The Federal Reserve (biasa disingkat The Fed), yang merupakan Bank Sentral di Amerika Serikat, adalah satu-satunya lembaga di dunia yang memiliki kewenangan untuk melakukan ekspansi ataupun kontraksi terhadap suplai mata uang dolar AS di dunia. Namun pada beberapa dekade terakhir ini, The Fed sering sekali melakukan ekspansi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi. Akibatnya, jumlah utang dari AS sekarang mencapai 26 triliun USD dan bertambah kurang lebih satu trilliun USD tiap tahunnya.
Lalu, mengapa kebijakan ekspansi diluncurkan di kala krisis ekonomi melanda? Manusia cenderung menghindari resiko di waktu krisis. Pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari dan investasi pun dikurangi agar memiliki cukup uang di tangan jika saja sesuatu yang buruk terjadi. Otomatis keadaan ekonomi negara pun melemah karena tingkat jual beli masyarakat menurun. Strategi utama The Fed untuk menggerakkan kembali geliat ekonomi AS adalah dengan membuat biaya peminjaman uang di lembaga keuangan umum menjadi murah. Diharapkan hal ini akan memicu masyarakat untuk berbelanja, entah untuk keperluan usaha ataupun memenuhi kebutuhan sehri-hari, dengan resiko gagal bayar utang yang jauh lebih kecil.
Secara teori ada dua cara untuk melakukan ekspansi. Pertama, The Fed dapat memangkas suku bunga nasional. Kedua, The Fed dapat menerapkan quantitative easing (QE), yang pada dasarnya adalah pencetakan uang secara masif dan menyuntikannya kedalam sistem keuangan AS. Metode QE ini mengakibatkan jumlah uang yang ada di peredaran melimpah, yang pada akhirnya memaksa bank-bank untuk menurunkan suku bunga agar masyarakat tidak takut untuk meminjam uang.
Lalu, apakah The Fed membagikan uang secara cuma-cuma kepada masyarakat untuk menyuntikkan uang kedalam sistem? Tentu saja tidak. Setelah uang dicetak, The Fed menggunakannya untuk membeli treasury bond dari investor swasta. Treasury bond adalah surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah AS untuk membiayai keperluan negara; pihak yang membelinya akan mendapatkan keuntungan tetap dalam periode yang telah ditentukan. Uang hasil penjualan treasury bond ini secara otomatis akan masuk kedalam akun rekening bank dari tiap investor swasta, sehingga jumlah uang yang ditampung bank pun meningkat drastis.
Quantitative Easing hanya Menguntungkan Investor Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang dilakukan bank-bank yang ada di Wall Street dengan semua uang yang baru dicetak ini? Sebagian besar uang tersebut dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan besar alih-alih kepada orang-orang biasa. Pada masa lampau, perusahaan memanfaatkan uang yang dipinjamkan dengan bunga rendah ini untuk membangun infrastruktur sarana produksi dan menyerap tenaga kerja yang akhirnya ikut berperan dalam menggerakkan ekonomi.
Namun pada satu dekade terakhir ini terjadi fenomena dimana perusahaan memanfaatkan uang pinjaman untuk membeli kembali saham milik perusahaan itu sendiri. Ini mengakibatkan jumlah saham perusahaan yang beredar di pasar menurun. Secara otomatis, harga dari saham yang masih tersisa di pasar melambung tinggi. Bayangkan jika satu perusahaan telah mengeluarkan satu juta lembar saham yang saat ini diperjualbelikan pada harga 50 dolar AS per lembar. Ketika 500 ribu lembar saham hilang dari peredaran karena dibeli kembali oleh perusahaan itu sendiri, maka dengan sendirinya harga saham akan naik ke angka 100 dolar AS per lembar (dengan asumsi jumlah permintaan di pasar tidak berubah).
Untuk pejabat tinggi dari suatu perusahaan, ini adalah hal yang menggembirakan. Tanpa harus melakukan inovasi dan efisiensi dalam menjalankan kegiatan operasional bisnis, harga saham dapat meningkat dengan begitu saja. Biasanya mereka akan menerima bonus di akhir tahun karena performa harga saham perusahaan yang memiliki tren positif menjadi poin penilaian penting.
QE harusnya menjadi kebijakan yang mendorong terjadinya investasi pada pembangunan infrastruktur yang berwujud dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Namun kenyataannya, kebijakan ini hanya mendongkrak harga asset keuangan saja yang tidak ada sangkut pautnya dengan ekonomi masyarakat luas (sektor riil). Hanya pihak investor saja yang menikmati hasil dari kebijakan ini. Itulah mengapa jika kita amati pasar saham sekarang, harga saham masih saja tinggi walaupun keadaan ekonomi sedang melemah.
Pasar Saham Menaruh Perhatian Lebih terhadap The Fed daripada Kondisi Ekonomi Pada masa ini, pasar keuangan tidak dapat dijadikan patokan untuk mengukur kondisi sektor rill dari ekonomi. Pada bulan Mei 2020, indeks Dow Jones, yang mengukur performa saham dari 30 perusahaan besar di AS, bergerak naik sebesar 31%. Ini adalah hal yang aneh mengingat kondisi ekonomi sedang melemah dan tingkat pengangguran di AS mencetak level lebih tinggi dibandingkan dengan saat terjadinya The Great Depression di tahun 1929.
Ketidak-sinkronan antara pasar saham dan sektor riil ini adalah hasil dari kebijakan The Fed yang selalu menyokong keberlangsungan Wall Street di kala krisis ekonomi terjadi. Untuk bank-bank AS, waktu sulit adalah waktunya untuk mendapatkan injeksi uang tunai dari The Fed dan paket-paket stimulus dari pemerintah. Intervensi dari The Fed yang terlalu sering telah mengubah cara kerja investor secara mendasar. Investor tidak peduli lagi dengan tanda-tanda yang dikirimkan oleh hukum penawaran dan permintaan dalam memutuskan bagaimana sebaiknya investasi dilakukan. Yang mereka pertimbangkan hanyalah apakah upaya QE dari The Fed akan berpengaruh signifikan dalam memompa nilai aset keuangan.
Kebiasaan ini menempatkan The Fed pada posisi yang serba tidak nyaman. Pasar saham dan uang hanya akan tumbuh ketika The Fed menyuntikkan dana. Sementara ketika pasokan uang dikeluarkan dari sistem dan suku bunga ditingkatkan, pasar investasi pun akan segera kolaps. Maka dari itu, kebijakan yang dilakukan The Fed hanyalah ekspansi pada beberapa tahun terakhir ini.
Strategi The Fed untuk Melawan Resesi Tidak Akan Efektif di Masa Depan Ketika terjadi resesi di tahun 1991, strategi yang dilakukan The Fed untuk melawannya adalah dengan memotong suku bunga dari 9% ke 4%. Pada tahun 2000, The Fed juga memotong suku bunga dari 6% ke 1% agar kondisi ekonomi dapat membaik. Lagi, pada tahun 2008, suku bunga dipotong dari 5% menjadi 0% untuk memperbaiki keadaan. Untuk bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh COVID, The Fed sudah tidak bisa melakukan pemotongan lagi karena suku bunga saat ini sudah berada pada posisi 0%. Satu-satu nya strategi yang bisa diterapkan adalah Quantitative Easing. Proyeksi dari pihak internal The Fed menunjukkan bahwa, diperlukan QE sebesar 3-5 triliun dolar AS untuk menimbulkan efek ekonomi yang sama dengan pemotongan suku bunga sebesar 1%.
Pada beberapa dekade sebelumnya, pasar saham selalu merespons secara positif tiap upaya injeksi dari The Fed. Namun, hal ini tidak terjadi kali ini. Pengumuman dilakukannya QE justru memperburuk kondisi pasar keuangan. Investor meninggalkan pasar secara serentak karena mereka sudah mengetahui bahwa harga aset keuangan saat ini terlalu tinggi dan tidak mencrminkan nilai sebenarnya. Menurut penulis, dilakukannya kebijakan QE hanya akan membuat aset keuangan semakin overvalued.
Great Depression Akan Terjadi Kembali Menurut penulis, tedapat dua tanda yang muncul ketika krisis ekonomi akan terjadi. Pertama, terdapat kesenjangan sosial hebat yang terjadi di masyarakat. Ketika The Great Depression di tahun 1929 berlangsung, penduduk terkaya Amerika yang hanya mewakili 0.1% dari jumlah total populasi menguasai 25% dari seluruh kekayaan negara. Kesenjangan sempat mulai berkurang ketika pemerintah AS membuat regulasi yang lebih ketat untuk sektor perbankan setelah era-depresi berlalu. Namun di tahun 2000, peraturan tersebut dikebiri dan kesenjanganpun muncul kembali. Hari ini nyatanya 20 orang terkaya di dunia memiliki harta yang jumlahnya sama dengan harta dari separuh bawah (secara tingkat ekonomi) populasi di dunia.
Tanda kedua adalah terjadinya bubble (penggelembungan) ugal-ugalan pada berbagai macam jenis aset finansial. Salah satu cara yang lumayan ampuh untuk mengetahui apakah market sedang berada dalam keadaan bubble adalah dengan menggunakan indikator Warren Buffet yang Buffett sendiri praktikkan untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan berinvestasi ketika dot-com crashdi akhir 90-an terjadi. Indikator ini adalah ratio yang mengukur antara total jumlah kapitalisasi pasar saham terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dari sebuah negara. Menurut Buffet, ketika nilai rasio ini di atas 115%, maka terjadi penggelembungan pada nilai saham di pasar.
Menurut penulis, ini hanya terjadi 3 kali dalam sejarah. Rasio mencapai 141% sebelum the Great Depression terjadi. Rasio berada di angka 151% sebelum the dot-com crash melanda. Dan pada bulan Januari di tahun 2020 di kala COVID-19 melanda, rasio ini berada pada level tertingginya yakni 156%. Mungkin sekarang adalah saatnya untuk berhati-hati.
Dolar AS Terancam Kehilangan Statusnya sebagai Cadangan Devisa Global Kalian pasti bertanya-tanya mengapa AS memuncaki posisi sebagai pemimpin ekonomi dunia selama 70 tahun terakhir. Salah satu faktornya adalah karena mereka memprakarsai perjanjian Bretton Woods 1944. Melalui perjanjian tersebut negara-negara terkuat di dunia sepakat untuk menjadikan dolar AS sebagai cadangan devisa global. Dengan begitu dolar AS menjadi referensi dan mata uang utama dalam tiap transaksi perdagangan internasional. Alasan utama mengapa negara-negara tersebut setuju dengan perjanjian ini adalah karena tiap dolar AS yang dicetak bisa ditukarkan dengan emas. Selain itu, AS adalah satu-satunya negara dengan cadangan emas terbesar di waktu itu. Peraturan ini mencegah AS untuk memanipulasi nilai dolar dengan mencetak dolar tanpa meningkatkan cadangan emas seenaknya.
27 tahun kemudian, Presiden Nixon mengubah kesepakatan Bretton Woods dengan melepaskan dolar AS dari kewajibannya untuk mengikat tiap uang yang dicetak dengan cadangan emas. Semenjak itu, yang mendasari nilai dolar hanyalah keyakinan bahwa AS akan menjaga integritas dari mata uangnya. Ketika krisis demi krisis terjadi, AS semakin terjerembap dengan utang nya seiring dengan kebijakan ekspansi yang dilakukan oleh The Fed. Ini menjadi alasan utama mengapa semakin banyak negara meninggalkan dolar dan mulai mencari alternatif lain sebagai cadangan devisa.
Lebih Baik Berinvestasi Emas daripada Saham Gagasan bahwa pasar saham adalah tempat yang lebih baik untuk berinvestasi dibandingkan dengan emas adalah keliru. Jika kalian perhatikan dari tahun 2000 hingga tahun 2020, niliai saham hanya meningkat sebesar 250% sementara nilai emas melonjak hingga 500%. Performa emas dua kali lebih baik dibandingkan saham. Pasokan emas yang sangat terbatas membuatnya berharga. Selain itu, permintaan untuk emas juga meningkat tajam. Bank Sentral Rusia, Tiongkok dan Turki sedang memburu emas karena mereka sudah tidak yakin lagi untuk menggunakan dolar AS sebagai cadangan devisa. Nilai dari emas yang diterima oleh setiap negara membuatnya mempunyai nilai lebih.
Ulasan yang sangat menarik, jadi teringat animasi tentang keuangan “The American Dream”, yang menceritakan uang yang tidak lagi dicetak dengan jaminan emas serta jebakan hutang.
fadhli
January 16, 2022 at 7:54 amUlasan yang sangat menarik, jadi teringat animasi tentang keuangan “The American Dream”, yang menceritakan uang yang tidak lagi dicetak dengan jaminan emas serta jebakan hutang.