Hal-Hal yang Memotivasi Perilaku dari Hewan Bersifat Kompleks, Terpendam, dan Sering Kali Egois, Tetapi Mereka Tak Selalu Menyadarinya
Jika kalian perhatikan perilaku simpanse di kebun binatang, membersihkan debu atau kotoran dari tubuh satu sama lain (social grooming) sudah menjadi bagian dari kebiasaan mereka. Tak hanya sekedar menjaga tubuh agar tetap bersih, ada maksud lain yang tak nampak di permukaan, yakni sebuah “transaksi” yang sebagian besar didasari oleh alasan- alasan egois dan maksud terpendam. Setelah bertahun-tahun mempelajari primata, Robin Dunbar mulai menyadari bahwa maksud terpendam yang mereka miliki ini bersifat politis. Mereka menjadikan social grooming sebagai cara untuk membentuk hubungan-hubungan atau persekutuan yang akan menguntungkan masing-masing pihak di masa mendatang yang dibangun atas dasar kepercayaan.
Dunbar datang dengan kesimpulan ini karena para simpanse tetap melanjutkan untuk membersihkan tubuh partnernya walaupun bulu sudah dalam keadaan bersih. Hal ini membuktikan bahwa grooming tak hanya menjadi sebuah prosedur kebersihan. Tentunya, kesadaran primata tak sama dengan kesadaran manusia. Dalam melakukan social grooming, mereka tak sadar bahwa aksi yang mereka lakukan adalah sebuah strategi sosial; mereka melakukan grooming hanya berdasarkan insting.
Di sisi lain, manusia mimiliki firasat mengenai apa yang sedang dipikirkan oleh lawan bicaranya dan menghakimi lawan bicara berdasarkan persepsi yang telah terbentuk. Alhasil, terkadang kita menyembunyikan motif yang kita miliki dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan menyembunyikan motif tersebut dari diri sendiri. Toh jika kita tak benar- benar sadar mengenai apa yang memotivasi kita dalam berinteraksi, maka orang lain juga tak akan tahu. Berbanding terbalik dengan manusia, primata tak dapat menetapkan motif mereka dengan cara yang sama, maka dari itu mereka tak perlu melakukan sesuatu yang bersifat menipu terhadap pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Manusia Sering Menyembunyikan Motif Buruk dari Dirinya Sendiri
Layaknya simpanse, manusia juga bisa termotivasi oleh alasan-alasan bawah alam sadar yang buruk dan mementingkan diri sendiri. Kita mungkin ingin memuncaki bukit terjal kedudukan sosial melalui promosi jabatan pekerjaan. Tak mungkin bagimu untuk mendatangi bosmu dan meminta naik jabatan secara terang-terangan di depannya. Alih- alih, kamu akan mengirimkan sinyal-sinyal yang memperlihatkan kompetensi dan tingkat pengalaman melalui penggunaan bahasa yang nampak profesional dalam berdiskusi; dalam melakukan ini, kamu seakan tak sadar bahwa ada rasa egois yang melatarbelakanginya. Padahal kamu tahu bahwa ada rekan kerja satu divisi yang jauh lebih berpengalaman dan pantas untuk mendapatkan posisi tersebut dibandingkan kamu. Fenomena ini penulis sebut dengan “the elephants in the brain”.
Sebagian besar orang mungkin familier dengan ekspresi “elephant in the room” yang berarti terdapat sebuah isu atau topik yang dianggap tabu untuk dibahas walaupun isu tersebut ada di hadapan mereka dan mendesak untuk dibicarakan. Tak jauh berbeda, “the elephant in the brain” adalah sebuah motif buruk atau bersifat tabu yang muncul dari dalam diri yang sering tak kita akui keberadaannya. Kamu bisa memilih untuk melupakan “keberadaan gajah dalam pikiran”, atau kamu dapat memilih untuk menyadari keberadaannya dengan cara melakukan intronspeksi diri. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita sering memilih untuk menyembunyikan motif ini dari diri kita sendiri?
Manusia Adalah Spesies yang Cerdas Akibat Adanya Kompetisi
Ada yang berpendapat bahwa manusia memiliki ukuran otak yang relatif besar akibat proses evolusi yang mendorong otak kita untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang menantang. Manusia menjadi mahluk yang cerdas karena kerap berhadapan dengan predator, kelangkaan makanan, kebakaran hutan, dan bermacam tantangan hidup lainnya. Tetapi menurut penulis, proses evolusi otak justru terjadi karena kita selalu berkompetisi dengan manusia lain; istilah teknis untuk prilaku ini adalah kompetisi intra-spesies. Kompetisi yang dimaksud di sini meliputi berlomba untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, memperebutkan pasangan untuk proses kawin, atau membentuk aliansi-aliansi yang dibutuhkan untuk menjatuhkan kelompok lain.
Bayangkan pepohonan yang tumbuh di hutan yang lebat. Mereka berkompetisi antara satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan cahaya matahari agar mampu bertahan hidup. Untuk mendapatkan sebanyak mungkin sinar matahari, tiap generasi memacu dirinya untuk tumbuh lebih tinggi. Dengan analogi yang sama, manusia perlu mengembangkan otaknya dengan baik agar mampu berkompetisi di antara lautan manusia. Semakin cerdas manusia, maka akses mereka kepada makanan, status sosial, dan seks akan lebih mudah.
Manusia memiliki keinginan kuat untuk memiliki keturunan, maka dari itu manusia berkompetisi untuk mendapatkan calon pasangan terbaik. Selain itu, penulis berpendapat bahwa sebuah hubungan seksual dapat mencerminkan seberapa berharganya dirimu (self-worth); secara sederhananya, manusia jantan perlu mengalahkan kandidat lain untuk mendapatkan pasangan yang unggul. Untuk memenangkan pertandingan ini, manusia perlu menunjukkan kapasitas, kekuatan & kemampuannya agar mendapatkan penilaian bahwa gen yang dimiliki sang jantan berkualitas baik; dan secara tak langsung ini mencerminkan harga diri (apakah pantas) kita berperan sebagai pasangan dan orang tua.
Dalam aspek tersebut, kita tak jauh berbeda dari burung merak. Ketika merak mengibaskan ekor mereka yang berwarna merekah layaknya papan iklan, manusia menunjukkan talentanya melalui kemampuannya dalam berseni (entah itu dengan bermusik atau melukis). Walaupun manusia lain tak mendapatkan manfaat yang terlihat secara jelas melalui seni, tetapi melalui seni manusia dapat menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan; dan sudah terbukti secara berulang-ulang kali bahwa melalui seni, manusia dapat memikat pasangan untuk menghasilkan keturunan.
Norma Sosial Membatasi Adanya Kompetisi yang Tak Diperlukan, Namun Dibutuhkan Sebuah Komunitas untuk Menegakkannya
Keinginan untuk berkompetisi sudah menjadi sifat dasar dari sebagian besar manusia. Namun tak selamanya keinginan untuk berkompetisi ini membawa manfaat; ada saatnya di mana kita sebaiknya menahan keinginan tersebut. Mekanisme sosial yang berkembang secara alami untuk membatasi adanya kompetisi disebut dengan norma yang berarti standar atau peraturan yang secara spesifik dibuat oleh komunitas tertentu untuk mengatur perilaku orang-orang yang tergabung dengan komunitas tersebut.
Bayangkan sebuah skenario di mana kamu harus mengantri, entah itu untuk mengirimkan paket atau membeli makanan. Antriannya pada saat itu cukup panjang. Peraturan yang pada umumnya dipahami masyarakat adalah menunggu dengan sabar sesuai antrian untuk mendapatkan jasa; menyerobot masuk dan memotong antrian hanya akan mengundang cibiran, pandangan sinis dan peringatan dari orang-orang di sekitar. Namun kadang jiwa kompetitif kita menggoda untuk mendobrak peraturan yang ada. Jujur saja, siapa yang tak pernah terbesit di pikirannya untuk menyerobot antrian panjang yang kadang melelahkan? Ini adalah pengingat bahwa kita pada dasarnya adalah mahluk yang kompetitif, walaupun sebenarnya kita sedang berada di situasi di mana kompetisi tak diperlukan. Namun adanya sanksi sosial berupa cibiran membuat kita berpikir dua kali untuk memuaskan rasa egois yang ada dalam diri kita.
Maka dari itu, agar norma dapat tetap terus dipatuhi, mau tak mau norma tersebut harus ditegakkan secara koleftif (bersama-sama).
Kita Membeli Produk Tertentu untuk Memamerkan Status Sosial dan Betapa Idealnya Kepribadian Kita Kepada Orang Lain
Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa ada banyak orang yang menghamburkan uangnya untuk membeli mobil atau rumah keren, padahal mereka tak benar-benar membutuhkannya. Jelas, alasan yang pertama adalah mereka ingin mengumumkan kepada orang lain akan betapa melimpahnya harta yang mereka miliki. Sinyal-sinyal kekayaan ini akan memberikan orang tersebut kemudahan dalam berkompetisi untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dan seks. Fenomena ini sering disebut dengan conspicuous consumption (konsumsi yang mencolok); sebuah teori yang ditetapkan oleh Thorstein Veblen.
Tidak ada alasan rasional mengapa seseorang membutuhkan mobil Rolls-Royce seharga $500.000 atau jam emas Rolex seharga $25.000 atau bahkan rumah seluas ribuan meter persegi; namun mereka percaya bahwa memiliki produk dengan merek-merek tertentu dapat mengundang rasa kagum sekaligus rasa iri dari orang lain. Alasan keduanya adalah kebanyakan orang percaya bahwa beberapa barang tertentu mengandung nilai-nilai yang melambangkan kesuksesan atau sesuatu yang dianggap bermakna; memiliki barang tersebut adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa ia telah menerapkan nilai-nilai yang menempel pada produk yang dibeli.
Bayangkan sebuah situasi di mana kamu ingin membuktikan kepada rekan kerjamu bahwa kamu adalah seorang pendukung fanatik dari agenda-agenda yang bersifat ramah lingkungan; dengan adanya komitmen ini, kamu mulai membeli produk-produk “hijau”. Mungkin kamu berencana untuk menukarkan mobil berbahan bakar minyak yang sudah kamu miliki cukup lama dengan mobil listrik yang harganya cukup mahal. Dalam kasus ini, kamu sebenarnya tak tertarik dengan ideologi atau makna di balik gerakan ramah lingkungan, tetapi kamu hanya ingin menerima pujian sosial (social kudos) dari orang-orang di sekitarmu.
Motif yang sama juga ditemukan oleh Vladas Griskevicius pada penelitiannya di tahun 2010. Dalam studinya, peserta diminta untuk memutuskan apakah mereka akan membeli sebuah produk dalam versi ramah lingkungan atau tidak. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok: satu kelompok harus melakukan pembelian produk secara daring, sementara kelompok lain harus membelinya di tempat umum yang dapat dilihat oleh banyak orang. Hasilnya sudah bisa ditebak. Grup yang harus melakukan pembeliannya ditempat umum, yang pastinya akan mendapatkan penilaian dari orang lain atas perbuatannya, cenderung memilih produk dengan varian ramah lingkungan. Sementara kelompok berbelanja daring lebih memilih versi tak ramah lingkungan dari produk. Dengan kata lain, bukan lingkungan itu sendiri yang menjadi perhatian, namun perhatian yang mereka dapat dari orang lain lah yang menjadi tujuannya.
Walaupun Seni Tak Berguna Untuk Bertahan Hidup, Seni Dapat Menjadi Nilai Tambah Untuk Mendapatkan Pasangan
Manusia telah menciptakan karya seni sejak awal dari kemunculan manusia itu sendiri. Salah satu hasil karya seni pertama manusia adalah berupa pahatan red ochre di Afrika Selatan yang sudah berusia -/+ 100.000 tahun. Tak hanya menaruh seni di sudut-sudut kota, kita juga menghiasi diri kita dengan seni. Kita mengubah gaya rambut ketika kita merasa bosan dengannya. Kita lukis tubuh dengan berbagai macam tato sebagai pengingat akan momen-momen tertentu. Emas dan berlian kita kalungkan di leher untuk memperkuat pancaran energi dari tubuh kita. Tetapi apa alasannya? Padahal seni itu sendiri tak dapat benar-benar membantu manusia untuk bertahan hidup.
Menurut pemikiran ahli biologi evolusi dan para antropolog, seni memanglah hal yang cukup aneh. Agar seni dapat diciptakan, dibutuhkan energi dan waktu kita yang berharga; di samping itu seni juga tak memiliki fungsi praktis yang dapat mempermudah jalannya rutinitas manusia sehari-hari. Dari sudut pandang Geoffry Miller, seorang psikolog evolusi, seni memang tak memiliki peran terhadap kemampuan bertahan hidup ataupun terhadap proses seleksi ekologi reproduksi manusia; namun seni dapat membantu manusia dalam proses seleksi seksual.
Seni adalah sebuah upaya untuk “menyia-nyiakan” sumber daya dan secara tak langsung ini mengirimkan sinyal bahwa sang pemilik memiliki sumber daya yang lebih untuk bertahan hidup, entah itu dalam bentuk kebugaran tubuh, kelebihan energi atau kekayaan. Mereka tak keberatan untuk menghabiskan sebagian darinya untuk seni. Ini akan menjadi poin pertimbangan utama untuk calon pasangan karena mereka telah membuktikan bahwa mereka mempunyai kualitas gen yang prima, mampu menghidupi calon anak, dan kemungkinan bertahannya gen dari calon pasangan akan semakin tinggi di masa depan.
Jadi coba buat masterpiece mu sekarang juga! Semoga bermanfaat!
Add a comment