Adanya pemimpin dan pengikut merupakan konsekuensi dari proses biologi yang terjadi pada tubuh manusia. Pemimpin bertanggung jawab sebagai penunjuk arah ketika pengikut kehilangan arah untuk mencapai tujuannya. Namun di zaman ini, para “pemimpin” yang sudah memiliki “kekuasaan” sepertinya tak pernah merasa puas dengan kuasa yang ia kendalikan sekarang; mereka merasa berhak atas kuasa yang lebih dan lebih. Sadar atau tidak, nafsu mereka akan kuasa ini memperburuk kondisi hidup para pengikut di sekelilingnya. Melalui buku ini, penulis memberikan pandangannya tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin bertindak. Selain itu, penulis juga ingin memberi tahu pengikut tentang bagaimana caranya untuk membedakan antara pemimpin yang layak diikuti dan mereka yang tidak.
Kebutuhan Manusia Akan Hierarki dan Kepemimpinan Sudah Tertanam dalam Biologi Manusia
Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa masyarakat menggolongkan manusia kedalam kelompok pemimpin dan mereka yang dipimpin? Ini semua karena biologi; hormon yang diproduksi oleh tubuh telah membantu kita untuk bertahan hidup dengan cara mengendalikan emosi kita dan menghindarkan kita dari perilaku ekstrim selama ribuan tahun. Hormon dopamin menghadiahi kita dengan rasa senang ketika kita berhasil menyelesaikan sebuah tugas. Kemudian, hormon serotonin dan oxytocin membantu kita untuk membangun hubungan-hubungan sosial dengan orang lain. Sementara hormon endorfin menyamarkan rasa lelah dan sakit sebagai kenikmatan untuk fisik; inilah alasannya mengapa kamu merasa bersinar dan menyala setelah mengakhiri sesi olah fisik di gym yang cukup berat, dan kamu tak sabar untuk bisa melakukannya lagi di keesokan harinya.
Lalu apa hubungannya antara hormon tubuh dengan hierarki sosial yang terbentuk di masyarakat? Di era masyarakat pemburu dan pengumpul (hunter-gatherer societies), aliran endorfin mendorong para pemburu untuk terus berjalan berkilo-kilo jauhnya untuk mengumpulkan daging demi keluarga mereka yang kelaparan di desa; kemampuan inilah yang memberikan mereka akses ke status sosial yang lebih tinggi. Sementara mereka yang lebih lemah secara fisik dan tak mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan berburu harus menerima peran yang tak begitu “berkelas”, seperti mengumpulkan buah dan sayur. Perbedaan antara si “kuat” dan si “lemah” ini adalah langkah pertama menuju terbentuknya hierarki sosial. Walaupun adanya hormon endorfin ini membagi masyarakat ke dalam dua kelompok yang berbeda, hubungan yang erat antara dua kelompok ini tetap terjaga karena hormon serotonin dan oxytocin memberikan rasa hangat dan saling menghargai di antara mereka.
Rasa Aman Adalah Mesin Utama dari Sebuah Kemajuan; dan Rasa Aman Itu Harus Dijaga oleh Kelompok dan Pemimpinnya
Salah satu manfaat terbesar dari hidup berkelompok adalah kita tak perlu takut untuk menghadapi ancaman sendirian, dan ini akan memberikan kita rasa aman. Ketika manusia merasa aman, kita tak akan menghabiskan sebagian besar dari waktu kita untuk merisaukan ancaman, tetapi kita akan berkonsentrasi untuk membuat kemajuan. Di zaman prasejarah, bahaya bisa ditemukan di mana saja. Manusia harus selalu waspada terhadap ancaman predator, penyakit, dan kelompok manusi lainnya; tetapi di waktu yang sama, mereka harus melindungi makanan dan tempat tinggalnya. Berkat hidup berkelompok, mereka bisa membagi tugas-tugas penting ini kepada tiap anggota yang mana akan memberikan mereka kebebasan untuk berinovasi pada tugas yang telah dilimpahkan kepadanya; misalkan mereka bisa menyempurnakan alat-alat untuk berburu atau memasak. Inilah alasannya mengapa otak kita menaruh prioritas tinggi terhadap rasa aman.
Namun rasa aman tak akan muncul begitu saja dalam sebuah kelompok: sang pemimpinlah yang memastikan bahwa lingkaran rasa aman (circle of safety) itu muncul di sekeliling anggota kelompoknya. Maksud dari “lingkaran rasa aman” di sini adalah sekelompok orang yang mimiliki kepercayaan terhadap nilai yang sama, dan mereka berjuang untuk melindungi antara satu dengan yang lain dari bahaya. Di lingkaran tersebut, anggota dapat saling percaya sehingga mereka dapat mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membuat kemajuan.
Bop Chapman adalah salah satu pemimpin yang berhasil memberikan rasa aman kepada karyawan pabriknya di HayssenSandiacare. Ketika mengambil alih perusahaan tersebut, yang beliau lakukan pertama kali adalah mendengarkan keluhan dan keinginan dari karyawannya untuk membuat mereka merasa lebih aman dan nyaman dalam bekerja. Perubahan pertama yang beliau buat adalah menyediakan akses telpon untuk karyawan pabrik sehingga mereka bisa menghubungi keluarga mereka kapanpun tanpa dipungut biaya. Selain itu, akses kepada peralatan yang sebelumnya dibatasi dan dikurung oleh jeruji besi dihilangkan, sehingga karyawan pabrik bisa dengan bebas memanfaatkannya; ini juga simbol bahwa perusahaan percaya pada karyawan. Hasilnya, mesin-mesin pabrik jarang mengalami kerusakan dan operasi pabrik jarang sekali mengalami pemberhentian.
Bop Chapman mengedepankan empati untuk memahami apa yang dirasakan karyawan, dengan demikian rasa aman yang diberikan oleh perusahaan mampun menjangkau hingga lapisan terbawah.
Seorang Pemimpin Memutuskan Nilai dan Budaya yang Dianut Perusahaan yang Akhirnya Berdampak Kepada Mentalitas Karyawannya
Bagi CEO, menjalankan sebuah perusahaan yang sukses tak hanya sekedar mengetahui tentang bagaimana caranya untuk mencetak sebanyak mungkin penjualan, memangkas biaya, dan mengatur seluk beluk keuangan perusahaan; tetapi membentuk budaya yang sehat juga menjadi bagian dari pekerjaannya. Dari budaya perusahaan, karyawan belajar mengenai bagaimana caranya untuk menangani masalah, memperlakukan pelanggan, dan mengutamakan nilai-nilai luhur dalam bekerja. Cara seorang CEO mengambil keputusan dari aspek bisnis dan non-bisnis akan berperan dalam membentuk budaya perusahaan.
Kita bisa belajar sedikit mengenai bagaimana keputusan CEO dapat mengubah budaya perusahaan dari sejarah Bank Goldman Sachs. Dari tahun 1970 hingga 1990, moto yang dianut oleh perusahaan adalah “serakah jangka panjang” (long-term greedy); yang diartikan sebagai kemauan perusahaan untuk selalu mengedepankan kebutuhan pelanggan walaupun mereka harus mengalami kerugian finansial dalam jangka pendeknya. Namun budaya ini mulai berubah ketika Goldman Sachs memutuskan untuk go public di tahun 1999. Perusahaan menjadi lebih agresif dalam berinvestasi dan menciptakan produk-produk keuangan dengan keuntungan tinggi namun memiliki risiko kegagalan yang tinggi pula.
Dalam perekrutan karyawan baru, perusahaan juga lebih mengutamakan prestasi akademik serta pengalaman sukses dari kandidat dibandingkan dengan kecocokan mereka terhadap budaya perusahaan (cultural fit). Akibatnya karyawan perusahaan mulai terbagi dalam dua kelompok: Goldman Tua dan Goldman Baru. Goldman Tua dibangun dengan mempercayai nilai kesetiaan dan “serakah jangka panjang”; sementara Goldman Baru sangat bergantung pada angka dan keuntungan jangka pendek dalam bekerja demi mengangkat statusnya di hadapan pemimpinnya. Ancaman dan persaingan mulai muncul dari dalam perusahaan, rasa aman yang dulu ada kini mulai memudar. Keputusan CEO Lloyd C. Blankfein untuk berfokus pada jangka pendek mempengaruhi seluruh lapisan perusahaan.
Tanpa Kedekatan dan Rasa Empati Terhadap Sesama, Kita Bisa Saling Melukai Antar Sesama
Ketika ikatan antara pemimpin dengan timnya terluka parah, konsekuensi buruk dapat mengikutinya. Menurut Simon, kepedulian terhadap karyawan adalah bentuk rasa tanggung jawab dari seorang pemimpin; melepaskan hubungan dengan karyawan sama halnya dengan melepaskan tanggung jawab. Tanpa kedekatan yang terjalin, pemimpin tak akan terlalu peduli dengan efek samping dari kesalahan yang mungkin saja ia perbuat.
Rasa tanggung jawab pemimpin datang dari rasa empatinya (kemampuan untuk menempatkan diri di posisi orang lain). Tanpa empati, pemimpin akan mengacuhkan sisi emosional dari keputusan yang ia buat. Parahnya lagi, jika pemimpin tak pernah benar- benar turun ke lapangan untuk berinteraksi dan mencoba merasakan apa yang karyawannya rasakan, dan hanya mendasarkan keputusan bisnis pada angka dan grafik yang tersusun di layar komputer saja, maka rasa acuh itu akan semakin nyata. Angka pemecatan karyawan hanyalah sekedar angka baginya selama keuntungan dan harga saham masih bisa terselamatkan. Ia tak peduli dengan nyawa lain yang bergantung pada pendapatan dari karyawan tersebut. Sang pemimpin tak berpikir panjang mengenai dampak negatif secara emosional dan fisik dari para karyawan yang ditimbulkan oleh keputusan “buta”nya.
Simon menyebut fenomena di mana pemimpin mimiliki pandangan yang tercerabut antara performa kuantitatif perusahaan dengan orang-orang yang berperan di baliknya sebagai abstraction (abstraksi). Fenomena abstraksi ini pernah dibuktikan oleh percobaan Milgram yang meminta 160 sukarelawan untuk berperan sebagai guru; sementara beberapa dari peniliti itu sendiri berperan menjadi murid. Kelompok guru diminta untuk menanyakan beberapa pertanyaan kepada sang murid. Ketika murid salah dalam menjawab, guru harus menghukumnya dengan memberikan sengatan listrik yang besarannya berkisar antara 15 hingga 450 volt. Dari penelitian ini ditemukan bahwa ketika murid dan guru duduk bersebelahan saat proses penyengatan terjadi, hanya 30% dari sukarelawan memilih untuk melanjutkan proses tanya jawab. Namun saat murid dan guru berada di ruangan yang berbeda dan sang guru tak dapat mendengar teriakan atau melihat ekspresi dari sang murid saat listrik menyengat, 70% dari sukarelawan bersedia untuk melanjutkan prosesnya.
Simon menyimpulkan bahwa ketika abstraksi terjadi, pemimpin mulai memprioritaskan kepentingan pribadinya di atas kepentingan bersama yang pastinya akan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Kepemimpinan Yang Buruk Ikut Berkontribusi Pada Egoisme Modern dan Dehumanisasi Manusia
Generasi baby boomers, mereka yang dilahirkan setelah perang dunia kedua berakhir, merupakan generasi yang dimanjakan oleh ekonomi yang sedang berkembang. Orang tua generasi boomers mampu memberikan kenyamanan dan memenuhi keinginan dari anak- anak mereka dengan relatif lebih mudah. Kita pernah mendengar perkataan bahwa generasi yang hebat didefinisikan oleh kemauan anggotanya untuk melayani sesamanya; namun hal yang sebaliknya terjadi pada generasi baby boomers, mereka lebih suka meminta dari pada memberi. Lebih dari itu, insting alamiah dari generasi yang lebih muda adalah menantang nilai-nilai yang dipercaya oleh generasi sebelumnya, akibatnya generasi boomers relatif lebih egois dan mempertanyakan otoritas dari orang tuanya yang sebenarnya telah mampu bertahan melalui peperangan dengan melindungi sesamanya.
Preferensi baby boomers terhadap perilaku egois (self-centered) dapat dilihat dari cara mereka menyambut keputusan Presiden Ronald Reagan terhadap kasus mogok kerja dari air traffic controller di tahun 1981 dengan baik. Baby boomers tak mengajukan protes ketika Reagan memecat 11.000 pekerja yang protes; Reagan justru berpihak pada perusahaan yang memprioritaskan keuntungan dari pada kesejahteraan pekerja dan menentang permintaan karyawan untuk mendapatkan gaji yang lebih layak. Jika sikap yang mengutamakan keuntungan ini diteruskan, dehumanisasi manusia akan semakin merajalela.
Kejadian wabah salmonella di Amerika pada tahun 2009 yang menewaskan sembilan orang merupakan akibat dari budaya yang mengagungkan keuntungan. Bagaimana penyebaran wabah ini bisa terjadi? Dengan sengaja perusahaan yang bernama Peanut Corporation of America mengirimkan kacang yang telah terkontaminasi ke lebih dari 300 perusahaan untuk dijual kembali. Kejamnya lagi, walaupun mereka mengetahui bahwa kacang itu telah terkontaminasi, mereka tetap mengirimkannya agar cashflow (arus uang kas) dari perusahaan tetap bisa terjaga.
Masyarakat Modern Telah Kecanduan Terhadap Performa yang Lebih Baik dan Lebih Cepat
Kecanduan terhadap alkohol atau narkotika mungkin sudah dialami oleh manusia sejak cukup lama, tetapi jangan salah, manusia juga bisa ketagihan terhadap performa atau pencapaian. Lagi-lagi, ini ada hubungannya dengan proses biologi dalam tubuh kita. Di zaman prasejarah, hormon dopamin diproduksi ketika manusia mampu bertahan hidup. Namun saat ini, produksi dopamin sangat tergantung pada performa kita dalam bekerja; ketika kita mampu menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dan lebih baik, hormon dopaminpun dilepaskan dan kita merasa bahagia. Banyak perusahaan yang mulai memanfaatkan mekanisme biologi ini demi mendapatkan keuntungan yang lebih dari seorang karyawan, sampai-sampai mereka lupa bahwa hal ini memiliki efek sampingnya tersendiri.
Salah satu perusahaan yang pernah memanfaatkan “dopamine rush” adalah America Online (AOL). Suatu saat, beberapa staff perusahaan yang bertanggung jawab terhadap akuisisi pelanggan datang dengan strategi marketing yang berupa “gunakan layanan daring AOL secara gratis” untuk menarik pelanggan-pelanggan baru. Para staff didorong pihak manajemen untuk fokus pada satu ukuran performa saja, yakni dapatkan sebanyak mungkin pelanggan untuk mendaftarkan diri terhadap layanan AOL; sampai-sampai mereka sempat menawarkan 1000 jam gratis per bulan yang mana cukup memakan banyak biaya operasional. Lama-kelamaan ternyata praktik ini tidak sehat untuk kondisi keuangan perusahaan dalam jangka panjang. Ibarat lari maraton, mereka telah menggunakan sebagian tenaganya untuk sprint di tahap awal.
Selain itu, dikelilinginya manusia dengan teknologi canggih juga ikut mengubah preferensi kita untuk lebih mengutamakan hal-hal yang dapat memuaskan keinginan kita dalam waktu singkat. Penulis sempat mengamati fenomena yang terjadi di sosial media: ketika kita melihat kampanye-kampanye kemanusiaan yang bertebaran di Instagram atau Facebook, sesegera mungkin kita memencet tombol like atau share sebagai upaya kita untuk menunjukkan bahwa kita peduli dengan kondisi mereka. Saat memencet tombol like, kita mengalami kebahagiaan sesaat karena kita merasa telah berhasil menyelesaikan sebuah “tugas”. Tetapi menurut Simon, agar kita tak kecanduan terhadap aliran dopamin dengan dosis kecil ini, kita harus menyeimbangkannya dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan oxytocin dan serotonin seperti menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan untuk membangun hubungan dengan manusia di dunia nyata. Kita tahu bahwa melakukan kegiatan sukarela merupakan sesuatu yang berat, jauh lebih mudah untuk memencet tombol like di media sosial; inilah yang membuat kita kecanduan terhadap “quick fix”.
Integritas dan Kemampuan Untuk Membentuk Ikatan Dengan Orang Lain adalah Syarat Penting Untuk Kepemimpinan
Dalam bayanganmu, mungkin seorang pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang tertentu dan telah melalui banyak pengalaman di industri yang digeluti. Namun menurut Simon, integritas dan kemampuan untuk membentuk ikatan dengan anggota tim adalah kunci dari kepemimpinan. Kita tahu bahwa pemimpin juga manusia, jadi kita akan memakluminya ketika ia berbuat salah. Namun yang membuat seseorang menjadi pemimpin yang patut dicontoh adalah ketika mereka jujur dan berterus terang dengan kesalahan mereka dan mau bertanggung jawab atasnya. Rasa aman di benak anggota kelompok akan terbentuk secara perlahan ketika fondasi kejujuran dan rasa saling percaya itu telah terbangun.
Di tahun 2009, Ralph Lauren Corporation mengetahui bahwa cabangnya di Argentina telah terlibat dalam kasus penyuapan. Mengejutkannya lagi, mereka tak berusaha untuk menutup-nutupi kasus itu. Pemimpin dari perusahaan justru memilih untuk bertanggung jawab dan menginformasikan kepada pihak yang berwenang di Amerika bahwa mereka bersedia untuk membantu menuntaskan kasus ini hingga ke akar-akarnya. Walaupun akhirnya mereka harus membayar denda lebih dari satu juta dolar, integritas mereka tetap bisa terjaga; mereka tak akan kehilangan kepercayaan dari karyawan maupun pelanggannya.
Setelah pemimpin mendapatkan kepercayaan dari anggotanya, ia harus menjaga kepercayaan itu dengan tetap membina hubungan baik dengan mereka, karena melalui hubungan itu lah mereka dapat saling menjaga dan mengetahui kebutuhan antara satu dengan yang lain. Merosotnya kepemimpinan karena kurang ikatan dapat kita lihat pada Kongres AS. Hingga tahun 1990, sebagian besar anggota kongres tinggal di Washington dan berkomunikasi antara satu sama lain setiap harinya; dan ini menghasilkan perundang-undangan yang kental akan kerja sama dan penuh dengan kebijaksanaan. Berbeda dengan hari ini, sebagian besar anggota kongres tinggal di daerah yang berbeda. Selain itu, mereka harus terbang ke Washington hanya untuk beberapa hari saja untuk mendiskusikan perundang-undangan. Hasilnya, kongres AS memiliki approval rating paling rendah dalam sejarah congressional AS.
Menjadi Seorang Pemimpin Mewajibkanmu Untuk Meletakkan Kepentingan Bersama di atas Kepentingan Pribadi Untuk Memenuhi Sebuah Visi
Ketika memutuskan untuk memilih seorang presiden di bilik pencoblosan, apa sajakah hal- hal yang kamu pertimbangkan sebelum memilihnya? Karakteristik personal seperti apa yang kamu cari? Pada dasarnya, seorang pemimpin harus memiliki sebuah visi akan masa depan yang patut diperjuangkan dan dapat menginspirasi seluruh anggota kelompok untuk meraihnya. Walaupun tiap individu memiliki tujuan-tujuan pribadinya, kelompok secara keseluruhan perlu memiliki tujuan untuk menjaga kekompakan di antara mereka, dan tujuan itu berasal dari visi seorang pemimpin. Jika visi itu diyakini sepenuhnya oleh sang pemimpin, maka ia harus melayani yang dipimpin untuk meraih tujuan tersebut, bukan sebaliknya. Meskipun pemimpin dapat menikmati privilese tertentu, mereka bertanggung jawab atas mereka yang dipimpin. Bahkan di waktu krisis, pemimpin sejati akan menggunakan sumber daya pribadinya (baik harta maupun tenaga) untuk kebaikan bersama.
Prinsip ini telah terbentuk dalam keseharian kelompok Korps Marinir Amerika Serikat di mana para anggota senior hanya akan menikmati makanannya ketika seluruh anggota telah mendapatkan bagian mereka masing-masing. Ini bukanlah sebuah perjanjian ataupun perintah, namun ini sudah menjadi kepercayaan yang terukir di benak mereka bahwa: “pemimpin makan terakhir (leaders eat last)”. Hanya ketika mereka telah mampu mendahulukan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin, di saat itulah dia pantas disebut sebagai pemimpin.
Makna sebenarnya dari “pemimpin” dapat ditemukan di dalam kata pemimpin itu sendiri: di mana kamu harus mengarahkan kelompokmu menuju ke arah tertentu, menunjukkan mereka jalan mana saja yang harus diambil, dan memperlihatkan mengapa tujuan tersebut layak untuk diperjuangkan. Dan dalam perjalanannya, sang pemimpin harus mengikuti mereka di urutan paling belakang untuk memastikan bahwa tiap anggota berhasil meraih akhir dari tujuan.
Add a comment