Ini adalah sebuah kisah tentang pasar saham yang tiba-tiba jatuh untuk sesaat di tahun 2010. Bukan algoritma dan komputer canggih yang menjadi penyebab. Jatuhnya pasar hanya diakibatkan oleh aktivitas jual beli sekuritas seorang pria yang dilakukan di kamar masa kecilnya. Benar, kamu tidak salah baca, hanya seorang pria. Ia bernama Navinder Singh Sarao. Karena frustasi dengan kondisi pasar, ia mendesain sebuah program trading yang dapat mengakali pasar untuk mendapatkan keuntungan. Ternyata apa yang ia lakukan juga ikut berperan terhadap hancurnya harga sekuritas di tanggal 6 Mei 2010, walaupun hanya untuk sesaat. Kejadian ini dikenal dengan “Flash Crash”.
Anjloknya Pasar Keuangan Global secara Cepat Membuat Para Ahli Terheran-Heran
Di tahun 2010 saat Flash Crash terjadi, keadaan ekonomi global tak begitu baik. Dunia masih belum pulih dari krisis keuangan AS 2008. Selain itu, Yunani dan Italia masih membutuhkan bantuan dari negara tetangga di Eropa untuk mengeluarkan diri dari krisis ekonomi. Durasi Flash Crash yang relatif pendek serta kondisi ekonomi dunia yang sedang lesu membuat pedagang asset keuangan berpengalaman sekalipun tak menyadari anjloknya harga sekuritas.
Jadi bagaimana jalan ceritanya?
Pada pukul 13:41, waktu Central Standard Time, indeks S&P 500 (yang merupakan indeks yang mengukur kinerja harga saham dari 500 perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham AS) anjlok sebesar 5 persen dalam waktu 4 menit, diikuti dengan terjunnya indeks Dow Jones selama 5 menit. Bahkan iShares Russell 1000 Value Index yang awalnya berharga $50, terjun bebas menjadi $0.01. Saham-saham individu lainnya juga mulai bertumbangan, membuat grafik harga saham terlihat seperti jurang tajam.
Namun anehnya, di saat yang sama, saham beberapa perusahaan teknologi seperti Apple & juru lelang Sotheby’s melompat tajam ke angka $100.000 per sahamnya. Ini semua terjadi dalam waktu 15 hingga 20 menit saja. Dari Shanghai hingga Frankfurt, pasar keuangan memasuki mode panik.
Untuk menangani ini, secara otomatis, fungsi stop-logic dari Chicago Mercantile Exchange (sebuah pasar global jual beli derivatif) mulai teraktivasi dan menghentikan seluruh aktivitas jual beli selama 5 detik. Para pelakupun terheran, setelah trading diijinkan untuk berjalan kembali, harga sekuritas mulai beranjak naik.
Jika kalian pikir semua angka ini hanyalah abstrak dan tak mempengaruhi kehidupan nyata, kalian salah. Banyak orang-orang biasa yang kehilangan uangnya karena panik dan membuat keputusan yang salah. Mari lihat kasus dari Mike McCarthy, seorang ayah beranak tiga dari Carolina selatan yang sudah pensiun. Beliau menerima warisan dari ibu nya berupa portofolio saham setahun sebelumnya. Saat menyaksikan kondisi pasar keuangan yang semakin memburuk, dengan paniknya beliau segera menghubungi broker dan memintanya untuk cepat-cepat menjual portofolionya. Sangat disayangkan, order beliau dieksekusi di saat pasar berada di kondisi terendahnya. McCarthy kehilangan uang sejumlah $17.000 yang nilainya setara dengan 8 bulan dari cicilan hutangnya.
Trader yang Tak Dikenal di Balik Misteri Flash Crash
Setelah pihak penyelidik dari Amerika Serikat mendapatkan info yang cukup, ternyata jejak digital dari trader menunjukkan bahwa praktik ini dilakukan oleh seseorang yang tinggal di Hounslow, sebuah wilayah yang tenang terletak di barat London. Di rumah yang berukuran kecil ini, Navinder Singh Sarao yang berumur 35 tahun tinggal bersama orang tuanya. Dipercaya ia lah yang menjadi dalang di balik semua ini. Tapi siapakah ia sebenarnya?
Navinder terlahir sebagai anggota dari keluarga pekerja yang memutuskan untuk pindah ke Inggris dari Kota Punjab di India pada tahun 1970-an. Sejak kecil dia memiliki talenta di bidang matematika. Di sekolah, tak jarang ia mengalikan angka-angka panjang di kepalanya tanpa perlu menuliskannya di secarik kertas layaknya anak seusianya. Beranjak dewasa, Nav menempuh pendidikan ilmu komputer dan matematika di Brunel University yang letaknya hanya beberapa mil dari Kota Hunslow. Pada umunya mahasiswa tak memiliki banyak uang, namun Navinder heran dengan salah satu kawannya yang selalu memiliki cukup uang. Rasa penasaran memacu Nav untuk menanyakan dari mana asal uang tersebut. Dan ternyata jawabannya adalah jual beli aset keuangan. Mulai dari sinilah obsesi Nav terhadap pasar saham muncul.
Setelah menyelesaikan studinya di tahun 2003, Nav mendaftarkan diri untuk bekerja di sebuah perusahaan bernama Independent Derivatives Traders (IDT). Dalam sesi wawancara, pendiri perusahaan, Paolo dan Marco Rossi, sangat terkesan dengan kemampuan berhitung Nav yang sangat cepat, walaupun ia terlihat agak sedikit aneh dan belum “terpoles”. Untuk mempertajam pengetahuan dan praktik di dunia aset keuangan, Nav bersama calon-calon trader lainnya menjalani periode training intensif di Weybridge, Surrey. Setelah pelatihan selesai, dia mulai menyesuaikan diri dengan pekerjaannya di IDT yang penuh dengan unjuk gigi dan persaingan di antara trader itu sendiri. Tak begitu suka dengan suasana ini, Nav memilih untuk duduk di ujung belakang ruangan dan mengenakan penutup telinga agar ia dapat berkonsentrasi dengan lebih baik.
Dengan mengerahkan kejeniusannya di bidang matematika, Nav mulai berdagang di pasar futures (sebuah perjanjian hukum standar antara dua pihak untuk membeli atau menjual komoditas atau sebuah asset pada harga yang telah ditentukan, pada waktu tertentu di masa depan). Teman kantornya tahu bahwa ketika Nav sedang bekerja, tak ada yang bisa mengganggunya. Matanya tak bisa lepas dari 2 layar untuk memperdagangkan kontrak futures dari index S&P 500 yang dikenal dengan e-mini. Ia menghasilkan banyak sekali uang dari aktivitas ini yang membuatnya menjadi salah satu aset berharga dari perushaan.
Teknologi Mulai Menyaingi Kemampuan Nav
Kemampuan trading yang dimiliki Nav dapat dibilang istimewa jika dibandingkan dengan trader lainnya. Perilaku Nav juga tak seperti trader pada umumnya yang cenderung memamerkan kekayaanya dengan gaya hidup mewah. Nav hanya mengenakan sweater murah yang sama untuk bekerja setiap hari. Uniknya dia menghasilkan banyak keuntungan untuk dirinya dan perusahaan yang kemudian berubah nama menjadi Futex.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita gali mengenai future sedikit lebih dalam. Tujuan awal dibuatnya future adalah untuk melindungi bisnis dari perubahan harga komoditas yang tak menentu. Mari kita amati ini dari kasus peternak ayam. Peternak tahu bahwa ia akan memberi makan untuk ayam-ayamnya dalam waktu 6 bulan kemudian. Takut dengan kemungkinan naiknya harga pakan di waktu tersebut, peternak memutuskan untuk membeli sebuah future yang dapat memberinya jaminan untuk membeli pakan dengan harga tertentu. Jadi walaupun harga pakan naik, peternak dapat membeli pakan dengan harga yang lebih murah. Tapi tak menutup kemungkinan, harga pakan juga bisa lebih murah dari apa yang dituliskan dalam kontrak yang dapat menyebabkan kerugian. Namun hal ini tak menjadi masalah besar; yang peternak harapkan hanyalah kestabilan harga.
Namun, pembeli future tak hanya datang dari pelaku industri terkait saja. Spekulator juga ikut terlibat dalam jual beli future. Jika spekulator mendengar rumor bahwa harga jagung akan turun karena akan terdapat banyak suplai jagung di masa mendatang, ia akan menjual future untuk jagung saat ini juga agar ia dapat membeli kembali future tersebut pada harga yang lebih murah di saat harga jagung benar-benar turun. Investor dengan perilaku ini tak memiliki keinginan untuk benar-benar membeli jagung. Future hanyalah jenis aset keuangan lain untuk menghasilkan keuntungan.
Dahulu, salah satu pendiri Futex, Paolo Rossi, memperjual belikan futures di bursa saham yang terkenal riuh bernama London’s Royal Exchange. Namun pada saat ini, teknologi telah memungkinkan seseorang untuk berdagang futures dengan hanya menggunakan koneksi internet. Dan inilah yang dilakukan Navinder di kantor Futex: ia berspekulasi terhadap saham-saham dari perusahaan Amerika dan hampir tak pernah meleset. Tetapi di tahun 2007, medan jual beli future mulai berubah akibat kemunculan high-frequency trading: sebuah metode yang menggunakan teknologi mahal nan canggih dan algoritma untuk jual beli aset keuangan yang reaksinya lebih cepat dibandingkan kemampuan manusia. Bahkan, lebih cepat dibandingkan Nav.
Navinder Mencari Cara Untuk Memenangkan Permainan
Walaupun Nav dapat memproses dan bereaksi terhadap informasi baru dalam waktu seperlima detik, teknologi baru yang digunakan dalam high-frequency trading merespon pergerakan pasar hanya dalam waktu satu per satu juta detik. Hampir tak mungkin bagi Nav untuk membaca pasar dengan jitu. Ketika Nav memasukkan penawaran ke dalam sistem, di saat itu juga harga pasar akan segera bergerak melawannya. Seakan-akan trader yang tak terlihat dan perkasa dengan teknologinya ini dapat membaca setiap strategi yang Nav luncurkan. Nav merasa tercurangi.
Sebelum semua ini terjadi, Nav berkeyakinan bahwa pasar itu adil. Ia percaya bahwa ketika kamu memiliki kemampuan, kamu akan dapat menghasilkan uang tanpa mempedulikan latar belakang dan asal muasal dirimu; ini adalah sesuatu yang melegakan. Namun kedatangan program komputer canggih ini mengubah segalanya. Pasar memihak pada mereka yang memiliki akses kepada teknologi, seperti perusahaan hedge funds(sebuah lembaga yang menampung uang dari calon investor dan menggunakannya untuk diinvestasikan pada aset keuangan secara agresif untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih banyak dari pada reksa dana biasa).
Nav merasa seperti ia selalu ditarget dan diperdaya oleh kekuatan besar yang ada di pasar. Dari situ ia bertekat untuk menjadi lebih baik dari mereka. Nav berpendapat bahwa komputer sangat mahir dalam membaca data yang ada saat ini – namun jika dia dapat mempengaruhi data itu sendiri, ia dapat membodohi mesinnya. Bekerja sama dengan seorang computer programmer, Nav membuat sebuah program yang dilengkapi dengan kemampuan untuk spoofing: sebuah trik untuk menyesatkan trader lain dengan cara menempatkan order pembelian ataupun penjualan aset keuangan ke dalam sistem, kemudian membatalkannya. Jika order yang ditempatkan untuk spoofing cukup besar, harga dari aset tertentu dapat terganggu.
Taktik trading seperti ini sudah ada sejak dahulu kala. Daniel Defoe, seorang penulis dari Inggris, menceritakan kisah spoofing di London yang terjadi pada abad ke-18. Seorang gubernur dari East India Company bernama Sir Josiah Child sering meminta para broker nya untuk berakting sedih dan menceritakan kabar buruk mengenai saham dari perusahaan tertentu (yang belum tentu benar). Ini menimbulkan ketakutan di kalangan trader. Takut jika harga saham anjlok, banyak dari mereka yang segera menjualnya. Penjualan saham dalam jumlah masif menurunkan harga saham secara otomatis karena jumlah suplai yang berlebihan. Saat saham berharga rendah, Josiah Child membeli seluruh saham yang tersedia di pasar yang memungkinkan ia untuk menjualnya kembali pada harga yang lebih tinggi.
The Autotrader, program yang dibuat Nav, melakukan spoofing dengan kecepatan tinggi. The Autotrader secara otomatis dapat menempatkan order untuk kontrak futures dalam jumlah besar, menjadikan harganya naik turun tak menentu, dan kemudian membatalkan order tersebut pada waktu yang tepat sebelum trader lain setuju untuk memenuhinya. Ketika harga futures berada pada posisi yang sesuai, Nav segera membeli seluruhnya dengan menempatkan order sebenarnya. Ketika ia dapat membodohi algoritma, ia mulai mencetak lebih banyak uang.
Pihak Berwenang Lambat dalam Melacak Pencipta Program Autotrader
Seperti hari-hari kerja biasa, Nav mulai menyalakan program Autotrader-nya pada tanggal 6 Mei 2010 di kamar masa kecilnya. Pada saat itu Nav telah meninggalkan Futex dan hanya melakukan trading untuk dirinya sendiri dan menghasilkan sekitar £900.000 setiap harinya, melebihi gaji pesepak bola favoritnya, Lionel Messi, dalam satu minggu yang hanya sekitar £336.000. Sebelum Nav menjalankan spoofing, pasar memang sedang tidak dalam kondisi baik. Namun tiba-tiba, satu menit setelah Nav selesai beraktivitas dan mematikan programnya, pukul 13:41 waktu CST, kondisi pasar keuangan mulai tumbang.
Ketika “bencana” ini terjadi, berbagai macam rumor mengenai penyebabnya mulai bertebaran. Beberapa berpendapat bahwa ini diakibatkan oleh serangan teroris, sementara beberapa lainnya berpendapat bahwa ini adalah kesalahan dari trader tunggal. Pihak berwajib AS pada awalnya berkesimpulan bahwa sebuah perusahaan reksa dana besar bernama Waddell & Reed lah yang mengawalinya karena tercatat melakukan penjualan kontrak future yang jumlahnya besar pada hari yang sama.
Namun seorang trader anonim dengan panggilan Mr. X yang tinggal di Chicago berpendapat lain. Menggunakan software ciptaannya, dia mencoba menganalisa data saat pasar tumbang. Di awal-awal, Mr. X menyimpulkan bahwa sebuah entitas tunggal yang berupa institusi keuangan besar lah yang menjadi dalang di balik Flash Crash. Penemuan ini pun dipaparkan kepada pihak Commodity Futures Trading Commission. Setelah melalui proses pelacakan panjang, ditemukan bahwa sebuah entitas besar bernama NAVSAR yang berlokasi di daerah Hounslow Inggris yang mengawali semua ini.
Pada tanggal 21 April 2015 (5 tahun kemudian) petugas polisi Inggris mengetuk pintu dari rumah orang tua Nav. Tak percaya mendengar kisah dari petugas polisi, sang ayah memanggil Nav untuk turun ke ruang tamu. Nav membenarkan kejadian tersebut dan ia didakwa atas kejadian penipuan dan manipulasi pasar keuangan.
Kejadian Flash Crash Memunculkan Sejuta Pertanyaan Mengenai Dunia Keuangan
Setelah ditahan selama 4 bulan di Penjara London Wandsworth, Nav dikeluarkan dari penjara. Kemudian pada tanggal 7 November 2016, ia di-ekstradisi ke AS untuk menghadapi tuduhannya. Dan pada bulan Januari 2020, barulah ia dihukum untuk sebentar karena hakim Chicago memutuskan untuk melepaskannya dengan syarat ia menjadi tahanan rumah selama satu tahun di Hounslow. Hukuman yang “lunak” ini diberikan pada Nav karena ia mau bekerja sama untuk mengedukasi pihak berwajib di AS mengenai metode spoofing yang dilakukannya agar mereka dapat mengidentifikasi lebih awal malapraktik serupa di masa mendatang. Lalu hal lain apa yang mereka pelajari?
Pertanyaan pertama adalah: apakah Nav benar-benar dalang di balik kejadian tersebut? Salah satu dari pihak yang memimpin penyelidikan Flash Crash, bernama Andrei Kirilenko, tak berpendapat demikian. Beliau percaya bahwa apa yang dilakukan tidak cukup signifikan secara statistic untuk menyebabkan terjunnya harga aset keuangan di tanggal 6 Mei 2010.
Pertanyaan kedua: apakah spoofing memang berdampak buruk terhadap pasar? Salah satu trader dan manager hedge fund bernama John Arnold berargumen bahwa spoofing bukanlah kegiatan yang merugikan pasar karena ini bertindak sebagai penyeimbang dari perilaku para high-frequency trader yang algoritmanya sering “melukai” peserta lain. Namun banyak pihak yang memdebatkan opini tersebut. Saat itu juga, praktik spoofing dilarang dalam kegiatan jual beli aset keuangan.
Pertanyaan terakhir: Apakah Nav seorang pahlawan atau seorang pecundang? Banyak trader menganggapnya sebagai sebuah inspirahi. Dan banyak juga yang menganggap ia sebagai penjahat. Mr. X berpendapat bahwa Nav adalah seorang kriminal karena telah mencurangi orang-orang biasa untuk mendapatkan uang. Lebih dari itu, Nav juga tak mendistribusikan ulang kekayaannya kepada orang yang membutuhkan. Ia hanya mengumpulkan uang untuk kepentingan pribadinya.
Add a comment