Kita sering menganggap diri kita sebagai seseorang yang rasional. Namun menurut penulis, manusia cenderung tidak begitu rasional dan kerap kali plin-plan dalam membuat keputusan. Suka atau tidak, otak kita begitu penuh dengan cara-cara pintas dan aturan praktis (rule of thumb) yang membantu nenek moyang kita untuk menghindarkan diri dari menjadi santapan seekor singa. Mereka perlu meneruskan pengalaman dan sifat-sifat tersebut ke anak dan cucu mereka agar dapat bertahan hidup di hari-hari mendatang. Akan tetapi akhir-akhir ini, cara-cara pintas tersebut telah mendatangkan banyak bias dan kekeliruan yang justru melukai kita alih- alih membantu kita.
Kita Terlalu Melibih-Lebihkan Kemampuan Kita pada Banyak Aspek Hidup
Apakah kamu mempunyai gambaran yang realistis tentang kemampuan dirimu sendiri? Penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan dari kita terlalu percaya diri dalam menjalani banyak aspek kehidupan.
Contohnya, penelitian menunjukkan bahwa 84% dari orang Perancis menganggap diri mereka sebagai pecinta di atas rata-rata (above-average lovers), atau dengan istilah anak zaman sekarang “bucin maksimal”. Namun nyatanya, hanya 50% dari mereka yang bisa dikategorikan sebagai “di atas rata-rata”. Mirip dengan kasus di atas, 93% dari murid-murid di AS menganggap diri mereka sebagai pengemudi “di atas rata-rata”, padahal kenyataan berkata sebaliknya. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari kita menilai kemampuan kita sendiri lebih dari yang sebenarnya.
Para peneliti menguji hipotesis ini dengan meminta sekelompok subjek untuk melakukan sebuah tes kepribadian; kemudian para penguji memberikan skor-skor tertentu kepada para peserta yang berbeda dari hasil sebenarnya. Setelah melakukan dan mengetahui hasil dari tes, para peserta pun diwawancarai. Peneliti menemukan bahwa mereka yang memiliki skor “bagus” percaya bahwa hasil tes tersebut mencerminkan kemampuan dan kepribadian mereka yang sebenarnya sehingga menganggap tes tersebut sebagai metode pengukuran yang valid. Sementara, mereka yang menerima skor “buruk”, menganggap bahwa metode ini tak berguna.
Pernahkah kamu memiliki pengalaman yang serupa? Jika kamu mendapatkan nilai A pada ujian sekolah misalkan, kamu mungkin merasa bahwa kamu berhasil berkat usahamu sendiri. Dan saat gagal, kamu berpendapat bahwa itu bukan salahmu serta menganggap ada ketidak-adilan atau ketidakwajaran dalam ujian tersebut.
Dengan mengetahui ini, kamu seharusnya sadar akan kecenderungan kita untuk melebih- lebihkan pengetahuan kita dan menganggap keberhasilan datang secara murni berkat kemampuan kita. Untuk mengatasi “penghalang” semacam ini, kamu dapat mengundang seorang temanmu yang jujur untuk ngobrol, minum kopi bersama, dan meminta pendapat jujurnya atas kelebihan dan kekuranganmu.
Hal-Hal yang Bisa Kita Kendalikan dan Prediski itu Hanya Sedikit
Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa orang-orang di kasino melempar dadunya lebih kencang saat mereka ingin mendapatkan angka yang lebih tinggi, dan melemparnya pelan- pelan saat menginginkan angka kecil untuk memenangkan pertandingan? Para penjudi menderita dari apa yang disebut dengan ilusi kendali (illusion of control): sebuah kepercayaan bahwa kita dapat memengaruhi hal-hal yang pada faktanya tidak dapat kita kendalikan. Ilusi kendali ini memberikan kita harapan: kita percaya bahwa kita dapat menerapkan semacam kendali pada situasi yang dialami, sehingga kita dapat memikul berbagai macam kesulitan dalam kehidupan.
Ini ditunjukkan dalam sebuah studi yang mana para subjeknya ditempatkan di sebuah stan untuk menguji tingkat sensitivitas akustik mereka. Mengejutkannya, para subjek dapat menghadapi lebih banyak suara berisik jika stan tersebut dilengkapi dengan tombol panik berwarna merah. Padahal tombol tersebut tak memiliki fungsi sama sekali. Para peserta hanya berilusi bahwa mereka memiliki kendali atas situasi sehingga mereka mampu menahan lebih banyak rasa sakit. Jadi menurut penulis, akan cukup masuk akal jika tombol-tombol plasebo serupa dipasangkan di berbagai macam area dan situasi dalam rangka menciptakan sebuah ilusi akan rasa kendali yang dirasa membawa manfaat.
Contohnya: Sebagian besar tombol-tombol yang kamu pencet di penyeberangan jalan tak mempunyai fungsi apapun selain memberikan rasa bahwa kita dapat memengaruhi situasi. Tombol tersebut membuat lebih mudah bagi kita untuk menunggu hingga warna lampu berubah menjadi hijau. Hal yang sama diterapkan pada tombol buka dan tutup dari beberapa lift yang sebenarnya tek terhubung sama sekali ke panel-panel listriknya.
Lebih dari itu, selain memiliki lebih sedikit pengaruh dari yang kita bayangkan, kita juga terlalu percaya diri dengan kemampuan kita untuk membuat prediksi. Terdapat sebuah studi 10 tahun yang mengevaluasi 28.361 prediksi yang dibuat oleh 284 orang yang mengakui dirinya sebagai profesional dalam bidang tertentu seperti ekonomi. Prediksi dari para ahli ini tak jauh lebih baik dari prediksi yang dibuat oleh mesin pembuat prediksi acak.
Maka dari itu, akan lebih baik untuk menyikapi sebuah prediksi dengan kritis dan memfokuskan energi pada sedikit hal yang kamu anggap benar-benar penting dan dapat kamu kendalikan.
Kita Cenderung Mengikuti apa yang Kelompok Kita Lakukan
Ketika seorang pemain instrumen musik solo berhasil mempersembahkan penampilan yang memukau, tak jarang bagi seorang penonton untuk berdiri dan memberikan tepuk tangannya, dan kemudian penonton di sekelilingnya mengikuti apa yang dilakukannya. Mengapa? Ini disebabkan oleh sebuah fenomena sosial yang disebut dengan social proof (bukti sosial) yang membuat kita merasa bahwa kita telah berperilaku dengan benar saat perilaku tersebut sama dengan orang lain. Bahkan, social proof sudah mengakar pada gen dari nenek moyang kita yang menirukan perilaku orang lain untuk memastikan keberlangsungan hidupnya.
Bayangkan kamu sedang berpergian dengan kawan-kawan pemburu peramu (hunter-gatherer). Namun tiba-tiba saja mereka mulai berlari dengan kencangnya. Jika kamu memutuskan untuk bertindak secara individual dengan berdiam diri untuk mengamati apakah benar mahluk yang sedang mengintaimu adalah seekor singa, maka kamu akan berujung menjadi santapan siang singa tersebut, dan akhirnya keberlangsungan keturunanmu berhenti di situ saja. Namun jika kamu mengikuti kelompokmu tanpa keraguan, maka kamu akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bertahan hingga hari berikutnya. Semenjak mengikuti perilaku kelompok merupakan strategi bertahan hidup yang baik untuk nenek moyang kita, kebiasaan tersebut masih tertanam pada diri kita hingga hari ini.
Salah satu konsekuensi buruk dari adanya insting kelompok (herd instinct) adalah semakin banyak orang mengikuti sebuah ide, semakin percaya anggotanya terhadap kebenaran dari ide tersebut. Kita melihat contoh nyata dari perilaku ini di mana-mana: mulai dari fashion, pola makan, dan pola harga saham yang berujung dengan kepanikan.
Lebih dari itu, kita tak hanya melakukan hal-hal yang sama dengan kelompok di mana kita berada; kita juga mengubah opini pribadi kita dalam rangka mempertahankan keanggotaan kita dalam sebuah kelompok. Jenis social proof semacam ini disebut dengan groupthink. Kita pun mungkin pernah mengalami momen di mana kita harus menggigit lidah kita dalam sebuah rapat karena kita tidak ingin menjadi seorang penentang (naysayer) yang menunjukkan kecacatan pada pendapat yang sudah diterima banyak orang dan berpotensi untuk menggoyahkan persatuan kelompok.
Kita Menafsirkan Informasi Sehingga Informasi Tersebut Sesuai dengan Kepercayaan Kita yang sudah Terbentuk
Apakah kamu menganggap dirimu sebagai seseorang penilai karakter yang baik? Atau dengan kata lain, apakah impresi pertamamu terhadap seseorang kerap kali benar setelah mengenal orang tersebut lebih jauh? Ada cukup banyak orang yang merasa seperti ini. Akan tetapi, kemungkinan besar kita merupakan korban dari confirmation bias (bias konfirmasi). Kita cenderung menafsirkan informasi baru dengan cara yang seakan mempertahankan kesimpulan kita yang sebelumnya. Begitu umumnya sampai-sampai bias ini mendapatkan gelar “ibu dari semua miskonsepsi”.
Salah satu contoh bias konfirmasi adalah ketika kita membaca dengan seksama analisa akan kejadian terkini dari situs berita atau blog favorit kita, namun melupakan fakta bahwa mungkin situs-situs tersebut menganut nilai-nilai yang sama dengan diri sendiri. Pengalaman semacam ini tentu semakin memperkuat keyakinan kita akan suatu hal. Selain itu, bias konfirmasi mendorong kita untuk hanya menerima informasi eksternal tentang diri kita yang sesuai dengan citra-diri yang kita percaya saat ini, sehingga secara tak sadar kita menyaring hal-hal lain.
Dengan mengetahui bahwa kita secara tak sadar dipengaruhi oleh bias konfirmasi, kita harus membiasakan diri untuk menemukan opini-opini dan bukti yang bertentangan dengan kepercayaan kita demi memperoleh pengetahuan (atau keyakinan) yang seimbang.
Kita Menentukan Nilai dari Sesuatu dengan Melakukan Perbandingan serta Melihat Tingkat Ketersediaannya
Pernahkah kamu pergi ke sebuah klub dengan seorang teman demi berkenalan dengan orang baru, akan tetapi tak ada satupun yang tertarik untuk berinterkasi dengan mu? Mengapa? Sederhana, mungkin temanmu berpenampilan lebih menarik dari pada kamu sehingga orang lain tak tertarik untuk sekedar berbicara denganmu. Ya, ternyata, kita tak begitu baik dalam membuat penilaian dari satu hal secara absolut, sehingga kita mengandalkan kemampuan kita dalam membanding-bandingkan.
Fenomena ini dapat disederhanakan dalam sebuah percobaan klasik yang melibatkan dua ember air: satu ember berisi air hangat dan ember lain diisi dengan air es. Jika kamu letakkan satu tangan ke dalam air dingin, dan kemudian kamu letakkan kedua tangan ke dalam air hangat, maka air hangat tersebut akan terasa sangat panas pada tangan yang telah kamu letakkan ke air dingin sebelumnya.
Peristiwa di atas merupakan hasil dari contrast-effect (efek kontras), dan itu alasannya mengapa penampilanmu dinilai mengecewakan saat kamu berdiri di sebelah temanmu yang berpenampilan super-duper menarik.
Contrast effect juga merupakan penyebab mengapa diskon menjadi sesuatu yang sering diterapkan pada bisnis. Contohnya, kita sering menganggap bahwa sebuah produk yang sudah dikurangi harganya dari Rp 100.000 menjadi Rp 70.000 mempunyai nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk yang harganya Rp 70.000 dari awal; padahal harga jual awal dari sebuah produk tak menentukan nilai sebenarnya dari produk tersebut.
Keadaan lain yang kerap membuat kita salah dalam menaksir nilai dari sesuatu adalah di saat kita menganggap terdapat kelangkaan di lingkungan sekitar. Fenomena ini telah dibuktikan kebenarannya pada sebuah tes yang melibatkan cookies. Dalam penelitian tersebut, subjek dibagi menjadi dua kelompok: di grup pertama, tiap orang menerima satu box cookies penuh, sementara di grup kedua, tiap orang hanya mendapatkan dua buah cookies. Kemudian masing- masing peserta diminta untuk menilai kualitas dari cookies tersebut. Grup yang menerima dua cookies per orangnya memberikan penilaian lebih baik terhadap cookies yang sama persis itu. Coba lihat penelitian tersebut lebih detil dengan klik link berikut.
Banyak bisnis yang memanfaatkan kelemahan kita dengan cara mendatangkan perasaan akan hadirnya kelangkaan dengan memanfaatkan kalimat-kalimat seperti “tersedia hanya hari ini” atau “selama persediaan masih ada” demi meningkatkan penjualan. Untuk menghindarkan diri dari jebakan bias perbandingan dan kelangkaan, kamu disarankan untuk menilai sesuatu melihat dari biaya dan manfaat yang kamu dapatkan (cost and benefit analysis). Dengan begitu, kamu akan mampu membuat keputusan yang lebih baik.
Kita Begitu Kecanduan dengan Cerita yang Menarik atau Penjelasan yang Unik
Apakah kamu sering kesulitan untuk mengingat lima barang pada daftar belanja yang baru saja kamu tuliskan 10 menit lalu, tetapi tak terkendala sama sekali dalam mengingat detil rumit dari plot film yang kamu saksikan di minggu lalu? Agar informasi dapat kita pahami dan ingat dengan mudah, informasi tersebut harus dirangkai menjadi sebuah cerita yang bermakna. Ini karena otak kita cenderung menolak detail-detail abstrak yang tampak tak beraturan. Kita dapat lihat fenomena ini tercermin pada media; sering kali fakta yang relevan dari sebuah peristiwa justru diabaikan untuk menghasilkan sebuah narasi yang “menghibur”.
Misalkan, jika sebuah mobil melewati jembatan yang tiba-tiba roboh, kita mungkin akan mendengar lebih banyak berita tentang pengemudi yang malang itu daripada detail-detail membosankan tentang konstruksi jembatan yang cacat. Fakta tentang pengemudi mampu menarik perhatian lebih banyak pembaca daripada informasi abstrak tentang bagaimana kecelakaan tersebut dapat dicegah. Outlet media cukup merefleksikan fenomena ini melalui berita yang dituliskannya.
Lebih dari itu, kita suka sekali dengan cerita yang eksotis dan menarik. Bahkan, kita akan cenderung lebih percaya kepada penjelasan yang eksotis dari pada yang membosankan, walaupun kemungkinan terjadinya penjelasan yang membosankan itu lebih tinggi.
Coba baca dan interpretasikan judul dari berita ini: “Seorang pria muda ditusuk dan terluka parah”. Dalam pikiranmu, apakah penyerang dari pria muda tersebut lebih mungkin seorang rakyat AS kelas menengah atau seorang imigran Rusia yang secara illegal mengimpor pisau- pisau tempur. Sebagian besar orang akan menebak orang kedua sebagai pelaku, Namun penilaian ini berlawanan dengan fakta bahwa terdapat jutaan lebih banyak rakyat Amerika kelas menengah daripada penyelundup pisau dari Rusia, sehingga kemungkinan pelaku ber-kewarganegaraan AS itu lebih tinggi. Sayangnya, kita cenderung tertarik terhadap penjelasan yang lebih “seru” sampai-sampai kita sering mengabaikan penjelasan-penjelasan yang lebih masuk akal dari sebuah cerita.
Perhatian Kita sangatlah Sempit dan Selektif
Ketika kita dihadapkan dengan arus informasi yang cukup intens dan panjang, kita cenderung menaruh perhatian pada informasi yang datang di bagian awal atau akhir, dan cenderung melewatkan informasi yang ada di bagian tengah.
Coba perhatikan pertanyaan ini: Kamu lebih memilih untuk terjebak di lift dengan siapa? Apakah dengan Allan yang pintar, ambisius, berpenampilan menarik, kritis dan pencemburu atau Ben yang pencemburu, kritis, berpenampilan menarik, ambisius dan pintar?
Ketika mendengar pertanyaan ini secara lisan, sebagian besar orang cenderung memilih Allan. Walaupun deskripsi dari kedua individu tersebut mirip, orang sering kali terkecoh dengan primacy effect yang menyebabkan kita untuk berfokus pada impresi pertama yang kemudian membentuk penilaian kita terhadap sesuatu secara menyeluruh.
Tetapi, jika impresi kita terbentuk pada bagian akhir dari sebuah informasi, maka kita tergolong sebagai kelompok yang terpengaruh oleh recency effect: semakin baru informasi yang kita terima, semakin baik kita mengingatnya. Contohnya, jika beberapa minggu lalu kamu mendengarkan sebuah pidato, maka kamu akan cenderung mengingat poin finalnya lebih baik di bandingkan dengan apa yang disampaikan beliau di awal atau tengah-tengah pidato.
Membuat Keputusan bisa Membuatmu Lelah, Terlebih Jika Kamu Dihadapkan dengan banyak Pilihan
Di dunia zaman sekarang, kita dihadapkan dengan pilihan produk dan gaya hidup yang sangat beragam. Entah itu tentang menemukan mobil yang sesuai atau universitas terbaik, kamu hampir selalu dibanjiri dengan pilihan. Kadang pilihan yang terlalu banyak ini justru menyulitkan kita; merasa kewalahan membuat kita tak mampu untuk memilh dan terkadang kita malah menyerah begitu saja.
Fenomena paradox of choice (paradoks pilihan) pernah diuji di sebuah supermarket di mana para peneliti mendirikan sebuah stan yang menyediakan berbagai sampel jeli agar orang-orang bisa mencobanya sebelum memutuskan untuk membelinya dengan harga diskon. Percobaan ini diadakan selama dua hari dengan 24 pilihan rasa di hari pertama, dan hanya 6 rasa di hari kedua. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka menjual 10 kali lebih banyak jeli pada hari kedua; ini membuktikan bahwa terdapat terlalu banyak pilihan dapat mencegah kemampuan pelanggan untuk memutuskan dan pada akhirnya mereka justru memilih untuk tak membeli apapun.
Studi yang mirip tentang memilih calon pasangan potensial melalui situs kencan online bahkan menunjukkan bahwa saat dihadapkan dengan banyak sekali calon partner yang berpotensi membuat otak laki-laki menggantungkan keputusannya pada satu dari banyak kriteria, yakni daya tarik fisik saja.
Lebih dari itu, penelitian menunjukkan bahwa decision-making (membuat keputusan) dapat menjadi sesuatu yang melelahkan, dan mendorong kita untuk merasakan decision fatigue (kelelahan dalam membuat keputusan).
Hal ini diuji oleh seorang psikolog yang memperlihatkan dua kelompok dengan beberapa barang konsumsi; kelompok pertama harus memilih barang mana saja yang mereka akan beli, sementara kelompok kedua hanya perlu menuliskan pendapat mereka tentang barang-barang tersebut. Segera setelah selesai, mereka diminta untuk merendam kedua telapak tangannya kedalam air dingin selama mungkin. Ternyata kelompok pertama dapat merendam tangannya dalam waktu yang jauh lebih pendek dari pada kelompok kedua. Hal ini mengindikasikan bahwa tekad dan kemampuan mengendalikan diri lebih cepat habis dengan pembuatan keputusan yang cukup intensif. Maka dari itu, untuk menghindarkan diri dari jebakan pembuatan keputusan ini, kamu perlu menyadari bahwa membuat keputusan yang sempurna itu tidak mungkin. Cobalah untuk mencintai membuat keputusan yang “baik”, alih-alih berjuang untuk membuat keputusan yang “terbaik”.
Perasaan Sering Mengendalikan Kita dalam Membuat Keputusan, Lebih dari yang Kita Pikirkan
Apakah kamu menganggap dirimu sebagai pembuat keputusan yang rasional? Mari kita coba lihat dari caramu menjawab pertanyaan berikut: apakah kamu cenderung setuju dengan makanan yang dimodifikasi secara genetika (genetically modified food)? Bagaimana caramu menjawab akan menjadi penentunya. Menurut penulis, metode yang benar-benar rasional adalah dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh genetically modified food:
Untuk alasan-alasan yang pro, kamu harus menilai mereka berdasarkan tingkat kepentingannya dan berikan skor yang sesuai. Kemudian untuk tiap skor dari alasan pro, kamu bisa mengalikannya dengan besarnya kemungkinan dari tiap alasan tersebut untuk terjadi (probability that those advantage will occur). Kemudian lakukan hal yang sama untuk setiap hal yang kontra. Jadilah skor penilaian kalian. Jumlahkan total nilai dari pro dan kemudian kurangkan dengan nilai kontranya; jika hasil akhirnya lebih besar dari pada nol, itu menandakan bahwa terdapat lebih banyak hal yang positif, dan kamu memiliki pandangan yang positif pula terhadap genetically modified food.
Tetapi sebagian besar orang merasa malas untuk mencurahkan waktu dan energi untuk membuat penilaian yang cermat semacam ini. Dengan kata lain, kita tidak benar-benar rasional dalam membuat keputusan. Ya, kita jarang sekali berpikir rasional; alih-alih kita bergantung pada jalan pintas yang biasanya dikendalikan oleh emosi.
Contohnya, saat kita mendengar kata “dimodifikasi secara gen” terkadang memicu keluarnya reaksi emosi positif atau negatif yang memengaruhi bagaimana kita menilai risiko dan manfaat yang dibawa oleh teknologi tersebut. Misalkan, jika penilaian awalmu mengatakan bahwa konsep GM food “mengerikan”, mungkin kamu akan menilai risiko, seperti bahaya lingkungan, membawa bahaya yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya, seperti tanaman yang tahan hama; padahal pandangan mu ini mungkin saja salah. Dengan cara ini, keputusan- keputusan yang kita buat sangat dibatasi oleh apa yang muncul di kepala kita pertama kali. Kita menjadi seperti boneka yang dikendalikan oleh perasaan kita. Kita seperti dicegah untuk membuat keputusan yang rasional.
Add a comment