Tanaman pot yang kamu letakkan di bibir jendela kamarmu mungkin terlihat indah, pasif dan tak berdosa. Namun, layaknya manusia, mereka juga mempunyai cara-cara cerdiknya sendiri untuk bisa bertahan hidup hingga sekarang. Dan sadar atau tidak, manusia memainkan peranan penting dalam strategi bertahan hidup dari tanaman.
Manusia Mendapatkan Manfaat Dari Tanaman, Begitupun Sebaliknya
Saat kamu duduk di bangku sekolah, gurumu mungkin pernah bercerita tentang bagaimana burung-burung, lebah, serta berbagai jenis serangga lainnya ikut membantu tanaman dalam menyebarkan serbuk sari yang merupakan bagian vital dari proses reproduksi. Namun apakah kamu tahu bahwa tanaman juga memanfaatkan manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup dari generasinya?
Manusia sering berpikir bahwa dirinya adalah subjek, yakni pihak yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan memegang kendali atas hal-hal yang ada di sekitarnya. Sementara kita menganggap tanaman sebagai objek, yang mana keberadaan tanaman hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semata. Lagi pula, manusia juga kan yang memilih biji dari tanaman mana saja yang akan ditanamkan. Tapi apakah kamu pernah berpikir bahwa hal yang terjadi justru sebaliknya? Tanaman bertindak sebagai subjek yang mempengaruhi manusia untuk bertindak memenuhi keperluan pribadinya. Sebab mereka sebenarnya tahu bahwa manusia juga membutuhkan makanan untuk bisa bertahan hidup; tanaman berusaha untuk mengincar titik terlemah dari manusia.
Kita bisa coba amati kehidupan dari para petani penanam apel. Dengan memberikan insentif berupa makanan kepada manusia dalam bentuk buah apel yang manis, mereka sebenarnya sedang mempekerjakan manusia untuk menanam pohon-pohon apel generasi berikutnya agar keberlangsungan hidupnya dapat dipastikan. Menurut penulis, manusia memiliki kecanduan terhadap 4 hal yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman di antaranya: kecanduan akan rasa manis, kecantikan, kendali dan intoksikasi. Banyak tanaman yang telah dijinakkan dapat memuaskan salah satu dari 4 hasrat tersebut. Mengapa tanaman melakukan hal ini? Mereka tak memiliki kemampuan untuk bergerak dan menyebarkan bijinya, sehingga inilah salah satu strategi yang sangat mungkin untuk dilakukan. Manisnya buah apel menjadi pemicu yang tepat untuk membuat manusia terpengaruh dan memperjuangkan kehidupan dari apel itu sendiri.
Johnny Appleseed Membawa Apel dan Sider Ke Perbatasan Amerika
Sebenarnya hanya ada satu jenis apel yang merupakan tanaman asli dari Amerika Utara, yakni pohon crabapple yang hampir tak bisa dimakan. Para penjajah sempat mencoba untuk menanam apel Eropa di tanah Amerika, namun sebagian besar dari jenis apel yang mereka bawa tak tahan dengan cuaca baru yang cukup berbeda. Perlu kalian ketahui bahwa pohon apel orchard yang sering kalian lihat di daratan Amerika Utara hingga saat ini merupakan hasil kerja keras dari seseorang, yakni John Chapman yang juga dikenal sebagai Johnny Appleseed. Bagaimana beliau melakukannya?
John Chapman menyadari bahwa tiap biji apel mengandung kombinasi gen; jika ia bisa menanam cukup banyak biji apel yang berbeda, sangat memungkinkan jika beberapa dari
mereka akan tumbuh dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Jadi, di sekitar tahun 1800-an, Chapman mengumpulkan dan menanam biji-biji apel ini secara masif dan mendirikan banyak tempat pembibitan di sepanjang perbatasan sebelah barat. Di tahun 1845 beliau meninggal dunia, namun beliau telah meninggalkan lahan seluas 1200 hektar yang berisi berjuta-juta pohon apel untuk Amerika Serikat. Berkat kerja kerasnya, pohon apel bisa ditemukan dengan mudah di Amerika Utara.
Beliau berhasil meraih kesuksesan berkat prediksi nya yang tepat mengenai kemana perbatasan dari Amerika Utara akan melebar selanjutnya mengingat hukum saat itu mewajibkan para pendatang baru (settler) untuk menanamkan setidaknya 50 pohon apel atau pir di daerah yang belum pernah “dijamah”. Chapman berusaha untuk datang ke daerah-daerah tersebut lebih awal untuk menanamkan pohon apelnya agar bisa dijual kepada para settlers. Berkat kondisi hukum yang mendukung langkah strategisnya, beliau menghasilkan banyak uang dari bisnis ini. Selain itu, gula merupakan salah satu komoditas mewah yang tak bisa dibeli oleh banyak orang Amerika di abad ke-19. Secara otomatis, apel menjadi pilihan alternatif sebagai makanan dengan rasa manis alami yang juga bisa diolah menjadi sider.
Sekarang, Ragam Jenis dari Apel Sudah Sangat Berkurang Karena Manusia Hanya Menginginkan Dua Hal dari Apel: Rasa Manis dan Bentuk Yang Indah
Di jaman dulu, saat kamu mengunjungi sebuah supermarket di Amerika, kamu akan menemukan ribuan jenis apel yang berbeda, tak seperti sekarang. Apa yang terjadi? Sebenarnya varietas apel tersebut masih bisa ditemukan di tempat seperti Plant Genetic Resources Unit (PGRU) yang terletak di Geneva, New York. PGRU didirikan sebagai upaya dari Departemen Agrikultur AS untuk mengumpulkan dan melestarikan berbagai jenis buah dan sayuran, termasuk 2,500 jenis apel orchard. Semakin banyak gen-gen apel yang bisa dijaga keberlangsungannya, maka semakin banyak pula jenis perlindungan alami yang bisa digunakan untuk membantu apel melawan penyakit dan hama di masa mendatang.
Sayangnya permintaan pasar untuk apel di saat ini sangat terpusat pada dua karakter, yakni: rasa manis dan bentuknya yang indah. Inilah yang membuat jenis apel menjadi sangat terbatas di pasar. Kita menganggap bahwa apel yang didambakan banyak orang harus memiliki warna merah sempurna dengan bentuk yang menarik dan berasa manis seperti gula. Di zaman dulu, untuk menemukan apel yang mempunyai sedikit rasa manis cukuplah sulit. Namun, keberadaan gula yang sudah merata membuat manisnya apel terasa hambar jika dibandingkan dengan jajan dan makanan yang mengandung banyak gula di supermarket. Inilah yang membuat rakyat Amerika tak lagi mensyukuri rasa manis ringan yang diberikan oleh apel. Karenanya, jenis apel yang dulu beragam mengerucut menjadi dua macam saja, yakni Red dan Golden Delicious.
Keindahan Bunga Dapat Menarik Perhatian Kita dan Bahkan Mengganggu Kehidupan Kita
Apa yang membuat bunga begitu berarti bagi kita? Kita tak bisa mengonsumsi bunga layaknya apel, namun saat kita ingin memberi kejutan kepada pasangan, kita memilih untuk memberinya setangkai bunga mawar alih-alih menghadiahinya sekeranjang buah apel. Kalau bukan karena obsesi manusia terhadap keindahan bentuknya, apa lagi? Mengagumi keindahan bunga adalah hal yang natural. Bahkan saat seseorang tak mampu melihat keindahan dari setangkai bunga, seorang psikiater dapat menilai bahwa ia sedang menunjukkan tanda-tanda depresi klinis.
Banyak budaya yang ada di dalam sejarah juga melihat bunga sebagai perwujudan dari keindahan itu sendiri. Orang Mesir selalu memastikan bahwa mereka yang meninggal harus membawa bunga bersama mereka sebagai teman di perjalanan terakhirnya. Sangat mungkin juga bahwa perhatian nenek moyang kita terhadap bunga mempunyai hubungan erat terhadap kemampuan mereka untuk bertahan hidup. Saat nenek moyang melihat bunga-bunga yang mulai bermekaran, saat itu juga mereka tahu bahwa tanaman akan mulai berbuah yang membuat mereka mampu untuk bertahan hidup sampai ke tahun selanjutnya.
Bunga juga pernah membuat manusia menggila dan bahkan menumbangkan ekonomi dari negara Belanda; kejadian ini dikenal dengan “Tulipmania”. Di tahun 1634, harga dari tulip di Belanda meningkat dengan tajam; saking banyaknya permintaan, transaksi jual beli tulip dilakukan dengan menggunakan promissory notes yang merupakan surat bukti yang memastikan bahwa pembeli akan mendapatkan pengiriman tulip dengan jenis tertentu di satu tanggal tertentu. Saat peraturan ini diberlakukan, orang-orang mulai memperlakukan notes layaknya mata uang. Beberapa dari mereka juga mennginvestasikan seluruh simpanannya untuk melakukan trading tulip.
Puncak dari kegilaan ini bisa dilihat dari harga setangkai bunga tulip, bernama Semper Augustus, yang tak jauh berbeda dengan harga rumah termahal yang berlokasi di tepi kanal kota Amsterdam. Akan tetapi di tahun 1637, euforia dari masyarakat akan bunga tulip mulai mereda dan gelembung harga tinggi mulai meletus. Ketika lelang tulip diadakan, orang- orang menolak untuk membelinya. Banyak orang yang hidupnya hancur karena mereka membeli tulip di saat harga mahal, sementara harga jualnya di tahun 1637 telah menurun drastis.
Ganja Memuaskan Hasrat Kita Akan Intoksikasi
Walaupun konsumsi ganja sudah dilarang di banyak negara dan bahkan dikenakan sanksi berat saat kita melanggarnya, tetapi masih ada saja beberapa dari kita yang tak mau melepaskan diri darinya. Kira-kira apa alasannya? Menurut penulis, manusia memiliki hasrat yang cukup mendalam untuk mengubah alam sadarnya (state of consciousness). Ini juga terlihat pada perilaku anak-anak yang sangat suka berputar-putar hingga kepalanya pusing. Beberapa tanaman dapat membawa kita untuk mencapai alam sadar itu, seakan kita lupa dengan masalah yang ada dalam hidup.
Perlu diketahui bahwa tiap budaya memiliki tanaman-tanaman psikoaktif pengubah persepsinya sendiri, dan ganja adalah salah satu tanaman yang dapat memuaskan manusia akan hasrat intoksikasinya. Ganja dapat meringankan rasa sakit pada fisik maupun mental serta mampu memunculkan suasana hati yang gembira untuk sesaat. Para pengguna juga merasa bahwa tiap momen yang dilalui terasa lebih intens, seakan mereka baru merasakan pengalaman-pengalaman ini untuk pertama kali. Jika diteruskan, hal ini bisa mengakibatkan munculnya paranoia dan perilaku aneh, tetapi ini juga bisa memicu keluarnya kreativitas.
Sebelum tahun 1980-an, kebanyakan ganja dibudidayakan di luar ruangan. Namun pemerintah di seluruh dunia semakin gencar dalam melakukan perlawanan terhadap penggunaan ganja. Maka dari itu, pembudidaya mulai menanamnya di dalam ruangan. Mereka mencoba untuk menciptakan sebuah lingkungan yang disesuaikan dengan habitat alami dari ganja dengan cara memanipulasi 5 faktor pertumbuhan, diantaranya: nutrisi, cahaya, air, suhu, dan tingkat karbon dioksida (CO2) dalam ruangan. Seiring dengan proses trial and error yang mereka lakukan, mereka menemukan cara yang tepat untuk meningkatkan komposisi THC (Tetrahydrocannabinol), yang merupakan komponen psikoaktif utama dari ganja, dari 2-3% menjadi 15-20%.
Penelitian Terhadap Ganja Memberikan Lebih Banyak Informasi Mengenai Otak Manusia
Apakah kamu pernah bertanya-tanya bagaimana bisa manusia mengetahui bahwa ganja memiliki efek intoksikasi? Kita justru menyadari efek dari ganja saat memperhatikan perilaku dari burung merpati; mereka mempunyai kebiasaan untuk mengudap tanaman- tanaman ganja, dan setelahnya merpati akan berperilaku janggal layaknya seseorang yang sedang mabuk.
Di tahun 1930-an, dokter meresepkan ganja untuk mengobati rasa sakit dan mual. Namun semakin hari keberadaan ganja semakin populer, keadaan ini mendesak para peneliti untuk mencari tahu apa efek yang ditimbulkan oleh ganja terhadap otak manusia. Di tahun 1960- an, peneliti menemukan properti psikoaktif dari ganja yang bernama delta-9- tetrahydrocannabinol. Kemudian di tahun 1988, seorang ahli farmakologi bernama Allyn Howlett membuktikan bahwa terdapat jaringan neuron di otak kita yang sangat reseptif terhadap THC. Pada saat itu, ahli saraf sudah mengetahui bahwa otak memiliki berbagai macam jaringan syaraf khusus yang bisa berinteraksi dengan “feel-good” chemicals (senyawa kimia dalam otak yang memunculkan rasa senang) seperti endorfin, dopamin, dan serotonin. Namun, penemuan Allyn Howlett cukup mengejutkan dunia science bahwa otak juga memiliki reseptor khusus untuk senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan seperti THC.
Penemuan mengejutkan lainnya terjadi di sekitar tahun 1990-an oleh seorang ahli kimia organik bernama Raphael Mechoulam; dia menemukan bahwa otak juga memproduksi senyawa yang mirip dengan THC yang kemudian ia beri nama anandamide. Nama ini beliau pinjam dari Bahasa Sanskerta yang berarti “inner bliss” (kebahagiaan batin). Ini menandakan bahwa otak memiliki sebuah reseptor yang tak hanya mampu berinteraksi dengan senyawa cannabinoid yang diproduksi tumbuhan, tetapi juga senyawa cannabinoid yang diproduksi oleh otak itu sendiri. Fungsi dari jaringan cannabinoid dalam otak ini masih diteliti; namun diduga, jaringan tersebut berfungsi sebagai pereda rasa sakit sekaligus menangani kehilangan ingatan jangka pendek yang dialami oleh seorang ibu saat melahirkan. Teori ini sangat mungkin karena reseptorcannabinoid juga ditemukan pada rahim. Kemungkinan lainnya adalah jaringan ini membantu kita untuk melewati masa-masa membosankan dari hidup kita. Ini semua masih dalam tahap penelitian.
Kentang Memuaskan Hasrat Manusia Akan Kendali
Mungkin beberapa dari kalian sering menganggap kentang sebagai makanan yang membosankan dengan rasa yang relatif hambar tanpa bumbu tambahan. Tapi sejarah membuktikan bahwa kentang juga mempunyai peran penting dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia. Sebelum adanya kentang, banyak orang mengalami
malnutrisi dan kelaparan, terutama untuk mereka yang tinggal di negara-negara Eropa bagian utara. Namun kedatangan kentang di abad ke-16 mulai mengubah hidup mereka. Dengan sebidang tanah kecil, masyarakat dapat menanam kentang yang menjadi sumber makanan untuk keluarga. Adanya kentang membebaskan mereka dari ketergantungan terhadap roti yang dijual di pasar. Cukup dengan kentang dan susu, kebutuhan nutrisi mereka dapat terpenuhi. Malnutrisi dan kelaparan di Eropa Utara dapat diakhiri, dan berkat kentang juga, pusat kekuasaan mulai bergeser dari Eropa Selatan menuju ke Utara. Sungguh menakjubkan.
Kisah manusia dengan kentang tak berhenti di situ saja. Kita bahkan sangat terobsesi untuk mengendalikan kentang dengan melakukan modifikasi genetika terhadapnya. Keinginan untuk memodifikasi gen ini berawal dari kentang yang mudah sekali mati akibat hama Kumbang Kentang Colorado (Colorado Potato Beatle) yang suka mengonsumsi dedaunan pohon kentang. Untuk mencegah terjadinya hal ini, Monsanto (sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agrokimia dan bioteknologi asal Amerika) melakukan rekayasa genetika terhadap kentang agar mampu menghasilkan daun yang mengeluarkan racun saat dikonsumsi oleh Kumbang Kentang Colorado.
Kurang lebih terdapat 50 juta hektar tanah di Amerika yang ditanami organisme hasil rekayasa genetika (GMO). Apakah perusahaan telah bertindak terlalu di luar batas dengan tanaman GMO nya? Bisa jadi. Karena efek samping dari mengonsumsi tanaman hasil rekayasa genetika dan efeknya terhadap lingkungan sendiri masih belum diketahui. Masih banyak juga masyarakat yang meragukan keamanan dari makanan hasil GMO. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keinginan yang besar untuk mengatur segala hal.
Add a comment