Saat ini kita tinggal di dunia yang penuh dengan konsumsi karena segalanya dapat tersedia secara instan. Hanya dengan menyentuh beberapa tombol di layar smartphone, hampir segala jenis produk dan jasa dapat dibeli – mulai dari pakaian, makanan, hiburan, dan bahkan obat- obatan terlarang. Singkatnya, kehidupan kita dibanjiri oleh aktivitas/pengalaman yang dapat memicu diproduksinya dopamine (sebuah neurotransmitter/zat kimia yang berurusan dengan bagaimana kita memproses kenikmatan dan memotivasi kita untuk tetap melakukan aktivitas tertentu). Kita terus mencari pengalaman ini karena ingin “mematikan” rasa sakit dalam hidup; namun faktanya, “rasa senang” yang ditimbulkan dopamine ini tidak bertahan lama. Bayangkan rasa ingin yang begitu menggebu untuk menonton satu episode lagi dari series yang sedang kamu tonton, dopamine memotivasimu untuk mendapatkan “reward” yang sama secara terus menerus. Melalui tulisannya, sang penulis menginginkanmu untuk menemukan keseimbangan antara rasa senang dan sakit, dan menaklukkan keinginan kompulsif untuk terus mengonsumsi.
Di Zaman Modern Ini, Kita Sudah Kecanduan terhadap Rasa Senang
Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar kata kecanduan? Apakah itu pecandu narkotika berbadan kurus dan berkeringat yang sedang menyerahkan uang leceknya kepada seorang pengedar untuk seplastik kecil bubuk putih cocaine? Ataukah seorang pria yang menghabiskan semalaman waktunya untuk menonton film biru? Ataukah mahasiswa semester awal yang tak bisa lepas dari telepon genggamnya saat sedang belajar? Secara umum, kecanduan adalah dikonsumsinya zat tertentu atau dilakukannya sebuah perilaku secara terus menerus dengan cara yang kompulsif meskipun kebiasaan tersebut dapat membahayakan mu dan orang-orang di sekitar mu. Semua contoh yang disebutkan di atas merupakan perilaku dari para pecandu.
Perlu diakui bahwa setidaknya kita semua sedang berjuang untuk melawan satu kebiasaan buruk. Bahkan sang penulis sendiri, Anna Lembke, mengakui bahwa ia memiliki kecanduan terhadap novel-novel bergenre romansa seperti “Twilight” dan “Fifty Shades of Grey”, yang secara kompulsif beliau selalu baca di antara sesi-sesi konsultasi dengan pasiennya.
Salah satu penyebab utama dari terjadinya kecanduan adalah adanya akses yang mudah terhadap zat/barang/aktivitas tersebut. Contohnya, kecanduan terhadap opioid yang sempat mengacaukan Amerika Serikat di awal tahun 2000-an, sebagian besar, diakibatkan oleh peresepan yang berlebihan untuk meredakan rasa sakit/nyeri. Walaupun terdapat bermacam pasokan obat-obatan yang cukup manjur, opioid cenderung memiliki efek yang lebih kuat pada tubuh. Narkotika hanyalah puncak dari gunung es ketika kita membicarakan tentang dopamine economy. Makanan dan minuman yang kita konsumsi juga dibuat semakin adiktif dengan ditambahkannya banyak gula dan lemak. Perusahaan teknologi juga mecoba untuk menyita perhatian kita dengan berbagai macam fitur adiktifnya.
Tingkat kecanduan dunia terus meningkat; dan secara global, 70% dari kematian diakibatkan oleh faktor-faktor berisiko seperti merokok, obesitas, dan kurangnya olah raga. Di saat orang miskin menderita karena mereka tak memiliki kesempatan yang baik dan pekerjaan yang bermakna, mereka disuguhkan dengan berbagai macam “pelarian” yang dapat menghasilkan dopamine. Ketidak adilan yang ada di dunia membuat mereka stres dan depresi hingga akhirnya mereka terdorong untuk mengonsumsi zat-zat berbahaya. Masyarakat Amerika Serikat berusia paruh baya yang berkulit putih dan kurang berpendidikan juga banyak yang meninggal karena overdosis, bunuh diri dan menderita penyakit hati akibat konsumsi alkohol yang berlebihan.
Penderitaan yang Kita Rasakan Berasal dari Upaya Kita untuk Menghindari Penderitaan Itu Sendiri
Di tahun 1800-an, para ahli bedah mengoperasi pasien tanpa melakukan anestesi umum (prosedur pembiusan yang membuat pasien menjadi tidak sadar selama operasi berlangsung). Mengapa? Menurut dokter terdahulu, rasa sakit akan meningkatkan respon imun dan mempercepat proses penyembuhan. Namun dokter di zaman sekarang memilih pendekatan yang berbeda dengan berfokus pada penyembuhan, memberikan perhatian, dan mengeliminiasi rasa sakit. Kecenderungan untuk menghindari rasa sakit ini telah mendorong dokter untuk lebih banyak meresepkan obat. Saat ini, satu dari empat orang AS mengonsumsi obat-obatan psikiatri per harinya dan satu di antara sepuluh orang menggunakan antidepressant; fenomena peningkatan ini juga terjadi secara global. Di antara tahun 2006 dan 2016, penggunaan stimulan (perangsang) seperti Ritalin dan Adderall meningkat dua kali lipat di AS; selain itu konsumsi obat penenang seperti Valium dan Xanax juga melonjak sebesar 67%. Banyak sekali fakta yang menunjukkan bahwa kita berusaha dengan keras untuk mematikan rasa sakit. Tapi jika kita hidup di zaman yang maju, penuh dengan kebebasan, dan berlimpah kekayaan, mengapa banyak dari kita yang justru terluka?
Kita sebenarnya tidak sedang berlari dari rasa sakit yang ekstrem (bukan patah tulang ataupun operasi tanpa anestesi). Tetapi, sepertinya kita tidak dapat menoleransi momen-momen yang tidak nyaman, walaupun itu hanya untuk sesaat. Sebagai solusi, kita memilih untuk mengalihkan perhatian dengan mencari-cari hiburan untuk kabur dari “masa kini” (present moment).
Sophie, salah satu pasien dari penulis buku, adalah contoh yang tepat. Ia merupakan seorang mahasiswa di Stanford yang menderita depresi dan sering kali gelisah ataupun cemas (anxiety). Sebagai “jalan keluarnya”, ia menghabiskan sebagian besar waktu dan perhatian pada telepon genggamnya. Menurut Lembke, dengan secara terus menerus mengendalikan lingkungan perhatiannya dan menghindari untuk menghadapi dirinya sendiri, Sophie sebenarnya sedang memicu keluarnya gejala-gejala depresi. Maka dari itu, Lembke menyarankan agar Sophie dapat mulai berjalan ke kelas tanpa mendengarkan musik atau podcast kesukaannya. Walaupun saran ini terdengar membosankan, rasa bosan ini akan menggiring Sophie untuk mulai memikirkan hidupnya dan menjawab pertanyaan penting seperti “apa tujuan hidup Sophie sebenarnya?”. Dengan memberikan sedikit “ruang kosong” atau “waktu jeda” yang tidak diisi dengan distraksi, kita sedang mengizinkan pikiran-pikiran yang awalnya tertahan, menjadi bersemi.
Rasa Senang atau Nikmat Akan Berujung Pada Rasa Sakit
Anna Lembke sudah begitu kecanduan dengan saga Twilight, sampai-sampai beliau membacanya sebanyak 4 kali. Kali kedua nya ia membaca, rasanya sudah tidak se- menyenangkan yang pertama; setibanya di kali keempat, rasa senang itu benar-benar hilang. Sebagai solusi, beliau mencari-cari novel lain tentang vampir yang memiliki jalan cerita lebih dahsyat. Pengalaman dari Anna ini secara singkat telah menjelaskan fenomena pleasure-pain balance (keseimbangan antara rasa senang dan sakit) yang terjadi pada otak.
Ingat, bahwa otak tak memberikan rasa senang secara cuma-cuma. Wilayah otak yang memproses rasa senang dan sakit berada pada titik yang sama dan mereka mencoba untuk saling menyeimbangkan antara satu sama lain. Pada saat otak mendapatkan aliran dopamine, secara alami neraca yang awalnya berada dalam keadaan seimbang akan lebih berat ke sisi pleasure (rasa senang); namun tubuh memiliki kecenderungan untuk menjaga keseimbangan agar bisa bertahan hidup (proses homeostasis), sehingga otak harus menyeimbangkan neraca tersebut dengan memunculkan rasa sakit yang besarnya sama dengan rasa senang tadi (the opponent process reaction).
Rasa sakit ini datang dalam bentuk craving (keinginan yang menggebu) atas sesuatu, entah itu satu gigitan coklat lagi, menonton satu episode series lagi, atau satu hisapan lagi. Harusnya jika satu kali konsumsi saja sudah membuat kita senang, apa lagi dua atau tiga kali bukan? Akan tetapi, terdapat sebuah fenomena tubuh yang disebut dengan neuroadaptation yang berarti semakin kita mengekspos tubuh kita dengan stimulus atau pengalaman yang menyenangkan, semakin lemah efek rasa senang yang ditimbulkan oleh pengalaman tadi dan semakin besar rasa sakit yang muncul untuk menyeimbangkan neraca setelahnya. Ini lah alasan mengapa pecandu selalu meningkatkan konsumsi obatnya seiring dengan waktu, akibatnya neraca akan condong ke sisi rasa sakit untuk waktu yang lebih lama (dopamine deficit state); dalam kondisi ini, seseorang juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rasa sakit. Relapse (mengonsumsi kembali candu) terjadi saat kondisi neraca condong ke sisi rasa sakit untuk waktu yang lama dan ia tak sanggup untuk menahannya.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya sangat sederhana. Kita hanya perlu menunggu. Saat kita menunggu dengan menahan diri untuk tak mengonsumsi zat atau melakukan kegiatan yang adiktif tersebut, otak akan mengembalikan keseimbangan neraca secara alami. Dengan menunggu, kita akan dapat kembali menikmati hidup tanpa memerlukan obat atau melakukan kebiasaan lama yang berdampak buruk terhadap tubuh. Walaupun begitu, untuk para pecandu berat, proses penyembuhan ini akan memakan waktu yang cukup lama, dan terkadang permanen. Tetapi jangan khawatir, otak kita akan berusaha untuk menemukan jalan baru dan menghindari area-area yang sempat terluka dan membantu membuat kita membuat pilihan- pilihan yang lebih sehat.
Menahan Nafsu (Abstinence) Membawamu Menuju Ilmu
Berdasarkan proses evolusi, otak kita telah terprogram untuk hidup di tengah-tengah keterbatasan (scarcity). Namun sekarang dunia telah berubah; semuanya menjadi berlimpah. Ini memicu neraca di otak kita untuk condong lebih berat ke sisi rasa senang sampai-sampai kita tak bisa benar-benar merasa puas. Walaupun gagasan tentang berjuang untuk mendapatkan lebih (dari segi materi) terkesan selaras dengan mindset produktivitas yang populer akhir-akhir ini, sebenarnya pemikiran ini membuat kita semakin rentan terhadap rasa sakit dan semakin tak peka dengan rasa senang. Lalu bagaimana caranya untuk memperbaiki situasi ini?
Penulis menyarankan para pembaca untuk mempelajari ilmu berharga yang didapatkan oleh orang-orang yang berhasil menaklukkan kecanduannya. Seorang filsuf bernama Kent Dunnington pernah berkata bahwa para mantan pecandu adalah “nabi-nabi di zaman kini”. Seperti mereka juga, kita perlu berhenti untuk memenuhi rasa kecanduan kita untuk dapat meraih kejelasan (clarity).
Manfaat lain yang diperoleh saat kamu menahan diri dari memenuhi rasa candu adalah terungkapnya kondisi kesehatan yang sebenarnya dari seseorang. Hanya ada sekitar 20% dari pasien tak mengalami perkembangan setelah berpuasa dopamine; ini mengindikasikan bahwa selain mengalami kecanduan, seseorang juga sedang mengalami gangguan jiwa. Penting juga untuk diingat bahwa pecandu berat narkotika harus menjalani periode puasa dopamine yang lebih lama. Biasanya, menarik diri dari kecanduan ini (withdrawal) akan lebih sulit bagi orang- orang yang mengonsumsi zat-zat adiktif seperti: alkohol, benzodiazepine, dan opioid, dibandingkan dengan orang yang hanya kecanduan dengan video game atau pornografi. Penulis tidak menyarankan bagi mereka yang kecanduan berat zat adiktif untuk berpuasa dopamine; proses withdrawal yang mereka jalani harus benar-benar disusun dan diawasi secara medis oleh ahlinya.
Setelah sebulan menjalankan abstinence, Delilah melaporkan bahwa kegelisahannya telah hilang. Tak hanya itu, ia juga mendapat cukup banyak pengetahuan. Dalam proses withdrawal, ia sering sekali muntah; ia menyadari bahwa ia benar-benar telah kecanduan berat dan dari situ ia menemukan semangat nya untuk meneruskan program abstinence nya. Lebih dari itu, ia melihat bahwa selama ini kegelisahannya memang berasal dari kesehariannya yang tersusun rapi hanya untuk memenuhi nafsunya mengonsumsi ganja. Saat ganja tak ada lagi dalam hidupnya, dia mulai merasa bahwa ia dapat menikmati hidupnya lagi tanpa bergantung pada sesuatu di luar dirinya.
Rasa Sakit dapat Berujung Pada Rasa Senang
Setelah berhenti mengonsumsi narkotika, Michael, pasien lain dari penulis, menemukan bahwa mandi dengan air dingin membuatnya merasa lebih baik. Dari sana, ia mulai membiasakan diri mandi air dingin selama sepuluh menit di pagi dan malam hari. Menurutnya, rasa yang ditimbulkan dari kebiasaan barunya mirip dengan mengonsumsi ecstasy. Terdapat cukup banyak studi yang mendukung fenomena ini, salah satunya dari Prague’s Charles University, yang menyatakan bahwa membasahi badan dengan air dingin (cold water immersion) selama satu jam dapat meningkatkan kadar dopamine dalam tubuh sebanyak 250%. Dengan mandi air dingin, Michael telah mengekspos dirinya terhadap rasa sakit yang mengakibatkan otaknya untuk menyeimbangkan neraca dengan condong ke sisi rasa senang dengan besaran yang sama; di samping itu, efek yang ditimbulkan oleh mandi air dingin bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan semburan dopamine yang dipicu oleh narkotika.
Puasa secara selang-seling (intermittent fasting) merupakan contoh lain yang tak begitu ekstrim dan terbukti dapat memperpanjang usia, mengurangi tekanan darah, dan memperkuat tubuh untuk melawan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan usia. Sama halnya dengan olah raga, walaupun terkesan “menyiksa” dalam jangka pendek dan menimbulkan trauma terhadap sistem; olah raga dapat meningkatkan level dopamine dan merupakan salah satu cara yang termudah untuk meningkatkan kebugaran badan. Digunakannya rasa sakit secara sengaja/sadar untuk meredakan rasa sakit sudah dipraktikkan oleh Hippocrates yang menuliskan “Of two pains occurring together ... the stronger weakens the other” (Dari dua rasa sakit yang terjadi secara bersamaan ... rasa sakit yang lebih kuat akan melemahkan rasa sakit lainnya). Jadi memang benar, rasa sakit yang terukur dapat dimanfaatkan sebagai batu loncatan untuk memberikan kita kesembuhan.
Menyampaikan Kebenaran Dapat Membebaskan Kita
Suatu hari, Maria, yang baru saja sembuh dari kecanduannya terhadap alkohol dan anggota dari kelompok Alcoholics Anonymous, membuka sebuah paket yang ditujukan kepada saudaranya. Ketika ditanya oleh saudaranya mengapa paketnya telah terbuka, Maria berbohong, akibatnya semalaman ia tak bisa tidur. Keesokan harinya ia memutuskan untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada saudaranya; saat itu juga, ia menyadari bahwa ia tak perlu lagi membawa beban yang ditimbulkan oleh kebohongan tersebut.
Kejujuran yang radikal tak hanya menjadi nilai inti dari ajaran agama besar yang ada di dunia; kejujuran juga merupakan landasan dari setiap program pemulihan (recovery program). Dengan berkata jujur, kita berpotensi untuk mengungkapkan apa yang masih menjadi kekurangan kita, membuat kita semakin waspada akan tiap perbuatan, membantu kita untuk lebih bertanggung jawab (accountable), dan mendorong terjadinya keakraban (intimacy).
Membicarakan tentang hidup dan masalah kita secara jujur dengan seorang terapis, seorang guru agama, atau seorang teman dekat, dapat membantu kita untuk melihat hidup atau masalah kita dari sudut pandang baru. Ketika kita berada dalam pengaruh candu, kita cenderung menjalani kegiatan secara autopilot (tak berpikir panjang); kita begitu terpaku dengan ganjaran (feel good effect) dari zat adiktif tersebut sampai-sampai kita lupa akan konsekuensi negatifnya di masa mendatang. Atau lebih tepatnya, kita sedang berada pada mode penyangkalan.
Banyak dari kita yang takut untuk jujur karena kita merasa ketika kecacatan karakter kita diketahui oleh orang lain, mereka hanya akan semakin menjauh dari kita. Namun, menurut penulis, saat kita menunjukkan sisi rapuh (vulnerability) diri dengan menunjukkan apa saja “kecacatan” yang dimiliki, orang lain akan merasa lebih dekat dengan kita. Ini karena “kecacatan” yang kita miliki juga cenderung dimiliki oleh mereka; dan dengan membuka diri, kita telah membantu mereka merasa tak begitu sendiri lagi. Berbagi semacam ini adalah sebuah bentuk keakraban (intimacy) yang membantu kita untuk merasa aman. Ketika kita tahu bahwa kita dikelilingi oleh orang-orang yang jujur dan dapat diandalkan, kita akan merasa lebih nyaman dengan diri sendiri dan tempat kita di dunia.
Bagus banget isinya. Ada beberapa poin yang sama seperti buku Everything’s Fucked by Mark Manson.
Rasa sakit berperan penting terhadap perkembangan kita untuk dapat menoleransi rasa sakit dan menjadi personality yg lebih baik.
Jadi rasa sakit bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. **Ez to say but, hard to do**
Istigfar
January 2, 2022 at 11:35 pmBagus banget isinya. Ada beberapa poin yang sama seperti buku Everything’s Fucked by Mark Manson.
Rasa sakit berperan penting terhadap perkembangan kita untuk dapat menoleransi rasa sakit dan menjadi personality yg lebih baik.
Jadi rasa sakit bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. **Ez to say but, hard to do**
Desi
January 3, 2022 at 2:23 ampengwn beli bukunya, tapi nunggu yang versi indo 🙂