Saat berada pada ujung dari kehidupan, kita pasti tak ingin merasa bahwa kita belum menjalankan hidup dengan sepenuhnya. Tetapi sayangnya perilaku kita berkata sebaliknya. Kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari “kebahagiaan”, pandangan kita fokus terkunci pada layar. Kita tak pernah benar-benar menikmati pengalaman yang ada di sini di saat ini (present moment). Padahal momen ini adalah satu-satunya hal yang kita punya. Jadi mengapa membiarkan diri kita terdistraksi alih-alih menghubungkan diri dengan tempat ini di saat ini?
Tak Ada yang Namanya Diri yang Terpisah
Terbuat dari apa sajakah setangkai bunga? Bagian yang jelas-jelas dapat dilihat adalah daun, batang, dan kelopak-kelopaknya yang tersusun dengan rapi. Namun setangkai bunga tak akan ada tanpa tanah sebagai tempatnya untuk bertumpu, hujan yang membawakannya air untuk bertumbuh, serta matahari yang memberikannya cahaya. Bahkan ruang dan waktu adalah bagian dari keberadaannya. Jika salah satu elemen non-bunga ini dihilangkan, eksistensi dari setangkai bunga adalah hal yang mustahil.
Begitupun manusia. Tubuhmu terbuat dari triliunan sel yang bekerja, udara yang kamu hirup, makanan yang kamu cerna, gen yang diturunkan oleh nenek moyang, pendidikan dan budaya yang membentuk sudut pandang serta jati dirimu sebenarnya. Menghapus salah satu saja dari elemen ini tak akan membuatmu menjadi kamu.
Manusia bukanlah entitas yang terpisah. Setiap manusia adalah interbeing (kombinasi dari berbagai macam elemen dari sumber daya yang keberadaannya melintasi ruang dan waktu). Tanda-tanda betapa terhubungnya kita dapat dilihat pada seorang anak. Tak hanya rupa, cara anak tersebut bertindak dan berbicara tak akan jauh berbeda dari orang tuanya. Begitupun sebaliknya; jejak-jejak dari seorang anak akan kamu temukan pada orang tuanya. Maka dari itu, seorang anak dan orang tuanya bukanlah diri yang terpisah. Keterhubungan mereka yang terlalu dalam membuat eksistensi yang berdiri sendiri dari masing-masing pihak menjadi tak logis.
Tak hanya gen kita yang menjadikan kita sebagai mahluk yang saling terhubung. Coba lihat kehidupan dari sang penulis. Thich Nhat Hanh tidak mempunyai anak kandung, tetapi jika kamu mengamati murid didiknya, terdapat kemiripan prinsip dan perilaku murid terhadap gurunya. Bahkan murid-murid yang hanya membaca buku beliau bisa meresapi jejak-jejak teladan dari beliau. Jika kamu membayangkan kehadiran nenek moyang atau guru-gurumu sembari melakukan aktivitas sehari-hari, kamu akan merasa terhubung dengan mereka. Mengingatkan dirimu bahwa kamu tidak sendiri dapat menjadi sumber ketenangan dan kenyamanan, tak peduli apapun keadaan yang sedang kamu lewati. Kamu adalah bagian dari dunia, dan dunia adalah bagian dari kamu.
Kamu Ada dan Akan Selalu Ada
Bayangkan, kamu sedang menatap awan-awan yang tertiup oleh angin. Setelah kamu mengalihkan tatapanmu untuk sesaat, awan-awan itu telah pergi entah kemana. Di situ kamu bertanya apakah awan-awan itu tak lagi ada. Padahal, awan-awan tadi tidak benar-benar hilang. Ia hanya berubah menjadi sesuatu yang lain, entah itu kabut atau hujan. Perumpamaan tadi selaras dengan hukum pertama termodinamika yang berbunyi: “energi tak dapat diciptakan atau dihancurkan – energi hanya dapat diubah bentuknya”.
Kelahiran dan kematian tak sepenuhnya mewakili bentuk utuh dari eksistensi. Sebelum kamu lahir, kamu ada di rahim ibumu. Sebelum kamu berada dalam rahim, elemen-elemen yang membentukmu dibawa oleh sperma dan telur dari sang ayah dan ibu. Elemen-elemen ini juga hadir pada kakek nenek serta nenek moyangmu. Ini menandakan bahwa kamu sudah ada semenjak dulu kala. Kamu hanya berubah dari bentuk satu ke bentuk lain hingga kamu menjadi dirimu yang sekarang.
Dengan cara yang sama, kamu akan tetap ada setelah kematian melanda. Walaupun banyak orang yang menganggap kematian sebagai sesuatu yang negatif, kematian hanyalah sebuah fase perubahan. Layaknya awan menjadi hujan, kematian memicu datangnya kehidupan-kehidupan baru. Menyadari bahwa kehidupanmu sebagai sebuah transformasi yang terjadi secara terus menerus dapat membantumu mengatasi rasa takut akan kematian. Karena dunia adalah sebuah permadani yang dirajut oleh benang-benang kehidupan yang berwarna.
Kedamaian Hadir dari Keheningan
Dahulu, nenek moyang kita mengasah kemampuan berlarinya agar mereka dapat menghindari bahaya dan berburu hewan untuk mengumpulkan cadangan makanan. Walaupun sebagian besar dari manusia tak perlu lagi berburu agar dapat bertahan hidup, dorongan untuk berburu masih saja tertanam dalam sel-sel kita. Yang berubah hanyalah target yang kita buru. Tak lagi mengejar satwa liar, sekarang kita mengejar uang, cinta, kesehatan dan memiliki keinginan untuk membantu orang lain.
Tetapi dalam upaya kita meraih target-target tersebut, kita mengabaikan keajaiban yang dikandung oleh masa kini karena mata kita terlalu fokus menatap masa depan. Kita beri tahu diri kita secara berulang bahwa ada hadiah yang menanti kita setelah semua kerja keras ini dilakukan. Kita anggap kebahagian ada di balik pencapaian dari target yang telah kita tetapkan. Namun menurut penulis, kebahagian ada pada saat ini juga. Dan jika kita berhenti berlari mengejarnya, kita dapat menikmatinya sekarang.
Jika kamu tak berhenti untuk mencari sesuatu yang tak kamu miliki, itu sama halnya dengan kamu tak memiliki kebebasan untuk merangkul betapa indahnya masa kini. Alih-alih merasakan kebahagiaan hidup, yang ada di sini dan pada saat ini, pikiranmu sibuk memikirkan rencana-rencana dan tugas-tugas yang tampak penting untuk dikerjakan. Berada pada kondisi yang terus menerus menginginkan untuk mencapai sesuatu menjauhkanmu dari rasa damai. Untuk membebaskan diri dari kondisi tersebut, coba praktikkan aimlessness: ini adalah sebuah keadaan di mana kamu melepaskan semua nafsu untuk mengejar objek, materi atau tujuan tertentu. Tanpa sebuah “tujuan” untuk dikejar, kamu akan merasakan keheningan dan dapat benar-benar hadir pada masa sekarang yang akan membawamu pada kedamaian.
Ketika kamu berada pada kondisi “aimlessness” (“tanpa tujuan”), kamu tak lagi dikendalikan oleh kegelisahan untuk mencapai sebuah target. Kamu akan menjadi lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Rasa kasih sayang dan pengertian menjadi hal yang memotivasimu untuk menjalani hidup. Hidupmu tak akan lagi dikendalikan oleh rasa takut atau keserakahan. Dengan menerapkan pola pikir ini, kamu dapat menyimpan energi yang bisa saja kamu habiskan untuk mengerjakan hal-hal yang berbau “kesibukan” dan mengelihkannya untuk menumbuhkan kebijaksanaan dan rasa kasih sayang yang dulu sempat hilang.
Ketidakkekalan Adalah Sebuah Anugerah
Filsuf kuno Yunani, Heraclitus, pernah berkata “Kamu tak akan pernah bisa berenang di sungai yang sama dua kali.” Apa maksudnya? Air sungai yang kamu renangi pertama kali sudah mengalir jauh sehingga kedua kalinya kamu berenang, airnya sudah berganti dengan yang baru. Sama halnya dengan dirimu, kamu hari ini tidak sama dengan kamu yang kemarin sebab sel-sel dalam tubuhmu telah mati dan digantikan dengan yang baru.
Dari perumpamaan di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa perubahan adalah sebuah kepastian. Namun manusia cenderung takut dengan perubahan. Kita pikir perubahan identik dengan waktu-waktu sulit. Kita lupa bahwa perubahan juga memiliki potensi untuk membawa kebahagiaan. Berkat perubahan, penyakit dapat disembuhkan dan penjajahan dapat dilawan. Saat mengalami masa-masa terburuk, kita dapat mencoba menenangkan diri dengan meyakini bahwa tak ada yang abadi di dunia ini.
Ketidakkekalan tak hanya berlaku pada benda-benda fisik, ia juga hadir pada pemikiran dan perasaan. Secara konstan, apa yang kita rasakan dan pikirkan akan selalu berubah. Ini juga berarti bahwa rasa sakit hati dan ketakutan tidaklah abadi. Dengan menyadari hal tersebut, kita akan dapat menghadapi munculnya perasaan-perasaan negatif itu dengan lebih berani. Jika kamu membayangkan sanubari sebagai sebuah taman, dan dirimu sebagai tukang kebunnya, kamu dapat memilih aspek-aspek dari dirimu yang ingin kamu tumbuhkan dan aspek lain yang ingin kamu tebang. Jika kamu rawat dengan sungguh-sungguh benih-benih kedamaian dan kebahagiaan, mereka akan tumbuh dan senantiasa hadir di dalam hidupmu.
Tanpa perubahan, tak akan ada perkembangan. Benih yang kita tanam tak akan pernah menjadi tanaman, dan seorang anak tak akan pernah menjadi dewasa. Walaupun kita semua memiliki benih-benih yang tak positif di taman, seperti amarah dan rasa takut, kita dapat memilih untuk menumbangkannya. Dengan berfokus membina sifat-sifat positif, ketidakkekalan mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik.
Untuk Meraih Kebebasan, Kamu Harus Melepaskan Hal-Hal yang Kamu Idamkan
Sekarang coba bayangkan seekor ikan yang berenang di sungai untuk mencari sesuap makan. Setelah berenang cukup lama, ia menemukan sebuah umpan yang tak bisa dilewatkan. Sesegera mungkin ia melahap umpan tersebut tanpa menyadari keberadaan kail pancing di baliknya. Pada saat itu juga, kebebasan sang ikan terenggut habis.
Keinginan-keinginan yang kita miliki sama hal nya dengan umpan tersebut. Mereka terlihat menarik dari luar, namun kita tak dapat melihat seberapa dalam luka yang dapat mereka akibatkan. Alih-alih memberimu kebahagiaan, yang mereka bawa hanyalah kesengsaraan. Jika kamu ingin merasa cukup dengan yang kamu miliki sekarang, kamu harus berhenti mengejar umpan.
Sisi buruk dari memiliki keinginan (craving) adalah walaupun kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu tak akan pernah benar-benar merasa puas. Kamu akan selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Ketika matamu terlalu fokus dengan “hadiah” yang ditawarkan oleh masa depan, kamu akan berhenti menghargai hidupmu di saat ini. Untuk membebaskan diri dari kebiasaan buruk ini, kita harus bisa melepaskan keinginan-keinganan tersebut.
Caranya, mulai dengan merenungi situasi yang kamu hadapi sekarang sehingga kamu dapat benar-benar mengetahui dengan tepat apa yang kamu inginkan. Bisa saja keinginan itu berupa pekerjaan tertentu. Setelah itu, coba telusuri lebih dalam jika di balik keinginanmu itu terdapat kail yang mungkin dapat merenggut kebebasanmu. Kail tersebut dapat datang dalam bentuk waktu kerja yang lama dan lingkungan kerja yang tidak sehat sehingga kamu mengalami stres tingkat tinggi. Setelah itu pertimbangkan kembali apakah kail tersebut kamu anggap sebagai bahaya? Apakah kamu mampu menghadapi konsekuensi dari kail tersebut? Dalam kasus mencari pekerjaan, apakah tantangan dan penghargaan yang kamu dapatkan sebanding dengan efek samping yang diakibatkan oleh pekerjaan tersebut terhadap kesehatan dan hubunganmu? Memahami penderitaan yang datang bersama keinginan-keinginan tersebut dapat memberimu insentif yang cukup untuk melepaskannya.
Kamu Tak Dapat Hidup di Masa Kini Hingga Kamu Menghadapi Penderitaanmu
Ketika seorang bayi menangis, Ibunya akan segera menghampirinya dan perlahan mendekapnya dalam pelukan dengan penuh kasih sayang. Tindakan sederhana ini dapat meringankan beban sang bayi walaupun sang Ibu belum benar-benar tahu apa penyebab dari tangisnya. Jika saja sang Ibu membiarkannya menangis sendirian, sang bayi hanya akan semakin jengkel dengan keadaannya.
Luka yang kita bawa sama halnya dengan kondisi sang bayi; ia menangis untuk mendapatkan rasa nyaman dan aman. Tetapi tak seperti sang bayi yang memiliki Ibu untuk meredakan rasa sakitnya, kita hanya bisa berpaling dari rasa sakit itu. Alih-alih menyembuhkan luka tersebut, kita justru mengubur diri kita dalam kesibukan untuk melupakan luka. Kita menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk menyeka luka dengan telpon genggam, pekerjaan, atau memenuhi hawa nafsu untuk memblokir suara dari luka. Padahal satu-satunya cara untuk menyembuhkan diri kita hanya dengan merasakan dengan sungguh apa yang kita rasakan.
Untuk membebaskan dirimu dan memulai proses penyembuhan, mulailah bermeditasi untuk mengetahui apa yang menjadi penghalang untuk terhubung dengan momen sekarang dan mengapa mereka ada. Selanjutnya, renungkan apa yang menjadi prioritasmu. Apakah yang hal yang menahan kamu memang lebih penting dari pada merasakan hidup dengan sepenuhnya? Dengan mengetahui bahwa prioritas teratasmu adalah hidup secara mendalam (live deeply), kamu akan melepaskan distraksi-distraksi tersebut dengan mudah.
Ada banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk memeluk luka diantaranya dengan menulis, melukis, mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Lakukan hal-hal positif yang kamu suka dan benar-benar kamu bisa nikmati. Bagi penulis, puisi adalah caranya untuk menjelajahi lukanya. Selain itu, beliau juga suka mengenang kembali ingatan-ingatan positif yang membawa kenyamanan seperti membayangkan pohon-pohon cedar favoritnya atau membayangkan tawa dari anak-anak. Melakukan hal-hal sederhana ini akan mengingatkanmu bahwa masih ada keajaiban yang tersisa di dunia, bahkan di saat kamu menderita.
Add a comment