Kita Cenderung Percaya Bahwa Masa Lalu Menentukan Masa Depan Kita, Padahal Kenyataannya, Kita Selalu Memiliki Kesempatan Untuk Berubah
Jika kamu mendengar sebuah berita bahwa seorang tetangga yang tinggal di seberang rumahmu tak pernah keluar dari ruangannya dan memilih untuk mengunci dirinya dari dunia, kamu pasti akan memikirkan segala hal yang tak wajar tentangnya. Kamu mungkin akan berasumsi bahwa ia pernah mengalami trauma di masa lalu yang mengakibatkan terbentuknya perilaku yang ia tunjukkan sekarang; dan bisa saja perilaku ini tak akan berubah hingga akhir hidupnya. Menurut penulis, asumsi seperti ini terbentuk karena manusia cenderung percaya bahwa pengalaman di masa lalu memiliki dampak yang besar terhadap perlaku kita di masa depan.
Kasus yang sering kita dapati adalah ketika seorang anak mendapatkan penindasan dari teman sekolah atau mungkin dibesarkan dengan cara yang kejam, kita berasumsi bahwa ia akan membawa rasa traumanya dari masa lalu ke situasi sosial yang ia hadapi di waktu dewasa. Sebaliknya, ketika anak terlalu dimanja di waktu kecil, kita cenderung beranggapan bahwa nantinya ia tak akan mampu berhadapan dengan realita kehidupan yang kadang penuh dengan ketidak-adilan. Bagi sebagian besar dari kita, masalah psikologi seolah selalu memiliki akar penyebab pada masa lalu.
Namun pandangan deterministik terhadap psikologi ini ditolak oleh seorang psikolog yang berasal dari Austria bernama Alfred Adler. Beliau berpendapat bahwa sebenarnya kita memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apapun yang ingin kita lakukan; kita tak perlu menjadi manusia yang selalu didikte oleh rasa trauma kita. Toh nyatanya tak semua anak yang pernah mengalami penindasan menjadi seseorang yang dijauhi oleh masyarakat ketika dewasa; beberapa dari mereka pun tak memutuskan untuk mengasingkan dirinya dari hubungan sosial. Ini membuktikan bahwa pasti ada penjelasan lain di samping pandangan deterministik yang dipercaya orang pada umumnya. Dengan kata lain, cara kita merespons setiap situasi psikologi tidaklah terbatas; kebebasan untuk melakukan transformasi diri akan selalu ada.
Bisa saja tetanggamu yang mengunci dirinya di kamar tadi, memilih untuk melakukan apa yang ia lakukan karena ia sudah merasa “nyaman” dengan kondisi tersebut; kegelisahannya terhadap dunia luar itu sengaja ia bentuk sebagai dalih agar ia tetap bisa tinggal di dalam rumah, untuk mendapatkan perhatian utuh dari orang-orang terdekatnya.
Orang-Orang Memiliki Pandangan yang Spesifik Terhadap Hidup, dan Pandangan ini Cukup Sulit Untuk Diubah
Dalam menentukan karakter seseorang, sering kali kita mengategorikannya ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Salah satu penggolongan karakter yang paling sederhana adalah antara mereka yang bersikap optimistis dan pesimistis. Kita pikir, karakter yang dimiliki seseorang tidak akan dapat berubah untuk seumur hidup. Namun ilmu psikologi
Adlerian memiliki pemahaman yang berbeda. Alih-alih menyebutnya sebagai karakter, psikologi Adlerian memberikan istilah berbeda untuk sikap bawaan seseorang, yakni “gaya hidup”. Perubahan terminologi ini bermaksud untuk menyoroti bahwa karakteristik dari seseorang tak ditentukan oleh hal-hal yang sudah mereka bawa sejak lahir; akan tetapi, sikap yang mereka tunjukkan adalah sebuah artikulasi dari pada pandangan mereka terhadap dunia. Dengan kata lain, jika kamu memiliki pandangan yang negatif terhadap dunia, tak mengherankan jika kamu akan bersikap pesimistis dalam keseharianmu.
Adler menyatakan bahwa kita secara aktif memilih “gaya hidup” dan memilih pandangan kita terhadap dunia pada saat kita berusia sepuluh tahun. Keputusan ini biasanya didasarkan pada pengalaman hidup yang telah berlalu, baik itu positif maupun negatif; dan biasanya kita cukup keras kepala untuk mempertahankan pandangan yang telah kita pilih. Tak jarang kita temui orang-orang yang membicarakan bagaimana tak bahagianya mereka, dan betapa inginnya mereka menjalani kehidupan yang berbeda. Dari sikap ini, terkesan bahwa orang tersebut sangat menginginkan perubahan dalam hidupnya, tapi menurut Adler justru hal yang mereka inginkan adalah sebaliknya; jika mereka benar-benar menginginkan jalan hidup yang berbeda, mereka seharusnya sudah melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi itu sejak dari dulu.
Mereka mungkin membenci situasi saat ini, tetapi setidaknya terdapat kenyamanan di balik menghadapi sesuatu yang terasa familier. Di sisi lain, perubahan membutuhkan keberanian. Perubahan mewajibkan kamu untuk mempersiapkan diri terhadap hal-hal yang terasa asing, dan tentunya ada juga kemungkinan di mana kamu akan mengalami kegagalan.
Seorang jomblo yang tak bahagia adalah salah satu kasus klasik. Dia mungkin sudah menyendiri untuk bertahun-tahun, tetapi ia tak bisa mengumpulkan keberanian untuk keluar dan bertemu dengan orang-orang baru. Berjejaring dan bersosialisasi merupakan sesuatu yang terlalu membertkannya, apa lagi berkencan dengan seseorang. Menurut penulis ini karena ia sudah terlalu terbiasa dengan “gaya hidup” yang penuh dengan kesunyian. Lagi pula lebih nyaman mengenal “setan” yang kamu ketahui dari pada harus berisiko mengalami luka.
Kebencian Terhadap Diri Sendiri yang Didasarkan pada Persepsi akan Ketidak- Sempurnaan Diri Hanyalah Sebuah Strategi yang Kita Gunakan untuk Menarik Diri dari Orang Lain
Kelemahan, siapa yang tidak memilikinya? Ketika sedang berkaca, hampir pasti ada saja rasa khawatir yang muncul akibat ketidak sempurnaan yang kita lihat dari diri, baik itu ketidak- sempurnaan fisik maupun non-fisik. Ini bisa jadi sebuah masalah kedepannya jika kamu menganggap kelemahan yang tak seberapa itu sebagai isu besar.
Salah satu murid dari penulis Ichiro Kishimi, pernah menyatakan di depannya betapa ia membenci dirinya. “Mengapa kamu membenci dirimu?” tanyanya dengan terheran-heran. Sang murid berkata bahwa ia terlalu menyadari kehadiran dari semua kekurangannya; ia tak begitu percaya diri, dan pandangannya mengenai dunia sangatlah pesimistis. Saat berada pada sebuah situasi sosial, ia terlalu memikirkan bagaimana orang lain menilai tiap tingkah lakunya dan ia tak bisa bertindak dengan “wajar” di depan orang lain. Ia percaya bahwa jika ia dapat memperbaiki bagian dari kepribadiannya yang ia benci, dia akan hidup dengan lebih baik. Dia bahkan bersedia untuk mengikuti kelas yang mengajarkan tentang bagaimana caranya untuk memunculkan rasa percaya diri.
Kemudian Kishimi lanjut bertanya “Bagaimana perasaanmu setelah mendiskusikan rasa kebencian terhadap diri sendiri secara terbuka?”. Percakapan ini membuatnya merasa lebih buruk; bahkan ia sekarang semakin menyadari mengapa tak ada orang lain yang ingin menghabiskan waktu bersama seseorang seburuk dirinya. Dari situ Kishimi menemukan jawabannya; pada saat sang murid mencela dirinya, secara tak langsung ia telah membuat “alasan-alasan sempurna” untuk mengisolasi dirinya sendiri.
Sekarang coba pikirkan, kerap kali orang-orang bersembunyi di balik diri mereka sendiri hanya karena mereka tak ingin disakiti oleh orang lain. Ironisnya, dengan memberi jarak antara diri mereka dengan orang lain, mereka akan terkesan sebagai seseorang yang arogan dan terasing di mata orang lain. Memilih untuk bersembunyi di balik kelemahan tak akan memecahkan masalah. Ini adalah solusi yang salah untuk sebuah masalah yang mereka gagal identifikasi.
Masyarakat yang Kompetitif Dapat Menimbulkan Dampak yang Destruktif; Jangan Sampai Kekhawatiran dari Luar Mengganggu Jalanmu
Jika kita perhatikan, semakin hari masyarakat semakin mengagungkan kompetisi; seakan hanya melalui kompetisi kemajuan bisa didapatkan. Namun menurut penulis, pola pikir yang kompetitif dapat menimbulkan bahaya kepada kesehatan mental. Kompetisi mengajak kita untuk membagi kelompok dalam dua kategori: pemenang dan pecundang. Secara alami, tak ada manusia yang ingin menjadi pecundang. Dengan pola pikir kompetisi juga, kita mulai melihat sesama manusia sebagai saingan atau ancaman atau penghalang menuju kesuksesan. Tak digarukan jika hidup di dunia yang penuh dengan saingan dapat menimbulkan stres berkepanjangan.
Pemenang pun merasakan efek negatif dari sistem kompetisi ini. Mereka tak henti-hentinya mendapatkan tekanan untuk meraih kesuksesan selanjutnya; posisi pemenang ini akan mereka pertahankan dengan sekuat tenaga. Inilah mengapa orang-orang dengan tingkat produktivitas yang tinggi masih saja merasakan kehampaan meskipun mereka memiliki pencapaian yang cukup. Jika kamu dapat membebaskan diri dari sikap kompetitif, secara logis kamu tak akan pernah merasa bahwa orang lain menjadi penghalang untukmu, entah itu terhadap caramu untuk mengekspresikan diri atau meraih kesuksesan.
Sebagai contoh, tak jarang kita mengkhawatirkan penampilan kita dan bagaimana orang lain akan menilainya. Bahkan, dengan hanya berjalan di trotoar sepanjang jalan cukup untuk memacu munculnya pikiran bahwa orang lain secara diam-diam sedang menghakimi kita. Tentunya, ini adalah hal yang tak masuk akal. Tak ada orang yang peduli dengan penampilanmu, dan bahkan ia mungkin tak memperhatikan bahwa kamu berada di dekatnya mengingat saat ini orang lebih sibuk memperhatikan layar telepon genggamnya. Saat kita sadar bahwa tak ada seorangpun yang peduli dengan penampilan atau pilihan hidup kita, di saat itulah kita bisa merasakan kebebasan; tak ada orang lain yang bisa menahanmu untuk melakukan apa yang kamu inginkan selain perilakumu sendiri.
Jalani Hidupmu, Jangan Menjadi Budak dari Ekspektasi Orang Lain
Bagaimana cara kerja dari sistem pendidikan di negara mu? Sering kali metode yang diterapkan adalah metode penghargaan dan hukuman (reward and punishment). Dan menurut penulis, ini adalah cara didik yang rapuh. Jika kita terbiasa belajar hanya untuk mendapatkan penghargaannya atau karena takut untuk mendapatkan hukuman, maka kita akan kesulitan untuk memotivasi diri kita ketika beranjak dewasa. Kita dapat mencoba untuk membebaskan diri dari siklus ini dengan menerapkan pola pikir bahwa kita tak memiliki kewajiban untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Terkadang orang tua menekan anaknya yang telah memasuki usia dewasa untuk mengambil jalur karir atau profesi tertentu demi mempertahankan tradisi yang sudah dibawa keluarga sejak lama atau untuk memenuhi ekspektasi sosial. Risiko yang akan timbul jika hal ini diterapkan adalah mungkin anak tersebut akan terus bergelut dengan rasa tertekan karena merasa tak cocok dengan pekerjaan yang akhirnya membuat mereka tak bahagia dan semakin menjauh dari “panggilan” sebenarnya.
Namun, ketika kamu memilih untuk tak memenuhi ekspektasi, kamu harus bersiap untuk mengecewakan orang-orang di sekelilingmu. Terlebih jika kamu selama ini mendapatkan dukungan dana dari orang tua, maka kamu harus bersiap untuk melepaskannya. Apapun yang kamu pilih akan memiliki konsekuensinya masing-masing. Namun jika kamu rasa ini adalah yang terbaik untukmu maka jalanilah. Selama pekerjaan yang kamu pilih dapat memberi ketenangan dan memenuhi lubang di hati yang menganga, tak usah pedulikan apa yang orang lain katakan. Pada akhirnya semua datang pada pertanyaan “mana yang lebih kamu prioritaskan?”.
Sedikit tambahan di bab ini: gila kerja (workaholic) juga salah satu bentuk dari ketergantungan kita terhadap afirmasi orang lain. Bagaimana tidak? Dengan bekerja begitu keras, seseorang akan mendapatkan penghormatan dan perhatian dari masyarakat. Penulis berpendapat bahwa ketika seseorang meletakkan pekerjaan di atas keluarga dan teman- temannya, itu merupakan tanda bahwa mereka cenderung memilih untuk mendapatkan afirmasi dari orang lain atas kemampuannya dari pada mengutamakan kepentingan keluarganya; ini adalah sikap yang cukup egois.
Tak Perlu Mencampuri Urusan Orang Lain; Masih Ada Cara Lain untuk Menjalin Hubungan dengannya
Ketika seorang anak mulai mengacuhkan tugas sekolah dan mendapatkan nilai buruk, sebagian besar orang tua meresponsnya dengan berlaku lebih tegas kepada sang anak. Mereka pikir bahwa kedisplinan adalah jawabannya. Tetapi menurut penulis, ini bukanlah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Lagi-lagi, bertindak tegas hanya akan membuat sang anak mematuhi orang tua untuk sesaat; mereka juga tak akan belajar tentang apa itu tanggung jawab ketika orang tua hanya menyuruh saja tanpa melakukan sesuatu yang lebih.
Secara tidak langsung, kasus di atas adalah sebuah bentuk tindakan yang mencampuri urusan orang lain secara semena-mena. Pertanyaannya adalah, ketika orang tua memaksakan kehendak, apakah itu demi kebaikan anak atau justru orang tua memiliki agendanya sendiri yang hanya bisa dipenuhi melalui pencapaian sang anak? Apakah itu ego ketika sang orang tua ingin membuktikan kepada orang lain bahwa mereka telah berhasil mendidik sang anak dengan cara yang tepat?
Penulis berpendapat bahwa yang sebaiknya orang tua lakukan di situasi tersebut adalah memberi anak kebebasan untuk memilih; namun di saat yanga sama, mereka juga harus memberi tahu anak bahwa mereka akan selalu ada di sisinya ketika dukungan diperlukan. Diharapkan, dengan cara didik ini sang anak akan menjadi lebih mandiri, dewasa, dan cinta belajar karena hanya melalui belajar, rasa penasaran yang mereka miliki dapat terjawab.
Memang cukup sulit untuk menyadari apakah kamu sedang mencampuri urusan hidup orang lain. Bagaimanapun juga kita begitu terbiasa untuk menganggap orang-orang terdekat kita sebagai “anggota tubuh tambahan” terhadap diri kita; dengan kata lain, apa yang kita anggap sebagai dukungan terhadap orang lain sering berujung pada menjunjung agenda pribadi yang berkedok. Kita harus berusaha untuk belajar berempati terhadap orang lain tanpa memiliki keinginan untuk mengendalikannya.
Kita Semua adalah Bagian dari Alam Semesta, dan Kamu Tidak Lebih Besar Darinya
Menurut psikologi Adlerian, komunitas memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Komunitas yang dimaksud di sini bukan sekedar orang-orang yang kita ajak berinterkasi dalam keseharian, namun komunitas juga termasuk manusia di luar lingkar interaksi kita, tumbuhan, hewan, hutan dan bahkan mineral yang tersebar di seluruh alam semesta. Dengan menerapkan pandangan ini, Adler berharap bahwa kita dapat menemukan peranan yang dapat kita sumbangkan kepada komunitas yang bertebaran di alam semesta; semakin sadar kita akan keberadaan mereka, maka rasa perhatian dan kepedulian kita akan muncul secara perlahan.
Perubahan dalam diri hanya akan terjadi ketika kita menyadari bahwa diri kita tidak berada di titik pusat yang mana hal-hal lainnya mengorbit di sekeliling kita. Jika kita mulai berpikir bahwa kita adalah pemimpin besar dari alam semesta, maka hal yang kita pikirkan ketika kita berinteraksi dengan orang lain hanyalah “Kira-kira apa yang orang tersebut bisa berikan terhadap kita?”. Tak ada rasa saling menghargai dan saling memberi yang selama ini menjadi benang pengikat antara manusia satu dengan manusia lain. Percaya atau tidak, perilaku ini hanya akan berujung pada rasa frustasi; ego sebesar itu tak akan pernah mudah untuk dipuaskan. Ini adalah saatnya untuk berpikir tentang “apa yang bisa kita berikan kepada alam semesta”.
Add a comment