Apa sebenarnya yang dimaksud dengan inflasi? Sebagian besar dari kita memahami inflasi sebagai kenaikan harga barang kebutuhan di pasar. Ini bukanlah definisi yang salah. Akan tetapi definisi ini melewatkan aspek terpenting kedua dari inflasi, yakni: menurunnya kemampuan daya beli uang (purchasing power of money), atau dengan kata lain, dengan jumlah uang yang sama, jumlah barang yang bisa kita beli tak akan sebanyak dahulu. Aspek kedua dari inflasi ini telah mengakibatkan ketidakseimbangan ekonomi yang membahayakan; yang kaya menjadi semakin kaya dengan mengorbankan kehidupan dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Lalu apa yang menjadi penyebab dari inflasi?
Inflasi Merupakan Peristiwa Meningkatnya Harga Barang yang Disebabkan oleh Meningkatnya Jumlah Suplai Uang
Inflasi adalah peningkatan terus menerus yang terjadi pada harga barang dan jasa, atau menurunnya daya beli (purchasing power of money) dari mata uang suatu negara. Bagaimana mekanismenya?
Bayangkan keberadaan dari sebuah negara kecil yang hidup terisolasi dari masyarakat dunia lainnya. Negara itu hanya ditinggali oleh 5 penjual roti dan 5 penjual kopi. Tiap bungkus roti dan secangkir kopi diberi harga satu koin emas. Sebagai alat pembayaran, terdapat 10 koin emas yang beredar di negara tersebut. Suatu hari, seseorang menemukan 10 koin emas baru yang kemudian dibagikan secara merata di antara 10 orang penduduknya. Akan tetapi, jumlah bungkus roti dan cangkir kopi yang dihasilkan masih sama, yakni 5 dan 5. Karena tiap orang merasa mereka memiliki uang lebih, mereka bersedia untuk membayarkan uang lebih demi mendapatkan tambahan roti atau kopi. Alhasil, baik harga dari sebungkus roti maupun secangkir kopi meningkat menjadi 2 koin emas.
Pada kehidupan nyata, mekanisme terjadinya inflasi melalui tahapan yang jauh lebih kompleks dan cenderung terjadi secara perlahan. Tetapi, seperti yang ditunjukkan dalam contoh, inflasi juga sangat tergantung pada jumlah suplai uang (atau jumlah total uang yang didistribusikan dalam suatu negara). Jika suplai uang semakin banyak, maka harga-harga akan melonjak akibat masyarakat rela membayar dengan harga lebih tinggi untuk mendapatkan barang yang terbatas.
Dalam contoh roti dan kopi, jumlah suplai uang meningkat karena seseorang menemukan sejumlah koin emas baru. Namun dalam kehidupan nyata, meningkatnya suplai uang biasanya diakibatkan oleh dua faktor yang berbeda: 1) Bank sentral sebuah negara mencetak uang baru dan 2) Bank swasta yang memberikan utang kepada pribadi atau perusahaan.
Keputusan ekstrem sentral bank ini pernah dialami oleh pemerintahan Weimar Republic Jerman di awal tahun 1920-an. Pada awal periode paska Perang Dunia Pertama, pemerintah Jerman sedang memiliki banyak utang. Untuk melunasi utang tersebut, sentral bank memutuskan untuk mencetak banyak uang baru. Strategi ini bekerja; semua utang terlunasi dengan cepat. Akan tetapi, kebijakan ini memiliki efek samping negatif yang berupa hyperinflation yang merupakan versi ekstrim dari inflasi biasa. Harga-harga mengalami lonjakan sebesar 29.500% di tahun 1923. Sebagian besar dari masyarakat yang hanya menyimpan hartanya dalam bentuk uang tunai menjadi tak berharga seketika. Klik link ini untuk baca mempelajarinya lebih detil.
Namun mengejutkannya, suplai uang hanya mempengaruhi inflasi pada jangka waktu menengah saja; dalam jangka pendek dan jangka panjang, suplai uang tak begitu berpengaruh terhadap inflasi.
Inflasi Cenderung Mengikuti Pola Seperti Ombak (Naik, Kemudian Turun dan Stabil, Kemudian Melonjak Kembali)
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa peningkatan suplai uang hanya memengaruhi inflasi dalam jangka menengah saja. Lalu apa yang sebenarnya memengaruhi inflasi pada jangka pendek dan panjang?
Pada jangka pendek, suplai uang menjadi sesuatu yang kurang relevan karena perubahan jumlahnya tak dapat secara langsung tercermin pada harga barang dan jasa. Sering kali, kebijakan untuk meningkatkan jumlah suplai uang dikeluarkan di saat krisis terjadi; ini adalah momen di mana kepercayaan diri dari masyarakat terhadap ekonomi sedang lesu dan bisnis enggan untuk meningkatkan produksi. Maka dari itu, orang-orang cenderung menyimpan uangnya di fase awal dari meningkatnya suplai uang. Selain itu, sebagian besar uang baru dicetak di saat bank-bank swasta memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Biasanya, uang pinjaman itu digunakan oleh perusahaan atau pribadi untuk membeli aset jangka panjang seperti pembangunan pabrik, pembelian mesin produksi, atau pembangunan rumah; sehingga uang tidak secara langsung digunakan untuk membeli jasa dan barang kebutuhan sehari-hari.
Di awal abad ke-20, John Maynard Keynes, seorang ekonom, berteori bahwa ada hal lain yang mengakibatkan inflasi selain money supply, yakni: permintaan yang melebihi penawaran. Kemudian beliau juga berpendapat bahwa inflasi dapat dibangun di dalam sebuah sistem ekonomi dengan kebijakan seperti “Kenaikan Upah Tahunan secara Reguler”. Sebagian besar orang berpikir bahwa gaji mereka dinaikkan tiap tahunnya karena hasil kerja mereka yang memuaskan, akan tetapi sebenarnya kenaikan ini merupakan akibat dari inflasi.
Sekarang, kita beralih ke jangka panjang. Pada dasarnya dalam jangka panjang, inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi. Efek ini cukup mudah dipahami. Dengan meningkatnya populasi, semakin banyak pula orang yang berkompetisi untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas sehingga berakibat pada kenaikan harga. Dari tahun 1950 ke 2013, ukuran populasi global meningkat 3 kali lipat yang awalnya hanya 2,5 miliar menjadi 7,2 miliar. Bukan sebuah kebetulan bahwa pada periode ini juga terjadi kenaikan harga yang paling masif yang pernah direkam oleh sejarah.
Berdasarkan teori dari penulis, tren dari terjadinya inflasi mengikuti pola seperti ombak, karenanya teori ini beliau sebut dengan “Inflationary Wave Theory”. Di tahap awal, inflasi akan meningkat secara bertahap dalam jangka waktu satu abad. Kemudian akan ada satu periode di mana “guncangan” banyak terjadi dan harga mengalami fluktuasi liar. Selanjutnya, akan datang periode equilibrium di mana harga kembali meraih stabilitas. Pada akhirnya, sebuah gelombang baru inflasi terpicu untuk kembali muncul dan siklus inflasi mulai lagi dari awal. Tiap kali kenaikan harga terjadi, peningkatannya bersifat eksponensial dari waktu ke waktu; meskipun begitu, panjangnya gelombang dan intensitas dari banyaknya gelombang akan bervariasi. Klik di sini untuk melihat grafik dari Inflationary Wave Theory.
Seorang sejarawan bernama David Hackett Fischer pernah mengusulkan teori yang mirip di tahun 1996. Beliau berkata bahwa setelah periode stabilitas harga berlangsung, akan ada suatu peristiwa yang memicu terjadinya gelombang inflasi baru. Beliau berargumen bahwa periode stabilitas ini mendorong masyarakat untuk melihat hidup dengan lebih positif sehingga mereka bersedia untuk memiliki lebih banyak anak. Tentunya, pertumbuhan populasi yang meningkat memberikan tekanan lebih kepada sumber daya yang bersifat terbatas, inilah yang menyebabkan peningkatan harga berlangsung secara perlahan namun pasti.
Pemerintah dan Debitur Mendapatkan Keuntungan dari Inflasi; Sementara Mereka yang Rajin Menabung Terluka Olehnya
Kita harus memahami bahwa inflasi tidak sepenuhnya buruk, namun juga tidak sepenuhnya baik.
Kenapa inflasi bisa menjadi hal yang baik? Dalam takaran yang pas, gelombang inflasi dapat membantu ekonomi. Pertama, meningkatnya harga menjadi insentif bagi masyarakat untuk menggunakan uangnya alih-alih hanya menyimpannya saja; ini karena mereka tahu bahwa jika uang dibiarkan saja mendiam di tabungan, maka uang itu akan terus kehilangan nilainya, terlebih jika bunga yang diberikan bank sangat kecil. Selain itu, orang-orang yang memegang aset seperti rumah dan saham berujung mendapatkan keuntungan berkat inflasi; kemudian keuntungan itu akan mereka habiskan untuk membeli barang dan jasa. Rangkaian peristiwa ini mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, penerima manfaat sebenarnya dari inflasi adalah pemerintah. Bagaimana bisa? Inflasi mengakibatkan angka Produk Domestik Bruto (nilai pasar dari semua barang dan jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu) terlihat lebih tinggi. Kenaikan PDB ini akan memberikan negara tersebut citra positif di mata dunia. Walaupun ada cara untuk mengalkulasi PDB yang disesuaikan dengan tingkat inflasi di periode tersebut, pemerintah biasanya memilih metode yang menguntungkan bagi mereka.
Keuntungan lain bagi pemerintah adalah adanya keringanan utang yang didapatkan secara tidak langsung. Ya, inflasi mengurangi biaya riil utang yang ditanggung oleh pemerintah. Bagaimana mekanisme nya? Terkadang pemerintah memerlukan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara dengan mengeluarkan Surat Berharga Negara (SBN) yang menjanjikan pembayaran kupon dengan suku bunga tetap per tahunnya yang dibayarkan secara konsisten kepada pembeli SBN hingga SBN tersebut jatuh tempo. Saat inflasi terjadi, maka otomatis pajak yang didapatkan negara akan bertambah tiap kali transaksi jual beli terjadi mengingat besarnya pajak pertambahan nilai (PPN) tergantung pada nilai dasar dari barang atau jasa yang diperjual belikan. Semakin besar nilai barang atau jasa, maka semakin besar pula pajak yang didapatkan pemerintah. Kalian bisa lihat bagaimana pendapatan negara bertambah sementara bunga yang dibayarkan pemerintah (melalui kupon SBN) tetap sama saat inflasi terjadi.
Inilah alasannya mengapa pemerintah biasanya menetapkan untuk menjaga inflasi pada angka tertentu (Bank Sentral AS, The Fed, menargetkan inflasi di angka 2%). Pemerintah tak pernah mencoba untuk menurunkan inflasi hingga di angka 0%, justru mereka mencoba untuk menjaga inflasi pada batas maksimal yang telah ditetapkan. Maka dari itu, target ini diberi istilah pajak inflasi (inflation tax) karena pendapatan pajak meningkat sebanding dengan inflasi. Di Britania Raya (Inggris), nilai pajak inflasi mencapai £30 miliar per tahunnya. Pendapatan pajak semacam ini cenderung tak terlihat dari masyarakat dan melindungi pemerintah dari kemarahan masyarakat jika dibandingkan dengan perpajakan jenis lain.
Lalu siapa yang harus membayarkan pajak ini? Siapa yang mengalami kesulitan terparah? Tentunya masyarakat biasa, terutama mereka yang rajin menabung. Secara perlahan dan tak kentara, inflasi telah mencuri uang dari rekening bank masyarakat, menurunkan daya beli dari uang simpanan mereka. Bahkan di momen ini, siapapun yang menyimpan uang tunai di dompet atau tabungan bank sedang kehilangan daya belinya setara dengan tingkat inflasi di momen tersebut.
Inflasi yang Meningkat Secara Eksponensial Mungkin Saja Bisa Berbalik Arah
Akan ada satu titik di masa depan di mana inflasi justru bergerak menurun. Bisakah kamu menebak apa yang menjadi penyebabnya? Jawabannya ada pada perubahan populasi; atau lebih tepatnya, populasi dunia yang menua. Di saat ini, populasi dunia secara menyeluruh masih dalam fase pertumbuhan. Akan tetapi, pertumbuhan ini hanya berpusat di Afrika dan Asia Tenggara saja, lokasi di dunia yang menggunakan sumber daya yang relatif lebih sedikit dan tak begitu berkontribusi terhadap terjadinya inflasi. Bahkan di negara-negara seperti Jepang, Rusia dan Jerman, tingkat kelahirannya berada di bawah replacement level (tingkat penggantian). Menurut prediksi Deutsche Bank, total populasi dunia akan mencapai puncaknya dan mulai menurun di tahun 2050.
Penelitian lain menunjukkan bahwa seiring dengan masa hidup seseorang, konsumsi manusia cenderung akan meningkat hingga mencapai usia 46 tahun dan kemudian menurun dari situ. Maka dari itu, di saat sebagian besar populasi dunia menua, permintaan akan mulai menurun, memberikan tekanan ke bawah pada harga. Kecenderungan ini sudah mulai bisa dilihat di Jepang, di mana harga barang dan jasa serta PDB telah mengalami stagnasi. Saat ini Jepang merupakan negara yang memiliki populasi tertua di dunia dengan umur rata-rata 46 di tahun 2012, angka ini tepat di mana orang-orang mulai mengonsumsi lebih sedikit sumber daya. Populasi yang menua dikombinasikan dengan jumlah populasi yang cenderung menurun akan memperlambat inflasi secara signifikan pada dekade-dekade setelah tahun 2050.
Kewaspadaan dengan Siklus Inflasi dapat Membantumu Mempersiapkan Diri Menghadapi Masa Depan
Hampir tidak mungkin untuk memprediksi keadaan ekonomi di masa depan. Bahkan probabilitas para ahli untuk menebak kondisi ekonomi dengan benar pun sangat tipis, tak jauh berbeda dengan orang biasa. Akan tetapi, pengetahuan dasar tentang siklus inflasi dapat membantumu mengatur alokasi aset-asetmu di saat situasi sedang tak menentu.
Selama 120 tahun terakhir hingga saat ini, kita masih berada pada siklus naik dari inflasi (inflationary up-cycle). Karenanya penulis berpendapat bahwa kita sudah mencapai titik akhir dari gelombang kenaikan harga. Walaupun begitu, kamu sebaiknya tetap berasumsi bahwa inflasi akan tetap terjadi selama keberadaan dari inflasi dapat membantu bank sentral dan pemerintah untuk “meringankan bebannya”. Diprediksikan bahwa kita akan mengalami fenomena “lowflation” dalam waktu dekat ini, bukan deflation (deflasi); atau dengan kata lain, harga akan tetap naik namun dengan pergerakan yang lebih lambat.
Di dunia dengan lowflation, suku bunga bank akan tetap dijaga pada posisi rendah dan akan ada periode di mana bank sentral mencetak uang baru atau memberikan stimulus jenis lain. Suku bunga yang rendah akan meningkatkan jumlah utang/pinjaman ke dalam ekonomi. Biaya pinjam uang yang rendah ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk berinvestasi atau berspekulasi di pasar aset keuangan. Maka dari itu, harga saham, harga properti dan tanah akan cenderung naik. Namun, bagi mereka yang memilih untuk menyimpan uang tunai akan terus melihat nilai uangnya tergerus oleh inflasi.
Kalkulasi kondisi ini akan berubah jika saja sesuatu yang besar dan mengguncang seperti krisis obligasi atau gagal bayar utang dalam skala besar melanda; kondisi ini akan diikuti dengan restrukturisasi utang secara besar-besaran dan penutupan beberapa bank-bank besar yang gagal. Harga saham pun akan ikut turun di tengah-tengah kondisi ekonomi yang begitu tak menentu. Sebaliknya, harga logam mulia seperti emas dan perak akan melonjak karena aset- aset ini sering dianggap sebagai aset yang aman dan berharga di segala zaman. Penulis juga berpendapat bahwa harga dari aset-aset digital seperti Bitcoin atau Ethereum dapat melonjak di kondisi tersebut jika saja berakhirnya inflasi ini disebabkan oleh krisis perbankan. Perbankan yang gagal dalam mengelola asetnya akan memicu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap industri. Bermula dari sini, rakyat akan berpikir bahwa sistem keuangan alternatif yang terbebas dari aturan tak jelas dari bank swasta harus segera dibentuk.
Setelah adanya guncangan dari periode transisi akan datang kondisi yang jauh lebih stabil. Fluktuasi harga barang dan jasa akan semakin menciut seiring dengan waktu. Harga saham juga mulai berbalik ke arah positif, namun keuntungan jangka panjang yang diberikan tak akan sebanyak pada saat suplai uang dari bank sentral melimpah. Jumlah pinjaman uang dari bank juga akan semakin dibatasi, akibatnya perusahaan juga tidak akan berinvestasi untuk memperbesar kapasitas produksi. Lapangan kerja yang semakin terbatas tak memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya.
Inflasi memungkinkan perbankan untuk menciptakan uang dari “udara” dengan meminjamkan uang. Namun di dunia tanpa inflasi, mereka yang menginginkan lebih banyak uang harus bekerja lebih keras untuk mendapatkannya, atau mengorbankan uang tabungan pribadi mereka untuk diinvestasikan ke dalam bisnis yang nyata. Penulis berpendapat bahwa dunia tanpa inflasi akan menjadi dunia yang lebih adil. Mereka yang pandai dalam menyimpan uang tak akan lagi dimanfaatkan oleh para peminjam uang yang salah satunya adalah pemerintah dari sebuah negara yang hobi untuk mengeluarkan surat utang negara.
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan, mohon beri tahu kami jika terdapat informasi yang dapat kami perbaiki. Terima kasih kawan!
Add a comment