ada yang tak bisa tertarik dengan produk yang ditawarkan. Hal ini membuat lovers menjadi seorang promotor ideal untuk bisnisnya. Mereka autentik dan benar-benar percaya dengan apa yang mereka lakukan. Saat lovers berkomunikasi dengan calon pelanggan atau pemangku kepentingan, pesan mereka sangat dipenuhi oleh antusiasme dan kepercayaan sehingga lawan bicara tertarik untuk bergabung. Inilah alasan utama mengapa lover leaders sering kali menjadi wajah dari iklan perusahaan. Jim Koch merupakan salah satu pemimpin lain yang menikmati menjadi bintang pada iklan perusahaan bir yang ia dirikan dengan rekan lainnya bernama Sam Adams.
Sering kali, lovers diangkat sebagai pemimpin setelah mereka berhasil mengubah hobi menjadi sebuah karir yang sukses. Gonzales merupakan salah satu tokoh yang berhasil menjalani mimpinya sehingga terdapat kemungkinan yang kecil baginya untuk berganti industri; kecintaannya terhadap fitness membuatnya menjadi pemimpin yang setia. Karena ketertarikan terhadap industri sudah muncul terlebih dahulu sebelum mereka bekerja di dalamnya, lovers telah memiliki pengetahuan mendalam tentang industri. Pengetahuan dan latar belakang yang kaya sangat berharga untuk para pembuat keputusan. Jika kamu adalah seorang lover yang ingin dipilih sebagai pemimpin, kamu harus membuktikan bahwa rasa antusiasme terhadap bidang yang digeluti dapat meningkatkan performa bisnis. Namun memimpin perlu lebih dari sekedar cinta; kamu diwajibkan untuk mengatur passion mu, terlebih saat krisis terjadi di mana kepala yang jernih diperlukan.
Campaigner Leaders (Pemimpin Juru Kampanye) Tak Hanya Sekedar Melihat Keuntungan dan Performa Perusahaan untuk Menciptakan Perubahan Positif
Di tahun 2000, Ajay Banga berpindah ke New York untuk bekerja di sebuah perusahaan investasi perbankan, Citigroup. Walaupun ia bekerja di salah satu institusi ternama di Wall Street sekaligus mendapatkan gaji tinggi, Banga masih saja mengalami masalah dengan hal-hal sederhana. Contohnya, ia tak dapat membeli telepon genggam ataupun menyewa apartemen. Mengapa? Ini karena dia baru saja bekerja sebagai banker di AS sehingga ia tak memiliki sejarah transaksi kredit (credit history). Kesulitan ini membuka mata Banga akan tantangan bagi seseorang yang tak mempunyai akses keuangan di masyarakat. Jadi saat Banga menjabat sebagai president sekaligus chief executive dari perusahaan jasa keuangan raksasa Mastercard di tahun 2010, dia memutuskan untuk memperjuangkan kesetaraan keuangan (financial equality).
Seorang juru kampanye (campaigner) seperti Banga tak membatasi tanggung jawab mereka terhadap hal-hal yang baik untuk perusahaan saja. Namun, mereka menggunakan perusahaan sebagai platform untuk menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang positif. Seperti lovers, mereka sangat bersemangat dan yakin dengan misinya, namun ambisi mereka bersifat global dan jangka panjang.
Banga menggunakan jangkauan internasional dari Mastercard untuk membentuk kerja sama dengan pemerintah dan organisasi pembangunan internasional. Kemudahan ini memungkinkannya untuk merancang program keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dari populasi lokal. Sebagai contoh, di Mesir, Mastercard mengembangkan sebuah metode bagi wanita untuk menerima uang tunjangan setelah perceraian yang langsung dimasukkan ke dalam kartu mereka. Adanya fasilitas ini membantu mereka untuk menghindari stigma buruk sebagai seorang janda saat mengunjungi cabang-cabang perbankan. Banga juga meluncurkan 750 program inklusi keuangan di 80 negara. Di bawah kepemimpinannya, Mastercard menambahkan 500 juta pelanggan baru. Peningkatan masif terhadap angka pangsa pasar membuat para pemegang saham bahagia; selain itu Mastercard juga mampu memenuhi visinya untuk mendukung masyarakat rentan dan terpinggirkan.
Saat campaigner juga merupakan pendiri dari organisasi, mereka dapat membuat “menciptakan dampak sosial positif” sebagai nilai utama perusahaan dari awal. Ini yang dilakukan oleh perusahaan produsen outdoor clothing yang bernama Patagonia yang mendonasikan 1% dari seluruh penjualan untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Patagonia juga mengizinkan staff-staff nya untuk mengikuti protes atau demo terkait iklim bahkan di saat jam kerja. Pemimpin yang pintar paham bahwa memaksimalkan keuntungan saja tak lagi cukup, terutama saat mereka ingin mempekerjakan para millennials yang mencari lebih dari sekedar gaji. Saat ini banyak kelompok masyarakat yang mengharapkan perusahaan untuk memiliki kesadaran sosial dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Inilah saat nya pemimpin campaigner untuk bersinar.
Pemimpin Diplomat (Diplomat Leaders) Mampu Menangani dengan Tenang Kebutuhan- Kebutuhan yang Kompleks dan Saling Berkompetisi
Hingga tahun 2018, Dame Helen Ghosh adalah Direktur Jenderal dari The National Trust – lembaga derma Britania Raya yang memelihara ruang-ruang publik. Dengan banyaknya koleksi bangunan serta properti terkemuka dan ribuan hektar tanah yang dikelola, The National Trust telah menjadi bagian hidup dari warga Inggris pada umumnya jika dibandingkan dengan perusahaan publik lainnya. Mengelola beragam aset perlu mempekerjakan tim yang besar: 14.000 anggota staff, 65.000 sukarelawan, dewan yang berisi 36 orang, dan jajaran direksi yang berisi 12 orang. Namun tak hanya itu. Terdapat juga keluarga yang mewariskan properti mereka pada The National Trust; bersama dengan dewan kota dan kelompok kepentingan lokal, mereka mendiskusikan bagaimana sebaiknya aset-aset tersebut digunakan.
Pekerjaan Ghosh adalah untuk melakukan rekonsiliasi dan negosiasi agar permintaan dari tiap kelompok dapat terpenuhi. Sebuah organisasi yang memiliki begitu banyak pemangku kepentingan membutuhkan seorang pemimpin yang spesial, seseorang yang dapat mengendalikan emosinya dan memikirkan sesuatu secara mendalam. Diplomats adalah jenis pepmimpin yang ideal ketika sebuah organisasi perlu menyeimbangkan nasihat dari para ahli melawan permintaan dari pihak-pihak yang beragam, berkepentingan dan vokal. Pada intinya, tugas Ghosh adalah mendengarkan suara dari para pemangku kepentingan (stakeholders), kemudian membuat keputusan. Pasti banyak dari keputusannya yang mengundang kritik. Contohnya, orang-orang berpendapat bahwa memberikan harga premium untuk mengunjungi farmland di Lake District adalah hal yang salah. Akan tetapi setiap keputusan yang dia buat, harus berdasarkan konsensus.
Diplomats mencari solusi yang bersifat inklusif. Mereka menggunakan kemampuan mendengarnya yang terasah untuk mengumpulkan informasi dan bukti dari para pemangku kepentingan, berdasarkan informasi tersebut, seorang diplomat mencari langkah yang dapat memberi manfaat ke sebagian besar anggota. Kemampuan untuk mempertimbangkan kepentingan dari setiap orang membuat diplomat sebagai seseorang yang berharga, terutama di lingkungan kerja yang berjuang untuk meraih keadilan.
Sering kali diplomats dipilih oleh rekan kerjanya untuk memegang posisi dengan otoriras. Misalkan, mereka bisa saja memegang dua peran: menjadi partner sekaligus chief executive dari perusahaan. David Sproul berada pada situasi ini saat ia berpindah ke posisi kepemimpinan di Deloitte. Di tahun 2002, Sproul membantu proses negosiasi penjualan saham dari perusahaan tempat bekerja sebelumnya, Arthur Andersen, kepada Deloitte. Dalam kesepakatan ini, Sproul mencoba untuk mewakili kepentingan dari ratusan rekan kerja dan partner nya di Andersen. Selama ia menjabat di posisi puncak dari perusahaan, Sproul selalu meluangkan waktu untuk mendiskusikan nilai-nilai yang mereka percaya dengan satu sama lain. Sproul berusaha untuk selalu mendengarkan kebutuhan mereka sambil menyeimbangkannya dengan kebutuhan menyeluruh dari perusahaan. Mungkin diplomats bukan tipe pemimpin yang mampu bergerak dengan cepat atau karismatik, akan tetapi “sentuhan halus” nya terhadap kepemimpinan memungkinkan mereka untuk menjalin kolaborasi dan mempromosikan identitas perusahaan yang dipercaya oleh para stakeholder nya.
Add a comment