Siapa dari kalian yang tidak pernah mendengar kata-kata Netflix? Sebagian besar dari kalian pasti familier dengannya, terlebih untuk kalian yang tergolong dalam kategori usia milenial dan gen-z. Dengan 204 juta pelanggan yang ada di dunia (per 2020), Netflix telah menjadi bagian dari budaya kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Netflix memulai bisnisnya sejak 20 tahun lalu dengan mengirimkan DVD melalui jasa pos untuk dinikmati para penonton dan kemudian mengubah model bisnisnya dengan menawarkan jasa streaming film dan series ternama melalui internet.
Menurut sang CEO, Reed Hastings, keberhasilan Netflix bukan disebabkan oleh jasa streaming yang ditawarkan, melainkan ini semua diawali olehbudaya yang memungkinkan Netflix untuk mengubah arah bisnis secara tiba-tiba dengan gesit (pivot) ketika produk atau jasa yang ditawarkan pada saat ini tak dapat memenuhi kebutuhan pasar. Culture-deck tentang budaya Netflix yang berisi 127 slide telah diakui Sheryl Sandberg, COO dari Facebook, sebagai salah satu dokumen penting yang pernah dikeluarkan oleh start-up jebolan Silicon Valley. Lalu apa saja prinsip dasar yang dianut oleh Netflix?
Kesuksesan Netflix Berasal dari Budaya Perusahaannya yang Unik
Di tahun 2000, Reed Hastings dan seorang partnernya mempresentasikan bisnis Netflix di depan CEO dari perusahaan bernama Blockbuster yang pada saat itu bernilai sebesar USD 6 miliar dan memiliki cabang sebanyak 9.000 toko yang tersebar di seluruh dunia. Di hadapannya, Hastings menyarankan Blockbuster untuk membeli Netflix, yang saat itu hanya bernilai USD 50 juta, agar Netflix dapat menjalankan bisnis rental video daring melalui website Blockbuster. CEO Blockbuster menolak mentah-mentah ide tersebut.
10 tahun kemudian, Blockbuster mengalami kebangkrutan karena tak mampu bersaing dengan Netflix yang telah memiliki 167 juta pelanggan dan mampu memproduksi secara mandiri film-film yang memenangkan banyak penghargaan. Apa rahasia dibalik kesuksesan Netflix untuk melakukan disrupsi terhadap pasar? Jawabannya terletak pada budaya Netflix yang menghargai orang-orang yang ada di dalamnya, memprioritaskan inovasi dan memiliki sedikit sekali kontrol terhadap cara kerja karyawannya. Dengan 3 budaya dasar ini, nilai kapitalisasi pasar dari Netflix tumbuh 300 kali lebih cepat dari pada indeks saham NASDAQ dalam kurun waktu 17 tahun terakhir.
Jika diperhatikan, terdapat 4 tahapan utama yang dilakukan Netflix untuk menguasai industri video streaming on demand ini. Pertama, Netflix menawarkan jasa berlangganan DVD yang dikirimkan melalui pos. Lalu di tahap kedua, seiring dengan meningkatnya penggunaan internet di masyarakat, Netflix mengubah proses delivery konten dengan metode streaming via internet. Di tahap ketiga, Netflix mulai mengambil alih lisensi konten-konten orisinal yang diproduksi oleh studio lain. Terakhir, Netflix memberanikan diri untuk memproduksi film-film dan konten series nya secara mandiri. Hastings berpendapat bahwa kesuksesan ini bisa diraih karena karyawan dari Netflix diberikan kebebasan lebih untuk membuat keputusan jika dibandingkan dengan perusahaan lain, sehingga karyawan dapat membuat keputusan dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
Namun, ini semua tak berarti bahwa ketika kamu memberikan kebebasan lebih kepada karyawan, perusahaanmu akan tumbuh besar dengan sendirinya. Ada beberapa hal penting yang harus dipenuhi untuk mengeluarkan potensi dari karyawan dengan cara kerja yang radikal serta memiliki komitmen tanggung jawab yang tinggi. Syarat pertama adalah high talent density (jumlah karyawan bertalenta yang tinggi dalam perusahaan). Syarat kedua, tingkat keterusterangan yang tinggi antara para pegawai dengan manajernya. Syarat terakhir adalah keberanian untuk menghilangkan kendali yang dapat menghabiskan waktu dan uang perusahaan.
High Talent Density Mendorong Karyawan untuk Mengeluarkan Performa Terbaiknya
Titik terendah yang dialami Netflix justru menjadi momen dimana Hasting mempelajari sesuatu yang berharga sebagai CEO. Di tahun 2001, ketika gelembung perusahaan berbasis internet meletus (internet bubble), banyak sekali start-up di Silicon Valley yang mengalami kegagalan. Venture Capital memutuskan untuk tak lagi mendanai kegiatan operasional Netflix yang akhirnya memaksa Hastings untuk memberhentikan sepertiga dari seluruh karyawannya. Tentunya sang CEO tak yakin jika Netflix dapat bertahan, namun masa depan berkata sebaliknya.
Performa Netflix justru meningkat signifikan setelah terjadinya pemberhentian. Kreativitas dari para kayawan meledak-ledak dan mereka menjadi jauh lebih bersemangat dalam bekerja. Seluruh pekerjaan terselesaikan walaupun jumlah mereka lebih sedikit. Hasting dan timnya menyadari bahwa setelah momen pemberhentian terjadi, hanya karyawan bertalenta saja yang bertahan di perusahaan. Di lingkungan yang berisi orang-orang bertalenta ini, mereka saling menunjukkan kemampuan terbaiknya dengan menghasilkan standar kualitas pekerjaan yang lebih tinggi.
Fenomena tersebut didukung oleh sebuah penelitian tentang perilaku menular (contagious behavior) yang dilaksanakan oleh University of New South Wales di Australia. Mereka meneliti performa akademik dari beberapa kelompok murid. Di antara kelompok tersebut ada yang disisipi dengan seseorang yang berprilaku buruk untuk melihat apakah karakter buruk dari salah satu anggota akan menular kepada anggota lainnya. Ternyata kelompok yang disusupi memiliki performa 30 hingga 40 persen lebih buruk dibandingkan grup yang tak disusupi.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana caranya untuk mendapatkan dan mempertahankan talenta-talenta terbaik? Jawabannya mudah, beri mereka gaji di atas rata-rata pasar. Karena performa mereka yang jauh lebih produktif dan efisien dalam memanfaatkan waktu, akan masuk akal secara finansial untuk perusahaan mempekerjakan satu orang yang memang ahli dalam bidangnya dan memberinya gaji besar dari pada merekrut beberapa orang dengan skill pas-pasan dan memberikannya gaji sesuai pasar. Menurut Bill Gates, software engineer terbaik dapat memberikan 100 kali lebih banyak nilai untuk perusahaan dari pada software engineer biasa.
Keterusterangan Memberikan Ruang Karyawan untuk Tumbuh
Profesor Erin Mayer, co-author dari buku ini, pernah menjadi fasilitator untuk diskusi dengan 400 manager Netflix yang datang dari seluruh negara. Di tengah-tengah konferensi, beliau membagi peserta ke dalam kelompok-kelompok diskusi. Di sela-selanya, beliau memberikan pertanyaan untuk dijawab oleh semua peserta. Setelah sekian lama proses tanya jawab berlangsung, salah satu wanita memberi isyarat kepada beliau dan mengkritiknya di hadapan peserta lain bahwa cara Profesor Meyer mendapatkan jawaban dari audiens internasional untuk pertanyaan yang diajukan mengacaukan pesan yang beliau bawa tentang keberagaman budaya.
Setelah mendengarkan pesan dari wanita tersebut, beliau tersadar bahwa beliau hanya menunjuk mereka yang mengangkat tangan, dengan begitu hanya orang-orang Amerika saja yang mempunyai kesempatan untuk menjawab pertanyaan. Profesor Mayer tak mempertimbangkan bahwa mengangkat tangan bukanlah hal yang umum dilakukan di negara lain. Dengan cepat beliau melakukan penyesuaian setelah mendapatkan umpan balik yang konstruktif. Selanjutnya sang profesor bertanya secara langsung kepada peserta dari negara lain untuk ikut berkontribusi dalam diskusi dan mendapatkan sudut pandang yang baru.
Keterusterangan merupakan bagian vital dari budaya Netflix. Tak jarang staff menyanggah pendapat atau strategi yang dijelaskan oleh manager ketika mereka rasa terdapat alternatif lain yang lebih baik untuk mengatasi masalah tertentu. Mampir di meja teman untuk menjelaskan kembali apa yang telah disampaikan via email juga menjadi hal yang sangat umum. Di Netflix, jika kamu tak menyampaikan pendapatmu ketika kamu tak setuju dengan sesuatu, itu sama hal nya dengan mengkhianati perusahaan. Jika kamu dapat membuat perusahaan ini lebih baik mengapa kamu tak melakukannya?
Hal unik lain yang dilakukan Netflix adalah, review terhadap kinerja karyawan dilakukan setiap saat, tak hanya setahun sekali. Lebih dari itu, para staff atau karyawan kelas dasar memiliki hak untuk memberikan umpan balik terhadap kinerja bosnya. Kebijakan ini diterapkan karena semakin tinggi posisi seorang karyawan dalam sebuah organisasi, semakin besar kemungkinannya karyawan tersebut melakukan kesalahan yang berakibat fatal terhadap perusahaan.
Namun terdapat beberapa aturan yang harus dipenuhi agar kritik atau saran yang kamu sampaikan tak hanya sekedar melampiaskan kekesalan dari dada dan menjelekkan orang yang sedang kamu nilai. Aturan pertama yakni tujuan dari penilaian ini adalah untuk membantu rekan kerja kita menjadi lebih baik. Kedua, umpan balik yang kamu berikan merupakan sesuatu yang dapat diterapkan (actionable). Ketiga, ketika menerima feedback, kamu harus menghargai rekan kerjamu atas usaha dan keberaniannya untuk menyampaikan pendapatnya. Terakhir, pikirkan baik-baik apakah kamu akan menerapkan saran yang telah diberikan.
Menyingkirkan Kebijakan yang Tak Berguna Membuat Karyawan Lebih Bertanggung Jawab
Di tahun 2003, salah satu karyawan Netflix berpendapat bahwa jika perusahaan tidak menghitung jumlah hari kerja dari tiap karyawan, mengapa perusahaan perlu menghitung jumlah hari liburnya? Toh kadang kala karyawan harus tetap bekerja secara daring di akhir pekan dan membalas email di jam-jam yang tidak umum. Hastings mengamini pendapatnya. Selama karyawan mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik, jumlah jam kerja bukanlah ukuran yang tepat. Selain itu Hastings menyadari bahwa banyak inovasi terjadi setelah karyawan kembali dari liburan. “Time off provides mental bandwidth that allows you to think creatively and see your work in a different light” Kata Hastings. Semenjak itu kebijakan perusahaan terhadap hari libur adalah: Jika kamu membutuhkannya, lakukanlah!
Tentunya dalam menghilangkan peraturan, kamu tak bisa mengharapkan semua orang untuk bekerja dengan menjadikan kepentingan perusahaan sebagai prioritas utama. Di sinilah pemimpin memainkan peranan penting. Dengan ditawarkannya kebebasan “radikal” kepada karyawan, pemimpin harus menetapkan konteks dari kebijakan ini sedari dini dan memberikan contoh terbaik dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara kesehatan kehidupan pribadi dan terpenuhinya target perusahaan.
Ketika kebijakan waktu libur yang bebas ini diterapkan, Hastings mempunyai dua ketakutan. Pertama, ia takut jika para karyawan justru bekerja sekeras mungkin dan mengambil waktu cuti sesedikit mungkin karena mereka ingin membuat manager mereka terkesan. Maka dari itu, untuk membentuk budaya berlibur yang tepat, Hastings memberi contoh dengan mengambil waktu liburan selama 6 minggu dalam waktu satu tahun dan mengambil banyak foto liburan untuk ditunjukkan kepada para karyawannya. “Jumlah waktu liburan yang diambil oleh staff tercermin pada waktu liburan yang diambil oleh bos dan teman-teman lainnya” kata Hastings.
Kedua, Hastings khawatir jika hal sebaliknya terjadi; setiap orang akan melupakan target dan melewatkan tenggat waktu dari tugas-tugas penting. Ia takut jika para karyawan akan mengambil liburan di waktu yang tidak tepat. Maka dari itu ia berpesan kepada para manager untuk berbicara kepada timnya mengenai waktu liburan seperti apa yang pantas dan dapat diterima oleh rekan kerja lain. Tak semua karyawan akan mempunyai cara pandang yang sama terhadap kebijakan ini. Maka dari itu, manager harus menentukan parameter penting seperti berapa banyak orang yang dapat mengambil cuti dalam satu waktu dan menyarankan untuk mengumumkan jauh-jauh hari kepada rekan lain sebelum karyawan tersebut mengambil cuti panjang. Maka dari itu, komunikasi yang lancar antar anggota tim adalah hal yang krusial di sini agar tak ada tugas penting yang terlewatkan.
Merasa sukses dengan kebijakan liburan karyawan, Hastings memutuskan untuk memusnahkan sistem persetujuan (approval system) untuk biaya transportasi dan keperluan lain yang dibutuhkan karyawan untuk mendukung pekerjaan mereka. Menurut Hastings hal ini penting untuk dilakukan karena dari pada karyawan sibuk menghabiskan waktu untuk mengumpulkan laporan yang menjelaskan untuk apa saja uang digunakan, lebih baik mereka menggunakan waktu yang ada untuk mengerjakan hal lainnya yang lebih penting untuk kemajuan perusahaan. Netflix memberikan kepercayaan kepada karyawannya bahwa mereka akan menggunakan uang perusahaan sebijak mungkin. Faktanya, setelah kebijakan ini ditetapkan, hanya 3% dari seluruh karyawan yang menyalah gunakan kebijakan ini; untuk memperkecil persentase tersebut, Netflix memperketat proses perekrutan dan membiarkan karyawan pergi jika dirasa perbuatan mereka sudah melewati batas.
Mempertahankan Tim Bertalenta Membutuhkan Banyak Usaha
Di akhir tahun 2018, Netflix mendapatkan banyak sekali pencapaian seperti penghargaan untuk film “Roma” yang diakui sebagai “masterpiece” oleh the New York Times, serta 45 juta anggota keluarga telah menonton film terbarunya yang berjudul “Bird Box”. Ketika Hastings mengucapkan selamat kepada Ted Sarandos, Chief Content Officer (CCO) dari Netflix, ia menjawabnya dengan “We’ve all picked well!”. Maksud dari perkataan Sarandos adalah kesuksesan ini tak terlepas dari keputusan Hastings dalam memilih CCO yang tepat, yang mendorong Sarandos untuk merekrut orang-orang terbaik yang mampu memproduksi film berkelas. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana caranya untuk menjaga talenta berkualitas di perusahaan? Simpel, pecat orang yang berkemampuan pas-pasan.
Berlawanan dengan kebanyakan perusahaan yang menganggap karyawan layaknya keluarga, Hastings berpendapat lain. Pekerjaan adalah sesuatu yang kamu lakukan dalam kurun waktu terbatas dan kamulah satu-satu nya orang yang paling tepat untuk melakukannya. Karyawan Netflix harus menganggap dirinya seperti salah satu pemain dari tim olah raga profesional yang tujuan satu-satunya adalah untuk menjadi nomer satu di liga kejuaraan. Jadi jika karyawan merasa tak lagi bisa menyesuaikan diri dengan irama tim, lebih baik posisinya digantikan oleh orang lain yang jauh lebih siap.
Kejam sekali bukan? Padahal kehilangan pekerjaan tak hanya mempengaruhi kondisi finansial dari sang karyawan, semangatnya dalam menjalani hidup dan rasa percaya dirinya hampir bisa dipastikan melemah. Untuk mengatasi hal tersebut, Netflix menawarkan pesangon dalam jumlah besar. Staff di posisi dasar mendapatkan 4 bulan gaji, sementara seorang VP (Vice President) memperoleh 9 bulan gaji. Netflix berpendapat bahwa jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawan dan keluarganya untuk sementara waktu sambil menemukan pekerjaan baru. Lagi pula, karyawan tersebut juga tak akan merasa bahagia jika tetap bekerja di Netflix dalam jangka panjang karena ia tak bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk perusahaan.
Namun tidakkah kebijakan tersebut akan menimbulkan kompetisi yang tidak sehat antar karyawan? Tidak juga. Selain high talent density, kolaborasi yang solid di dalam dan antar tim menjadi perhatian utama dari perusahaan. Terlebih, jumlah slot yang tersedia untuk posisi managerial dapat disesuaikan dengan kondisi perusahaan; jadi karyawan tak perlu “bertarung” untuk memperebutkan posisi tertentu. Semakin bagus kualitasmu, semakin terbuka lebar kesempatanmu untuk menaiki tangga kedudukan dan tumbuh bersama Netflix. Sistem umpan balik yang dilakukan secara terus menerus juga membantu karyawan untuk menemukan “ruang-ruang” yang memerlukan perbaikan. Dengan saling memberi saran dan menerapkan saran tersebut, secara bertahap para karyawan akan tumbuh dan menghasilkan kinerja terbaiknya.
Berikan Karyawan Bertalenta Kebebasan untuk Membuat Keputusan
Adam Del Deo adalah salah satu karyawan Netflix yang bertanggung jawab atas program-program dokumenter orisinal. Di tahun 2017, ia mengunjungi Sundance Film Festival untuk menemukan film dokumenter yang mencengangkan. Film yang berhasil membuat Del Deo berkata “That’s the one!” berjudul “Icarus”. Namun ia tak yakin apakah bosnya, Ted Sarandos, akan setuju dengan pendapatnya mengingat uang sebesar USD 4 juta harus dibayarkan untuk memboyong film tersebut ke jajaran dokumenter Netflix. Sang CCO tak mengutarakan persertujuan atau penolakan, melainkan ia mendorong Del Deo untuk membuat keputusannya sendiri. “Kamu adalah orang yang bertanggung jawab atas dokumenter. Kami menggajimu untuk membuat keputusan tersebut. Tanyakan pada dirimu apakah itu film yang tepat? Apakah film itu akan ditonton banyak orang?”.
Di sebagian besar perusahaan, bos menjadi gerbang penentu apakah sebuah ide dari para karyawan dapat dijalankan atau dihentikan. Cara memimpin dengan kendali (leadership with control) seperti ini justru dapat membatasi inovasi dan memperlambat pertumbuhan. Sebaliknya, Netflik membudayakan memimpin dengan konteks yang memberikan kebebasan karyawan untuk membuat pilihan yang terbaik untuk perusahaan berdasarkan penilaian mereka masing-masing. Dengan begitu, para pemimpin senior memiliki waktu lebih banyak untuk melakukan hal penting lainnya.
Gaya kepemimpinan seperti ini mungkin terkesan berbahaya. Bisa saja karyawan membuat keputusan yang kamu nilai tak tepat sehingga kamu ingin sekali untuk turun tangan memperbaikinya. Dalam keadaan ini, kamu dianjurkan untuk meningkatkan komunikasi dengan staff dan memehami alasan dibalik keputusan tersebut. Dengan begitu keselarasan pemahaman akan terbentuk dan micromanagement tak diperlukan. Namun ingat, strategi ini hanya akan bekerja jika tim yang dibentuk terdiri dari orang-orang bertalenta yang tidak kamu ragukan lagi kreativitas dan kecerdasannya.
Pada akhirnya, Adam Del Deo memutuskan untuk membeli film “Icarus” seharga USD 4,6 juta. Intuisi Del Deo tak salah: akurasi informasi yang disajikan oleh film tersebut bahkan menjadikan “Icarus” sebagai salah satu bukti valid untuk sebuah keputusan yang dibuat oleh komite International Olympic akan praktik kecurangan yang dilakukan oleh salah satu negara. Di bulan Maret tahun 2018, “Icarus” juga memenangkan penghargaan dari Oscar sebagai “The Best Documentary”. Setelah penghargaan diberikan, Sarandos tersenyum kepada Del Deo dan berkata “Yep! It was the one!”.
Add a comment