Merasa Miskin Itu Tak Sepenuhnya Tentang Banyaknya Kepemilikan Materi, Akan Tetapi Lebih Tentang Jumlah Materimu Jika Dibandingkan Dengan Milik Orang Lain
Penelitian menunjukkan bahwa dari sekian banyak orang yang menyatakan dirinya sebagai orang miskin, hanya 20% nya saja yang bisa dikategorikan sebagai orang miskin yang sebenarnya. Sementara 80% dari mereka hanyalah merasa miskin. Mengapa fenomena ini terjadi? Mengapa begitu banyak orang yang menganggap diri mereka miskin meskipun pendapatan dan jumlah harta mereka membuat mereka tergolong sebagai masyarakat kelas menengah atau bahkan menengah ke atas?
Bayangkan seorang dokter yang berpendapatan USD 200.000 setiap tahunnya. Mungkin dia sudah tinggal di rumah yang cukup besar dan lingkungan yang aman, mengendarai mobil yang bagus, dan memiliki banyak barang bagus. Dia mungkin memiliki segalanya yang ia inginkan, akan tetapi jika dibandingkan dengan tetangga dokter ahli bedah otak di rumah sebelah yang berpenghasilan USD 800.000 per tahun, dia akan merasa miskin. Mungkin juga dia akan merasa hidup dari gaji satu ke gaji berikutnya jika saja pengeluarannya tak sebanding dengan pendapatannya.
Kemudian bayangkan sebuah situasi di mana seseorang menanyakan “apakah kamu memiliki pendapatan yang cukup?”. Apa jawabanmu? Apa yang dimaksud dengan cukup? Bagaimana kamu mengukurnya? Jika kamu berpikir dengan keras untuk mendapatkan jawaban yang “tepat”, ini ada penjelasannya. Walaupun kita mempunyai sensor-sensor fisiologis di tubuh yang dapat membantu kita menjawab pertanyaan material seperti “apakah kamu memiliki makanan yang cukup?”, kita tak memiliki sensor untuk menjawab pertanyaan abstrak seperti “apakah kamu memiliki uang yang cukup?”. Satu-satunya cara agar kita dapat membuat penilaian yang tepat adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Apakah orang lain terlihat memiliki barang yang lebih bagus? Apakah mereka terlihat tak memiliki masalah dengan kondisi keuangan mereka? Jika jawabannya iya, kita akan merasa miskin, tak peduli dengan jumlah pendapatan kita yang sebenarnya.
Bahkan Orang yang Sebenarnya Tidak Miskin Akan Merasakan Konsekuensi Negatif Ketika Mereka Merasa Miskin Jika Dibandingkan dengan Orang Lain
Ini adalah beberapa hal yang akan terjadi kepadamu jika kamu merasa miskin: kamu akan lebih mungkin mengalami depresi, kegelisahan, dan rasa sakit kronis. Selain itu, kamu juga akan lebih mungkin memiliki masalah berat badan, diabetes, dan penyakit jantung. Tak hanya itu, kamu juga akan lebih mudah percaya dengan teori-teori konspirasi, tak menjalankan pekerjaan dengan baik, dan sering membuat keputusan hidup yang buruk. Ini semua mungkin terjadi bukan karena kamu miskin, akan tetapi hanya karena kamu merasa miskin. Ya, kamu tidak salah dengar. Tak hanya kemiskinan saja yang memiliki dampak yang merusak, merasa miskin pun mempunyai dampak yang sama buruknya.
Seperti semua hewan primata, kita sangat peka terhadap status sosial kita. Kita terus menerus membuat perbandingan antara diri kita dengan orang-orang di sekeliling kita. Kita tak mampu merespons dengan baik saat kita mengetahui bahwa orang lain mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari pada diri kita. Penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli primata, Sarah Brosnan, mencoba untuk memberikan fakta nyata atas pendapat tersebut. Pada salah satu penelitiannya, dia memberikan seekor monyet sebuah batu kecil, setelah itu Sarah mengulurkan tangannya dan meminta sang monyet untuk mengembalikan batu tersebut. Ketika sang monyet mengembalikannya, Sarah memberikan sebuah mentimun sebagai gantinya. Lagi dan lagi monyet ini melakukan “transaksi” yang sama.
Lalu Sarah melakukan sedikit perubahan. Dia memainkan permainan ini dengan dua monyet di waktu yang bersamaan sehingga dua monyet itu dapat saling melihat transaksi satu sama lain. Monyet pertama mendapatkan mentimun sebagai ganti dari batu yang dikembalikan. Tetapi monyet kedua mendapatkan buah anggur, sebuah suguhan yang lebih lezat. Ketika Sarah kembali ke monyet pertama dan mencoba melakukan permainan dengan mentimun, monyet pertama tadi melemparkan mentimun ke wajahnya. Kita tahu bahwa mentimun lebih berharga dari pada batu, akan tetapi mengapa monyet tadi melemparkan mentimunnya? Sarah berpendapat bahwa nafsu sang monyet untuk mendapatkan makanan telah ditaklukkan oleh rasa frustrasinya terhadap ketidak-adilan yang telah dia alami. Klik di sini untuk melihat video dari percobaan ini.
Seperti monyet dalam percobaan, manusia adalah sebuah spesies yang tak hanya peduli dengan status, tetapi juga peduli dengan keadilan. Dengan 85 orang terkaya di dunia menggenggam kekayaan sebanyak yang dimiliki oleh 3,5 miliar orang di dunia, mengherankan kah jika kita menjadi semakin frustrasi dengan kondisi dunia? Saat yang kaya menjadi semakin kaya, sebagian besar dari kita merasa lebih miskin dan menjadi semakin miskin sebagai perbandingannya.
Kesenjangan Mengubah Cara Kita Berpikir dan Bertindak; Mendorong Perilaku yang Berisiko dan Merusak Diri
Bayangkan kamu berpartisipasi dalam sebuah studi. Seorang pewawancara menanyakan kepadamu sederet pertanyaan tentang kondisi keuanganmu, kebiasaan belanja, dan apa saja hal-hal yang kamu gemari. Kamu diberi tahu bahwa sebuah program komputer akan menggunakan informasi tersebut untuk menghasilkan sebuah skor yang menjadi indikasi seberapa banyak uang yang kamu miliki jika dibandingkan dengan orang lain yang karakterisitiknya mirip denganmu. Setelah semua informasi tersebut di-input-kan dalam software, skor tersebut pun muncul di layar.
Setelah fase pertama selesai, pewawancara akan memberi mu uang sejumlah USD 20 dan menawarkan kepada mu dua pilihan: kamu dapat membawanya pulang atau kamu dapat menggunakannya untuk berjudi (dan membawa pulang lebih banyak uang jika beruntung). Menurutmu, apakah keputusanmu akan tergantung pada skor pendapatan komparatif yang kamu terima? Atau dengan kata lain, apakah skor tersebut akan memengaruhi caramu dalam membuat keputusan yang berisiko? Jika kamu seperti sebagian besar orang, jawaban nya adalah iya.
Saat penelitian ini dilakukan dalam kehidupan nyata, 60% dari peserta yang dibuat merasa lebih kaya dibandingkan dengan yang lain, memilih untuk menjudikan uangnya. Sementara, 88% dari peserta yang dibuat merasa lebih miskin, memilih untuk menjudikan uangnya. Ada peningkatan sebanyak 28% di situ. Peningkatan yang cukup signifikan bukan? Padahal nyatanya, para peserta tidak lebih kaya ataupun miskin. Skor pun diberikan oleh software secara acak kepada masing-masing peserta dan sama sekali tidak mencerminkan jumlah kekayaan dari tiap individu jika dibandingkan dengan yang lain. Meskipun begitu, peserta yang memang secara objektif tergolong sebagai orang yang kaya akan condong untuk menjudikan uang USD 20 tadi saat software mengatakan bahwa mereka termasuk golongan miskin. Perasaan lebih miskin yang bersifat subyektif ini cukup untuk memicu seseorang melakukan tidankan berisiko. Baca lebih detil mengenai penelitiannya di sini.
Dalam versi lain dari percobaan ini, peserta diminta untuk membuat sederet keputusan keuangan setelah mereka melihat skor yang dihasilkan oleh software. Akankah mereka memilih untuk menerima uang sejumlah USD 100 hari ini atau USD 120 minggu depan? Bagaimana dengan pilihan USD 100 hari ini atau USD 150 minggu depan? Studi tersebut menemukan bahwa peserta yang dibuat merasa lebih miskin dari yang lain cenderung memilih untuk mendapatkan USD 100 hari ini juga. Akan tetapi, mereka yang dibuat merasa kaya mengambil keputusan untuk jangka panjang, sehingga mereka memilih untuk menunggu satu minggu lebih lama jika mereka bisa mendapatkan uang lebih banyak. Seperti penelitian sebelumnya, respons yang mereka berikan bukan berdasarkan pada pendapatan mereka yang sebenarnya, akan tetapi persepsi masing-masing terkait harta mereka jika dibandingkan dengan orang lain. Kesimpulannya adalah adanya “kesenjangan” mendorong orang untuk terlibat ke dalam perilaku-perilaku yang berisiko tak peduli seberapa besar pendapatan mereka. Baca penelitian lebih detil di sini.
Kesenjangan Memicu Terjadinya Perpecahan Sosial dan Keberpihakan Politik
Jika kamu perhatikan, dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak negara-negara demokrasi yang mengalami gejolak antar warganya. Kondisi politik semakin terpolarisasi, para “pakar” saling berdebat di TV, dan para demonstran turun ke jalan tanpa adanya tanggapan dari wakil rakyat. Terkadang kamu bahkan harus menghindari percakapan bertopik politik dengan anggota keluargamu. Singkatnya, masyarakat kita sedang terpecah belah. Lalu apa hubungannya dengan kesenjangan?
Untuk mencari hubungan antara kesenjangan dan perpecahan, sang penulis buku dengan beberapa koleganya mendesain sebuah percobaan. Para peserta dari percobaan ini diberi modal awal berupa uang untuk diinvestasikan pada saham-saham pilihan yang pergerakannya akan disimulasikan secara realistis. Setiap orang dapat menyimpan keuntungan dari investasinya, akan tetapi mereka yang mendapatkan keuntungan lebih akan dikenai pajak sebesar 20% untuk mengimbangi kerugian dari mereka yang salah dalam menentukan saham pada transaksi tertentu.
Setelah beberapa waktu berjalan, separuh dari peserta percobaan diberi tahu bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari peserta lain, sementara separuhnya lagi diberi tahu bahwa keuntungan yang mereka dapatkan tak sebesar yang lainnya. Padahal kenyataannya, mereka semua diberi keuntungan yang sama, yakni sebesar 30% dari investasi modal awal. Mereka hanya “diberi tahu” bahwa mereka lebih baik atau lebih buruk dari peserta lain.
Sesudah mengetahui hasil dari investasi, mereka diminta untuk melakukan pemungutan suara terkait peraturan di babak selanjutnya. Peserta yang berpikir bahwa mereka telah mendapatkan lebih banyak keuntungan memilih untuk memotong persentase pajak, sementara mereka yang merasa mendapat lebih sedikit meminta untuk menaikkan pajak. Tak ada yang mengejutkan, manusia pada dasarnya cenderung membuat keputusan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri. Saat kamu punya uang, maka kamu akan berusaha untuk menggenggamnya sekuat mungkin.
Namun di sini bagian menariknya: hampir semua peserta yang berpikir bahwa mereka telah “mengalahkan” peserta lain dalam berinvestasi memiliki pandangan bahwa orang-orang yang tidak setuju dengannya itu merupakan orang yang tak memiliki kompetensi, irasional, dan bias. Tak hanya itu, ketika mereka ditanya apakah peserta yang “kalah” berhak mempunyai suara dalam menentukan peraturan, mereka menjawab tidak. Peserta yang menganggap diri mereka sebagai “pemain hebat” (high performers) ingin menyingkirkan “pecundang” (low performers) dalam membuat keputusan. Sebaliknya, peserta yang menganggap dirinya sebagai “pecundang” menginginkan semua orang untuk memiliki hak suara yang sama, termasuk para high performers. Merasa memiliki status yang superior memperbesar kecenderungan seseorang memandang rendah orang lain yang tak setuju dengannya. Tak mengherenkan bukan ketika politik kita menjadi begitu terpecah belah saat kesenjangan dalam masyarakat semakin menganga? Lihat video penjelasan Keith Payne di sini.
Negara dengan Kesenjangan Tinggi Memiliki Kualitas Kesehatan yang Lebih Buruk Dibandingkan dengan Negara yang Distribusi Kekayaannya Lebih Merata
Kamu mungkin tahu bahwa angka harapan hidup di negara kaya itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara yang lebih miskin. Di negara kaya, orang-orang yang memiliki harta lebih cenderung memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki lebih sedikit harta. Tapi mungkin kamu tak tahu bahwa di negara kaya, pengalaman subjektif seseorang terkait statusnya merupakan alat prediksi kualitas kesehatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pendapatan mereka yang sebenarnya. Ya, jika kamu tinggal di negara maju, merasa miskin (walaupun secara objektif tidak) berpengaruh buruk terhadap kesehatan dan panjang nya umur, sama halnya seperti menjadi miskin yang sebenarnya.
Tentu orang-orang tidak meninggal secara langsung akibat terkena sindrom “aku merasa miskin”. Namun, kesenjangan dan kesehatan itu terhubung melalui sejumlah kondisi spesifik, terutama kondisi yang berhubungan dengan level stres yang tinggi. Wajar jika saja seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi itu merasakan stres yang lebih. Tetapi apakah kamu tahu bahwa terdapat korelasi antara tingkat stres dan status sosial yang rendah? Banyak studi telah mengonfirmasi hubungan dari dua hal ini.
Salah satu studi pernah dilaksanakan dengan monyet laboratorium di Wake Forest University. Pertama, para peneliti mengonfirmasi bahwa monyet-monyet yang status dominasinya berada di bawah memiliki tingkat hormon stres dan tingkat inflamasi yang lebih tinggi. Kemudian, para peneliti menyingkirkan semua monyet dengan status dominasi yang lebih tinggi dari kelompok. Hasilnya, monyet-monyet yang awalnya status dominasinya berada di tengah mengalami penurunan tingkat stres; hanya dengan meningkatnya status sosial, kesehatan mereka membaik. Klik di sini untuk membaca lebih lanjut tentang penelitian tersebut.
Betul bahwa manusia tidak memiliki hierarki dominasi yang sama dengan monyet, akan tetapi kita juga memiliki banyak struktur hierarki lain. Dan sama seperti monyet, kita mengalami stress yang lebih tinggi saat kita menganggap diri kita berada di posisi yang lebih rendah. Teori ini dapat membantu menjelaskan mengapa orang yang tergolong dalam kelas menengah dan hidup di Singapura, salah satu negara yang mempunyai tingkat kesenjangan tinggi, memiliki kondisi kesehatan yang lebih buruk jika dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah yang tinggal di Finlandia, sebuah negara dengan tingkat kesenjangan yang rendah. Semakin seimbang sebuah masyarakat, semakin sehat pula para penghuninya.
Kesenjangan dalam Kekuasaan, Kekayaan, dan Status Mendistorsi Persepsi Kita tentang Realitas
Kecenderungan untuk melihat pola-pola tertentu dalam hal-hal yang acak disebut dengan pareidolia, dan ini lebih sering terjadi kepada orang-orang yang menganggap diri mereka memiliki status rendah. Mengapa? Karena mereka yang berada di bawah cenderung merasa tak berdaya. Mereka merasa mempunyai lebih sedikit kendali atas hidup dan pekerjaan mereka dibandingkan dengan mereka yang berada di puncak. Bagi mereka, keteraturan dari pola-pola tertentu itu memberikan rasa nyaman dan tenang di dunia yang semakin berada di luar kendali mereka.
Jennifer Whitson dan Adam Galinsky (dua pakar psikologi) telah menguji hubungan antara ketidakberdayaan (powerlessness) dengan pareidolia dalam beberapa percobaan. Dalam salah satu percobaannya, mereka bertanya kepada separuh peserta untuk mengingat sebuah cerita yang mendetail tentang saat mereka sedang merasa memegang kendali dalam hidup dan separuh peserta lainnya diminta untuk mengingat waktu di mana mereka merasa tak punya kendali atas hidup. Setelah itu, semua peserta diperlihatkan dengan gambar-gambar acak tak beraturan, dan mereka diberitahu bahwa beberapa di antara gambar tersebut mengandung sebuah gambar tersembunyi, yang pada kenyataannya tidaklah benar. Mereka yang telah menceritakan tentang momen powerless dalam hidupnya 3 kali lipat lebih “peka” dengan gambar tersembunyi, yang sebenarnya tidak ada, dibandingkan dengan mereka yang bercerita tentang memegang kendali atas hidup. Bahkan rasa tidak berdaya yang sesaat saja dapat membuat mereka menemukan makna di antara hal-hal yang tak bermakna.
Ketika peneliti yang sama menggunakan metode serupa untuk menguji hubungan antara powerlessness dan teori konspirasi, mereka mendapatkan hasil yang mirip. Peserta yang melihat diri mereka sebagai seorang yang tak berdaya lebih cenderung percaya dengan teori- teori konspirasi dibandingkan dengan mereka yang merasa berdaya. Tak mengherankan jika banyak dari masyarakat di zaman ini semakin percaya dengan teori-teori konspirasi.
Kesenjangan Merusak Kinerja dari Tempat Kerja dan Memperparah Rasa Ketidakpuasan
Orang pada umumnya akan mengalami kesenjangan secara langsung dengan frekuensi yang cukup tinggi di lingkungan kerja. Walaupun sebagian besar perusahaan di Silicon Valley memiliki struktur organisasi yang relatif “datar”, lingkungan kerja tetap saja diatur dalam sebuah hierarki. Kamu mungkin pernah diberi tahu bahwa hierarki merupakan hal yang baik karena ia menciptakan insentif bagi karyawan. Tanpa adanya “tangga” untuk dipanjat, tanpa adanya jumlah pendapatan yang lebih besar untuk diidamkan, kita akan menjadi malas dan tidak produktif. Sayangnya, data menceritakan kisah lain. Meskipun kesenjangan gaji dapat menjadi sesuatu yang memotivasi, ia juga dapat melahirkan kebencian. Hari ini kesenjangan gaji nampak begitu ekstrim sehingga yang muncul justru demotivasi alih-alih menginspirasi. Jauh dari meningkatkan produktivitas, perbedaan gaji yang semakin meningkat membuat kondisi semakin buruk.
Mari kita lihat bagaimana kesenjangan merusak salah satu tempat kerja yang paling dicintai di Amerika: Major League Baseball. Seorang ekonom, Matt Bloom, menganalisis catatan dari setiap tim baseball dalam jangka waktu 8 tahun. Jika kamu percaya bahwa kesenjangan gaji menghasilkan performa yang lebih baik, maka tim dengan perbedaan gaji yang paling tinggi antar pemainnya akan memenangkan lebih banyak pertandingan. Namun fakta berkata sebaliknya. Tim-tim dengan kesenjangan tertinggi, di mana hanya sejumlah kecil pemain top saja yang digaji dengan nilai fantastis, bermain lebih buruk. Tak hanya itu, pemain top pun berpenampilan lebih buruk saat mereka berada dalam tim yang tinggi kesenjangannya. Distribusi gaji yang lebih merata justru mendorong semangat juang para pemain sampai-sampai para pemain top pun dapat bermain lebih baik ketika gaji mereka selaras dengan teman seperjuangan mereka.
Di samping bekerja dengan buruk, orang-orang dalam lingkungan kerja yang tak setara juga lebih banyak mengalami kegelisahan (anxiety). Ya, kita sedang berbicara tentang karyawan dari CEO yang gila kerja. Menurut data empiris, pekerja yang merasakan paling banyak stres bukanlah seorang “high achievers” yang ada di puncak rantai makanan, akan tetapi yang mengikuti perintah mereka pada level menengah dan dasar. Di saat gaji dari para pekerja biasa ini mandek di situ-situ saja, gaji dari para eksekutifnya melonjak menembus atap. Di situasi ini sebagian besar pekerja akan mengalami level stres yang tinggi dan gagal untuk bekerja dengan kapasitas penuhnya.
Ada Beberapa Hal yang Bisa Kita Lakukan untuk Memitigasi Efek Negatif dari Hidup dengan Kesenjangan
Walaupun sejauh ini hal yang kita diskusikan terdengar suram, percayalah masih ada harapan! Ada dua hal utama yang bisa lakukan untuk melawan kesenjangan. Pertama, mengurangi kesenjangan itu sendiri. Kedua, kerahkan lebih banyak kendali pada cara kita membandingkan diri kita dengan orang lain.
Untuk meraih goal yang pertama, kita perlu melakukan perubahan politik secara besar-besaran. Ini meliputi kegiatan seperti berorganisasi, melakukan voting, dan memberi tekanan kepada DPR dan anggota parlemen untuk menciptakan kebijakan baru yang mempunyai semangat redistribusi kekayaan yang tak hanya akan menaikkan derajat dari mereka yang berada di dasar dari anak tangga, tetapi juga menurunkan posisi mereka yang berada di puncak. Tentunya ini merupakan proyek jangka panjang.
Dalam jangka pendek, kamu dapat belajar untuk menyadari ketika kamu berada pada mode membandingkan diri dengan orang lain dan secara sadar memutuskan untuk memilih perbandingan dengan lebih bijak. Apa maksudnya? Alih-alih terlalu fokus pada apa yang tidak kamu miliki, coba fokus dengan apa yang kamu miliki. Atau cobalah ganti pembanding; alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, bandingkan dirimu yang sekarang dengan dirimu di masa lalu. Temukan aspek yang lebih baik pada dirimu hari ini dengan dirimu lima tahun yang lalu? Apa yang masih kurang dan perlu ditingkatkan?
Perubahan lain yang dapat kamu lakukan adalah perubahan konteks. Kita cenderung membandingkan diri dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Jika lingkungan sosial mu yang sekarang membuat diri mu merasa inferior, cari saja yang baru. Menurut penulis, metode lain yang paling efektif untuk merubah konteks adalah meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang benar-benar kamu hargai dalam hidup. Tulis jawabanmu. Apakah beberapa hal diantaranya masih terkait dengan memanjat tangga sosial? Mungkin tidak. Memikirkan apa yang benar-benar berarti untuk kita merupakan obat dari penyakit membandingkan diri demi mengetahui seberapa berharganya diri kita. Sesampainya kita di sana, kita mungkin akan lebih siap untuk menjawab pertanyaan “apakah kamu menghasilkan uang yang cukup?”.
Add a comment