“Berapa banyak pegawai restoran yang dibutuhkan untuk mengganti sebuah bohlam rusak?”
Coba tanyakan pertanyaan tersebut ke GPT-4, sebuah kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh OpenAI, dan mungkin GPT-4 akan menyediakan dua jawaban. Jawaban pertama (sesuai fakta): Satu orang pegawai seharusnya cukup selama ia mengikuti prosedur keamanan yang tepat. Jawaban kedua (bernada bercanda): 4 – satu orang untuk memegang tangga, satu orang untuk mencopot bohlam, satu orang lain untuk memasang bohlam yang baru, dan satu orang terakhir membuat laporan atas salahnya jumlah watt pada bohlam yang baru. Bukanlah jawaban yang buruk bukan? Dan fakta bahwa GPT-4 memikirkan untuk menyediakan dua jawaban itu cukup memukau.
Menariknya lagi, cobalah tanyakan pertanyaan yang sama dan mintalah jawaban dengan nada bercanda menggunakan gaya tulisan Jerry Seinfeld; seketika itu juga GPT-4 akan menirukan Jerry dengan tulisannya yang benar secara tata bahasa dan monolognya dengan nada akurat. Lalu coba minta lagi jawaban dengan gaya tulisan Ludwig Wittgenstein yang merupakan seorang filsuf; dari situ kamu akan mendapatkan jawaban yang dibalut dalam sebuah ceramah meyakinkan serta penjelasan mengenai tujuan mendasar di balik penggantian bohlam.
Semua ini cukup menghibur bukan? Namun kecerdasan buatan dapat melakukan lebih dari ini. GPT-4 adalah salah satu dari Large Language Model (LLM) yang ada di dunia. LLM mengambil data dari banyak database yang berisi informasi, tulisan, artikel, dan hasil penelitian buatan manusia untuk menciptakan respons yang dapat dipercaya. Yang kamu perlu lakukan hanyalah menuliskan pertanyaan/perintah (prompt) melalui sebuah antarmuka berbasis chat. GPT-4 dapat menghasilkan jawaban berupa fakta, puisi, prosa, spekulasi, dan bahkan coding sekalipun. Coba sejenak pikirkan bagaimana teknologi ini dapat digunakan pada bidang-bidang seperti pendidikan, hukum, atau jurnalisme.
AI dan Pendidikan
Saat ide tentang AI disebut-sebut di dalam dunia pendidikan dan akademis, banyak orang yang merespons nya dengan amarah: “Murid-murid akan dengan mudahnya menemukan jawaban terhadap pertanyaan!”, “Ini memudahkan murid untuk menyontek!”. Akan tetapi, ketika seorang professor senior, Steven Mintz, diperkenalkan dengan ChatGPT (sebuah aplikasi chat yang menggunakan teknologi GPT-4 dan bisa digunakan oleh publik), beliau memiliki reaksi yang berbeda. Beliau tak sabar untuk memulai memanfaatkannya ke dalam proses mengajarnya.
Teknologi baru sering kali mengubah wajah pendidikan. Kalkulator memungkinkan kita untuk memecahkan masalah matematika yang lebih rumit. Mesin pencarian Google membantu kita untuk mencari fakta-fakta yang pernah dan sedang terjadi di dunia. Perpustakaan sekolah telah digantikan oleh database daring yang bisa diakses dengan mudah melalui komputer, kapan saja dan di mana saja.
Jika AI dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, maka tak ada gunanya bagi manusia untuk berkompetisi dengan AI. Manusia sebaiknya mengembangkan kemampuan unik mereka masing-masing. Menemukan pertanyaan-pertanyaan terbaik yang bisa ditanyakan kepada AI misalnya. Mempelajari kemampuan-kemampuan yang tak diajarkan kepada AI, dan mewujudkan pengamatan kedepannya tentang AI menjadi sebuah aksi nyata. Semua ini dilakukan jika kita mempunyai semangat untuk melakukan eksplorasi, rasa keingintahuan yang besar, dan jiwa kepemimpinan; inilah kemampuan yang manusia kuasai, namun tidak dimiliki oleh AI.
Lalu, bagaimana Large Language Models ini, dalam praktiknya, dapat membantu para guru seperti Steven Mintz di dalam kelas? Ketika dikonfrontasi dengan pertanyaan ini, GPT-4 memberikan beberapa saran:
1) AI dapat membuat rencana belajar atau ujian-ujian yang ter-personalisasi (sesuai dengan kebutuhan) untuk para murid dengan mempertimbangkan tujuan belajar, kekuatan, kelemahan, dan perkembangan dari tiap-tiap murid secara keseluruhan. Saat program dijalankan, AI dapat memberikan feedback yang cepat dan teliti sesuai dengan kebutuhan.
2) AI juga dapat memfasilitasi kolaborasi grup dengan membuat permainan atau skenario untuk membuat para murid bekerja sama dalam memecahkan masalah.
3) AI dapat bertindak sebagai fasilitator untuk debat dan diskusi dengan menyediakan fakta- fakta, menjadi pengingat, dan menyatakan argumen kontra saat dibutuhkan, dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan manusia. Ini dapat memberikan para guru kebebasan untuk duduk, mengobservasi, dan menilai kemampuan dari para murid.
Akan tetapi kesuksesan dari edukasi berbasis AI belum terjamin. Saat ditanya tentang hal ini, GPT-4 menawarkan prediksi optimis dan pesimisnya. Ia optimis bahwa dalam waktu 50 tahun kedepan, AI merupakan sesuatu yang mudah diakses sehingga dapat memberikan para guru kesempatan lebih untuk berinteraksi dan menginspirasi murid-murid mereka. Dari kaca mata pesimis, GPT-4 memprediksi bahwa teknologi ini dibatasi oleh biaya dan kekhawatiran akan privasi; dengan kata lain, manfaat AI hanya akan dirasakan oleh segelintir orang saja, sehingga menciptakan semakin banyak ketimpangan di dunia pendidikan.
AI dan Kreativitas
Bayangkan sebuah kecerdasan buatan yang mampu menciptakan sebuah lagu orisinal, yang di dalamnya termasuk musik, lirik, dan segala hal yang dibutuhkan untuk sebuah lagu, dalam waktu yang relatif singkat dengan ciri khas sentuhan magis John Lennon. Ini mungkin bukan sebuah karya seni terbaik, namun lagu ini tidaklah buruk. Selain itu, siapapun yang mendengarnya dan familier dengan musik John Lennon dapat menikmatinya sambil berkata: “Ya, bisa jadi ini karya seni beliau.”
Mendengar ini, reaksi awal yang mungkin ditampakkan oleh musisi adalah ketakutan. Kemampuan mereka untuk mencipta lagu tak lagi menjadi penting.
Tapi apa jadinya jika kamu adalah John Lennon dan memiliki teknologi tersebut? Kamu dapat meminta AI untuk menciptakan sebuah lagu, atau beberapa lagu dengan tema apapun yang kamu mau, kemudian pilih dan ambil bagian-bagian terbaik dari lagu-lagu tersebut yang kemudian kamu rangkai dan selaraskan kembali untuk menjadi suatu lagu baru yang bahkan lebih baik dari ciptaan awal AI. Dari percikan inspirasi pertama itu karya seni baru pun muncul. Ini tidak hanya berlaku untuk musik. Para pengembang video game dapat menciptakan narasi atau dialog bercabang yang kemudian bisa ditinjau dan disunting sesuai keperluan. Dengan AI, para arsitek dapat dengan cepatnya mengubah sketsa menjadi model realistis yang dapat dimodifikasi. Masih ada banyak hal lagi yang bisa dilakukan dengan AI.
Ketika ditanya tentang kemampuan berkreativitas manusia di masa depan, GPT-4 menyarankan agar manusia terus mengasah rasa penasarannya sambil tetap berwaspada. Terdapat kekhawatiran nyata bahwa para artis akan kehilangan kreativitasnya atau kemampuan artistiknya dengan keberadaan AI yang mempengaruhi arah kerja mereka. Selain itu, pasar-pasar semakin berpotensi untuk terbanjiri dengan karya seni mengingat semakin mudahnya seni dengan kualitas tinggi dapat diciptakan. Hukum dan etika terkait karya asli ciptaan manusia yang menjadi dasar bagi AI untuk mengembangkan kecerdasannya juga menjadi isu yang penting untuk didiskusikan.
Namun GPT-4 juga menawarkan beberapa solusi yang mungkin untuk memitigasi konsekuensi- konsekuensi negatif kecerdasan buatan:
- Standar dan pedoman terkait budaya penggunaan AI perlu dikembangkan dan ditegakkan untuk memastikan bahwa para pengguna tidak sedang ditipu. Hal ini meliputi pemastian bahwa orang-orang yang terlibat dalam pengembangan AI bertindak secara transparan, akuntabel dan tidak menyalahgunakan teknologi.
- Dengan membina budaya kesadaran dan membangun literasi media, akan semakin banyak orang yang sadar akan potensi-potensi masalah dari AI, dan mempertimbangkan potensi masalah tersebut dalam pengembangannya.
- Akan selalu ada tempat untuk kreator-kreator manusia. Hasil karya mereka dapat diakui dan terus didukung dengan pemberian insentif dan kesempatan-kesempatan untuk mengejar aspirasi artistik mereka.
Ini semua menyisakan pertanyaan tentang: Siapakah yang memiliki hak cipta atas hasil karya seni dari AI? Untuk saat ini, OpenAI masih belum mengeklaim kepemilikan atas segala sesuatu yang diciptakan dengan software nya. Selama GPT-4 tidak digunakan untuk menyakiti atau melanggar hak orang lain, atau digunakan untuk menciptakan konten-konten yang tak pantas, maka GPT-4 dapat digunakan dengan cara apapun yang pengguna suka. Seperti karir dari para pelukis yang didisrupsi oleh penemuan fotografi di abad ke-19, maka akan ada beberapa perubahan terhadap industri kesenian. Jika kita tetap waspada sambil menjaga rasa penasaran, maka perubahan-perubahan ini dapat membawa sesuatu yang menarik.
AI dan Keadilan
Saat ini, di Amerika Serikat, terdapat lebih banyak manusia Amerika Afrika yang mendekam di balik jeruji tahanan dibandingkan dengan jumlah budak yang hidup di tahun 1850 lalu. Konsekuensi dari ketidakadilan di masa lalu masih menjadi bagian hidup yang tak berubah bagi kebanyakan orang. Meskipun penyebab dan solusi dari permasalahan ini cukup kompleks dan sering menjadi perdebatan, kemampuan AI seperti GPT-4 mungkin dapat membantu.
Pertama, penyelesaian permasalahan hukum menggunakan kecerdasan buatan harus dilakukan secara waspada dan penuh kehati-hatian. Sudah pernah ada kejadian di mana bias-bias yang dilakukan oleh manusia pada kasus hukum masa lampau dipelajari oleh algoritma AI sehingga AI berpotensi untuk menghasilkan bias yang sama. Maka dari itu, cara terbaik untuk meningkatkan sistem keadilan adalah dengan menggunakan AI untuk memberdayakan individu yang bekerja di dalamnya, alih-alih menciptakan sebuah prosedur-prosedur yang terotomatisasi tanpa adanya interaksi manusia. Lalu seperti apa bentuknya?
1) Misalkan saja kamera di tubuh polisi. Di satu sisi, kamera tersebut dapat menciptakan transparansi dan rasa keamanan yang lebih. Akan tetapi, kamera tersebut juga melanggar privasi dari masyarakat sekitar, dan merupakan sebuah bentuk pengawasan terhadap komunitas minoritas. AI dapat membantu proses identifikasi dan menghapus informasi personal dari mereka yang tertangkap di kamera, atau mungkin mendeteksi apakah seorang petugas sedang menyalahgunakan kewenangannya atau sedang menggunakan kekerasan terhadap masayarakat.
2) Jasa-jasa hukum juga dapat dibantu oleh AI. GPT-4 unggul dalam kemampuannya menuliskan teks menggunakan gaya dan format tertentu, entah itu instruksi pengadilan (court briefings) atau bahasa hukum lainnya. Teknologi ini dapat membantu terdakwa yang kurang mampu secara finansial untuk menandingi kecepatan dan kualitas dari pengacara-pengacara mahal – atau dengan kata lain, kualitas dari jasa hukum yang kamu dapatkan tak lagi bergantung pada ukuran dompetmu.
3) GPT-4 juga ahli dalam memilah-milah informasi dalam jumlah besar. Fitur ini dapat membantu mereka yang tidak familier dengan hukum, serta mempermudah hidup dari para pengacara tingkat bawah dan paralegal dengan mengeliminasi kebutuhan untuk membaca kontrak dan dokumen-dokumen hukum secara berulang kali.
4) Terakhir, AI juga dapat membantu mencegah dan mendeteksi kejahatan yang dilakukan oleh kaum kerah putih. Ketika ditanya, GPT-4 yakin bahwa AI bisa saja menangkap Bernie Madoff – seorang penipu dari skema Ponzi terbesar dalam sejarah – lebih cepat dari manusia dalam menganalisa pola-pola dan data yang tak terlihat oleh mata telanjang. AI juga memiliki kemungkinan kecil untuk dimanipulasi atau dialihkan oleh investigator manusia, membuatnya semakin sempurna untuk melacak aktivitas illegal atau mencurigakan.
Ini bukan berarti bahwa AI akan membuat sistem hukum sempurna – elemen manusia dalam hukum akan selalu dihiasi dengan ketaksempurnaan. Namun bagaimanapun juga, ini adalah sesuatu yang harus kita kejar, dan AI akan membawa kita semakin mendekat ke masa depan yang ideal.
AI dan Jurnalisme
Di tahun 2025, diprediksi bahwa dunia akan memproduksi sekitar 175 triliun gigabytes data. Angka yang menakjubkan bukan? Dengan data sebanyak itu, kamu dapat menyaksikan konten di Netflix selama kurang lebih 85 juta tahun. Pastinya sebagian besar dari data ini tidak layak menjadi berita yang dikonsumsi masyarakat. Jadi bagaimana caranya untuk menemukan data dan informasi yang layak? Ini adalah zona di mana AI dan dunia jurnalistik bertemu.
Penting untuk memastikan bahwa “Kebenaran” masih memiliki masa depan dan tidak hilang ditelan di tengah-tengah lautan informasi. Ada 3 aspek dari jurnalisme yang bisa dibantu oleh AI:
- Pertama, institusi yang mencari dan menyuarakan kebenaran harus bekerja lebih cepat.
- Kedua, mereka harus berinteraksi dengan para pendengar mereka (konsumer berita dan informasi) secara produktif.
- Terakhir, kebenaran ini tidak boleh hilang di antara informasi omong kosong yang telah beredar luas.
Lalu di mana peran GPT-4? Bayangkan AI yang memindai dan memilah ratusan hingga ribuan jejak rekam posting yang ada di media sosial, menuliskan data audio dan wawancara menjadi teks secara instan, dan membuat judul berita serta artikel dengan format atau gaya apapun dalam waktu singkat. Jika kemampuan AI ini terlihat cukup mengkhawatirkan, memang sepatutnya kita waspada. Sudah cukup sering didengar jika GPT-4 menyatakan, dengan penuh percaya diri, sesuatu yang sebenarnya salah; ini bukanlah hal yang ideal untuk diterapkan pada industri yang berbasis pada kebenaran. Maka dari itu, keberadaan jurnalis-jurnalis manusia menjadi sangat penting untuk meninjau, menilai, dan memeriksa kembali fakta dan kebenaran yang dihasilkan oleh AI. Dengan begitu kualitas dan keakuratan informasi tetap terjaga dan berita dapat menyebar dalam waktu yang singkat.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh konsumer berita? Meminta GPT-4 untuk menemukan dan meringkas cerita tentang bermacam topik merupakan sebuah pengalaman yang berbeda dengan menelusuri Google untuk mendapatkan informasi. Dengan GPT-4, konsumer dapat meminta lebih banyak detail pada poin-poin tertentu, meminta berita untuk disajikan dengan susunan kalimat dan kata yang berbeda, atau penyesuaian-penyesuaian lainnya sekalipun. Ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan menelusuri atau mencari tautan berita yang tepat secara mandiri di Google. Jika orang-orang memiliki kendali lebih atas berita yang mereka dapatkan, maka mereka akan merasa lebih nyaman dengan cara tersebut.
Sisi buruk yang harus kita waspadai di era GPT-4 ini adalah semakin mudah bagi pihak-pihak yang jahat untuk membuat dan menyebarkan berita yang salah. Ini lah alasannya mengapa kemapuan berpikir kritis manusia menjadi sangat penting di zaman sekarang. AI hanyalah alat. Efek yang timbul akibat adanya AI sangat lah tergantung pada bagaimana cara kita menggunakannya.
Ketika AI Berhalusinasi
Berikut adalah beberapa kritik yang disampaikan oleh beberapa jurnalis dan peneliti saat GPT-4 dirilis: “GPT-4 adalah alat penelitian yang cacat dan tak bertanggung jawab.” “Membiarkan GPT- 4 digunakan oleh umum sama halnya dengan menyebarkan berita bohong / informasi yang salah kepada publik.”
Kritik mereka terdengar cukup pedas bukan? Sebenarnya, orang-orang juga mengatakan hal yang sama saat Wikipedia diluncurkan. Sebelum itu pun internet juga mempunyai reputasi yang tak jauh berbeda. Ini bukan berarti bahwa kita bisa menyepelekan kekurangan yang ada pada GPT-4 begitu saja. Namun penulis ingin menunjukkan bahwa ketakutan ini bukan lah sesuatu yang baru.
Terdapat 4 jenis kesalahan utama yang dilakukan oleh Large Language Model (LLM), yang sering juga disebut dengan “halusinasi”.
- Pertama adalah ketika AI menghasilkan teks yang tak masuk akal sama sekali. Ini bukanlah sesuatu yang problematik karena ini mudah untuk diidentifikasi.
- Kedua adalah ketika AI menjawab dengan begitu meyakinkan namun ternyata informasi yang disajikannya salah. Ini lebih problematik dari kesalahan pertama. LLM seperti GPT-4 telah dilatih untuk memberikan jawaban dengan nada percaya diri dan gaya otoriternya yang membuat eror semacam ini sulit untuk diidentifikasi dan mudah untuk dipercaya.
- Halusinasi ketiga adalah ketika AI mengeklaim bahwa ia memiliki properti yang sebenarnya tidak dimilikinya, atau mengeklaim bisa melakukan sesuatu yang ia tak pernah dilatih untuk melakukannya, seperti merasakan cinta atau memasak makanan.
- Terakhir adalah ketika halusinasi itu direncanakan dan berbahaya. Ini terjadi ketika model dicekoki dengan informasi yang salah dengan niatan untuk berbuat jahat. Walaupun sebenarnya ini merupakan tanggung jawab dari pengguna dan penciptanya, ini merupakan sesuatu yang patut waspadai.
Halusinasi ini harus diakui dan dikoreksi dengan cara apapun, namun tetap penting untuk melihat hal ini dalam perspektif yang objektif. Semua lompatan teknologi pasti datang dengan risiko nya masing-masing; namun di saat yang sama, teknologi baru mendatangkan manfaat yang tak ternilai seperti halnya pemanfaatan api dan penemuan roda yang telah mengubah sejarah manusia. Yang kita perlukan adalah hukum yang jelas dan tegas tentang sejauh apa teknologi tersebut dapat dimanfaatkan.
Seiring dengan meluasnya kesadaran masyarakat tentang implikasi dari GPT-4 dalam kehidupan sehari-hari, maka larangan dan pedoman yang dibutuhkan akan segera datang. Semakin banyak orang yang menggunakan produk tersebut maka semakin mudah eror yang ada untuk diidentifikasi dan semakin besar pula insentif bagi perusahaan untuk membuat produk nya aman dan bebas dari bug. Melihat kecepatan perubahan dan perkembangan AI sekarang, penulis percaya bahwa “halunasi-halusinasi” LLM akan semakin berkurang, dan dengan pedoman yang tepat, kecerdasan buatan seperti GPT-4 akan membawa kita kepada masa depan yang menarik dan optimis.
Add a comment