Berbagai jenis tanaman tumbuh di sekitar kita. Mengagumkannya, mereka dapat bertumbuh di berbagai tempat tanpa harus menggunakan kaki, sayap atau sirip untuk bergerak. Tidak kah kalian penasaran, bagaimana bisa mereka melakukannya?
Tanaman dan Sayuran telah Berevolusi dan Mengembangkan Dirinya Agar Mampu Bertahan Hampir di Semua Jenis Lingkungan
Pada bulan November tahun 1963, berjarak 60 mil di sebelah selatan Islandia, perut Bumi bergemuruh dengan kencangnya. Jauh di dasar samudera Atlantik, sebuah gunung berapi meletus. Magma yang awalnya tertimbun di dasar perlahan muncul ke permukaan laut, dan tiba-tiba saja, Islandia mempunyai sebuah pulau baru. Pulau ini diberi nama Surtsey. Awalnya Surtsey nampak begitu tandus, namun tidak untuk waktu yang lama. Dalam hitungan minggu, kehidupan mulai terlihat. Banyak bermunculan dari tanah kecambah berwarna hijau pucat milik tanaman Cakile, sebuah genus bunga yang tumbuh secara alami di Eropa. Tanaman ini menjadi penghuni pertama pulau Surtsey berkat benih khusus yang telah mereka kembangkan; benih yang dapat mengapung ini menyebarkan dirinya dengan memanfaatkan ombak atau arus laut. Cakile bukan satu-satunya vegetasi yang ada di Surtsey, kamu juga bisa menjumpai alang-alang hitam (black sedge) di sana. Benih dari alang-alang hitam dibawa di dalam perut dari burung-burung laut (sea birds) yang sedang bermigrasi. Dua contoh ini menunjukkan bahwa tanaman sangat mampu untuk menjajah daratan, bahkan di pulau yang letaknya terpencil sekalipun.
Tanaman dan sayuran merupakan organisme yang mampu berfotosintesis yang termasuk kedalam Kingdom Plantae. Tanaman adalah salah satu spesies yang paling sukses di Bumi. Mereka behasil berkembang biak di berbagai kondisi lingkungan; dari gunung yang tertinggi, lautan yang terdalam hingga padang pasir yang paling kering. Ini semua berkat kemampuan adaptasi yang mengagumkan dari mereka. Jutaan tahun proses evolusi telah melengkapi tiap spesiesnya dengan kemampuan yang tepat untuk bertahan pada bermacam lingkungan, tak peduli seberapa keras lingkungan itu. Sebagai contohnya, Cakile merupakan tanaman halofit yang berarti ia mampu hidup subur di daerah atau lingkungan (tanah) yang berkadar garam tinggi.
Beberapa tanaman juga mampu bertahan dalam kerusakan akibat radiasi. Ingat kah kalian dengan peristiwa nuklir di Chernobyl pada tahun 1986? Bencana ini hampir membunuh seluruh organisme yang ada di area tersebut, akan tetapi tumbuhan dapat kembali menempatinya dan bahkan tumbuh dengan subur. Ilmuwan berpendapat bahwa mereka dapat terus melanjutkan hidupnya di sana disebabkan oleh proses phytoremediation, yakni sebuah proses spesial yang digunakan oleh beberapa tanaman untuk menyerap partikel-partikel berbahaya seperti radionuclides.
Kemampuan bertahan yang sama luar biasanya juga ditunjukkan oleh pohon yang berasal dari Jepang bernama Hibakujumoku. Ini adalah sebuah istilah yang diberikan kepada pepohonan yang mampu bertahan di saat ledakan nuklir di Hiroshima dan Nagasaki berlangsung. Salah satu jenis dari Hibakujumoku yang cukup dikenal adalah pohon Weeping Willow (Dedalu Tangis) yang masih bertumbuh hingga sekarang, walaupun sebenarnya jaraknya dari lokasi ledakan di Hiroshima hanya 1200 kaki (366 meter). Akar dari pohon ini begitu kuat dan matang sehingga ia dapat menghasilkan sebuah batang baru, bahkan setelah bom nuklir membakar seluruh area dengan suhu lebih dari 10.000 derajat Fahrenheit.
Tumbuhan Akan Menyerbu Habitat Baru Selama Mereka Bisa Mampu Bertahan Hidup Di Sana
Bayangkan kamu sedang duduk di hadapan sebuah makanan klasik Italia. Bisa saja itu adalah sebuah pasta dengan taburan ragunya yang melimpah atau mungkin pizza margarita yang baru saja keluar dari oven. Tidak ada yang lebih autentik dari dua jenis makanan ini. Namun perlu diketahui bahwa beberapa bahan dasar dari jamuan ini sebenarnya tidak asli dari Italia. Daun basil yang tertata di atas pizza adalah salah satunya. Daun basil semula hanya tumbuh di India pusat, sampai akhirnya Alexander the Great membawanya ke Italia di tahun 350 sebelum masehi. Tomat bahkan datang setelahnya ketika Hernan Cortes, seorang penjelajah, mengimpornya dari Amerika di tahun 1540. Bahkan, sebagian besar tanaman yang kita kira sebagai tanaman asli, awalnya merupakan tanaman asing yang berasal dari daerah lain. Akibat tangan manusia dan kemampuan bertahan yang baik dari tanaman, banyak spesies sayuran telah mampu berpetualang melampui daerah di luar habitat naturalnya.
Walaupun tanaman terlihat seperti organisme yang menetap di satu lokasi, kenyataannya berkata sebaliknya. Seperti manusia dan hewan, tanaman selalu mencari-cari wilayah baru untuk menyebarkan populasinya. Selain itu, proses migrasi masif dari manusia modern telah mempercepat proses penyebaran ini. Salah satu contohnya adalah tanaman Senecio squalidus, yang juga mempunyai nama lain Oxford Ragwort. Bunganya yang berwarna kuning nan mungil ini tidak tumbuh secara alami di Oxford. Awalnya mereka tumbuh di lereng berbatu dari Gunung Etna di kota Catania, Italia. Di tahun 1700-an, seorang ahli botani bernama Francesco Cupani menghadiahi beberapa spesimen Senecio squalidus kepada kawan ahli botani nya di Inggris yang kemudian ditanam di kebun raya Oxford University. Namun pada akhirnya, bunga ini memperluas kehadirannya di luar area kebun raya. Dan dalam beberapa tahun saja, mereka bisa ditemukan di seluruh penjuru kota Oxford.
Penyebaran Senecio squalidus tak berhenti di Oxford saja. Selama periode revolusi industri berlangsung, Britania Raya melakukan pembangunan jalur kereta besar-besaran demi mendukung pertumbuhan ekonomi nya. Ternyata, tak disangka bahwa kerikil berbatu (rocky gravel) yang digunakan sebagai bagian dari struktur rel kereta mempunyai karakteristik yang mirip dengan habitat asli dari Oxford Ragwort di gunung Etna. Semakin luas jalur kereta, maka semakin tersebar pula populasi dari Oxford Ragwort di wilayah inggris. Menurut peneliti, faktor biologi juga ikut berperan dalam penyebaran ini. Melalui proses persilangan alami, Oxford Ragwort berhasil melakukan kawin silang (hibridisasi) dengan bunga-bunga lokal dalam rangka mendapatkan kemampuan bertahan untuk menghadapi cuaca lokal yang sedikit lebih hangat. Beberapa generasi kemudian, warna kuning pucat dari kelopak bunga ini merepresentasikan warna dari daerah pedesaan Inggris.
Spesies Kelapa Menunjukkan Kemampuan Beradaptasi yang Luar Biasa dari Tanaman
Di awal tahun 1900-an, August Engelhardt menemukan “kunci” untuk menuju ke kehidupan yang abadi, atau setidaknya itu yang ada di benaknya. Orang Jerman yang eksentrik ini percaya bahwa menu makanan sehari-hari yang hanya terdiri dari buah kelapa dapat memberinya kesehatan yang sempurna. Untuk menguji teorinya, dia pindah ke Pasifik Selatan di mana dia mendirikan sebuah koloni yang berdedikasi untuk memenuhi visinya. Sayangnya, bagi Engelhardt dan puluhan murid yang mengikuti ajarannya, buah tropis dengan batok keras ini tak memberi mereka keabadian. Mereka yang mencoba diet dengan hanya buah kelapa tak lama kemudian meninggal akibat malanutrisi. Walaupun begitu, Engelhardt benar akan satu hal: pohon kelapa, dan berbagai macam spesies yang masih berhubungan dengan kelapa merupakan organisme yang menakjubkan. Mereka mungkin tak bisa membantu manusia melarikan diri dari kematian, akan tetapi mereka benar-benar hebat dalam mempertahankan kehidupan diri mereka sendiri.
Di mata Engelhardt sebagai orang Eropa yang hanya melihat gandum, kubis, atau apel dalam keseharian, pohon kelapa (Cocos nucifera) nampak begitu spesial. Buah kelapa yang cukup berat, namun memiliki inti berupa air serta bagian kulit dan sabut nya yang berongga, memungkinkan buah untuk mengapung di atas ombak lautan selama 4 bulan. Adaptasi ini telah memungkinkan tanaman kelapa untuk tersebar ke daerah yang jauh dari asalnya dan hampir merata ke seluruh dunia. Saking suksesnya pohon kelapa dalam mengarungi lautan, para ahli botani harus menggunakan teknik DNA-tracing yang paling canggih untuk membuktikan bahwa asal sebenarnya dari pohon kelapa adalah Asia.
Lodoicea maldivica merupakan jenis pohon kelapa lain yang mempunyai karakteristik berbeda dengan Cocos nucifera. Spesies yang tidak biasa ini hanya tumbuh di beberapa pulau di Samudra Hindia. Lodoicea maldivica juga menghasilkan buah bertempurung keras, namun dengan ukuran yang jauh lebih besar; rata-rata beratnya bisa mencapai 90 pounds atau 40,8 kg. Buah ini begitu besar sehingga hampir mustahil bagi mereka untuk terapung di permukaan laut dan bergerak menyebar. Awalnya fakta ini membuat bingung para ilmuwan mengingat sebagian besar tumbuhan berupaya untuk menyebarkan biji atau benih mereka sejauh mungkin. Namun tentunya ada alasan lain di balik beratnya buah: pulau asal dari buah Maldivica memiliki kualitas tanah yang rendah, maka dari itu benih buah yang besar merupakan bagian dari strategi tanaman untuk menaklukkan kondisi lingkungan yang menantang.
Lalu, apa hubungannya berat buah dengan strategi bertahan? Pertama-tama, daun Maldivica yang besar dapat menjadi alat untuk mengumpulkan sumber nutrisi seperti kotoran hewan dan serbuk sari. Kemudian air hujan akan menyapu nutrisi ini dari daun menuju ke tanah yang ada di sekeliling pohon. Maka saat buah jatuh ke tanah di sekitar pohon, kondisi tanah pun sudah jauh lebih subur dari pada sebelumnya. Sementara ukuran dan berat buah yang besar mencegah mereka untuk digulingkan oleh hewan ke wilayah lain yang mungkin saja tanahnya tidak subur. Lodoicea maldivica menginginkan generasi selanjutnya untuk menikmati hasil jerih payah orang tuanya. Strategi bertahan hidup yang benar-benar canggih.
Benih Tumbuhan Dapat Bertahan dan Tumbuh Bahkan Setelah Beberapa Ratus Tahun Disimpan
Pada pergantian abad ke-20, Auguste Renoir, seorang pelukis Impressionist yang terkenal, menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Provence, Perancis. Di sana ia memanfaatkan hari- harinya untuk melukis dan menidurkan badannya di bawah naungan teduh pohon zaitun lokal. Pada hari ini Renoir telah meninggalkan kita, namun pohon yang beliau lukis masih hidup dan terus tumbuh. Namun pohon zaitun ini tergolong masih sangat muda jika dibandingkan dengan Tjikko Tua, yang merupakan sebuah pohon cemara asil Norway dan tumbuh di Swedia. Pohon ini memulai hidupnya kurang lebih 9.000 tahun yang lalu ketika manusia berjumpa dengan ilmu agrikultur. Mengejutkannya lagi, Tjikko sendiri masih bisa dibilang sebagai bayi jika disandingkan dengan Pando, yang merupakan sebuah koloni pohon-pohon poplar yang identik secara genetik di Utah. Setelah ditelusuri para ilmuwan, jaringan akar dari pohon poplar ini telah berusia 80.000 tahun. Ini merupakan bukti nyata bahwa tumbuhan dapat memiliki usia yang sangat panjang, dan fenomena yang sama bisa ditemukan pada benih-benih mereka.
Tumbuhan memiliki hubungan yang berbeda dengan waktu jika dibandingkan dengan hewan. Bertahan hidup selama satu abad merupakan hal yang hampir mustahil bagi hewan mamalia, burung, atau reptil. Akan tetapi organisme di kingdom Plantae secara umum dapat melakukannya dengan mudah. Di bawah kondisi yang tepat, benih tumbuhan juga mampu bertahan lama. Kapsul biji atau benih didesain oleh alam secara sempurna sehingga mampu menjaga kehidupan yang ada di dalam nya “tertidur” (dorman) sampai lingkungan yang ada di sekitar benar-benar cocok untuk memulai proses germinasi (perkecambahan).
Pertanyaan selanjutnya adalah: berapa lamakah biji/benih ini dapat menetap dalam kondisi dorman? Mari kita lihat kasus di tahun 2005, dua peneliti Israel telah berhasil memicu perkecambahan biji pohon kurma yang ditemukan di sebuah pot tanah liat yang tergeletak di reruntuhan bangunanMasada (bekas benteng di zaman dulu). Para ahli mengestimasikan benih itu sudah ada sejak 155 sebelum masehi (membuatnya berusia sekitar 2.000 tahun). Namun sebenarnya percobaan perkecambahan biji tersebut lebih dari sekedar perwujudan rasa penasaran. Praktik ini sebenarnya dapat membantu membangkitkan suguhan kuliner yang dulu pernah hilang. Ternyata, daerah di sekitar Masada memang dahulu dikenal dengan kurma nya yang sangat lezat. Tetapi spesies lokal itu mati akibat perubahan iklim di sekitar tahun 1100 M. Dengan menjelajahi situs-situs sejarah, peneliti berharap dapat menemukan benih-benih dari tumbuhan yang sempat punah dan menghidupkan kembali spesies tertentu untuk memetik buah dan rempah yang rasanya begitu unik.
Pohon-Pohon Soliter (Yang Berdiri Sendiri) Merupakan Bukti dari Periode Antroposen
Bayangkan kamu berdiri di sebuah padang pasir yang luas dan tandus. Sebuah panorama kering kerontang yang diiringi dengan sengatan sinar matahari yang menusuk tajam. Sejauh mata memandang, tak ada apapun selain pasir. Namun setelah kamu melihat dengan saksama, di antara bukit-bukit pasir, ada sebuah pohon yang berdiri dengan tegak, sendirian. Pohon ini lah yang dikenal dengan Tree of Ténéré (pohon yang paling kesepian di dunia). Selama berabad- abad, pohon Ténéré ini berjuang hidup di tengah-tengah kesendirian di padang sahara yang luasnya ratusan mil, tanpa ada spesies lain yang mengiringi keberadaannya. Hidupnya yang begitu terisolasi memberikan kesan sakral dan makna yang dalam bagi para pengembara yang melihatnya. Sayangnya di tahun 1973, seorang pengemudi truk yang mabuk menabrak pohon tersebut hingga akarnya tercabut. Ini adalah sebuah ironi mengingat begitu luasnya padang pasir Ténéré dan jauhnya dari keramaian kota.
Bumi sudah ada sejak miliaran tahun lalu. Para ilmuwan telah membagi-bagi rentang waktu yang lama itu kedalam segmen-segmen berbeda yang disebut dengan geochronological units. Tiap unit adalah periode waktu yang berbeda yang menggambarkan perubahan kondisi di Bumi secara signifikan. Saat ini kita sedang berada di periode Anthropocene (Antroposen). Dalam bahasa Yunani, anthropos memiliki arti manusia, maka dari itu inti dari Anthropocene adalah aktivitas manusia yang memiliki pengaruh global terhadap ekosistem dan perubahan yang ada di Bumi.
Pohon kehidupan, yang sering dikenal dengan istilah Shajarat al-Hayat, adalah salah satu hasil dari peran manusia di periode ini. Pohon yang berdiri sendiri ini tumbuh di Bahrain, sebuah negara yang terletak di sebuah pulau kecil di Teluk Persia. Sebenarnya pohon itu tidak berasal dari Bahrain, akan tetapi Prosopis juliflora ini merupakan tumbuhan asli Mexico. Pohon ini bisa sampai ke Bahrain akibat campur tangan seorang penjajah Portugis yang aktif berkunjung ke sana di tahun 1500-an. Tumbuhan yang berada di luar habitat nya ini menunjukkan sejauh apa aktivitas manusia telah menyusun ulang kehidupan yang ada di planet ini. Keberadaan Shajarat al-Hayat di lokasi yang sangat tidak memungkinkan merupakan indikasi utama dari adanya Anthropocene.
Dampak luar biasa dari kegiatan manusia juga dapat ditemukan di pulau Campbell, sepetak tanah kecil yang berjarak 375 mil di selatan Selandia Baru. Pulau ini ditempati oleh sebuah pohon pinus yang berdiri sendiri. Lagi-lagi pohon tersebut ditanam oleh penjajah dari Eropa di sekitar tahun 1900. Keberadaannya di sana saja sudah menjadi sesuatu yang mengherankan. Namun apa yang terukir di dalam batangnya menunjukkan sesuatu yang lebih fenomenal. Cincin yang terbentuk pada batang pohon menunjukkan adanya bands of carbon-14 (pita-pita carbon-14). Isotop radioaktif ini sangat jarang ditemukan di alam karena biasanya ini dihasilkan akibat terjadinya atomic blasts (ledakan nuklir) yang sangat banyak. Fakta bahwa ada lonjakan yang terkonsentrasi dari element langka ini, dan dapat dideteksi pada batang dari sebuah pohon yang benar-benar terisolasi merupakan sebuah hal yang signifikan. Ini membuktikan bahwa manusia dan teknologi yang dibuatnya dapat membuat perubahan yang mampu dideteksi oleh organisme yang berada di pojok dunia.
Kehidupan dari Tumbuhan dan Hewan Saling Tergantung Antar Satu Sama Lain
Amazon merupakan salah satu habitat dengan keanekaragaman hayati paling beragam di muka Bumi. Kehidupan yang beragam ini memaksa organisme yang tinggal di dalam nya untuk berkompetisi memperebutkan ruang dan sumberdaya. Saat tiba waktunya bagi tumbuhan untuk menyebarkan generasi selanjutnya, mereka harus menyebarkan benih mereka sejauh mungkin. Mari kita amati pohon Hura crepitans, atau yang sering disebut juga dengan dynamite tree: ini adalah jenis pohon yang tak suka bergantung kepada mahluk lain untuk menentukan kelangsungan hidupnya. Organisme yang tidak biasa ini telah mengembangkan buah spesial yang mampu meledak ketika buah sudah matang dan kondisi udara cukup kering. Bom biologi, dalam bentuk buah ini dapat melontarkan benih pohon dengan kecepatan sekitar 250 km/jam. Terkadang benih dapat mendarat pada tanah yang jaraknya 120 kaki atau 36 meter dari pohon utama.
Namun tak semua tumbuhan memiliki kemampuan meledakkan buahnya untuk menyebarkan benihnya. Banyak juga tumbuhan yang bergantung pada hewan yang ada di sekitarnya. Harus diketahui bahwa ada kekurangan dan kelebihan dari masing-masing strategi.
Salah satu strategi populer yang digunakan tumbuhan dengan bantuan hewan bernama hitchhiking technique. Tumbuhan ini menumbuhkan benih yang memiliki bulu atau duri-duri lunak agar dapat tersangkut ke bulu hewan mamalia yang melewatinya. Sementara tumbuhan lain memilih untuk menumbuhkan buah yang lezat dengan biji yang dapat dicerna, sehingga nantinya akan dibuang dalam bentuk kotoran oleh hewan yang mengonsumsinya. Memproduksi buah lezat merupakan strategi regenerasi yang efektif selama terdapat hewan yang suka dengan apa yang tumbuhan tawarkan. Dan jika saja konsumen dari buah tersebut punah, maka tumbuhan berada dalam keadaan bahaya (berpotensi punah). Ini pernah terjadi kepada spesies Persea americana, atau yang lebih dikenal dengan pohon alpukat.
Pohon alpukat berasal dari Amerika Selatan. Pohon ini menghasilkan biji yang terlalu besar bagi fauna lokal untuk menelannya secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena pohon alpukat telah berovulsi untuk memikat hewan-hewan yang tak lagi ada, seperti kungkang darat raksasa dan mammoth besar. Ketika hewan mamalia ini punah 13.000 tahun yang lalu, tak ada yang mau untuk menyebarkan benih alpukat, populasi pohon alpukat mulai menyusut secara perlahan. Beruntungnya, seekor hewan baru muncul, yakni manusia. Secara umum manusia menyukai alpukat, karenanya kita menggantikan peran dari Kungkang raksasa dan memulai untuk menanamnya untuk memeuni kebutuhan manusia. Saat ini pohon alpukat menempati lebih dari satu juta hektar tanah yang tersebar di beberapa benua. Ini merupakan distribusi yang cukup mengesankan bukan?
Namun ada beberapa sisi negatif dengan hanya bergantung pada manusia. Dengan teknik agrikultur modern, manusia mulai mengembangbiakkan jenis alpukat yang tak mempunyai biji sama sekali. Hal ini mungkin menarik bagi konsumen, akan tetapi mereka benar-benar steril dari segi biologis. Setiap tanaman baru hanyalah hasil kloning dari tanaman original. Sehingga, walaupun secara jumlah terdapat lebih banyak buah alpukat, akan tetapi mereka semakin tak mampu untuk melakukan reproduksi secara mandiri. Kisah evolusi tumbuhan berujung dengan cukup rumit.
Lantas bagiamana menurut kalian, apakah sebaiknya kita menumbuhkan tanaman sesuai dengan desain biologi mereka dari awal? Demikian kami sampaikan, terima kasih atas perhatiannya kawan. Mohon maaf jika masih terdapat hal yang salah dalam penulisan.
Add a comment