Kita Memiliki Budaya yang Terlalu Mengagungkan Hasil Kerja Keras Individu (Seakan Ia Tak Pernah Menerima Bantuan dari Orang Lain)
Ketika kita melihat seorang ahli matematika, kita berasumsi bahwa talentanya untuk berpikir logis adalah sesuatu yang ada dalam dirinya sejak lahir. Begitupun anggapan kita terhadap para ahli yang mendalami bidang lain. Secara otomatis, kita mengorelasikan keberhasilan seseorang di bidangnya dengan kerja keras yang telah dicurahkan serta talenta yang dimilikinya.
Saat Jeb Bush, seorang politisi dari AS, mencalonkan diri sebagai gubernur Florida, dia mengumumkan secara berulang-ulang bahwa ia adalah “self-made man” (re: seseorang yang sukses berkat kerja kerasnya sendiri) sebagai bagian dari strategi kampanyenya walaupun sebenarnya terdapat banyak orang-orang berpengaruh di belakangnya yang ikut berperan terhadap kesuksesannya. Bagaimana tidak? Ayahnya sendiri George W. H. Bush dan saudara laki-laki nya George W. Bush pernah menjabat sebagai presiden AS, sementara beberapa suadara lainnya adalah bankir di Wall Street dan senator AS. Meskipun begitu, karena individualisme telah menjadi nilai yang dielu-elukan masyarakat, ia rasa dengan menonjolkan perspektif ini kepada masyarakat dapat membantunya untuk mendapatkan suara yang lebih.
Malcolm, sang penulis, beranggapan bahwa fenomena pencapaian Jeb Bush ini sebagai sebuah outlier – fenomena di mana “kesuksesan besar” dapat diraih seseorang dengan mengambil jalur yang tak dilalui orang lain pada umumnya. Layaknya Jeb Bush yang mendapatkan keuntungan dari latar belakang keluarganya, masih banyak kasus outliers lain yang menggunakan dukungan-dukungan eksternal, yang tentunya tak dimiliki oleh semua orang, untuk mencapai keberhasilan dengan jauh lebih mudah. Anggapan kita yang sudah terbentuk mengenai keberhasilan seseorang berkat kerja kerasnya kadang membuat kita acuh terhadap faktor-faktor lain yang mungkin ikut berperan.
Setelah Mencapai Ambang Batas Tertentu, Meningkatnya Kemampuanmu Tak Akan Dapat Banyak Membantu
Peran dari talenta atau karakteristik bawaan yang dimiliki seseorang terhadap kesuksesannya, seperti tinggi badan dari para pemain bola basket atau kecerdasan berhitung dari para ahli matematika, punya ambang batasnya sendiri. Contohnya, setelah mencapai tinggi badan tertentu, penambahan tinggi beberapa sentimeter lagi tak akan banyak membawa perubahan terhadap kualitas permainan dari seorang pemain basket.
Hal yang sama juga terjadi di dunia pendidikan. Beberapa sekolah hukum menurunkan persyaratan masuk untuk golongan minoritas melalui sebuah kebijakan aksi afirmatif. Secara keseluruhan, performa dari murid-murid minoritas memang sedikit lebih buruk jika dibandingkan dengan murid-murid berkulit putih; namun ketika para peneliti mencoba untuk memeriksa kesuksesan pasca sarjana dari para murid, tak ada perbedaan lagi antara murid minoritas dan non-minoritas. Walaupun performa dari murid minoritas sedikit lebih buruk saat proses pendidikan hukum berjalan, kedua kelompok murid ini menikmati sejumlah gaji yang sama, dan menghasilkan banyak kontribusi terhadap dunia hukum selepas mereka memasuki dunia kerja.
Layaknya tinggi badan pemain basket, setelah seseorang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum, faktor-faktor lain mulai memainkan peran yang lebih besar terhadap kesuksesan karirnya. Kemampuan dan karakteristik tertentu memang penting untuk menjadi fondasi – contohnya kamu tak akan bisa menjadi seorang ahli hukum yang bisa diandalkan ketika kamu tak memiliki kemampuan untuk berpikir logis sama sekali. Namun setelah mencapai ambang batas tertentu, meningkatkan kemampuan berpikir logis tak akan secara signifikan menaikkan kelasmu. Justru menguasai kemampuan lain seperti kemampuan untuk bersosialisasi, membangun jejaring koneksi, atau bahkan sepercik keberuntungan saja dapat mendorong karirmu lebih jauh.
Untuk Menjadi Ahli di Sebuah Bidang Dibutuhkan Waktu Berlatih Selama 10.000 Jam
Di samping talenta, kerja keras adalah bahan utama lain yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan. Bill Gates menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari pemrograman komputer, begitu juga dengan The Beatles yang menghabiskan banyak waktunya di atas panggung. Walaupun mereka bertalenta, latihan yang dilakukan secara rutin dan terus- menerus lah yang membuat mereka ahli di bidangnya.
Menurut penelitian, minimal seseorang harus menghabiskan sekitar 10.000 jam untuk berlatih agar level world-class mastery bisa diraih. Namun lagi-lagi, tak semua orang memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu sebanyak itu hanya untuk berlatih. Cukup sulit juga untuk menemukan waktu ketika kamu sudah bekerja selama 40 jam atau lebih dalam satu minggu.
Jika seseorang dapat mulai berlatih sedari dini dengan frekuensi yang cukup rutin, hampir bisa dipastikan bahwa ia akan lebih unggul saat memulai karirnya. Ini semua tak akan mungkin bisa dilakukan ketika seseorang tak mendapatkan dukungan sumber daya yang cukup, entah itu dari pendapatan pribadi ataupun keluarga, mengingat beberapa bidang memerlukan peralatan canggih yang cukup mahal. Dorongan dalam bentuk kata-kata semangat dari keluarga, pelatih ataupun guru dapat juga membantu di saat seseorang mengalami kebuntuan atau kejenuhan dalam prosesnya. Sayangnya tak semua orang seberuntung Bill Gates ataupun The Beatles yang memiliki akses ke dukungan-dukungan seperti ini; akibatnya kesempatan untuk meraih keahlian kelas dunia pun semakin sempit untuk mereka.
Bagaimana Seseorang Dibesarkan Dapat Memengaruhi Tingkat Kesuksesannya Di Masa Mendatang
Kita sudah tahu bahwa kemampuan atau bakat alami memiliki ambang batas tertentu dalam memengaruhi tingkat kesuksesan seseorang. Faktor lain yang menurut Malcolm jauh lebih penting adalah apakah seseorang memiliki practical intelligence (kecerdasan praktis), atau lebih tepatnya sebuah kemampuan untuk menafsirkan dan memanfaatkan situasi sosial untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan kata lain seseorang itu tahu kepada siapa ia harus bertanya tentang apa yang dibutuhkan, dan kapan saat yang tepat untuk menanyakan hal tersebut. Terlebih jika seseorang mampu untuk berinteraksi dan bernegosiasi dengan tokoh penting dari lembaga pemerintah, maka semakin terbuka kesempatannya untuk meraih tujuannya.
Pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dalam penelitiannya, pakar sosiolog bernama Annette Lareau menemukan bahwa orang tua dengan kekayaan yang lebih dari cukup memiliki kebiasaan untuk menanamkan rasa bahwa sang anak berhak atas sesuatu (feeling of entitlement); kebiasaan ini jarang ditemukan pada orang tua dengan kelas ekonomi yang lebih rendah. Orang tua yang berada menyediakan anaknya dengan aktivitas yang dapat memacu pertumbuhan intelektual sang anak; mereka mengajari sang anak tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain dan teknik untuk “mengatur” sebuah situasi agar kebutuhan mereka dapat dipenuhi.
Sebaliknya, orang tua yang miskin secara ekonomi sering kali merasa terintimidasi oleh kekuatan otoritas dan membiarkan sang anak untuk menapaki jalur “pertumbuhan secara natural”. Mereka tak memiliki pengetahuan tentang bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan pemegang otoritas. Tanpa kecerdasan praktis ini, kesempatan seseorang yang datang dari ekonomi menengah kebawah untuk meraih kesuksesan akan semakin menipis.
Bulan Saat Seseorang Dilahirkan Berpengaruh Terhadap Kesuksesan
Usia relatif, seberapa tua usia seseorang jika dibandingkan dengan orang lain yang berada dalam kelompok pertumbuhan yang sama, dapat mendorong atau menghambat seseorang untuk meraih prestasi yang ia tuju. Malcolm mencoba melihat isu ini dari kasus Liga Hoki Pemuda Kanada (Canadian Youth-Hockey Leagues). Dalam peraturannya, para pemuda yang dilahirkan pada tahun kalender yang sama harus bertanding melawan satu sama lain. Jadi, akan sangat mungkin jika kelompok yang sebagian besar anggotanya lahir pada bulan Januari melawan mereka yang sebagian besar dilahirkan pada bulan Desember di tahun yang sama. Pertanyaannya adalah, apakah ini adil? Secara fisik, anak yang dilahirkan di bulan Januari akan memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat karena mereka -/+ 1 tahun lebih tua.
Di lapangan, pelatih akan cenderung memuji mereka yang berusia lebih tua karena seakan mereka lebih bertenaga dalam hal fisik; padahal kenyatannya, mereka lebih kuat hanya karena mereka lebih tua. Anak-anak yang memiliki keunggulan (advantage) berupa usia ini akan mendapatkan dukungan moral serta kesempatan yang lebih pada tahap perkembangan. Dan sadar atau tidak, situasi ini tidak sehat untuk kedua belah pihak karena anak-anak mudah terpengaruh secara emosi dengan hal-hal seperti ini. Inilah alasannya mengapa banyak pemain hoki profesional dari Kandada yang lahir di semester pertama dibandingkan semester kedua. Kasus-kasus pembagian kelompok berdasarkan usia seperti ini dapat menciptakan peluang yang tak sama untuk setiap orang. Dan hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Tahun Saat Seseorang Dilahirkan Juga Berpengaruh Terhadap Kesuksesan
Miliarder perusahaan teknologi seperti Bill Gates, Steve Jobs dan Bill Joy dilahirkan dengan anugerah yang luar biasa di mana mereka memiliki ambisi, practical intelligence, sekaligus kesempatan untuk mempraktikkan kemampuannya di dunia usaha. Namun apakah hanya hal ini saja yang berperan terhadap kesuksesan mereka? Kenyataan bahwa mereka mendapatkan serangkaian peluang yang tepat agar mereka bisa mempraktikkan hasil dari latihan pemrograman komputer selama 10.000 jam di waktu yang tepat dalam sejarah adalah anugerah lain yang perlu dipertimbangkan.
Kita tahu bahwa industri teknologi cepat sekali berkembang. Ketiga orang ini lahir di saat model komputer baru telah muncul yang semakin mempermudah penggunanya untuk memecahkan bugs yang ada dalam sebuah program; namun di saat yang sama, di periode tersebut belum terlalu banyak orang yang terjun ke dunia teknologi untuk bersaing dengan mereka, sehingga peluang berbisnis di teknologi masih terbuka lebar. Mereka juga berada pada usia yang tepat untuk membangun perusahaan mereka masing-masing; jika mereka sudah terlalu tua, mereka mungkin akan lebih tertarik untuk menyudahi perjalanan karir mereka dari pada harus mengambil risiko besar untuk membangun bisnis. Walaupun tak semua orang yang lahir di antara tahun 1954 dan 1956 mengalami kesuksesan yang sama, fakta bahwa terdapat cukup banyak orang yang sukses di dunia teknologi menunjukkan bahwa lahir di waktu yang tepat juga menjadi faktor penentu kesuksesan.
Seandainya Kita Paham Peran Penting Dari Budaya Terhadap Kesuksesan, Kita Akan Bisa Membantu Lebih Banyak Orang Untuk Meraihnya
Mari kita coba untuk pelajari peran dari budaya terhadap kesuksesan melalui kasus kecelakaan pesawat. Jika diperhatikan, hampir sebagian besar dari kecelakaan pesawat diakibatkan oleh diabaikannya serangkaian kerusakan kecil atau eror minor yang terlihat tidak signifikan di awal hingga kerusakan minor tersebut terakumulasi menjadi sebuah masalah besar.
Korean Air, salah satu maskapai penerbangan Korea Selatan, pernah memiliki rekam jejak keselamatan yang buruk. Sebelum tahun 2000, angka rasio kecelakaannya 17 kali lebih tinggi dari rata-rata industri. Setelah ditelusuri, ternyata ini ada hubungannya dengan terbentuknya legasi budaya yang buruk yang diturunkan dari generasi ke generasi secara implisit. Orang-orang Korea sangat menghormati tokoh-tokoh yang mempunyai otoritas; sudah menjadi budaya agar pemuda harus tunduk dengan individu yang memiliki jabatan lebih tinggi. Jadi, di saat seorang kapten pesawat berbuat kesalahan, awak kabin dengan jabatan yang lebih rendah tak akan merasa nyaman untuk mengoreksi kesalahan sang kapten.
Salah satu kecelakaan Korean Air yang terjadi di Guam terjadi karena peringatan yang tidak disampaikan dengan jelas dan terang-terangan oleh sang co-pilot. Sang co-pilot mencoba memberi tahu sang kapten, yang terlihat lelah, bahwa visibilitas dari landasan pacu berada dalam kondisi buruk. Namun karena ia takut menyinggung perasaan dari sang kapten, ia mengemas peringatannya secara implisit dengan kalimat “Tidak kah kamu berpikir bahwa hujan terasa lebih deras? Di daerah ini, di sini?”. Peringatan halus mengenai kondisi cuaca itu diacuhkan oleh sang kapten. Nahasnya, pesawat mereka jatuh di daerah perbukitan setelahnya.
Akhirnya manajemen Korean Air mengakui bahwa reformasi harus dilakukan terhadap pelaksanaan tata cara penerbangan. Mereka mengakui bahwa penerapan budaya penghormatan terhadap hierarki tak cocok untuk terus dibudayakan dalam perusahaan, terlebih saat pesawat diterbangkan. Akhirnya mereka menyewa perusahaan dari Amerika Serikat untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dari para awak kabinnya. Hasilnya, jejak rekam keselamatan dari Korean Air membaik dan bahkan menyaingi rekam jejak dari para kompetitor.
Seandainya Kita Mampu Menyadari Alasan-Alasan di balik Lapangan Bermain yang Tak Rata, Kita Akan Mampu Menciptakan Lebih Banyak Peluang Kesuksesan
Sering kali peraturan-peraturan yang kita sendiri ciptakan dalam sebuah permainan atau lingkungan pendidikan atau lingkungan usaha justru mempersulit para pemain yang terlibat di dalamnya, yang tentunya tiap-tiap mereka memiliki keunikan yang berbeda, untuk meraih kesuksesan. Alur proses yang diterapkan justru menghalangi mereka, yang memiliki bakat, untuk mencapai potensinya secara optimal; akhirnya sistem tersebut hanya menghasilkan sedikit orang yang bisa dianggap “sukses”.
Masih ingatkah kalian dengan kasus liga hoki di Kanada? Perbedaan usia antar anggota tim sebesar satu tahun saja dapat menciptakan atmosfer ketidak adilan yang menyebar di lingkungan liga. Banyak pemain yang sebenarnya memiliki etos kerja yang baik serta kemampuan di atas rata-rata dalam menggiring kepingan bola hoki (yang biasa disebut dengan puck) kehilangan semangat hanya karena sumber daya justru tercurah kepada mereka yang memiliki keunggulan (unfair advantage) dalam bentuk usia. Jika saja para pembuat peraturan dapat menyadari cacat yang ada dalam sistem, tingkat kesuksesan pemain pasti dapat ditingkatkan. Jangan lagi kelompok hanya dibagi berdasarkan kelahiran di tahun kalender yang sama, namun seharusnya kelompok bisa dibagi berdasarkan 4 triwulan yang ada dalam satu tahun kalender. Dengan begitu, keunggulan usia ini dapat semakin diminimalisir.
Praktik yang menjunjung keadilan serupa juga dapat diterapkan pada sistem pendidikan. Seharusnya akses kepada pendidikan yang lebih baik tak hanya dibuka untuk anak-anak dengan orang tua kaya. Tetapi pendidikan harus menjadi hak dasar untuk semua warga negara. Kita bisa belajar dari sebuah program yang diadakan oleh Akademi South Bronx bernama KIPP (Knowledge is Power Program): mereka menyediakan pendidikan yang layak untuk anak-anak yang tergolong sangat miskin secara gratis. Tak ada syarat apapun yang harus dipenuhi oleh anak-anak ini; mereka tak harus lulus dari sebuah ujian dengan nilai tertentu ataupun membayarkan biaya administratif lainnya. Dan ternyata, 84% dari murid di program KIPP ini memiliki nilai di atas rata-rata di bidang Matematika. Jika saja setiap orang diberikan kesempatan yang sama, mereka akan memperlihatkan kemampuan terbaiknya.
Add a comment