Stoikisme merupakan salah satu aliran filosofi yang dikembangkan oleh pemikir Yunani dan Romawi yang ajarannya sangat mengakar pada kehidupan sehari-hari. Salah satu pertanyaan yang mereka coba jawab melalui filosofi ini adalah bagaimana caranya untuk menjalani hidup yang bahagia? Tentu para stoik (penganut stoikisme) memiliki jawaban yang beragam seiring dengan bergantinya zaman, namun di antara perbedaan tersebut, mereka setuju pada satu hal: “Orang yang paling bahagia di antara kita adalah mereka yang telah belajar untuk berhenti mengkhawatirkan sesuatu yang berada di luar kendali mereka”. Sadar atau tidak, prinsip yang telah berusia 2500 tahun ini masih sangat relevan dengan kondisi hari ini.
Stoikisme Dapat Membantu Kita Menjalani Hidup dengan Bahagia Di Era Konsumerisme
Salah satu akar yang mendukung filosofi Stoikisme adalah Epikureanisme yang diperkenalkan oleh seorang guru bernama Epicurus yang dilahirkan di tahun 341 sebelum masehi. Sambil duduk merenung di tamannya, Epicurus mencoba untuk menemukan hubungan antara kebahagiaan dengan kepemilikan materi. Beliau berkesimpulan bahwa kebahagiaan sebenarnya tak bergantung pada kepemilikan materi. Kebahagiaan hanya akan muncul saat kita mau menerima dengan tangan terbuka akan hal-hal yang sudah dimiliki; kalaupun kita memiliki keinginan, baiknya keinginan tersebut adalah sesuatu yang memang masih berada dalam jangkauan kita (dari segi ekonomi), walaupun dibutuhkan waktu yang tak sebentar untuk mendapatkannya. Sebaliknya, kesengsaraan akan terus menghantui ketika kita memiliki pemikiran yang tidak realistis mengenai hal-hal apa yang sebenarnya kita butuhkan dan berhak untuk dapatkan.
Jika dipikir-pikir, filosofi tersebut memang benar adanya. Ketika penulis, Derren Brown, berkunjung ke Pegunungan Atlas yang ada di Maroko, ia sempat bertemu dengan sebuah keluarga yang sangat sederhana dari suku Berber. Dari kaca mata ekonomi sekarang, mungkin kita akan mengategorikan mereka sebagai keluarga miskin. Yang mereka miliki hanyalah beberapa peralatan untuk memasak, beberapa helai baju, perabot rumah sederhana, dan seekor keledai. Meskipun begitu, mereka merasa tercukupi dan bersyukur dengan nasib yang dianugerahkan kepada mereka saat itu.
Filosofi ini mungkin dapat menjadi obat untuk penyakit konsumsi berlebihan yang dialami manusia di era konsumerisme ini. Epikurean dan Stoik mengusulkan secara berulang bahwa yang kamu perlukan hanyalah kebutuhan pokok; namun hal apa saja yang termasuk dalam “kebutuhan pokok” ini tentunya akan berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu. Yang pasti, “kebutuhan pokok” itu tak termasuk barang mewah yang bisa memacu seseorang untuk merampok bank. Orang-orang dengan cicilan kartu kredit yang tak terlunasi paham bahwa kenikmatan yang diperoleh saat membeli sesatu hanya akan bertahan untuk sesaat, sementara rasa khawatir yang timbul dari utang akan bertahan selama utang itu masih ada.
Kamu Tak Bisa Mengubah Dunia Yang Ada di Sekelilingmu, Namun Kamu Dapat Mengubah Reaksimu Terhadapnya
Stoikisme tak hanya diterapkan oleh orang Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang memegang kepemimpinan dari tahun 161 – 180 sebelum masehi, merupakan salah satu pelaksana stoikisme yang ternama. Di hari-hari itu, Roma sedang berperang dengan Kerajaan Parthian dari timur tengah dan kelompok Suku Jerman yang berasal dari Eropa Utara. Karena merasa kesulitan untuk menemukan kedamaian di dunia luar, Aurelius mencoba untuk menemukan ketenangan batin dengan menerapkan Stoikisme.
Teori Stoikisme yang dikembangkan oleh Aurelius ini memiliki penekanan pada sisi emosi manusia. Menurutnya “Emosi tidak bersifat permanen. Ia akan terus berubah menanggapi kejadian-kejadian yang berlangsung di luar dari diri seseorang”. Coba bayangkan, tiba-tiba teman dekatmu menghilang begitu saja tanpa memberimu kabar selama beberapa minggu. Ketika kamu mencoba menghubunginya, tak ada respon apapun dari dia. Tentu saja kamu akan merasa tersakiti, bingung dan marah, semuanya campur aduk menjadi satu. Tiba-tiba setelah dua bulan berlalu, ia menelponmu untuk memberikan penjelasan. Dia berkata bahwa ada masalah besar dalam keluarganya yang harus ia selesaikan dan menyita seluruh perhatiannya. Karenanya ia meminta maaf kepadamu jika kamu merasa terabaikan. Saat itu juga, rasa amarah yang selama ini kamu pendam menguap begitu saja digantikan oleh rasa simpati.
Dari kisah di atas kita belajar bahwa dalam sekejap saja emosi dapat berubah. Kejadian ini membuat para stoik berpendapat bahwa “penyebab dari terjadinya perubahan mendadak pada emosi bukanlah karena bergantinya fakta objektif yang ada di luar sana, akan tetapi ia disebabkan oleh berubahnya cerita subjektif yang kita ceritakan kepada diri kita sendiri akan pengalaman yang sedang dirasakan”. Dengan kata lain, yang membuatmu mengubah sikap terhadap temanmu adalah perubahan interpretasi yang kamu beritahukan kepada dirimu sendiri dari perilaku aneh yang ditunjukkan oleh temanmu.
Pendapat di atas membawa kita kepada kesimpulan Aurelius yang kedua yakni “Kejadian eksternal dan orang lain tak mampu untuk mengendalikan reaksi emosional kita; namun kita lah yang memegang kendalinya”. Ketika seseorang mengunjungi sebuah restoran mahal, ia berharap bahwa ia akan dilayani dengan ramah. Dan ternyata, pelayan di restoran tersebut tak seramah yang diharapkan. Di kondisi tersebut sangat memungkinkan bagi seseorang untuk marah karena merasa berhak atas pelayanan yang memuaskan. Atau di sisi lain, ia dapat menanggapi kejadian tersebut dengan santai dan tetap menikmati makanan lezat yang dihidangkan. Toh bisa saja pelayan tersebut sedang menghadapi masalah dalam keluarga yang membuatnya kehilangan keceriaan.
Belajar Untuk Melepaskan Hal-Hal Yang Tidak Dapat Kamu Kendalikan Adalah Hal Yang Sangat Melegakan
Hidup itu tak bisa ditebak. Layaknya berlayar dengan perahu di atas permukaan lautan yang terbuka, hidup kita sangat tergantung pada angin dan gulungan ombak keberuntungan. Namun, masih banyak orang yang tak mau untuk menerima kenyataan ini. Mereka sangat terobsesi untuk mengatur setiap aspek dari kehidupannya atau bahkan kehidupan orang lain. Ini tidaklah cara hidup yang dianjurkan oleh stoikisme. Berdasarkan pengamatannya, filsuf Yunani di abad pertama yang bernama Epictetus menyatakan bahwa “hanya ada dua hal yang bisa dikendalikan dalam hidup, yakni pikiran dan perbuatan kita”. Kita tak bisa mengubah takdir atau memengaruhi apa yang orang lain katakan dan lakukan.
Saat kamu dihadapkan dengan sebuah masalah, berhenti sejenak dan tanyakan pada dirimu: “Apakah masalah ini masih berada dalam jangkauan kita? Apakah kita masih bisa menyelesaikannya dengan mengubah cara pandang atau dengan melakukan aksi tertentu?”. Jika jawabannya tidak untuk kedua pertanyaan tersebut, maka sangat disarankan oleh Stoikisme agar kamu dapat menerima bahwa hal tersebut berada di luar kendalimu. Coba untuk terus melanjutkan hidup alih-alih terlalu stres memikirkannya. “You can’t change the past and dwelling on it makes you miserable”.
Coba bayangkan sebuah situasi di mana rekan kerja di satu unitmu baru saja naik pangkat. Melihat hal ini kamu merasa bahwa perusahaan telah bertindak tak adil mengingat kamu telah mengabdi di sana lebih lama darinya. Dalam hati kamu sangat ingin memberontak kepada pihak pembuat keputusan agar kondisi ini dapat segera diperbaiki. Namun dari sudut pandang stoikisme, penyebab utama dari amarah yang muncul bukanlah promosi jabatan itu sendiri, tetapi reaksimu terhadapnya. Rasa tak senang itu muncul karena kamu telah membiarkan pikiranmu untuk melihat sebuah kejadian dari sisi negatifnya. Memang ini adalah situasi yang cukup sulit untuk diterima. Akan tetapi, saat kamu mampu untuk menerima kejadian ini, kamu akan mampu berpikir dengan lebih jernih sehingga langkah yang jauh lebih tepat bisa diambil kedepannya.
Pusatkan Perhatianmu Pada Apa yang Sedang Kamu Kerjakan Alih-Alih Terlalu Terobsesi Pada Hasilnya
Melanjutkan mengenai topik promosi jabatan, pertanyaan menarik berikutnya yang bisa digali adalah “apakah memang menjadikan kenaikan jabatan sebagai tujuan utama merupakan pilihan yang terbaik untuk dirimu?”. Jawabannya antara tidak dan iya.
Kita sudah mempelajari bahwa kita tak memiliki kendali atas hasil. Memang benar bahwa bekerja keras, menghasilkan pekerjaan yang berkualitas, dan memastikan bahwa atasanmu tahu akan besarnya usaha yang kamu curahkan untuk proyek tertentu akan memperbesar kesempatanmu untuk menaiki tangga kepemimpinan, namun itu tak bisa dijadikan jaminan mengingat keputusan tersebut tak berada di tanganmu. Adanya pilihan kandidat lain, kecocokan frekuensi antara kamu dengan atasan, dan keberuntungan adalah faktor lain yang pasti ikut berperan.
Ini bukan berarti bahwa kamu tak perlu berusaha dan menyerah begitu saja. Akan tetapi, poin yang coba ditekankan oleh penulis di sini adalah mengkhawatirkan sesuatu yang berada di luar kendalimu hanya akan menyia-nyiakan waktumu saja. Ambisi yang berlebihan terhadap sesuatu justru akan membuatmu semakin frustrasi. Berulang kali mengirimkan “kode” halus kepada atasan bahwa kamu cocok untuk menempati posisi senior tertentu akan menimbulkan kesan bahwa kamu adalah seseorang yang “suka cari muka” demi kepentingan pribadi.
Lalu kemana sebaiknya perhatian dipusatkan? Pada pergelaran Academy Awards (Oscar) di tahun 2012 seorang aktor dan sutradara dari Amerika Serikat, Bryan Cranston, menyatakan bahwa satu-satunya hal yang seorang aktor dapat kendalikan dalam proses audisi dari sebuah film adalah performa aktingnya. Saat kamu mampu untuk memberikan kemampuan terbaikmu, menciptakan karakter yang kuat, dan menyampaikan kata demi kata dari sebuah naskah dengan meyakinkan, maka kamu akan merasa bangga dengan dirimu sendiri walaupun akhirnya kamu tak mendapatkan peran di film tersebut. Pelajaran ini sangat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Stoikisme: satu-satunya hasil yang dapat kamu pastikan hanyalah seberapa baik kamu memainkan peranmu.
Pentingnya Berprasangka Baik dalam Stoikisme
Walaupun kegelisahan (anxiety) datang dalam berbagai macam bentuk, ia memiliki satu karakterestik umum, yakni selalu mencari makna terselubung di balik sesuatu. Adanya kegelisahan dapat mendorong seseorang untuk mencari-cari “cacat” yang dimiliki orang lain, yang sebenarnya adalah sebuah mekanisme perlindungan diri. Bagaimana bisa? Saat seseorang menyatakan bahwa ia tahu niat jahat dari orang tertentu, maka ia mempunyai alasan untuk menghindarkan diri dari berinteraksi dengan orang yang dianggap buruk. Namun sebaliknya, stoikisme menolak keinginan yang menggebu untuk mengetahui esensi atau niat yang sebenarnya dari seseorang dan sesuatu. Stoikisme menganjurkan pengikutnya untuk bisa berprasangka baik.
Coba bayangkan sebuah situasi di mana seorang pria bertanya pada pasangannya “apakah kamu pernah tertarik dengan lelaki lain?”. Sebelum menjawab “tidak”, wanita itu sempat diam sejenak. Jika sang pria memiliki pikiran yang penuh dengan kegelisahan, ia mungkin akan menafsirkan keheningan sejenak tadi sebagai sebuah tanda bahwa pasangannya sedang berbohong dan mencoba untuk menghindari perdebatan. Namun sebaliknya, jika ia memilih untuk berprasangka baik, penafsirannya mengenai keheningan tadi akan berubah 180 derajat; diamnya pasangan merupakan tanda bahwa ia membutuhkan sedikit waktu untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan yang sulit. Ia berupaya untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan penuh kesadaran.
Lalu apa keuntungan yang kita dapatkan dengan berprasangka baik? Pendekatan ini dapat menjaga ketenangan dalam pikiran seseorang. Lebih dari itu, prasangka baik dapat memunculkan rasa optimis yang membuat kita tetap bersemangat dalam menjalani hidup. Misalkan kamu sedang berusaha untuk menghentikan kebiasaan merokok. Setelah dua minggu berlalu ternyata kesungguhanmu mulai luntur dan membebaskan diri untuk menghisap beberapa batang rokok. Jika kamu memiliki prasangka buruk terhadap dirimu sendiri, pasti kamu akan bergumam “Sepertinya aku nggak akan pernah bisa berhenti ngerokok deh. Percuma aja kalau akhir-akhirnya tergoda juga”. Namun saat kamu mampu untuk melihat ini dari sisi positifnya, kamu justru akan menganggap kegagalan ini sebagai sebuah pencapaian. “Wah udah bisa nggak ngerokok dua minggu nih, lumayan. Semoga kedepan bisa tahan nggak ngerokok lebih lama”. Di sini kita mulai memahami bahwa kesempurnaan tak bisa diraih begitu saja; dibutuhkan waktu dan latihan yang berulang untuk mencapainya.
Satu momen kelemahan tak berarti bahwa kamu telah gagal. Kuncinya adalah menerima bahwa kamu telah melakukan kesalahan, bergerak maju dan mencobanya kembali.
Amarah Adalah Musuh Dari Logika
Dari sudut pandang para stoik, amarah mencegah terjadinya komunikasi dan membuat kita kehilangan kemampuan untuk berpikir. Saat kita tak lagi berpikir, hal-hal yang seharusnya tak diucapkan atau dilakukan keluar begitu saja tanpa bisa dikendalikan. Akibatnya, amarah semakin menjauhkan kita dari hal-hal yang kita cintai.
Sewaktu penulis masih bekerja di perusahaan pertelevisian, ada salah seorang rekan kerjanya yang kehilangan kendali setelah ia dinilai malas dalam mengelola proyek. Dia mengamuk, berteriak dan memberikan kritikan yang sama terhadap sang penuduh. Setiap kali ia bertemu dengan rekan kerja lain, ia berteriak sambil menuduh bahwa mereka sudah membicarakan keburukannya di belakang dia, padahal tuduhan tersebut tidak benar. Dengan kata lain, rekan kerja dari penulis telah mempermalukan dirinya sendiri dan menjauhkan dirinya dari tujuan utamanya. Dengan perilaku yang dia tunjukkan, orang-orang mulai mempertanyakan etos kerja dia yang sebenarnya. Seandainya ia dapat menerima kritikan tersebut dengan lapang dada dan berupaya untuk memperbaiki diri setelahnya, maka semua ini tak harus terjadi.
Tak jarang setelah amarah seseorang mereda, rasa bersalah dan penyesalan itu mulai muncul. Kata-kata serta perbuatan yang berada dalam pengaruh amarah bekerja layaknya pisau, ia mampu memtuskan tali-tali hubungan yang dulu terjalin dengan baik. Amarah menjauhkan kita dari keluarga, teman dan partner. Negarawan Romawi dan Filsuf Stoik Seneca pernah mengatakan di abad pertama bahwa “Angry people destroy what they hold dearest and weep over the losses they have inflicted upon themselves”. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan amarah?
Cara Terbaik Untuk Mengendalikan Amarah Adalah Dengan Diam Sejenak dan Menganalisa Apa yang Memicunya
Saat amarahmu berada di ujung lidah, coba diam sejenak, tarik nafas dalam-dalam dan perlahan hitung hingga 10 detik (dalam hati), tunggu amarahmu reda sebelum memberikan tanggapan. Ini adalah cara yang paling dasar untuk mengendalikan impuls yang datang seketika dan cukup efektif untuk mendinginkan situasi yang rumit. Stoik dari Yunani yang bernama Plutarch juga menyerankan agar kamu rela untuk memberikan ruang terhadap lawan bicara untuk menyelesaikan poin yang ingin disampaikan alih-alih memotong pendapatnya di tengah jalan dengan menyampaikan argumenmu secara bertubi-tubi. Dengan begitu kamu akan mendapatkan informasi secara utuh dari sudut pandang mereka. Selain itu kamu juga dapat memberikan jawaban dengan lebih baik demi menghindari kesalah pahaman.
Akan sangat bermanfaat jika kamu mampu memahami penyebab di balik amarahmu. Saat kamu menggalinya sedikit lebih dalam, tak jarang ditemukan rasa takut. Biasanya rasa takut datang dalam dua bentuk: takut akan penolakan dan takut merasa kewalahan (overwhelmed). Jika kamu adalah seseorang yang merasa nyaman saat dikelilingi oleh keramaian dan takut untuk ditinggalkan, kamu akan cenderung mudah marah saat kamu merasa terisolasi. Sebaliknya, jika kamu adalah seseorang yang suka menyendiri (lone wolf), amarahmu akan tumpah saat keberadaan orang lain di dekatmu telalu “menyesakkan”. Jadi, coba temukan pemicu itu dan latih diri untuk mengendalikannya.
Membatasi Rasa Penasaran Membantu Menjaga Ketenangan Pikiran
Ada sebuah pepatah lama di negara barat yang berbunyi, “curiosity killed the cat (rasa penasaran membunuh seekor kucing).” Atau dengan kata lain, penasaran terhadap sesuatu yang tak tepat dapat membawamu kepada bencana, terutama saat kamu penasaran dengan hidup dari orang lain; mau tidak mau, ketenangan batinmu akan terganggu di satu titik.
Seneca pernah berkata bahwa saat kamu mencari-cari gosip yang penuh dengan kedengkian, dapat dipastikan kamu akan mempelajari sesuatu yang membuatmu marah. Plutarch juga pernah menasehati para calon stoik agar mereka tak berusaha untuk mencari tahu apa yang dikatakan oleh pasangan mereka tentang dirinya saat mereka tak ada di dekatnya, ini hanya akan memicu pertengkaran. Memang terkadang ketidakpedulian adalah sebuah anugerah.
Sepertinya relatif lebih mudah untuk para filsuf di masa lalu mengurusi urusan mereka sendiri selama mereka bisa menghindari sumber-sumber berita negatif. Namun di zaman media sosial seperti sekarang, secara konstan kita dibombardir dengan berita dan pendapat yang berpotensi menyulut amarah. Tata krama yang berlaku saat seseorang berinteraksi dengan orang asing tak berlaku di dunia maya. Tak menatap mata lawan bicara secara langsung membebaskan seseorang untuk berkata semaunya tanpa memikirkan perasaan lawan bicara. Kemudahan berpendapat ini mampu memicu konflik-konflik yang sebenarnya tak begitu penting.
Jika kamu memutuskan untuk bergabung dalam perdebatan daring untuk mengubah pemikiran seseorang, maka percaya lah ini hanya akan membuat harimu semakin susah. Terima saja kenyataan bahwa kamu tak akan bisa mengubah pemikiran orang asing (yang sama sekali kamu tak memiliki hubungan dengannya) dan tekan tombol mute itu.
Kira-kira itulah kiat-kiat sederhana dari Stoikisme untuk menjalani hidup yang lebih tenang. Ingat bahwa kamu tak bisa mengendalikan apa yang suamimu pikirkan, siapa yang akan mendapatkan promosi jabatan, atau siapa yang akan menjabat menjadi Presiden beberapa tahun kedepan. Jika itu tak berada di bawah kendalimu, maka tak perlu kamu mengkhawatirkannya. Lebih baik kamu manfaatkan ruang pikiran itu untuk berfokus pada hal-hal yang bisa kamu kendalikan seperti pikiran, perasaan, dan perbuatanmu sendiri.
Istigfar
July 19, 2021 at 2:47 pmKereen..