Penulis, David J. Lieberman, adalah seorang psikoterapis yang mengetahui bagaimana caranya untuk mengidentifikasi seorang pembohong. Melalui buku “Mind Reader” beliau berbagi tentang bagaimana caranya untuk “membaca” orang lain dan menebak dengan cukup akurat apa yang orang lain sedang pikirkan dan rasakan. Orang yang menghindari kontak mata mungkin memang sedang mencoba untuk membohongimu; namun seorang sosiopat pun mampu menjaga kontak matanya tertuju kepadamu dan membohongimu tanpa adanya rasa berdosa sedikitpun. Poin utama yang bisa kamu ambil dari hasil karya Lieberman ini adalah memahami apa yang menjadi faktor penggerak dari orang-orang yang tidak jujur, arogan, dan melewati batas.
Kegelisahan (Anxiety) Membuat Kita terlalu Memfokuskan Perhatian pada Diri Sendiri
Jika kamu ingin memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, cara yang paling mudah adalah dengan mengamati diri sendiri.
Pertama-tama, bayangkan perasaanmu saat berada dalam zona “produktif” seperti pada saat kamu sedang menikmati jogging di atas treadmill atau sedang menyetir mobil dengan begitu asyiknya. Seakan kamu bergerak tanpa berpikir, kamu menginjak antara gas dan rem dengan penuh keharmonisan dan menggerakkan mobil dari satu jalur ke jalur lain secara otomatis.
Setelah itu coba bayangkan kamu sedang membawa secangkir kopi panas yang penuh dan hampir tumpah melalui sebuah ruangan.
Mengapa kamu merasa begitu berbeda di setiap situasi?
Pada saat berada di situasi kedua, kamu merasa cemas jika saja kopi panas tersebut tumpah dan melukai tanganmu. Ini mendorongmu untuk memusatkan pandangan ke kopi itu. Kegelisahan yang muncul karena kamu berada dalam “ancaman” membuatmu menaruh perhatian lebih pada diri sendiri.
Hal yang sama pun terjadi ketika kamu harus mengemudi melalui hujan badai atau harus berbasa-basi asyik di sebuah pesta yang keren. Tiba-tiba saja semua gerakan yang kamu biasanya lakukan tanpa berpikir menjadi sesuatu yang kamu sadari dan kalkulasi. Di situasi itu kamu akan menggenggam kemudi atau gelas minuman dengan lebih kencang. Sederhananya, ketika sesuatu yang kamu hadapi memiliki risiko gagal yang dinilai cukup tinggi, kegelisahanmu akan meningkat dan perspektifmu mulai menyempit.
Kegelisahan memaksa dirimu untuk memusatkan perhatian pada diri sendiri. Kegelisahan membatasi kemampuanmu untuk memproses sesuatu yang terjadi di sekitarmu. Pernahkah kamu melupakan segala hal yang kamu pelajari di waktu ujian atau tersedak ketika menjalani wawancara penting? Dalam peristiwa tersebut, sesuatu yang biasanya selalu kamu lakukan secara otomatis tiba-tiba saja berhenti bekerja. Kamu menjadi terlalu sadar dan waktu kognitifmu menjadi tak normal. Ini merupakan tanda bahwa kegelisahan sedang beraksi.
Kegelisahan juga dapat dilihat dari kata-kata yang kita ucapkan dengan penggunaan kata yang memperhalus pernyataan kita seperti “saya pikir (I think)” atau “saya rasa (I guess)”. Walaupun peristiwa-peristiwa di atas merupakan contoh dari kegelisahan yang muncul akibat situasi, pada umumnya kegelisahan muncul karena seseorang mempunyai tingkat kepercaryaan diri yang rendah (low self-esteem). Saat kepercayaan diri rendah, kita akan cenderung menjadi semakin stres dan takut.
Rasa Percaya Diri yang Rendah (Low Self-Esteem) Pada Diri Seseorang Mudah untuk Dilihat saat Kamu MengetahuI Apa yang Harus Dicari
Pada umumnya, seseorang yang paling berbahagia di antara kita adalah mereka yang mempunyai hubungan-hubungan yang sehat secara emosional. Membuka diri dan mengizinkan orang lain masuk ke dalam kehidupan kita membutuhkan kita untuk menurunkan ego (ego deflation) dalam rangka menyisakan ruang di hati kita untuk orang lain. Namun ketika seseorang itu penuh dengan ketakutan atau dikendalikan oleh egonya, masalah yang mereka hadapi mengisi seluruh kehidupan mereka dan kapasitas mereka untuk mencintai terkikis.
Absorpsi diri (self-absorption) semacam ini merupakan conton dari seseorang dengan self- esteem yang rendah. Dan self-absorption merupakan tanda-tanda dari adanya luka emosional yang lebih dalam. Ini seperti di saat kamu mengalami kesakitan pada bagian tubuh tertentu. Saat kamu mengalami sakit kepala, akan cukup sulit bagimu untuk fokus mendengarkan apa yang orang lain katakan kepadamu. Sama hal nya dengan self-absorption; ia dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk perilaku arogan, mengasihani diri sendiri, atau kesulitan berempati dengan masalah orang lain. Jadi bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa seseorang mempunyai perilaku low self-esteem yang beracun?
Mungkin ia adalah seseorang yang selalu “membuat senang” orang lain (constant people pleaser); ia selalu mengatakan iya atas permintaan orang lain kepadanya, bahkan ketika sebenarnya ia ingin mengatakan tidak. Atau ia adalah orang yang terlalu keras kepala sehingga ia tak mau mengakuinya saat ia berbuat kesalahan. Kamu juga dapat melihat hubungan dia dengan orang-orang di sekitarnya. Apakah ia mempunyai sebuah grup inti yang berisi teman- teman yang setia kawan? Apakah ia dekat dengan keluarganya? Apakah ia bertanggung jawab atas kesalahannya dalam sebuah konflik atau justru ia malah menebarkan kebencian terhadap orang-orang yang terlibat di dalam konflik?
Orang-orang dengan self-esteem yang rendah biasanya jauh lebih baik dalam memperlakukan diri sendiri dibandingkan dengan mereka memperlakukan orang lain. Mereka selalu berusaha untuk memenuhi hawa nafsu mereka dan pelit dalam hal berbagi dan memberi. Atau jika memang mereka memberikan sesuatu, ini hanya dalam rangka untuk mendapatkan penerimaan seseorang demi memenuhi kepentingan pribadinya. Sebaliknya, orang-orang dengan self-esteem yang sehat cenderung memelihara kesehatan jasmani dan rohani dari diri sendiri maupun orang-orang yang ada di sekitarnya.
Masih ada banyak red flags (tanda peringatan) lain seperti: Apakah orang ini memperlakukan pelayan dengan tidak baik? Apakah mereka tidak mengembalikan barang yang mereka pinjam dalam keadaan baik dan tepat waktu? Apakah mereka mempunyai batasan yang sehat dalam hubungan atau justru mereka sangat tergantung secara emosional kepadamu dan terkesan ingin mengendalikanmu? Apakah mereka melanggar norma-norma sosial dengan menanyakan pertanyaan yang tak pantas serta memalukan? Apakah mereka mempunyai masalah dalam menerima jawaban tidak? Ini semua adalah sinyal bahwa seseorang itu penuh dengan dirinya sendiri. Kemungkinan besar, perilaku manipulatif atau tak pantas ini tak dilakukan seseorang secara sadar, akan tetapi ini berasal dari luka emosional yang dalam dan logis.
Dalam bahasa inggris, kata self-esteem sering digunakan secara bergantian dengan kata confidence. Namun menurut penulis, dua istilah ini memiliki arti yang berbeda. Confidence biasanya berhubungan dengan bagaimana cara seseorang dalam menangani situasi tertentu; sementara self-esteem cenderung mengukur seberapa besar kita mencintai diri kita sendiri. Contohnya, sangat mungkin bagi seseorang untuk memiliki self-esteem yang baik meskipun faktanya ia adalah seorang koki yang buruk. Demikian juga, sangat mungkin bagi seorang koki yang hebat memiliki self-esteem yang rendah karena ia membangun identitas dan citra dirinya berdasarkan kemampuan memasaknya; perilaku semacam ini tak dapat mendatangkan ketenangan pikiran karena ia harus selalu membandingkan dirinya dengan koki hebat lainnya untuk bisa merasakan betapa berharga dirinya.
Ketangguhan Emosi (Emotional Resilience) Merupakan Penentu Utama dari Masa Depan yang Cerah
Ketangguhan emosi (emotional resilience) merupakan kemampuan untuk menghadapi stres dan kesulitan hidup sambil masih mampu menjaga kesehatan mental attitude (keadaan kompleks dari mental seseorang yang melibatkan kepercayaan, perasaan, nilai, dan watak dirinya untuk bertindak dengan cara tertentu). Ketangguhan emosi adalah letak perbedaan antara mereka yang “mengizinkan” stres untuk mengendalikan dirinya sampai akhirnya depresi dan mereka yang mampu menangani kesengsaraan yang datang secara berkala dalam hidup dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa ketangguhan emosi akan muncul apabila seseorang memiliki self-esteem yang sehat, dan lagi-lagi ini masih berhubungan dengan ego.
Mari kita gali lebih dalam untuk mengetahui bagaimana ego berfungsi. Ego mempunyai kebutuhan untuk memahami hal-hal yang tidak diketahuinya dan tidak dapat dijelaskan; hal-hal yang dimaksud di sini tak sepenuhnya tentang sesuatu yang bersifat spiritual. Akan tetapi lebih kepada peristiwa yang terjadi dalam keseharian seperti: Mengapa dia tak menelpon ku kembali? Mengapa aku tak mendapatkan pekerjaan itu? Ketangguhan dibangun atas dasar pengakuan bahwa terkadang pertanyaan semacam itu memang tidak bisa dijawab. Seperti pada kasus lowongan kerja yang terlewatkan, tentunya egomu pasti akan tersakiti dan ingin mengetahui dengan pasti mengapa kamu tak dilirik oleh perusahaan tersebut. Jawaban dari pertanyaan ini tak akan ada yang pernah memberi tahu. Dan sejujurnya, sering kali sesuatu berada di luar kendali kita. Mungkin saja kamu telah memberikan jawaban yang sembarangan sewaktu proses wawancara pada pertanyaan tertentu dan kamu tak menyadarinya.
Ketangguhan itu diwujudkan dengan cara mengikhlaskan sesuatu (letting go) dan bergerak untuk mencoba sesuatu yang baru (moving on). Sementara ego memanifestasikan diri dengan amarah, kekejaman, sekaligus kecenderungan untuk mengasihani diri sendiri. Semakin kita dikendalikan oleh ego, semakin kita yakin bahwa segala hal yang ada di dunia ini hanyalah tentang kita. Bagaimana maksudnya? Dalam kasus tak mendapatkan pekerjaan tadi, kita menjadi semakin yakin kita tak diterima karena memang pada dasarnya kita adalah seorang yang tak pantas dan buruk. Kita juga semakin menyalahkan alam semesta dan segala hal yang ada di dalamnya atas masalah-masalah yang melanda.
Ketangguhan itu dibangun dengan keberanian untuk menghadapi situasi. Namun akhir-akhir ini, terlalu mudah bagi kita untuk kabur dari rasa sakit emosional. Ketika ketakutan dan kegelisahan diri berteriak dengan kencang, tersedia ruang virtual bagi kita untuk mengalihkan perhatian, entah itu dengan scrolling FYP Tiktok atau binge-watching Netflix tanpa tahu batasan waktu. Penulis mengambil referensi dari terror management theory yang menyatakan bahwa orang- orang mencoba mengatasi kegelisahan dengan dua cara:
1) Jika mereka hidup dengan bahagia dan merasa tercukupi, ini tandanya mereka telah menjalani hidup dengan merangkul nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka anut.
2) Mereka yang hidup tak begitu bahagia mencoba untuk koping dengan melarikan diri dari kegelisahannya melalui aktivitas “memanjakan diri”, entah itu dengan makanan, seks ataupun tayangan menghibur.
Dari dua cara itu, cara yang pertama lah sebenarnya mampu memperbaiki ketangguhan emosimu untuk jangka panjang.
Ya, ketangguhan emosi itu sangat tergantung pada bagaimana cara kita dalam mengatasi kegelisahan. Saat kita mengalami kendala dalam hal kencan atau wawancara pekerjaan, apakah kita mau menerimanya dan memberikan respons terbaik, atau malah bereaksi dengan berlebihan, atau justru melarikan diri dan bersembunyi? Bisa diprediksi bahwa orang-orang dengan kegelisahan yang tinggi akan memilih untuk kabur, dan seiring dengan waktu, perilaku ini justru akan mengukuhkan low self-esteem dan rasa takut yang sudah terbentuk dalam dirinya.
Ego yang Besar Merupakan Tanda dari Rasa Takut
Kita sudah tahu sekilas tentang bagaimana ego bekerja. Tetapi mengapa ego melakukan apa yang ia lakukan? Bayangkan tentang rasa marah. Amarah merupakan respons seseorang terhadap rasa takut yang dikendalikan oleh ego. Amarah memberi kita ilusi akan kendali yang mana perhatian kita tertuju keluar, menjauh dari rasa takut. Di saat yang sama, orang yang sedang marah cenderung melihat diri mereka sebagai korban, entah itu dari kehidupan atau situasi atau kekuatan yang ada di luar kendali mereka. Mereka menyalahkan alam semesata dan berkata, “Tega-teganya kamu melakukan ini kepadaku?!”. Tentu amarah tak membuahkan hasil yang baik; amarah justru membawa kita ke dalam sebuah situasi yang memalukan, tidak nyaman dan membingungkan.
Tiap kali kita merasa terancam secara emosional, ego akan mengaktifkan mekanisme pertahanan nya yang berupa amarah. Ego kita melakukan ini karena jarang sekali kita ingin mengakui kekurangan kita bukan? Siapa yang mau mengakui bahwa ia adalah seseorang yang mementingkan dirinya sendiri atau pemalas atau penuh kegagalan? Untuk menghindari ini semua, ego menyalahkan dunia yang ada di sekitar kita atau membantu kita untuk menjustifikasi kesalahan yang telah diperbuat.
Merokok merupakan contoh dari hal ini. Walaupun setiap perokok tahu bahwa rokok itu buruk untuk kesehatan mereka, setiap kali disinggung, ego mereka terpicu untuk membantu mereka mengelak, menyangkal, atau menjustifikasi. “Aku bisa saja mati besok” atau “Aku tak mau berhenti karena sekali berhenti aku akan bertambah gemuk”.
Dan low self-esteem merupakan alasan mengapa sulit bagi beberapa orang untuk meminta maaf atau memaafkan. Entah ketika mereka berbuat salah, atau seseorang berbuat salah terhadap mereka, mereka selalu menemukan diri mereka merasa rentan. Untuk membuat mereka merasa lebih kuat, lebih aman, ego mereka mencegah mereka untuk mengikhlaskan apa-apa yang telah terjadi. Sebaliknya, tanda-tanda dari seseorang yang matang ada pada kemampuan mereka untuk memaafkan atau meminta maaf dengan cepat. Mereka yang cepat move on cenderung mempunyai kekuatan emosional yang lebih tangguh.
Jangan Terjebak di dalam Contamination Narrative
Jadi apa saja yang menjadi tanda-tanda bahwa seseorang sedang cukup bermasalah?
Pertama, perhatikan apakah orang yang sedang kamu amati ini cenderung bereaksi secara tenang dan terukur terhadap apapun yang terjadi pada hidup. Atau mereka justru berlaku berlebihan dan sering kali kesal dengan hal-hal sepele yang tak sesuai dengan keinginannya? Untuk seseorang dengan kesehatan emosi yang buruk, mereka tak mempunyai perspektif lebih luas karena terlalu fokus pada dirinya sendiri, semua hal bisa menjadi masalah. Sementara dengan memiliki perspektif yang lebih seimbang memungkinkan kita untuk melihat sesuatu sesuai dengan ukurannya.
Lalu apa yang dimaksud dengan perspektif yang sehat?
Ini tergantung pada bagaimana cara kita memberikan narasi terhadap pengalaman-pengalaman yang kita rasakan dalam hidup. Menurut penulis ada dua jenis narasi yang bisa dihasilkan seseorang, yakni: contamination narrative (prasangka buruk) atau redemption narrative (prasangka baik). Mereka yang tunduk kepada contamination narrative akan kerap melihat “bencana” kemana pun mereka memandang. Satu kejadian buruk yang terjadi di sela-sela hari dapat “merusak” pengalaman hidup di sisa hari. Contohnya, hujan kecil di sela-sela waktu berpiknik mu dapat merusak kebahagiaanmu pada hari itu. Satu hal buruk saja membuat hal- hal lainnya terkontaminasi menjadi buruk. Seseorang dengan contamination narrative melihat segalanya melalui kaca mata negatif.
Di sisi lain, seseorang dengan redemption narrative selalu mencoba untuk menemukan sisi positif dan harapan (silver lining) dari segala hal yang terjadi, entah itu peristiwa baik ataupun buruk. Orang-orang yang mampu melihat segala sesuatu yang terjadi dengan lensa ini dapat membingkai ulang kejadian-kejadian traumatis menjadi pembelajaran hidup dan memunculkan harapan baru. Misalkan, terdapat sisi positif dari meninggal dunianya seseorang yang kita cinta karena ia tak perlu lebih lama lagi merasakan sakit yang dideritanya sejak lama. Dapat diprediksi bahwa seseorang yang menanamkan redemption narrative (prasangka baik) pada diri cenderung memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang lebih baik.
Gaya bicara seseorang dapat memberikan tanda-tanda akan narasi mana yang cenderung digunakannya – coba saja amati rasio antara pernyataan-pernyataan positif dan negatifnya pada sosial media atau dalam percakapan keseharian. Bayangkan seseorang yang masuk ke ruangan dan tiba-tiba menemukan sesuatu untuk dikritisi karena tidak sesuai dengan preferensinya. Dunia orang tadi terasa begitu negatif – dan kita dapat menduga bahwa hidup orang tadi terasa jauh dari kebahagiaan.
Demikian juga, gaya bicara seseorang dapat menunjukkan tingkat kegelisahannya (anxiety level). Contohnya, frekuensi seseorang dalam menggunakan ekspresi dan kata yang terdengar dogmatis seperti: semua orang, selalu, sepenuhnya, dsb. Ketakutan dan kegelisahan menjadikan seseorang selalu menginginkan kepastian, dan ini mendorong mereka untuk melihat sesuatu dari lensa hitam dan putih yang absolut. Sebaliknya, orang-orang yang lebih kalem dapat lebih mudah untuk melihat nuansa (sisi abu-abu) dari segala hal yang dihadapi.
Untuk mengetahui apakah seseorang tergolong absolutist, buka telingamu lebar-lebar dan temukan bahasa kasar (abrasive language) yang diucapkannya. Mereka menggunakan kata-kata umpatan untuk “memperhebat” pernyataannya, cenderung melebih-lebihkan apa yang dikatakan, dan cenderung mengucapkan judgement yang bersifat universal (tanpa mengenal konteks). Contohnya saja dia menganggap “Semua orang suka pantai”. Dari pendapatnya itu dia dapat membuat judgment lebih jauh yang terdengar menyudutkan seperti “Orang yang nggak suka pantai itu gila, harusnya mereka dipenjara aja”. Coba cari clue semacam ini dari gaya bicara seseorang dan kemungkinan besar kamu akan memahami apakah ia memiliki self-esteem yang sehat dan apakah dia berbahagia.
Demikian kami sampaikan, semoga bermanfaat kawan! Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaian.
Add a comment