-
Topik TulisanSejarah
-
Sub Judul TulisanSejarah Singkat Penemuan Sumber Energi di Dunia
- Berikan Komentarmu
Energi adalah salah satu hal yang sering kita sia-siakan. Entah saat kita menyalakan lampu atau pemanas, kita tak pernah benar-benar memikirkan dari mana energi yang menghidupkan mesin-mesin ini berasal. Sejarah dari energi begitu kaya, layaknya tenunan permadani yang saling berhubungan, setiap penemuan dan inovasi baru membuka jalan untuk pengembangan teknologi energi berikutnya. Ide-ide ini lahir karena kebutuhan, kompetisi dan rasa penasaran. Teknologi penciptaan energi juga dibentuk oleh faktor eksternal seperti ekonomi, peperangan dan masa paceklik. Lebih dari itu, tema yang sama selalu saja diperbincangkan tiap kali teknologi baru muncul adalah, apa dampak lingkungan dari sumber energi yang baru? Ini sudah menjadi perdebatan sejak dahulu.
Adanya Kekurangan Pasokan Kayu Merupakan Pemicu Digunakannya Batu Bara
Inggris, di tahun 1500-an, merupakan sebuah negara yang mengandalkan kayu untuk berbagai macam hal. Kayu digunakan untuk membangun rumah, memasak dan memanaskan sesuatu, dan juga menjadi salah satu bahan dasar dari dibangunnya kapal-kapal besar milik Royal Navy. Namun sayangnya, kayu merupakan sumber daya yang terbatas. Seiring dengan meningkatnya populasi masyarakat Inggris, permintaan atas kayu pun ikut meningkat. Saat pasokan yang ada di kota dan sekitarnya hampir habis, kayu harus diangkut dari tempat yang jaraknya jauh sehingga harganya pun melonjak. Ketakutan akan kelangkaan kayu menjadi semakin nyata dan sumber bahan bakar baru pun diperlukan. Apa yang menjadi solusinya? Jawabannya ada pada batu bara.
Batu bara bukanlah sebuah penemuan baru; ia telah digunakan di bidang industri dalam beberapa abad terakhir. Akan tetapi pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar, di kala itu, masih terbatas. Polusi asap hitam tebal mencemari udara tiap kali batu bara dibakar; banyak yang percaya bahwa asap ini beracun. Bau tak sedap dan fakta bahwa batu bara berasal dari tanah yang digali membuat orang-orang berpikir bahwa batu bara membawa aura jahat.
Pandangan terhadap batu bara mulai berubah di tahun 1603 ketika Raja Skotlandia, James VI, mengambil alih takhta dari kerajaan Inggris. Skotlandia memiliki pengalaman yang sedikit berbeda dengan penggunaan batu bara. Kelangkaan kayu sudah mereka alami lebih awal dari Inggris sehingga mereka beralih ke batu bara jauh lebih awal. Tak seperti batu bara laut lunak Inggris (soft sea coal), batu bara dari Skotlandia jauh lebih keras dan lebih bersih saat dibakar. Saat mulai bertempat tinggal di Westminster, James VI mengimpor batu bara Skotlandia untuk menghangatkan kediamannya. Tak lama kemudian, pejabat negara lain dan masyarakat umum mulai mengikuti langkahnya. Cakrawala kota London mulai dipenuhi dengan cerobong asap dari rumah-rumah.
Karena batu bara lebih murah jika dibandingkan dengan kayu, konversi ke batu bara yang terlalu cepat memunculkan masalah baru. Polusi meningkat secara drastis pada tahun 1600-an. Udara kota London menjadi penuh dengan asap dan jelaga. Meskipun polusi terjadi, batu bara menjadi sumber bahan bakar utama bagi rumah tangga. Ini mendatangkan masalah lain. Pasokan dari batu bara yang mudah untuk ditambang semakin menipis. Untuk memenuhi permintaan, tambang-tambang harus digali lebih dalam. Ini adalah proses yang sangat berbahaya, dan banjir semakin sering terjadi di tambang. Sekali tambang dibanjiri, maka tambang itu harus berhenti beroprasi. Sebuah teknologi baru diperlukan untuk memompa air keluar dari tambang.
Meningkatnya Penambangan Batu Bara Mendorong Pengembangan Mesin Uap
Di tahun 1968, seorang insinyur Inggris bernama Thomas Savery mengembangkan sebuah mesin uap yang didasarkan pada hasil karya dari Denis Papin, seorang penemu asal Prancis. Namun mesin ini masih memiliki satu masalah utama, yakni ia tak memiliki tenaga yang cukup. Digunakannya satu mesin masih belum cukup untuk memompa air keluar dari tambang yang memiliki kedalaman ekstra.
Di tahun 1712, Thomas Newcomen datang dengan sebuah mesin uap dengan teknologi lebih baik yang memiliki tenaga lebih besar dari sebelumnya. Mesin uap Newcomen menjadi standar mesin yang digunakan di tambang-tambang yang ada di Inggris maupun Eropa. Walaupun mesin Newcomen bisa memompa air, namun pemain industri masih merasa bahwa mesin uap tersebut tak cukup kuat untuk menimbulkan dampak yang nyata.
Kemudian di tahun 1763, seorang insinyur dari Skotlandia, bernama James Watt, melakukan modifikasi terhadap desain mesin uap Newcomen. Dia menyadari bahwa dengan menambahkan sebuah condenser (alat untuk mengubah uap air/zat gas lain menjadi benda cair melalui proses pendinginan) yang terpisah, dia dapat menciptakan sebuah mesin yang jauh lebih efisien. Kedatangan mesin uap Watt yang efisien mengawali era penciptaan energi yang lebih fleksibel dan terjangkau dari segi harga. Untuk melihat cara kerja mesin uap, klik tautan ini kawan.
Pemanfaatan mesin uap tak hanya berhenti untuk memompa air tambang. Mesin uap juga dimanfaatkan untuk transportasi. Dahulu, gerobak/pedati pengangkut batu bara ditarik menggunakan kuda dari tambang ke kapal tongkang yang ada di sungai. Untuk membantu kuda-kuda ini menarik muatan berat, rel-rel yang terbuat dari besi diletakkan di jalur yang sama. Tak butuh waktu yang lama bagi para insinyur menemukan ide dibuatnya lokomotif uap untuk menarik gerbong-gerbong pengangkut batu bara di sepanjang rel besi. Lokomotif uap ini terbukti efisien dan dapat diandalkan. Di saat itu juga, para pengusaha menyadari bahwa lokomotif uap juga dapat digunakan sebagai moda transportasi alternatif bagi manusia.
Di tahun 1830, jalur kereta yang menghubungkan antara Liverpool dan Manchester pun dibangun. Itu adalah jalur kereta pertama antar kota yang hanya menggunakan lokomotif. Infrastruktur ini mendatangkan kesuksesan besar. Tak lama kemudian pemerintah memutuskan untuk membangun ribuan mil jalur kereta yang tersebar dan menghubungkan berbagai wilayah yang ada di Inggris. Keberadaan kereta penumpang telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia: bepergian ke daerah lain tak lagi dibatasi oleh jarak yang dapat ditempuh oleh kuda dalam satu harinya. Penemuan ini benar-benar memperluas potensi yang bisa diraih oleh manusia.
Kebutuhan akan Pencahayaan Buatan Mendorong Penemuan Minyak dan Listrik
Bentuk paling awal dari pencahayaan buatan adalah lilin dan lampu minyak yang tak cukup terang untuk menerangi seluruh ruangan, apa lagi menerangi jalan raya. Saat perkotaan menjadi semakin ramai, berjalan di jalan raya pada malam hari menjadi sesuatu yang berbahaya.
William Murdoch, seorang insinyur yang pernah bekerja untuk James Watt, berhasil mengembangkan solusi untuk penerangan kota yang praktis dan efektif dari segi biaya. Dalam sebuah pameran umum di Soho Foundry (pabrik yang didirikan oleh James Watt dan Matthew Boulton) pada tahun 1802, Murdoch berhasil membuat pabrik menyala terang dengan lampu gas (gaslight) hasil karyanya. Pameran ini menjadi sebuah sensasi besar. Dari situ, penggunaan gaslight mulai tersebar dari pabrik ke pabrik. Sejak tahun 1815, jalanan London pun mulai terang berkat gaslight.
Walaupun gaslight sudah banyak digunakan untuk fasilitas umum dan kebutuhan industri, sebagian besar rumah tangga hanya bisa menikmati lampu minyak. Minyak ikan paus merupakan bahan bakar lampu yang sudah digunakan sejak dulu hingga di satu titik di mana pemburuan paus yang berlebihan mengurangi persediaan minyak. Akibatnya, pasokan yang terbatas membuat harga minyak ikan paus meroket sehingga masyarakat harus mencari alternatif lain. Salah satu bahan bakar alternatif yang populer adalah champine yang merupakan campuran dari turpentine, grain alcohol, dan kerosene; mahalnya harga kerosene lah yang memicu para produsen untuk mencari cara yang murah untuk memproduksinya. Dari sinilah perjalanan manusia dalam memanfaatkan petroleum dimulai.
Selama bertahun-tahun, petroleum yang merembes dari tanah dianggap sebagai gangguan. Tak ada yang benar-benar tahu seberapa besar jumlah petroleum yang ada di tanah atau bagaimana cara mengeluarkannya. Karenanya tak ada banyak pihak yang tertarik untuk mengembangkannya. Tetapi saat diketahui bahwa petroleum merupakan sumber yang tepat untuk memproduksi kerosene, tiba-tiba menggali petroleum menjadi pekerjaan yang cukup menguntungkan. Di tahun 1859, Edwin Drake menjadi orang pertama yang berhasil mengebor minyak. Dari situ dunia mulai berubah walaupun di waktu itu dunia belum mengetahui potensi utuh dari minyak.
Rahasia dari penggunaan energi listrik secara massal bahkan perlu waktu lebih lama untuk terkuak. Manusia sudah melakukan eksperimen dengan listrik untuk cukup lama, akan tetapi tak ada yang mengetahui bagaimana cara memanfaatkannya dalam keseharian. Namun ini semua berubah pada tahun 1831. Ilmuwan Michael Faraday menemukan bahwa gaya mekanik, seperti memutar engkol yang dilengkapi dengan dinamo (hand crank generator), dapat dikonversi menjadi listrik. Klik di sini untuk melihat hand crank generator beraksi. Dan jika generator engkol tangan saja dapat menghasilkan listrik dalam jumlah kecil, pasti fenomena alam dengan skala besar seperti air terjun dapat menciptakan lebih banyak listrik dengan memanfaatkan prinsip yang sama. Di tahun 1882, pembangkit listrik tenaga air yang pertama di dunia mulai menghasilkan listrik di sepanjang sungai Fox di Wisconsin. Untuk apa listrik ini digunakan? Sebagian digunakan untuk memberikan daya terhadap pencahayaan untuk dua pabrik kertas di daerah setempat.
Terobosan Sering Terjadi Akibat Adanya Tekanan dari Luar, Terutama Terkait Distribusi
Tak ada sumber energi baru yang bisa diadopsi dalam waktu semalam. Tiap kali sumber energi baru ditemukan, pertanyaan yang sama pun harus dijawab: Bagaimana caranya untuk membawa jenis energi baru ini dari sumbernya ke para pengguna? Lalu apa yang seharusnya kita lakukan saat sumber energi habis? Misalkan minyak, awalnya tak ada yang tahu bagaimana cara untuk menyimpannya, apa lagi mengangkutnya. Perusahaan produsen minyak pertama kali mengemas produknya dalam tong-tong kayu yang permukaannya tidak rapat, lalu mengangkutnya menggunakan kapal yang melintasi sungai-sungai. Karena kebocoran yang terjadi pada tong, minyak menetes mencemari sungai dan banyak pula minyak yang hilang di perjalanan karena metode yang relatif tidak efisien ini.
Menjaga pasokan dari gas alam juga merupakan pekerjaan sulit. Coba lihat kasus di Pittsburgh (kota dari negara bagian Pennsylvania di AS). Di tahun 1880-an, kota Pittsburgh memutuskan untuk mengubah sumber energi nya dari batu bara menjadi gas alam; tak lama kemudian, penduduknya melihat perkembangan positif terhadap kualitas udara kota. Namun kabar baik ini tak bisa bertahan lama. Di tahun 1892, pasokan gas alam lokal menipis. Ini memaksa kota untuk kembali menggunakan batu bara. Pemakaian gas alam tak bisa dinikmati Pennsylvania hingga tahun 1947; di tahun itu, the Big Inch Pipeline (saluran pipa yang terbentang dari Texas ke New Jersey) yang dibangun untuk mengirimkan minyak ke daerah Timur Laut AS selama Perang Dunia Ke-Dua, dialihfungsikan untuk memasok gas alam. Ya, Pittsburgh harus menunggu lebih dari 50 tahun untuk dapat kembali menggunakan gas karena pasokan di daerah mereka sendiri sangat terbatas. Siklus pemanfaatan energi ini terjadi berulang-ulang kali: pasokan sumber daya alam yang terbatas akan terus mendorong perkembangan baru dalam teknologi.
Setiap Penemuan Sumber Energi Baru Mempunyai Efek Riak (Ripple Effect) terhadap Industri Lain yang Sepertinya Tidak Berhubungan
Perubahan yang dibawa oleh sumber energi baru mungkin tak akan terjadi dalam waktu yang bersamaan; akan tetapi, dampak yang mereka bawa bersifat mendalam dan permanen.
Misalkan saja terkait dengan hukum tenaga kerja/buruh. Pada tahun-tahun awal penambangan batu bara di inggris, tak jarang kita melihat seluruh anggota keluarga yang bekerja di sebuah tambang, mulai dari ayah, Ibu, dan bahkan anak-anak kecil mereka. Ini adalah pekerjaan yang membahayakan, dan jam kerjanya yang cukup panjang dapat memberikan beban lebih terhadap tubuh. Diperlukan tindakan dari parlemen Inggris untuk membuat hukum yang mengatur kondisi, lingkungan dan standar kerja dalam industri pertambangan. Dalam “The Mines Act of 1842” dinyatakan bahwa wanita dan anak-anak dilarang untuk bekerja di tambang. Ini adalah awal dari pendekatan baru terhadap kehidupan bermasyarakat, pendekatan yang menempatkan peraturan dan regulasi terhadap kondisi kerja. Tak lama kemudian, undang-undang lain yang serupa pun ikut bermunculan. Kebangkitan batu bara sebagai sebuah sumber energi mengubah hubungan antara politik dengan para tenaga kerja di sebuah negara kedepannya.
Ranah lain yang terdampak dengan adanya pengembangan teknologi energi baru adalah pertanian. Selama ratusan tahun, kuda-kuda telah menjadi perlengkapan yang wajib ada pada sebuah kota. Hingga tahun 1900-an, Manhattan merupakan rumah bagi 130.000 kuda-kuda yang dipekerjakan. Jumlah kuda yang masif ini memerlukan jumlah jerami dan biji-bijian yang besar pula dan telah menyediakan kesempatan untuk berbisnis bagi ribuah petani lokal. Banyak kuda juga berarti banyak kotoran yang harus dibersihkan sehingga terdapat petugas kebersihan yang mengumpulkan kotoran tersebut untuk dijual kembali kepada para petani sebagai bahan utama pupuk organik.
Semua ekosistem ini akan berubah dengan kemunculan mobil bermesin di pasar. Awalnya, kuda dan mobil menjadi sarana tranportasi yang saling berdampingan; bahkan pengguna mobil diwajibkan untuk memberikan jalan terhadap kuda. Namun, saat mobil mampu menawarkan kenyamanan yang lebih dibandingkan kuda, populasi kuda sebagai sarana transportasi perkotaan pun menurun. Fenomena ini mengakibatkan permintaan terhadap jerami dan tanaman lain sebagai pakan kuda menurun. Saat petani menurunkan jumlah tanaman yang dirawat, permintaan mereka untuk pupuk pun menurun sehingga kotoran kuda yang awalnya dianggap sebagai komoditas kini mulai diabaikan dan menimbulkan ancaman terhadap kesehatan. Fasilitas pendukung tranportasi kuda pun dengan sendirinya tutup. Alih-alih, infrastruktur dan sistem pendukung untuk kendaraan bermotor, seperti stasiun pengisian BBM dan bengkel kendaraan, mulai bermunculan di daerah-daerah yang dulunya digunakan untuk kegiatan pertanian. Industri baru hidup saat industri lama mati.
Dampak Lingkungan dari Penggunaan Energi Hampir Selalu Dipikirkan Belakangan
Baru akhir-akhir ini saja kita mulai menyadari dan memperdebatkan apa yang dimaksud dengan perubahan iklim. Kekhawatiran akan dampak penggunaan energi terhadap lingkungan memang bukanlah sesuatu yang baru. Namun jika kita melihat ke belakang, kita belum pernah benar- benar serius melakukan aksi nyata untuk menghadapi isu ini.
Smog (campuran asap dan kabut) merupakan dampak lingkungan paling nyata akibat penggunaan batu bara. Setelah masa revolusi industri, smog mulai bermunculan di kota-kota pengonsumsi batu bara. Kota seperti London terselimuti dengan asap tebal berwarna abu, namun sedikit dari masyarakat yang menganggap ini sebagai ancaman terhadap kesehatan. Sebagian besar orang justru menganggap bahwa kota yang diselimuti oleh smog merupakan kota yang ber-peradaban tinggi; smog dianggap sebagai tanda akan kemajuan dan prestasi ilmiah. Polusi udara tak digubris secara serius sebagai ancaman terhadap kesehatan hingga setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Di tahun 1948, smog beracun menimpa kota kecil di negara bagian Pennsylvania bernama Donora, membunuh setidaknya 20 nyawa. Beberapa tahun kemudian, kabut beracun serupa terjadi di London dan mengakibatkan lebih dari 3000 kematian. Hasil investigasi menunjukkan bahwa setiap kasus kematian tersebut diakibatkan oleh asap batu bara yang terkontaminasi dengan sulfur dioxida.
Namun batu bara tak selalu menjadi biang keroknya. Di awal tahun 1950-an, Arie Haagen-Smith (seorang ahli kimia) menganalisa smog di Los Angeles dan menemukan bahwa komposisi utama asap merupakan hidrokarbon yang teroksidasi yang berasal dari mobil dan ladang minyak. Penemuan ini cukup mengganggu para pemain di kedua industri. Banyak perusahaan memilih untuk tidak bertanggung jawab dan mencoba untuk mendiskreditkan hasil penelitian Haagen- Smith yang terus melawan dengan mencari data-data relevan. Pada akhirnya, dia menemukan sebuah bukti yang tak terbantahkan akan penyebab polusi udara ini dan dampak buruknya. Di tahun 1970, Presiden Richard Nixon menciptakan Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency) yang menjadi awal dari perlawanan nyata AS terhadap polusi udara.
Dibutuhkan waktu beberapa dekade untuk pemerintah melakukan perlawanan resmi terhadap polusi udara semenjak kemunculannya pertama kali. Tentu dampak jangka panjang dari teknologi baru terhadap lingkungan dan kesehatan publik memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dipahami. Namun dari sejarah terlihat bahwa kekhawatiran terkait dampak negatif dari sumber daya baru cenderung diabaikan.
Energi Masa Depan Harus Dapat Diandalkan dan Memiliki Harga Terjangkau untuk Populasi Dunia yang Semakin Bertambah
Di tahun 2010, diperkirakan populasi manusia di dunia mencapai 10 miliar orang. Angka ini 25% lebih tinggi dari jumlah populasi di tahun 2017, dan pertumbuhan populasi pasti akan diiringi dengan kebutuhan energi yang ikut meningkat. Populasi global tak lagi hanya memikirkan tentang subsistence level existence (mengonsumsi dan memprduksi dalam jumlah yang cukup tanpa adanya surplus), tetapi sudah berevolusi menjadi “kemakmuran masal” yang ditandai dengan produksi berlebihan. Lalu bagaimana caranya untuk melalui proses transisi ini secara sempurna tanpa harus menghancurkan planet kita dalam prosesnya?
Salah satu kekuatan alam yang berpotensi besar untuk dimanfaatkan adalah angin. Turbin angin penghasil listrik pertama kali diciptakan di Skotlandia pada tahun 1887. Tenaga angin cukup populer digunakan pada setengah abad pertama dari abad ke-20, terutama di daerah pedesaan. Akan tetapi kepopulerannya tak berlangsung lama. Jumlah tenaga yang mampu dihasilkan angin sangatlah terbatas. Hingga tahun 2016, total kapasitas energi listrik yang dihasilkan angin di seluruh dunia hanya mencapai 487 gigawatt. Jumlah ini 1% lebih kecil dari total keluaran energi yang dihasilkan dunia.
Pemanfaatan tenaga matahari juga ikut meningkat, namun teknologi ini memiliki keterbatasannya. Energi matahari diperkenalkan pada tahun 1950 dengan ditemukannya silicon photovoltaic cell. Versi pertama dari cells ini sangat mahal untuk diproduksi; penyempurnaan cells pada tahap berikutnya berfokus untuk mengurangi biaya pembuatan tanpa mengurangi efisiensi atau kemampuan dari cells. Penelitian teknologi panel surya masih terus berjalan, namun hingga sekarang, tenaga matahari hanya memproduksi antara 1-4% dari listrik dunia.
Penghambat utama dari pemakaian tenaga angin dan matahari adalah faktor kapasitas (capacity factor): keluaran daya rata-rata dibagi dengan kemampuan daya maksimum. Karena energi yang dihasilkan dua alat tersebut bergantung pada kondisi alam, maka kapasitas maksimum dari alat-alat tersebut sering kali tidak tercapai. Secara rata-rata, turbin angin hanya terpakai 34,7% dari kapasitas maksimumnya. Sementara angka rata-rata capacity factor dari panel surya hanya mencapai 27,2%, padahal kita tahu bahwa listrik harus dihasilkan secara real-time (sesuai dengan waktu permintaan) dan hanya bisa disimpan untuk sementara. Lalu apa yang terjadi ketika angin tak bertiup atau matahari tak bersinar?
Dari semua sumber energi, pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan yang paling efisien dengan angka efisiensi rata-rata mencapai 92,1%. Ini angka yang cukup tinggi. Bahkan sumber- sumber energi yang tergolong mapan, seperti batu bara dan gas alam, hanya bisa mencapai separuh dari apa yang dicapai nuklir. Walaupun biaya untuk membangun, mengoperasikan, dan merawat sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir tergolong mahal, capacity factor nya yang tergolong tinggi membuatnya sangat efektif dari segi biaya. Pada akhirnya memang tak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim yang merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Kombinasi dari beberapa sumber energi adalah strategi yang bisa kita terapkan untuk memenuhi kebutuhan, sekaligus mengurangi jejak karbon kita di bumi ini.
Mengombinasikan Sumber Energi yang Berbeda, Sambil Perlahan Beralih ke Energi Baru Terbarukan, Merupakan Langkah Terbaik yang Bisa Dilakukan
Jika kita melihat tantangan kebutuhan energi di masa mendatang, sangat jelas bahwa kita harus membuat perubahan terhadap sistem yang ada saat ini. Bahkan jika perubahan iklim tidak menjadi sebuah isu yang mendesak, tetap saja kita akan kehabisan bahan bakar fosil mengingat keberadaannya yang terbatas. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk terus mengembangkan, menguji, dan mengimplementasikan teknologi baru di kehidupan sehari-hari.
Kunci untuk menjaga kondisi bumi kedepannya ada pada proses dekarbonisasi sumber energi. Saat kita melakukan transisi ke sumber energi yang menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida, kita sebenarnya sedang melakukan dekarbonisasi yang menyehatkan planet bumi. Misalkan, gas alam hanya mengeluarkan emisi karbon dioksida sekitar separuh dari batu bara. Tenaga nuklir dan panel surya hanya menghasilkan sedikit sekali emisi CO2 jika dibandingkan dengan gas alam, itupun hanya pada saat proses kontruksi dan perawatan fasilitas. Peralihan dari batu bara ke gas alam merupakan awal yang baik, dan beralih dari energi fosil ke energi nuklir atau energi matahari akan lebih baik.
Akan tetapi, ada satu hal yang harus diingat sembari kita beralih ke tahap energi selanjutnya, yakni: mengadopsi sumber energi baru membutuhkan waktu. Untuk mendominasi separuh dari pangsa pasar dunia, biasanya sumber energi baru membutuhkan waktu sekitar satu abad. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Alasan pertama adalah teknologi baru harus melewati berbagai proses pengujian yang berat. Setelah diketahui bahwa sumber energi dapat bekerja, tetap saja diperlukan penyempurnaan agar teknologi semakin dapat bekerja secara optimal. Kedua, tiap teknologi baru membutuhkan infrastruktur pendukung yang harus dibangun dari nol. Misalkan minyak; agar bisa tersalurkan dengan cepat, dibutuhkan saluran pipa yang terhubung dari sumber hingga ke lokasi pengguna. Tetapi sebelum saluran pipa ada, minyak didistribusikan menggunakan tong-tong kayu/barel. Dan jika ditarik kebelakang lagi, kita perlu menganalisa bagaimana caranya agar minyak bisa dimanfaatkan. Semua ini membutuhkan waktu.
Namun di antara semua penghalang, yang menjadi penghambat terbesar adalah faktor manusia. Manusia sangat lamban dalam melakukan perubahan terhadap kebiasaan dan mengadopsi cara baru untuk melihat dunia. Kita tahu bahwa bahan bakar fosil akan habis dan ketergantungan kita terhadapnya telah berkontribusi terhadap fenomena perubahan iklim. Sayangnya pengetahuan ini masih belum mampu melawan kebiasaan yang telah mandarah daging dan tertanam selama bertahun-tahun sehingga sangat sulit untuk keluar darinya. Akan tetapi kita harus mencobanya. Kita harus terus melakukan penemuan, berinovasi, dan belajar dari kesalahan untuk meningkatkan teknologi kita. Selama kita berada dalam jalur ini, maka kemungkinan kita untuk dapat bertahan di planet ini selama berabad-abad mendatang semakin terbuka.
Semoga bermanfaat kawan!
Add a comment