Teknologi, terutama teknologi digital, telah mengubah cara kita menjalankan bisnis. Banyak peraturan lama yang tak lagi dapat diterapkan. Namun sayangnya, masih terdapat banyak organisasi yang mematuhi peraturan tersebut; mereka terlalu keras kepala untuk mengubah tujuannya. Salah satu perusahaan yang mengalami ini adalah General Electric (GE). Selama lebih dari satu abad, GE merupakan salah satu penyokong ekonomi negara, raksasa perindustrian di Amerika Serikat yang sepertinya tak akan terkalahkan. Lalu, dalam beberapa tahun terakhir ini, GE “terguncang sampai ke intinya” sehingga ia perlu dibangun lagi dari awal. Kasus dari GE ini menggambarkan bagaimana mudahnya situasi ekonomi modern berubah dari waktu ke waktu.
Mengeksplorasi Sebelum Mengeksekusi (Exploring before Executing)
Bagaiamana caranya untuk mentransformasi sebuah organisasi menjadi lebih baik? Langkah pertama adalah dengan cara mengeksplorasi sebelum mengeksekusi. Sebenarnya tidak ada yang salah jika kita hanya memperhatikan eksekusi saja. Namun terlalu terpaku terhadap eksekusi dapat mendatangkan persoalan ketika kebutuhan dari sebuah organisasi telah berubah. Eksekusi adalah menjalankan program sesuai rencana; menjadi masalah ketika rencana yang dapat menyelesaikan masalah di masa lampau tak dapat lagi digunakan untuk mengatasi masalah di hari ini. Lebih spesifiknya, para pemimpin berada dalam keadaan terjebak ketika mereka menolak untuk mempertanyakan apakah strategi yang dulunya berguna masih layak untuk digunakan sekarang.
Di situ lah peran dari dari eksplorasi (exploring) datang. Kamu harus berani mempertanyakan apakah sistem dan praktik-praktik lama masih dapat bekerja ataukah perlu direvisi? Merupakan sesuatu yang sulit bagi para pemimpin untuk “meragukan” ide-ide yang dulu pernah mereka agungkan. Lalu seperti apa praktik nyata dari “eksplorasi sebelum eksekusi”?
Berikut adalah 5 pertanyaan yang wajib kamu tanyakan kepada diri sendiri maupun tim untuk melakukan eksplorasi:
“Apa yang kamu pikirkan?” (“What do you think?”). Pertanyaan sederhana ini mengaktifkan rasa penasaran kita dan ini penting untuk melakukan transformasi.
“Apakah yang kamu asumsikan itu benar?” (“What are you assuming is true?”). Asumsi membentuk pemikiran kita terhadap sesuatu. Menyatakan asumsimu kepada tim secara terbuka akan membantu setiap orang memahami dari mana datang nya ide tersebut.
“Suara siapakah yang terlewatkan?” (“Whose voice is missing?”). Pertanyaan ini bermaksud untuk menghapuskan ruang gema (echo chamber) dan mengundang keberagaman pemikiran. Ini merupakan sesuatu yang penting mengingat terdapatnya sekat-sekat informasi di antara departemen di dalam organisasi itu sendiri (information silos).
“Apa ide terbaik ketiga mu?” (“What is your third best idea?”). Sebuah teori menyatakan bahwa biasanya, jawaban pertama yang diberikan seseorang adalah “jawaban yang aman”. Lalu jawaban kedua sebenarnya merupakan jawaban pertama namun dikemas dengan kata- kata yang berbeda. Sering kali, ide terbaik ketiga merupakan saat di masa seseorang mulai berpikir out of the box.
“Apa yang kamu belum katakan namun kamu tahu bahwa itu adalah sesuatu yang penting untuk dikatakan?” (“What didn’t you say that needs saying?”). Pertanyaan ini mendorong seseorang untuk menyatakan sesuatu yang tak nyaman atau menakutkan, namun butuh sekali untuk didengarkan.
Lima pertanyaan ini dapat membantu para pemimpin untuk mengeksplorasi cara-cara terbaik untuk mengatasi permasalahan yang sering kali berubah sebelum mengeksekusi rencana mereka.
Belajar Sebelum Mengetahui (Learning Before Knowing)
Pengetahuan mempunyai peranan penting di organisasi manapun. Tetapi Leckie, sang penulis, berpendapat bahwa belajar (learning) itu lebih penting, terutama di dunia yang sudah serba digital. Pergeseran dari “mengetahui sesuatu” menuju ke “mempelajari sesuatu” merupakan fenomena yang relatif baru. Bagi generasi sebelumnya, pengetahuan yang dimiliki oleh seorang karyawan merupakan sesuatu yang memberikan nilai terhadap sebuah bisnis. Para pekerja berpengetahuan (knowledge workers), seperti pengacara, dokter, dan insinyur, datang untuk mendominasi ekonomi. Pertama, mereka belajar keras untuk mendapatkan pengetahuan spesial tersebut. Lalu, setelah mereka mendapatkan pekerjaan sesuai bidangnya, pengetahuan tersebut dimanfaatkan.
Namun, dunia digital telah mendisrupsi paradigma ini. Saat ini, pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan saat mereka dipekerjakan tidaklah cukup. Nilai dari para pekerja modern datang dari kemampuan mereka untuk belajar saat bekerja. Semakin teknologi digital mempercepat laju inovasi dan perubahan, maka akan semakin banyak pula para pekerja pembelajar (learning workers) yang mendominasi organisasi-organisasi.
Jadi, bagaiamana caranya untuk melakukan perubahan dari knowledge worker menjadi learning worker? Belajar sebelum mengetahui mewajibkan mu untuk mempertanyakan apa yang kamu ketahui dan kemauan untuk berubah arah secara cepat ketika diperlukan. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan sebagai pedoman:
Tanyakan kepada diri sendiri, “Siapakah seseorang yang menentang kepercayaan saya?” (“Who challenges my beliefs?”). Cari orang-orang yang akan memberi tahu kamu ketika kamu bersalah. Beri mereka izin untuk menentang atau meragukan kamu, dan berterima kasihlah atas kesediaan mereka untuk mengingatkan mu (call you out).
“Apa kesalahanan yang ada pada ide saya?” (“How is my idea wrong?”). Dengan secara langsung mempertanyakan terkait kesalahan yang terdapat pada ide, kamu secara langsung telah menunda afirmasi dari tim sehingga kelemahan dari ide bisa diidentifikasi dari awal. Walaupun terasa tidak nyaman saat orang lain menunjukkan di mana letak kesalahan idemu, ini merupakan bagian penting dari proses belajar.
“Apa saja titik buta yang ada pada saya?” (“What is my blind spot?”). Pertanyaan ini berfungsi untuk menangkap pola-pola kekeliruan yang kerap kamu perbuat. Jika kamu sering mengabaikan satu bagian dari sebuah masalah, maka anggota tim mu akan lebih mampu untuk mengenali di mana kesalahan itu dan membantumu untuk kembali memperbaiki arah.
“Kapankah terakhir kali saya salah?” (“When was I last wrong?”). Jika terasa sudah cukup lama semenjak kamu bertindak salah atas sesuatu, kemungkinan kamu sedang tak mendapatkan umpan balik yang berkualitas. Mengingatkan kembali diri atas sebuah kesalahan spesifik, mengakuinya, dan belajar kembali dari kesalahan tersebut akan membantumu membangun kepercayaan dan respek.
“Apakah saya OK dengan tidak mengetahui sesuatu?” (“Am I OK with not knowing?”). Pertanyaan ini bermaksud untuk memupuk rasa kerendahan hati seseorang, karena terkadang tidak mempunyai jawaban atas sesuatu adalah hal yang wajar. Juga merupakan hal yang OK untuk tetap bergerak maju walaupun masih terdapat ambiguitas atau informasi yang belum jelas.
Learning before knowing juga berarti memiliki kelincahan (agility) untuk menetapkan sebuah rencana dan kemudian mengubah rencana tersebut seiring dengan ilmu baru yang telah dipelajari di sepanjang perjalanan.
Berubah Sebelum Melindungi (Changing before Protecting)
Merupakan hal yang sangat wajar untuk melindungi hal-hal yang kita pedulikan. Namun jika dilakukan dengan tidak tepat di sebuah organisasi, proteksi atau perlindungan dapat menjadi sebuah beban. Agar organisasi dapat bertumbuh, beradaptasi, dan berkembang, para pemimpin dan manajer harus berani untuk merangkul perubahan. Perubahan pada organisasi terjadi sedikit demi sedikit, dari satu orang ke orang lainnya. Perubahan semacam ini adalah hal yang sulit, dan ini mewajibkan kita untuk menerima ketidaknyamanan yang datang dengannya.
Maka dari itu sang penulis telah membuat serangkaian pertanyaan yang dapat membantu memfasilitasi proses perubahan organisasi:
“Hal terburuk apa yang dapat terjadi?” (“What’s the worst that could happen?”). Saat perusahaan mempertimbangkan sebuah ide bisnis baru, sering kali jawaban yang datang setelahnya adalah “ide tersebut tak akan berjalan lama”. Iya, kegagalan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Namun mengakui adanya kemungkinan gagal sebenarnya dapat membantu membuat perubahan tersebut tak begitu menakutkan.
“Apa saja “biaya” yang timbul saat kita bermain aman?” (“What’s the cost of staying safe?”). Tentu saja perubahan adalah hal yang berisiko. Namun menjaga status quo juga dapat menjadi sesuatu yang berisiko. Buatlah sebuah daftar hal-hal positif yang bisa kamu lewatkan saat kamu menjalankan organisasi tetap dengan cara lama.
“Apa yang saya takut untuk lakukan?” (“What am I afraid to do?”). Pertanyaan ini bersifat lebih personal. Ini berfokus pada apa yang kamu sebagai seorang individu pertaruhkan saat membawa sebuah perubahan. Pertanyaan ini membantu menguak apa yang kamu hargai, dan dimana letak prioritas mu.
“Bagaimanakah saya dapat memimpin dengan lantang?” (“How can I lead out loud?”). Perubahan membutuhkan para pemimpin untuk mencontohkan perilaku yang mereka inginkan organisasi untuk adopsi. Maka dari itu, temukan cara terbaik untuk mempraktikkan perubahan itu, dan selanjutnya anggota organisasi akan lebih mungkin untuk mengikuti perubahan yang telah dicontohkan.
“Kapan terakhir kalinya saya meminta bantuan?” (“When did I last ask for help?”). Untuk benar-benar mengetahui apakah kamu telah berubah, kamu perlu mendapatkan bantuan dari yang lain. Contohnya, mendapatkan umpan balik meruapakan cara yang baik untuk mengukur apakah perubahan yang substantif sudah berlangsung, atau mungkin kata-katamu harus lebih dibuktikan dengan perbuatan.
Menemukan Jalan Sebelum Mengikuti Jalan (Pathfinding Before Path-following)
Pathfinding (menemukan jalan) adalah tentang menetapkan satu tujuan dan memberikan anggota tim kebebasan untuk menentukan rencana masing-masing dalam rangka meraih tujuan tersebut. Untuk mengilustrasikannya, mari kita lihat proses perusahaan produsen kertas dari Kanada bernama Abitibi dalam membuat kebijakan. Penulis buku sempat bekerja di perusahaan tersebut ketika mereka sedang mengalami kesulitan finansial. Mereka perlu memotong beban pengeluaran perusahaan sebesar 10% secara cepat. Kebijakan awal dari manajemen perusahaan yang terkesan terburu-buru adalah mengevaluasi pengeluaran dari setiap tim dan membuat anggaran yang mendetilkan bagaimana seharusnya setiap dollar dipergunakan oleh tim.
Namun setelah dikaji ulang, pendekatan dari atas ke bawah (top-down approach) ini bukanlah langkah yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Kali ini tiap tim tetap diminta untuk menurunkan pengeluaran sebanyak 10%, akan tetapi bagaimana cara detilnya diserahkan pada tiap tim masing-masing. Atau dengan kata lain, tim diberi kebeasan untuk “menemukan jalan” mereka masing-masing untuk mencapai target 10%. Dan ternyata pendekatan ini berhasil. Pada triwulan berikutnya, pengeluaran perusahaan menurun sebesar 15%.
Sekarang, mari kita lihat pertanyaan apa saja yang dapat memandu kita dalam proses pathfinding before path-following dalam sebuah organisasi:
“Kemanakah tujuan kita sebenarnya?” (“Where are we really going?”). Pertanyaan ini dimaksudkan untuk memperjelas kemana tujuan dari perjalanan sebuah organisasi – tujuan yang mana tidak hanya diucapkan lewat kata-kata, tetapi diwujudkan dalam aksi yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut organisasi.
“Hal apakah yang paling utama?” (“What is most important?”). Pertanyaan ini tertuju pada asumsi-asumsi yang selama ini tak tertulis dan tidak diutarakan oleh sebuah organisasi, namun memiliki peranan dalam membentuk budaya organisasi.
“Apakah sikap/kebijakan/tindakan ini merupakan kita yang sebenarnya?” (“Is this who we are?”). Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menguji akuntabilitas. Ini adalah cara untuk memeriksa apakah hal yang kamu lakukan sehari-hari membawamu lebih dekat kepada tujuan (North Star).
“Siapakah yang akan paling memahami?” (“Who would know best?”) Penting untuk meminta bantuan kepada orang yang tepat, yakni orang yang memiliki pengetahuan khusus terkait subjek tertentu.
“Dapatkah kita mendiskusikan perbedaan yang ada di antara kita?” (“Can we discuss our differences?”). Menghindari perbedaan pendapat adalah sesuatu yang hampir mustahil. Pertanyaan ini membuka pintu menuju ke percakapan tak nyaman yang wajib dilakukan.
“Apa yang saya sembunyikan dari anda?” (“What am I hiding from you?”). Ini adalah pertanyaan yang kamu tujukan kepada diri sendiri. Jika terdapat sesuatu yang terasa mengganjal dengan keputusan yang telah dibuat, coba untuk jelajahi apa yang menjadi penyebab kekacauan batin ini, dan hadapi secara langsung.
Inovasi Sebelum Mereplikasi (Innovating Before Replicating)
Setiap bisnis terlihat ingin menjadi pemimpin dari segi inovasi. Namun sebenarnya, sebagian besar perusahaan tidak mencoba untuk berinovasi sama sekali. Hampir seluruh bisnis hanya berfokus dalam hal mereplikasi (replicating) dan memproduksi secara masal (scaling) apa-apa yang sudah terbukti bekerja. Menurut penulis, obsesi terhadap replicating dan scalling ini bagaikan pedang bermata dua. Biasanya strategi ini dapat berjalan untuk sementara. Kemudian secara tiba-tiba, bisnis terjebak dalam cara mereplikasi sebuah rencana bisnis yang tak lagi mendatangkan keuntungan.
Jadi bagaimana caranya agar perusahaan dapat mengedepankan inovasi sebelum mereplikasi? Dengan belajar dari kesalahan dan memainkan strategi jangka panjang (playing the long game). Mari amati kasus Amazon. Sebelum membawanya menjadi sebuah perusahaan publik, Jeff Bezos memaparkan rencananya bahwa perusahaan akan mengalami kerugian setidaknya selama lima tahun pertama. Dia berpendapat bahwa perusahaan perlu mendapatkan pangsa pasar dan mencari tahu apa yang pelanggan benar-benar inginkan. Melalui banyak percobaan dan kegagalan, Amazon menjadi benar-benar tahu apa yang pelanggan inginkan. Setelah membuahkan hasil, para pemegang saham mulai menuai hasil dari investasi mereka yang berorientasi jangka panjang.
Iya, tidak semua perusahaan bisa menjadi seperti Amazon. Akan tetapi, belajar dari kegagalan dan mengadopsi strategi jangka panjang merupakan prinsip dasar dari inovasi yang sebenarnya. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat memandu mu dalam berinovasi:
“Apa yang telah saya pelajari dari kegagalan saya?” (“What have I learned from my failures?”). Buatlah sebuah daftar yang berisi kegagalan mu dan cobalah untuk identifikasi pola-pola yang ada di sana. Dengan begitu, kamu dapat mengusahakan secara bersama-sama untuk menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
“Mampukah saya untuk bertahan menghadapi permainan jangka panjang?” (“Can I stomach the long game?”). Sulit untuk mengadopsi strategi jangka panjang, terutama dengan adanya dorongan atau motif untuk melihat sesuatu dengan lensa jangka pendek dari para pemegang saham. Pertanyaan ini akan membantumu untuk melihat “biaya-biaya” yang akan muncul dalam permainan jangka panjang sehingga kamu dapat membuat penilaian apakah kamu mampu untuk membayar “biaya-biaya” tersebut.
“Apa saja biaya yang timbul dari mereplikasi kesuksesan organisasi (di masa lampau)?” (“What’s the cost of replicating our success?”). Pertanyaan ini mencoba membahas tentang biaya peluang dari replikasi (opportunity cost of replication). Ketika kamu menyarankan anggota tim untuk mereplikasi sebuah strategi, pada dasarnya kamu sedang memberi tahu mereka untuk tidak bersusah payah mencari ide yang lebih baik lagi. Di sisi lain, dengan hanya mereplikasi, kamu telah melewatkan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dengan sumber daya yang ada.
“Bagaimana caranya agar saya dapat berhenti menjadi pusat dari dunia?” (“How can I stop being the center of the world?”). Melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain itu sulit, namun ini adalah hal yang penting dan bermanfaat bagi kemajuan organisasi.
“Bagaimana caranya untuk mendisrupsi diri saya sendiri?” (“How would I disrupt me?”). Dari sudut pandang kompetitor, mungkin kamu dan organisasimu dinilai lemah atau rawan tumbang. Maka dari itu, penulis menyarankan agar kamu dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari dirimu serta organisasimu sebelum kompetitor sadar akan hal ini.
Memanusiakan sebelum Mengatur (Humanizing before Organizing)
Kemampuan terakhir yang dibahas penulis adalah memanusiakan sebelum mengatur. Pendekatan ini adalah tentang bagaimana kamu memperlakukan seseorang di dalam organisasi. Lebih spesifiknya, ini adalah tentang bagaimana memperlakukan rekan kerja sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya melihat mereka dari jabatan yang mereka duduki. Ya, setiap organisasi telah mendefinisikan peran-peran yang diemban tiap karyawannya, mulai dari pekerja tingkat awal hingga direktur utama. Tiap-tiap peranan datang bersama serangkaian tanggung jawab dan ekspektasi yang harus dicapai.
Masalahnya adalah, semakin hari kemampuan anggota tim semakin berkembang; ia mampu mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan sekarang. Namun jika ia mengerjakan hal lain, mungkin saja ia telah melanggar peraturan dengan mengambil peran karyawan lain, sehingga beberapa karyawan cenderung “menundukkan kepala” mereka. Jika ini terjadi, kamu telah melewatkan kesempatan besar untuk mengeluarkan potensi terbaik dari tim mu.
Penting juga untuk memanusiakan tim dengan cara mengenal mereka di luar pekerjaan. Ketika kamu mengenal seseorang, lebih mudah untuk bersikap jujur dan terbuka terhadap mereka, mengandalkan mereka, dan berkorban untuk mereka. Walaupun tingkat keintiman semacam ini sulit untuk diraih di organisasi berukuran besar, tak akan sia-sia menginvestasikan waktu dan usaha untuk untuk membangun hubungan erat dengan tim.
Berikut adalah serangkaian pertanyaan yang dapat kamu tanyakan kepada reka-rekan kerjamu yang akan membantu proses “memanusiakan sebelum mengatur”.
“Kapankah saat di mana kamu menjadi versi terbaikmu?” (“When are you at your best?”). Pertanyaan ini memberikan kamu ide tentang di situasi seperti apa anggota tim menjadi lebih produktif.
“Bagaimanakah caranya kita tahu ketika hubungan tim sedang tidak baik-baik saja?” (“How will we know when things have started to go sideways?”). Hubungan apapun mempunyai potensi untuk “keluar dari jalurnya”. Dan di saat itu terjadi, rasa malu biasanya mulai muncul ke permukaan. Menyadari hal ini secara dini dapat membantu mengatasi rasa malu dan memperbaiki situasi.
“Bagaimana caranya agar kita dapat bekerjasama lebih baik lagi?” (“How could we work better together?”). Mungkin ini adalah pertanyaan yang paling vital. Pertanyaan ini memberikan izin kepada masing-masing pihak untuk mengubah dan menyelaraskan dinamika kerja antara satu anggota dengan anggota tim lainnya untuk mencapai tujuan dengan cara yang lebih baik lagi.
“Apakah hal yang terpenting bagimu?” (“What’s most important to you?”). Memahami motivasi orang lain dapat membantu mu menjalin hubungan lebih baik dengan mereka. Semakin baik hubungan personal mu, semakin baik pula hubungan dalam hal pekerjaan.
“Apa yang kamu inginkan dari ku?” (“What do you want from me?”). Menanyakan pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh dan dengan rasa ingin tahu yang tulus dapat menciptakan linkungan kerja yang memanusiakan manusia secara jangka panjang.
Demikian hal-hal yang dapat kami tuliskan dalam ringkasan buku kali ini. Mohon maaf jika sekiranya masih terdapat kesalahan dalam penyempaiannya. Semoga tulisan ini bermanfaat kawan!
Add a comment