Bahasa adalah salah satu atribut utama yang membedakan antara manusia dengan spesies- spesies lainnya. Tak ada mahluk lain di bumi yang mampu mengembangkan sarana komunikasi secanggih bahasa manusia. Namun dari mana sebenarnya bahasa itu berasal? Dan bagaimana bisa manusia belajar berbicara mulai dari bayi yang hanya mampu mengucapkan sebuah kata sederhana hingga membentuk kalimat-kalimat kompleks yang dapat mendeskripsikan segala jenis hal, bahkan sebuah ide yang paling abstrak sekalipun? Jika dipikir-pikir, mengapa ada banyak sekali bahasa di luar sana? Bahasa adalah hal yang begitu penting bagi hidup kita, cukup aneh jika kita hanya mengtahui sedikit sekali tentangnya. Bahasa mendefinisikan kita sebagai sebuah masyarakat dan individual. Kamu dapat mengetahui banyak hal tentang seseorang hanya dari cara mereka berbicara dan menulis.
Bahasa Adalah Sebuah Sistem Komunikasi yang Terorganisasi yang Berfokus terhadap ProdukAvitas dan Dualitas Struktur
Yang dimaksud dengan produktivitas adalah bahwa sebuah bahasa dapat terus “dibangun” (can be built upon) dan digunakan untuk mengekspresikan ide-ide yang jumlahnya tak terbatas. Contohnya, cukup mungkin untuk menciptakan sebuah kalimat yang tak memiliki ujung. Yang harus kamu lakukan hanyalah menggunakan kata “dan” di saat kalimat itu hampir mencapai ujungnya. Atau coba lihat contoh lain. Kita bisa mengambil bahan dasar dari sebuah bahasa, entah itu kata atau frasa, dan menggunakan mereka untuk menciptakan kata-kata baru yang bertujuan untuk mengekspresikan tentang konsep dan penemuan baru. Tiap tahun, kamus terkemuka di dunia secara formal memperkenalkan kata-kata dan frasa baru seperti “traumatology” dan “gig economy” ke dalam leksikonnya. Dan tiap harinya, kita menciptakan kombinasi unik kata-kata untuk membentuk kalimat-kalimat yang mengekspresikan pikiran, ide dan emosi kita. Jadi inilah yang dimaksud dengan produktivitas.
Lalu apa yang dimaksud dengan dualitas struktur? Dualitas struktur adalah atribut yang memungkinkan bahasa untuk dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Semua bahasa dapat dianalisis dalam dua level berbeda. Level pertama adalah “kata-kata” yang merupakan elemen yang mempunyai makna dari sebuah bahasa. Level kedua adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna (fonem), namun tidak mempunyai arti jika diucapkan sendirian. Misalkan saja huruf “S” “U” “K” dan “A”. Secara individu, huruf-huruf ini tak memiliki arti. Tetapi setelah kamu mengombinasikan keempatnya ke dalam sebuah susunan yang tepat, kamu akan mendapatkan kata "suka" yang maknanya pun kamu ketahui. Inilah yang dimaksud dengan dualitas struktur, dan ini adalah sesuatu yang unik dari bahasa manusia. Komunikasi yang kita lihat di antara hewan tak memiliki dualitas struktur. Seekor anjing tak akan mampu membuat sebuah kalimat atau kata dengan beberapa gonggongan.
Bahasa Secara Utama Diekspresikan Melalui Bicara dan Tulisan
Sekarang kita sudah mempunyai sedikit gambaran tentang apa itu bahasa, namun bagaimana sebenarnya bahasa itu diekspresikan? Bagaimana kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi antara satu sama lain?
Berbicara yang merupakan salah satu sarana utama berkomunikasi. Ini adalah sebuah bentuk komunikasi yang melampaui semua batasan budaya, digunakan oleh semua umat manusia, tidak peduli seberapa tepencil tempat mereka tinggal.
Saking pentingnya bicara, tubuh manusia telah berevolusi untuk membantu memfasilitasi kita berbicara. Contohnya, telinga dan otak kita telah terprogram untuk mengenali pola bicara dari suara-suara yang ada di sekitar. Menariknya, kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan kemampuan berbicara harus mengorbankan kemampuan lain. Laring pada manusia berposisi sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan hewan-hewan lain; tentunya ini memfasilitasi manusia untuk berbicara tetapi membuat kita rawan tersedak saat mengonsumsi makanan.
Lalu bagaimana dengan menulis? Berlawanan dengan berbicara, menulis dan membaca bukanlah proses yang natural. Ini adalah kemampuan yang awalnya harus ditemukan, dipelajari dan kemudian diajarkan. Karena menulis dan membaca merupakan penemuan manusia, tubuh kita belum berevolusi untuk menyesuaikan diri. Mata manusia masih belum mengalami evolusi untuk memproses bahasa yang tertulis layaknya telinga yang sudah mengadaptasikan dirinya terhadap suara ucapan.
Walaupun berbicara merupakan bentuk komunikasi yang paling natural, di dalam sejarah, kemampuan berbicara sering kali diremehkan. Selama berabad-abad, para ahli bahasa merasa bahwa ucapan yang digunakan dalam keseharian cenderung ceroboh dan tidak teratur. Di sisi lain, kata-kata yang tertulis lebih memiliki otoritas dan gaya. Dan karena bahasa yang tertulis itu cenderung membuat bahasa menjadi abadi, aturan-aturan tata bahasa pun dibuat sebagai fondasi. Aturan-aturan tata bahasa yang awalnya hanya berlaku pada tulisan pun akhirnya digunakan pada pembicaraan sehari-hari dan memengaruhi cara orang berbicara.
Contohnya dalam Bahasa Inggris, merupakan hal yang biasa bagi orang-orang untuk menanggalkan huruf “g” dari kata-kata seperti “walking” dan “talking” sehingga menjadi “walkin” dan “talkin”. Namun seiring dengan menyebarnya literasi dan bertambahnya orang yang menyadari bagaimana kata-kata tersebut dieja, penanggalan huruf “g” dari kata menjadi tanda-tanda akan rendahnya pendidikan seseorang. Dengan kata lain, karena caramu berbicara tidak sesuai dengan bagaimana kata-kata tersebut seharusnya dituliskan, maka kamu dianggap tidak tahu bagaimana caranya untuk berbicara dengan benar. Di hari ini, bahasa yang terucap maupun tertulis dipandang sebagai dua hal yang sama. Namun kesan bahwa tulisan itu bersifat permanen, visual dan lebih formal sementara ucapan dianggap lebih dinamis dan spontan itu masih ada.
Aturan Dasar dalam Berbahasa Dipelajari pada Usia yang Sangat Dini dan Terus Berkembang Setelahnya
Ketika kita mulai membedah bahasa ibu untuk mempelajari aturan-aturannya, mungkin saja kita menganggap ini sebagai hal yang cukup rumit. Mungkin kamu ingat dengan perjuanganmu saat menganalisis kalimat-kalimat yang ada di kelas tata bahasa Indonesia. Tetapi tanpa kelas tata bahasa pun, kita sudah merasa familiar dengan aturan-aturan dasar ini. Coba saja untuk berbicara dengan siapapun yang kamu temui di negaramu. Dari usia yang cukup dini, kita semua bisa melaksanakan sebuah percakapan yang cukup koheren dengan lawan bicara. Bagaimana ini bisa terjadi?
Bayi mulai mempelajari bahasa dari usia yang sangat dini. Mereka memulainya dengan mengucapkan suara-suara fonetik seperti “ba”. Ini bukanlah hal yang sederhana. Bahasa Inggris sendiri mempunyai lebih dari 40 suara vokal dan konsonan individu, dan kurang lebih 300 cara bagaimana mereka bisa dikombinasikan. Semakin intensif emosi dari bahasa bayi yang anak- anak ucapkan, orang tua akan menyesuaikan responsnya dengan menggunakan nada yang berbeda, entah itu saat sang bayi sedang mengoceh, tertawa atau menangis. Ini akan membantu bayi untuk membedakan rentang suara yang lebih lebar.
Ocehan bayi memang terdengar menggemaskan, tetapi sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa ocehan itu tidak memiliki arti. Anggapan ini salah. Penelitian telah menunjukkan bahwa suara-suara yang diucapkan oleh bayi bukanlah hal yang acak atau tak disengaja. Di saat mengoceh, otak bayi sedang memproduksi sekumpulan kecil suara-suara, ini merupakan latihan untuk mengucapkan suara yang nantinya menjadi ucapan yang dapat dipahami. Jika kamu perhatikan, kamu akan melihat perkembangannya. Pada usia sembilan bulan, orang tua akan mendengar adanya ritme pada suara-suara ini. Orang tua akan mendengar nada dan lengkingan berbeda yang sering kali mengandung makna dan maksud tertentu.
Seiring dengan perkembangan anak, kemampuan pendengaran dan kognitifnya akan melampaui kemampuannya dalam berbicara. Saat mereka berusia satu tahun, mereka mungkin mampu mengenali puluhan kata yang diucapkan orang-orang di sekitar, namun baru hanya bisa mengucapkan tidak lebih dari sepuluh kata. Ya, kemampuan koginitif dan mendengarkan akan berkembang dengan cepat pada jangka waktu beberapa tahun pertama. Namun wajar bagi beberapa anak jika ia memerlukan waktu lebih lama.
Sementara kemampuan yang akan memakan waktu cukup lama adalah penggunaan intonasi dalam berbicara. Kemampuan dasarnya memang sudah ada sejak kecil. Kamu bahkan bisa mendengarkan batita mengucapkan kata tunggal seperti “mama” dengan intonasi yang memiliki maksud berbeda: entah itu sebagai pertanyaan, permintaan, atau menunjukkan bahwa ia sedang dalam kesulitan. Untuk mempelajari seluruh bentangan makna-makna berbeda yang terbungkus oleh intonasi dalam sebuah kalimat meruapakan sebuah proses yang akan terus berlanjut hingga ke masa remaja.
Semenjak Momen Penciptannya, Bahasa Memang Selalu Mengalami Evolusi
Salah satu kesalahpahaman yang paling umum dimiliki seseorang tentang bahasa adalah bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tetap, atau bahasa mempunyai struktur yang mengikuti peraturan-peraturan yang ketat. Pemikiran ini banyak diadopsi karena maraknya “grammar police” yang berkeliaran di media sosial dan menyerang seseorang atas kesalahannya dalam menuliskan sebuah kalimat. Namun nyatanya, bahasa terus menerus mengalami perubahan. Jika tidak, bahasa bisa menemui ajalnya.
Entah bagaimana pastinya bahasa itu lahir, satu hal yang jelas adalah bahwa perubahan bahasa memang terjadi. Pertanyaan tentang bagaimana terjadinya perubahan bahasa cukup sulit untuk dijawab. Namun perubahan itu tak terjadi secara serempak. Dibutuhkan waktu untuk sebuah kata-kata baru serta pengucapannya menyebar dan digunakan dalam keseharian. Walaupun kita dapat mengidentifikasi perubahan bahasa setelah proses itu terjadi, hampir mustahil untuk “menangkapnya” saat perubahan sedang berlangsung. Sebuah kamus sejarah dapat memberi tahu tentang perkiraan tanggal terciptanya sebuah kata-kata baru; namun tanggal ini hanya didasarkan pada penampakan tertulis dari kata tersebut untuk pertama kalinya. Kita tak pernah tahu kapan kata itu pertama kali terucap, yang pastinya jauh lebih awal dari tanggal penulisan.
Memanglah hal yang rumit untuk mencari tahu “bagaimana” sebuah bahasa mengalami perubahan. Akan lebih mudah untuk memahami “mengapa" bahasa itu berubah. Sering kali terdapat beberapa alasan praktis dalam perubahan bahasa, salah satunya: penemuan objek- objek dan ide-ide baru yang membutuhkan kata-kata baru untuk mendeskripsikan mereka. Kita melihat fenomena ini di berbagai bidang, mulai dari sains, teknologi, marketing dan advertising. Kata-kata seperti “digitisasi” dan “clickbait” merupakan contoh dari kata yang relatif baru.
Lalu ada pula alasan sosial yang melatarbelakangi perubahan bahasa. Individu akan menirukan ucapan, entah secara sadar atau tidak, dari orang-orang yang mereka jadikan panutan. Sangat umum juga bagi seseorang untuk mengubah kedudukan sosialnya dengan cara menghilangkan aksen atau dialek asli mereka karena aksen tersebut dianggap mencerminkan kelas bawah.
Menurut penulis, penyebab terbesar dari perubahan bahasa adalah jarak. Saat manusia mulai mengeksplorasi dunia dan bergerak menjauh dari satu sama lain, bahasa mereka mulai menyimpang dari aslinya demi menciptakan kata-kata baru untuk menggambarkan pengalaman baru yang mereka rasakan. Dalam perjalanan itu mereka akan bertemu orang baru dengan bahasa yang berbeda pula; kata-kata beserta dengan bunyinya akan memengaruhi satu sama lain. Ini bisa dilihat dengan jelas pada banyaknya jumlah kata Bahasa Indonesia yang dipinjam dari bahasa-bahasa lain. Bahasa Inggris sendiri sudah menyerap kata-kata dari 350 bahasa yang berbeda.
Language Families (Keluarga Bahasa) Merupakan Perangkat yang Bermanfaat untuk Memberikan Wawasan tentang Hari-Hari Manusia di Masa Lampau
Bahasa manakah yang merupakan bahasa pertama di dunia? Dari manakah asal bahasa tersebut? Dan apakah semua bahasa berkembang dari asal yang sama? Dengan menjelajahi pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu kita menjawab mengapa ada banyak sekali bahasa. Ahli sejarah bahasa telah mengklasifikasikan bahasa-bahasa di dunia ke dalam apa yang disebut dengan “Keluarga Bahasa”. Para ahli bahasa telah membandingkan dan mengontraskan bahasa- bahasa yang berbeda untuk mencari tahu bagaimana hubungan di antara mereka dan menemukan potensi sumber asal yang sama atau bahasa induknya (parent language).
Contohnya, Bahasa Inggris merupakan Germanic branch dari keluarga bahasa Indo-European. Lalu, bahasa induknya yang bernama Proto-Indo-European dipercaya telah digunakan bahkan sebelum tahun 3000 SM. Lokasi tepat dari kelahiran bahasa Proto-Indo-European masih menjadi subjek perdebatan, namun para ahli bahasa bisa membuat prediksi berdasarkan data yang ada. Fakta bahwa bahasa ini tak memilki kata “pohon kelapa” menjadi pertanda bahwa kemungkinan asal dari bahasa induk ini adalah Eropa utara-tengah dibandingkan dengan daerah Mediterania. Namun saat dilihat lebih jauh, bahasa ini juga tak memiliki kata yang mendeskripsikan “pohon oak” yang merupakan jenis pohon yang sering dijumpai di Eropa. Jadi mungkin asal dari bahasa induk ini lebih dekat ke Asia. Dari manapun bahasa ini berasal, bahasa ini telah tersebar jauh ke seluruh penjuru dunia. Beberapa millenium pun berlalu, berkat migrasi dan penjajahan, bahasa induk ini berkembang menjadi beberapa cabang di antaranya adalah Albanian, Armenian, Balto-Slavic, Germanic, Greek, Celtic, Indo-Iranian, dan Italic atau Latin.
Lalu bagaiamana para ahli bahasa benar-benar tahu bahwa bahasa-bahasa ini memang saling terhubung? Mereka membandingkan kata-kata dan struktur yang mirip di antara bahasa-bahasa modern dan mengikuti jejaknya beberapa abad ke belakang. Contohnya, kata “father” dalam Bahasa Inggris itu mirip dengan Bahasa Perancis (père), Spanyol (padre), dan Italia (padre), yang semuanya merupakan turunan dari Bahasa Latin dengan kata “pater”. Hubungan ini membantu kita memahami bagaimana bahasa-bahasa modern berkembang dan bagaimana mereka berhubungan antara satu dengan yang lain. Menganalisis kemiripan dan perbedaan sejarah antara keluarga bahasa membuat kita lebih baik dalam melihat bagaimana bahsa terus menerus memengaruhi satu sama lain. Mesipun proses “memberi dan menerima” ini terus berlangsung, tak ada satu bahasa universal yang lahir darinya. Kita tetap menjadi spesies multilingual.
Multilingualisme Adalah Kondisi Normal Bagi Manusia
Jika bahasa merupakan salah satu karakteristik yang mendefinisikan kita sebagai manusia, bahasa yang kita pilih untuk gunakan merupakan salah satu atribut kunci yang mendefnisikan kita sebagai individu. Cara kita berbahasa dalam keseharian membawa banyak sekali informasi tentang dari mana asal kita, status sosial kita, dan bahkan nilai beserta cita-cita yang kita pegang teguh. Ini merupakan salah satu alasan terbesar mengapa bahasa tetap menjadi isu politik yang sensitif. Akan tetapi seharusnya bahasa-bahasa yang kita gunakan tidak mengungkung kita terhadap satu tempat atau satu identitas.
Tidak ada negara yang sepenuhnya monolingual. Bahkan negara-negara yang didominasi oleh satu bahasa seperti AS atau Jepang pun sebagian besar dari populasinya juga menguasai bahasa lain. Setiap negara mempunyai caranya masing-masing dalam memanifestasikan multilingualisme nya. Di beberapa negara, sebagian besar penduduk multilingual dapat ditemukan di pusat-pusat kota. Sementara di negara lainnya, penduduk multilingual tinggal di daerah pedesaan yang tak sering berinteraksi dengan dunia luar yang lebih besar.
Ketika kita berkata bahwa seseorang mampu ber-dwibahasa, kita terkadang menganggap bahwa dia mampu berbicara lebih dari satu bahasa secara lancar. Definisi ini sebenarnya sedikit menyesatkan. Memang terdepat individu-individu tertentu yang mampu mencapai level tersebut, mereka adalah pengecualian. Biasanya bahasa dominan yang digunakan seseorang akan sedikit mengganggu bahasa kedua tau ketiganya, entah itu dalam hal pengucapan kata, aksen, atau kosakata. Memungkinkan juga jika seseorang mampu untuk memahami bacaan atau percakapan dalam bahasa asing tanpa menguasai kemampuan untuk berbicara.
Mempelajari bahasa asing mempunyai beberapa manfaat, mulai dari meningkatkan kemampuan kita untuk berpartisipasi di dalam ekonomi global hingga mempropagandakan kesadaran akan toleransi terhadap budaya lain. Orang-orang yang kesulitan mempelajari bahasa asing terkadang beralasan bahwa mereka tak mempunyai bakat alami untuk menguasainya, akan tetapi tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung pernyataan tersebut. Kunci menuju kesuksesan berbahasa asing adalah motivasi dan sikap pantang menyerah, materi belajar yang relevan dengan pelajar, dan eksposur yang konsisten terhadap bahasa tersebut. Walaupun banyaknya jumlah bahasa di dunia terkesan mengintimidasi, mereka sebenarnya membawa banyak manfaat. Penting sekali bagi kita untuk melestarikan bahasa-bahasa yang hampir punah.
Bahasa yang Hampir Punah Dapat Dihidupkan Kembali Melalui Upaya Bersama dari Komunitas
Bahasa mati bersama dengan penutur terakhirnya. Ketika kita kehilangan sebuah bahasa, kita kehilangan sebuah identitas budaya yang spesifik. Kita mungkin juga kehilangan informasi ilmiah berharga yang berhubungan dengan obat tradisional atau penegtahuan antropologi tertentu. Karena alasan-alasan valid inilah, penting bagi kita untuk melindungi dan menjaga bahasa-bahasa yang hampir punah.
Asimilasi bahasa terlihat sebagai fenomena universal yang terjadi di berbagai budaya. Awalnya, penutur dari bahasa minoritas mengalami tekanan yang luar biasa untuk mempelajari bahasa dominan yang baru. Saat kecakapan mereka dalam menggunakan bahasa tersebut meningkat, mereka akan semakin jarang menggunakan bahasa aslinya. Ketika “tekanan” ini diteruskan kepada anak-anak mereka, perasaan malu akan diasosiasikan dengan penggunaan bahasa asli. Seiring dengan berjalannya waktu, bahasa asli mungkin hanya akan digunakan dalam internal keluarga saja, atau bahkan tidak sama sekali. Begitulah siklus matinya bahasa. Lalu adakah yang bisa kita lakukan untuk membalikkan tren ini?
Menghidupkan kembali bahasa yang punah bukanlah pekerjaan mudah. Hal pertama yang harus dipastikan adalah komunitas tersebut mampu melihat nilai atau manfaat mendasar yang didapat dari pelestarian bahasa asli untuk generasi penerus. Bahasa tersebut harus didokumentasikan dan dianalisis. Tak hanya guru yang berupaya untuk meneruskan ilmu berbahasa aslinya, murid juga harus berkeinginan untuk mempelajarinya. Ini semua membutuhkan waktu, uang, dan usaha yang benar-benar besar.
Akan tetapi, hal ini memang bisa dilakukan. Di Selandia Baru, serangkaian inisiatif yang dikenal dengan “Language Nest” dimulai di tahun 1982 sebagai upaya untuk menghidupkan kembali Bahasa Maori yang hampir punah. Salah satu aksi dari program ini adalah memperkenalkan Bahasa Maori ke anak-anak berusia lima tahun. Inisiatif ini tergolong sukses berkat dukungan dari komunitas Maori bersama dengan pemerintah Selandia Baru. Walaupun kita tidak bisa melihat kesuksesan dari upaya ini dalam jangka panjang, setiap inisiatif telah menunjukkan bahwa rasa tertarik masyarkat terhadap bahasa asli akan terbangun beserta dengan rasa bangga terhadap identitas budaya aslinya. Revitalisasi bahasa juga akan melestarikan tradisi-tradisi dan kepercayaan yang telah mengakar dalam masyarakat dan menambahkan warna unik terhadap corak kemanusiaan yang begitu beragam.
Semoga bermanfaat kawan, mohon maaf jika masih terdapat kekurangan dalam tulisan ini.
Add a comment