Satu-Satunya Cara untuk Mengubah Perilaku Anak Adalah dengan Mengakui Perasaan Mereka
Bayangkan sebuah situasi dimana kamu sedang berbelanja dengan anakmu yang berusia lima tahun dan tiba-tiba ia mulai menjerit “Aku lapar dan aku ingin makan sekarang!”. Apa yang akan kamu lakukan? Kebanyakan dari kita akan membentaknya dan menyuruhnya untuk diam. Tapi apakah mereka akan mendengarkanmu? Justru apa yang kamu lakukan akan membuatnya tetap merengek dan berteriak. Adakah cara lain yang lebih baik untuk mengendalikan emosi dari kedua belah pihak?
Menurut penulis, alasan mengapa anak-anak tak mendengarkan apa yang orang tua mereka sampaikan adalah karena perasaan mereka tak diakui dan tak dipahami oleh orang tuanya. Perilaku anak sangatlah tergantung dengan apa yang mereka rasakan; dan sering kali ketika kita berbicara dengan mereka, kita menganggap perasaan mereka sebagai sesuatu yang tak penting.
Dalam situasi di atas, ketika kamu hanya menyuruh anakmu untuk diam, kamu telah mengabaikan perasaannya. Mungkin kita tak menyadari bahwa di balik luapan amarah anak-anak, terdapat rasa lapar dan frustasi karena merasa diabaikan. Anak-anak tak mengerti mengapa mereka harus berperilaku baik ketika suasana hati mereka sedang buruk.
Satu-satunya cara untuk menenangkannya adalah dengan menerima dan menentramkan perasaannya. Untuk menunjukkan bahwa kamu mendengarkan dan memahami perasaannya, kamu dapat merespons rasa gusarnya dengan berkata “Oh iya ya, adek kan belum makan lagi semenjak tadi pagi.” Atau kamu bisa merespons nya dengan nada bergurau seperti “Kalau mama/papa bisa sulap, pasti mama/papa akan kasih adek ayam goreng sekarang juga.” Dan meneruskan ucapan tersebut dengan kalimat “Nanti akan mama/papa belikan kalau ada makanan kesukaan kamu ya nak” untuk memberikan rasa tenang kepada sang anak.
Ingat, dalam merespons perkataan anak, orang tua harus jujur. Jika kamu tak memahami apa yang sang anak sedang rasakan, coba untuk bertanya kepadanya terlebih dahulu. Salah respons dapat mengirimkan sinyal kepada anak bahwa kamu tidak benar-benar mendengarkannya dan mungkin dapat memperburuk keadaan. Lalu bagaimana jika setelah melakukan hal yang tepat, kamu masih merasa ingin meluapkan amarah mu kepada anak?
Kendalikan Amarahmu dan Pelajari Cara untuk Meyakinkan Anakumu
Rasa saling hormat-menghormati dan saling pengertian adalah kunci untuk mengeluarkan diri dari kondisi saling lempar amarah antara orang tua dengan sang anak.
Mari bayangkan sebuah skenario di mana anakmu sedang bertingkah dan menginginkan untuk tidur larut di malam hari. Untuk menyelesaikan masalah ini, pertama-tama kamu harus menjelaskan mengapa tidur larut malam adalah hal yang salah. Jangan menyalahkan anakmu, fokuslah dalam menjelaskan masalahnya. Buat mereka mengerti sudut pandang yang kamu lihat. Contohnya, kamu dapat berkata “Kalau adek tidur telat, adek nanti kurang lho jam tidurnya. Kalo tidurnya kurang, besok pagi adek malah semakin capek.” Setelah itu tambahkan lagi informasi bahwa keputusannya untuk tidur telat justru akan memperburuk keadaan, seperti “Kalau adek capek, nanti adek nggak punya energi dan susah buat konsentrasi untuk mengikuti pelajaran di sekolah lho.”
Menjelaskan poin-poin penting dari setiap perbuatan dengan menggunakan alasan yang bisa dicerna dapat membantu mereka untuk membuat keputusan terbaik tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Setelah kamu jelaskan, berikan ia kebebasan untuk memutuskan. Cara komunikasi ini diharapkan dapat membuat anak mau untuk mendengarkanmu karena penjelasan yang kamu berikan tak akan menyudutkannya. Dengan penjelasan tersebut, kamu juga menunjukkan bahwa kamu hanya menginginkan hal yang terbaik untuk anakmu. Tetapi bagaimana jika ia tetap tak mau mendengarkanmu, apakah memberikan hukuman merupakan satu-satunya jalan?
Jangan Hukum Anakmu, Lakukan Negosiasi
Kadang menyuruh anakmu untuk melakukan hal-hal yang kamu inginkan bagaikan menyatukan air dengan minyak (hampir mustahil untuk dilakukan). Yang sang anak lakukan hanyalah menolak dan memberontak. Orang tua kadang jengkel menghadapi penolakan karena mereka merasa mempunyai hak atas anaknya. Di saat itu juga orang tua berpikir bahwa satu-satunya cara untuk membuat sang anak menuruti permintaannya adalah dengan menghukumnya. Tetapi menurut penulis, hukuman hanya akan berujung pada amarah, dan bahkan menghambat perkembangan dari kedua belah pihak.
Ketika kamu menghukum seorang anak, itu sama halnya dengan kamu menanamkan bibit-bibit kebencian di benak sang anak terhadapmu; dan kemungkinan sang anak untuk mengindahkan nasihatmu semakin kecil di masa mendatang. Hukuman juga dapat menghentikan anakmu untuk mempelajari apa yang salah dari perbuatan mereka.
Misalkan anak sulungmu yang masih duduk di bangku SMA pulang ke rumah larut malam selama 3 hari berturut-turut. Karena khawatir, kamu menghukumnya dengan melarangnya untuk meninggalkan rumah selama 2 minggu kedepan, kecuali untuk kegiatan belajar. Tetapi melarangnya keluar rumah hanya akan membuatnya semakin marah dan merasa tak dimengerti. Dengan hanya menghukumnya, ia tak akan mempelajari sisi negatif dari pulang larut malam.
Coba pendekatan lain yang lebih baik. Pertama, luangkan waktu untuk membicarakan tentang perasaan dan kebutuhannya – tanya apa yang menjadi alasan utama ia telat pulang ke rumah dan mengapa ia merasa tak diperlakukan dengan baik jika ia dilarang keluar rumah. Kemudian jelaskan perasaanmu dan alasan mengapa kamu merasa khawatir ketika ia pulang larut malam. Dengan dialog ini, kalian akan saling mengerti tentang kebutuhan dan perasaan dari masing-masing pihak. Dari dialog ini juga diharapkan solusi yang dapat memenuhi kebutuhan dari kedua pihak muncul. Mungkin salah satu solusi dari kasus di atas adalah tak ada lagi jam malam untuk sang anak, namun sebelumnya ia harus menjelaskan mengapa ia perlu pulang malam agar orang tua tak merasa khawatir.
Dari sekian banyak ide solusi yang ada, pilih salah satu dari solusi yang kalian suka dan coba jalani untuk beberapa saat. Jangan paksakan solusi favoritmu kepada sang anak. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk meraih kesepakatan bersama. Jika kamu sebagai orang tua dapat menjauhkan diri dari kebiasaan memberikan hukuman, itu merupakan tanda bahwa kamu sudah berada dalam arah yang tepat untuk membantu anakmu berpikir secara mandiri mengenai perilakunya.
Biarkan Anak-Anakmu Menjadi Mandiri dengan Mengijinkan Mereka untuk Mencari Tahu tentang Dunia dengan Jalannya Sendiri
Pada akhirnya, anak-anak harus tumbuh, dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dan menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Tapi mengapa kita, sebagai orang tua, takut untuk membiarkan anak kita pergi? Mengapa ia harus mematuhi semua perintah yang orang tua beri? Padahal sang anak tidak memiliki kewajiban untuk menjadi duplikasi dari orang tuanya, walaupun kita tahu bahwa menyaksikan anak berjuang untuk mebuat pilihannya sendiri memanglah terasa tak nyaman.
Ketika kita membiarkan anak untuk terus menerus tergantung kepada kita, justru tingkat ketergantungan itu akan semakin meningkat bersamaan dengan rasa ketidak-berdayaannya, sementara harga dirinya kian menurun. Jika diteruskan secara ekstrim, ini dapat berujung pada pembentukan karakter sang anak yang cenderung keras kepala, tak bersahabat, kekanak-kanakan, sering frustrasi, dan merasa seperti seseorang yang tak diijinkan untuk menjadi individu dengan perasaan. Lalu bagaimana caranya memunculkan kemandirian pada sang anak?
Biarkan anakmu membuat keputusannya sendiri. Misalkan pada peristiwa di mana anak harus mengerjakan PR dan bermain, berikan kebebasan kepada anakmu untuk merencanakan jadwalnya sendiri dengan tetap memasukkan kedua aktivitas tersebut di dalamnya. Peran kita di sini adalah untuk mengingatkan bahwa PR adalah kewajiban yang harus diselesaikan, tetapi ia diberikan kebebasan mengenai kapan waktu yang tepat untuk mengerjakannya dan bagaimana ia akan mengerjakannya. Kamu juga dapat mendukung anakmu untuk meminta bantuan atau nasihat dari pihak lain, seperti teman atau guru, untuk menyelesaikan kewajibannya.
Jangan pernah kehilangan kepercayaan terhadap anakmu. Anak-anak akan berjuang melawan ujiannya dari waktu ke waktu, jadi belajarlah untuk berdamai dengan hal tersebut sebagai orang tua. Anak mempunyai hak untuk mencari dan menjelajahi jawaban-jawaban dari pertanyaannya. Bahkan ketika kamu merasa frustrasi karena sang anak tak melakukan hal yang semestinya ia lakukan dan kamu ingin sekali membantunya, tahan keinginanmu untuk sedikit lebih lama. Biarkan anakmu tahu akibat dari apa yang ia lakukan. Dengan begitu ia akan belajar dan kesadaran muncul dari dalam.
Agar Belajar dari Kesalahan, Beri Pujian yang Membantu dan Jangan Pernah Gunakan “Label”
Memuji anak ketika meraih sebuah pencapaian memanglah mudah. Pujian akan membantu mereka membangun rasa percaya dirinya. Namun kita juga harus berhati-hati dalam memuji anak karena kadang pujian juga bisa memunculkan reaksi seperti kegelisahan, atau penyangkalan, atau bahkan pujian bisa terkesan manipulatif walaupun sebenarnya kita mempunyai niat baik. Jadi sebisa mungkin usahakan untuk memuji dengan cara yang paling membantu (helpful praise, jika mengikuti istilah penulis). Helpful praise terdiri dari dua bagian: deskripsikan apa yang telah anakmu lakukan dan beri dia ruang untuk memuji dirinya sendiri berdasarkan deskripsi tersebut.
Alih-alih mengatakan “Kamu menulis puisi dengan indah nak,” coba katakan “Puisimu membuat papa/mama terharu, terutama di bait kedua ini nak.” Kamu juga dapat menambahkan kata-kata yang menggambarkan perilaku yang anakmu coba perlihatkan seperti “Itulah yang namanya kreativitas!”. Ingat, dalam memuji, jangan ingatkan sang anak akan kelemahan atau kegagalan di masa lalu dengan mengatakan “Puisimu yang sebelum ini jelek, tetapi puisi yang sekarang jauh lebih baik nak”. Perkataan tersebut tak akan membantu anakmu untuk benar-benar merasakan kebahagiaan secara utuh atas perbuatan baiknya. Jadi ingatlah untuk menggunakan pujian dengan bijak dan pujian tersebut harus mengandung makna.
Disamping memuji perbuatan baik, orang tua juga sebaiknya menghindari untuk memberikan label terhadap anak atas perbuatan buruknya. Misalkan ketika kita membiasakan diri untuk memanggil anak dengan sebutan “si keras kepala” atau “tukang suruh”, sebutan itu akan menempel pada sang anak dan sulit untuk dilepaskan di kemudian hari. Bahkan bisa jadi, anak-anak akan menyesuaikan diri dengan label yang diberikan orang tua terhadapnya. Perlahan mereka menjadi yakin bahwa mereka adalah apa yang orang lain katakan. Jika kamu sering melakukannya, berhentilah untuk memberikan label buruk sekarang juga terhadap anak maupun terhadap diri sendiri. Kamu tak akan ingin anakmu memberi kamu sebutan sebagai orang tua yang kasar dan tak pengertian bukan?
Add a comment