-
Topik TulisanKomunikasi dan Hubungan Interpersonal
-
Sub Judul TulisanBahasa Tubuh di Dunia Digital
- Berikan Komentarmu
Balasan email yang telat, video call yang penuh dengan kecanggungan, dan pesan singkat yang terasa ambigu, ini semua adalah jenis-jenis hambatan dalam berkomunikasi yang paling sering kita hadapi dalam era smartphone dan internet; seakan kita kehilangan kemampuan berkomunikasi secara efektif antara satu dengan yang lain. Terkadang, tanpa melihat bahasa tubuh, atau mendengar nada bicara, pesan teks yang disampaikan lawan bicara dapat terdengar ganjil. Melalui buku ini, penulis ingin membantu para pembacanya untuk dapat menyampaikan pesan yang jelas dan dapat mempererat hubungan melalui dunia digital.
Cue-less (Kurangnya “Isyarat”) Adalah Masalah Utama dari Komunikasi Teks di Era Digital
Laura dan Dave, sepasang kekasih, sedang bertengkar melalui pesan singkat. Perdebatan ini berlangsung selama berjam-jam. Lalu di satu titik Laura menyerah dan mengetikkan “So r we thru?” (Jadi udahan nih?); lalu Dave menjawab, “I guess so” (kayaknya iya). Merasa hancur karena kehilangan hubungan yang telah dijalin selama tiga tahun, Laura sakit dan tak masuk kantor di keesokan harinya. Lalu di malam itu juga Dave berkunjung ke rumah Laura; lama Dave berdiri di depan pintu rumahnya untuk makan malam bersama, namun pintu tak kunjung dibuka. Mungkin kamu bisa menebak bahwa terdapat kesalah pahaman dalam berkomunikasi di sini. Dari kata “udahan” dalam pesan singkatnya, Laura menganggap bahwa hubungan mereka telah berakhir; namun, dari pesan yang sama, Dave menganggap bahwa mereka telah selesai berdebat.
Dapat dipastikan bahwa banyak dari kita yang pernah melalui pengalaman serupa. Kita mengirimkan banyak sekali pesan tiap harinya, dan sering kali beberapa dari pesan ini diterima dengan cara yang salah. Misalkan email; kurang lebih 306 miliar email dikirimkan setiap harinya secara global. Rata-rata tiap orang mengirimkan 30 dan menerima 96 email. Menurut Journal of Personality and Social Psychology, 50% dari email yang kita kirimkan kerap memiliki “nada” yang disalah artikan.
Menurut penulis, kebingungan yang dialami ini terjadi karena kita kurang mendapatkan isyarat/sinyal (cue-less) dari percakapan teks berbasis elektronik. Edward T. Hall, yang merupakan seorang antropolog, menyebut isyarat-isyarat nonverbal dalam berbicara secara tatap muka seperti kontak mata, senyuman, jeda dalam percakapan, menguap, nada bicara, keras pelannya suara, postur tubuh, dan jarak dalam berbicara sebagai “the silent language”. Satu per tiga pesan dari percakapan tatap muka dibungkus dalam isyarat-isyarat non-verbal ini, dan sayangnya “the silent language” tak bisa dilihat melalui teks di layar smartphone. Parahnya lagi, celah antara maksud (intention) dan interpretasi di dunia digital diperlebar dengan adanya disinhibition effect: Hal ini terjadi saat kita mengekspresikan diri kita dengan sangat informal dan “tak kaku” pada tingkatan yang tak pernah kita lihat dalam percakapan tatap muka. Maka dari itu, dalam buku ini, penulis mengajak kita untuk menjelajahi kembali apa arti dari bahasa tubuh dan mendefinisikannya kembali dalam konteks dunia kontemporer.
Tanda Baca, Kecepatan Membalas, dan Jenis Media Komunikasi yang Digunakan Merupakan Pengganti Bahasa Tubuh dalam Berkomunikasi di Dunia Digital
Suatu hari, Jack, seorang mid-level manager, menerima sebuah email dari bosnya. Surel tersebut diakhiri dengan kata-kata sederhana: “That’ll be fine.” (period). Namun menurut Jack, semua sedang tidak baik-baik saja. Titik yang mengakhiri kalimat tersebut benar-benar menghantui Jack. “Kenapa si bos menggunakan titik? Kenapa nggak pakai tanda seru aja kayak biasanya?” begitu pikir Jack. Titik memang salah satu tanda baca paling membosankan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa sebuah kalimat telah berakhir. Namun akhir-akhir ini, tanda titik kecil hitam itu telah memiliki arti yang sedikit keluar dari jalurnya dan sering kali memunculkan pemahaman yang tak dimaksudkan. Ketika seorang teman, rekan kerja, atau bos mengakhiri sebuah pesan dengan titik, itu biasanya merupakan sebuah tanda agresi/serangan yang datang dalam bentuk kontak mata langsung jika kita berkomunikasi secara tatap muka.
Di samping itu, tanda seru juga telah berubah makna yang awalnya menunjukkan tekanan, ketegasan, urgensi, atau kegembiraan, menjadi tanda baca yang digunakan sebagai indikator umum untuk menunjukkan keramahan. Mungkin saja kamu dianggap sebagai orang yang dingin saat tak menggunakan tanda seru.
Karena kita tak bisa lagi bergantung pada keras pelannya suara dan nada bicara untuk menyampaikan pesan secara menyeluruh, maka setiap kata dan tanda baca yang digunakan akan menjadi sinyal yang berarti. Isyarat yang dulunya dipancarkan oleh bahasa tubuh secara implisit sekarang harus dibuat eksplisit melalui teks secara daring.
Jika tanda baca merefleksikan emosi dari seseorang saat menyampaikan pesan, maka waktu yang dibutuhkan untuk menjawab sebuah pesan mengindikasikan rasa hormat (respect). Semakin cepat sebuah pesan dibalas menandakan bahwa seseorang menghormati lawan bicaranya. Percakapan di dunia digital sering kali berlangsung secara asinkron, yang berarti percakapan tersebut tidak terjadi secara langsung (real time). Percakapan semacam ini memang sangat nyaman, namun dapat juga berlangsung dengan sangat pelan; dan otak kita memiliki caranya sendiri untuk mengisi ruang-ruang kosong di antara jeda dalam percakapan ini dengan pikiran-pikiran yang mencemaskan, terutama dalam situasi di mana tingkat kepercayaan antar pihak cukup rendah.
Poin terakhir, media yang kamu gunakan untuk berkomunikasi mengindikasikan besarnya prioritas yang kamu berikan pada percakapan tersebut. Setiap saluran/kanal komunikasi, entah itu email, SMS, Whatsapp, Slack, panggilan suara, atau panggilan video mempunyai subteks (situasi atau kondisi yang melekat pada dialog yang sedang berlangsung) masing-masing. Belajar untuk menggunakan tiap saluran komunikasi secara efektif merupakan sebuah tanda akan profesionalisme.
Valuing Visibly Berarti Menunjukkan secara Eksplisit bahwa Kamu Perhatian, Sadar, dan Menghargai Orang Lain
Tak adanya rasa hormat dalam sebuah hubungan akan berujung pada “kiamat”; dalam lingkup kerja, absennya rasa hormat dapat menghancurkan motivasi kerja, melemahkan upaya-upaya kerjasama, serta menghilangkan kepuasan dalam bekerja. Namun anehnya, 50% dari karyawan melaporkan bahwa mereka tak menerima rasa hormat yang cukup dari para pemimpin mereka. Apakah semua bos memang pada dasarnya tak pengertian? Ataukah mereka memang tak sadar akan perilakunya? Tetapi bagaimana jika para bos hanya tak menunjukkan rasa hormat dengan cara yang dapat dipahami oleh para karyawannya?
Hukum pertama dari digital body language yang disebut dengan “Valuing Visbly” mengakui adanya gap dalam komunikasi digital. Menyatakan apresiasi secara terbuka merupakan salah satu fokusnya; karenanya kita perlu mengasah kemampuan untuk secara aktif menghargai kontribusi yang dilakukan orang lain dan juga memahami kebutuhan mereka. Terdapat beberapa prinsip yang harus kita penuhi dalam melakukan Valuing Visibly.
Prinsip pertama adalah menunjukkan bahwa kamu benar-benar memberikan perhatianmu – “membaca dengan cermat merupakan bentuk lain dari mendengarkan di masa kini.” Berikan juga referensi detil dalam setiap komunikasi untuk menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli dengan hasil kerja yang dilakukan orang lain. Dan pastikan bahwa kamu mengeja nama lawan bicaramu dengan benar.
Prinsip kedua, tunjukkan kesadaran dengan mempraktikkan “rekognisi radikal” dan menghargai waktu yang telah diluangkan orang lain. Maka dari itu, sangat disarankan agar kamu tak menunda respon-respon terhadap email yang kamu sudah tahu jawabannya, tak membatalkan meeting secara mendadak, atau tak melakukan multitasking saat conference calls berlangsung (yang sebenarnya dilakukan 65% orang). Kita juga dapat mempraktikan kesadaran dengan mengakui adanya perbedaan karakter pada tiap individu. Menyeimbangkan suara antara extrovert dan introvert dalam conference call atau komunikasi via email secara cepat dapat menjadi sesuatu yang menantang; bahkan dalam lingkup digital, mereka yang “bersuara paling lantang” cenderung memonopoli percakapan. Para extrovert dapat memanfaatkan akses ke area untuk bersosialisasi seperti breakout rooms. Sementara untuk mendukung para introvert, kirimkan pertanyaan penting sebelum meeting berlangsung agar mereka memiliki waktu untuk memproses, mempersiapkan dan menjadwalkan waktu jeda dari satu diskusi ke diskusi lainnya.
Terakhir, Valuing Visibly mengharuskanmu untuk menunjukkan apresiasi dengan sebuah senyuman atau ucapan terima kasih secara tertulis. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Journal of Personality and Social Psychology, para peserta diminta untuk membantu menuliskan sebuah cover letter. Dalam penelitian tersebut, separuh peserta mendapatkan email permintaan bantuan yang diakhiri dengan kalimat “Thank you so much!”, sementara separuh peserta lain mendapatkan email yang sama tanpa kata terima kasih di ujungnya. Kira- kira peserta mana yang lebih bersedia untuk memberikan bantuan? Kamu pasti sudah tahu jawabannya.
Communicating Carefully Menuntunmu untuk Memilih Kata, Nada, dan Saluran yang Tepat
Baru-baru ini, sebuah survey membuktikan bahwa hingga 80% dari proyek-proyek yang sedang berlangsung terhambat karena kurangnya kejelasan dan tak detailnya informasi yang beredar di antara anggota. Selain itu, 56% dari proyek-proyek strategis gagal karena adanya komunikasi yang buruk. Akibatnya, USD 75 juta hangus begitu saja untuk setiap USD 1 miliar dolar yang digunakan – data ini hanya mengacu pada proyek-proyek di AS saja.
Inilah alasan mengapa penulis menjadikan Communicating Carefully sebagai hukum digital body language yang kedua. Communicating Carefully menyarankan agar kita dapat berusaha, secara bersama-sama, untuk meminimalkan kesalahpahaman dengan menyampaikan segala hal sejelas mungkin. Maka dari itu kita harus memahami hal-hal seperti pemilihan kata, tanda baca, nuansa dalam perbincangan, dan humor. Tapi bukankah hal tersebut hanya menjadi ranah yang harus dikuasai oleh penulis profesional saja? Tidak tepat. Kita tahu bahwa membaca secara cermat merupakan “the new listening”, maka dari itu menulis dengan jelas adalah “the new empathy”. Saat ini, banyak juga dari pemimpin hebat yang menganggap menulis sebagai sebuah kemampuan yang wajib dimiliki seseorang.
Selain ahli dalam menggunakan kata-kata, penting juga bagimu untuk dapat “membaca ruangan”; dengan kata lain, sesuaikan nada bicaramu dengan para pendengar/pembaca. Pikirkan bagaimana respon dari lawan bicara saat membaca pesan yang kamu kirimkan. Pertimbangkan juga jabatan yang kamu emban dalam berkomunikasi di dunia kerja.
Salam pembuka dan signature juga mengindikasikan nada bicara. Jika kamu menginginkan respon yang singkat dan tidak bertele-tele, tambahkan jabatan dalam signature surelmu. Membuka email dengan Hai, atau menambahkan emoticon wajah tersenyum merupakan tanda bahwa kamu sedang berkomunikasi secara informal.
Selalu sadar akan saluran/medium yang kamu gunakan untuk berkomunikasi. Panjang pendek nya pesan, kompleksitas, dan tingkat keakraban (baik dengan topik yang dibicarakan maupun penerima pesan) harus menjadi faktor yang dipertimbangkan saat memilih saluran. Contohnya, jika kamu rasa bahwa teks-teks singkat yang dituliskan tanpa persipan tidak cukup untuk menjelaskan isu yang serius dan kompleks, maka kamu dapat tuliskan respon yang lebih tertata dan berbobot via email. Untuk email panjang, permudah pembaca untuk mencerna pesan dengan penebalan tulisan di aspek-aspek penting atau judul-judul (headings) yang digaris bawahi, dan berikan konteks dari pesan di awal email. Coba untuk selalu menyadari dampak visual dari pesanmu, jangan sampai pembaca merasa kewalahan dengan pesan yang kamu sampaikan.
Communicating carefully juga berarti memastikan bahwa setiap orang berada pada halaman yang sama. Saat misinterpretasi pesan terjadi, ini sering disebabkan oleh kata-kata yang terlewat untuk diketikkan atau salah penempatan tanda baca. Sangat disarankan agar kamu dapat melakukan proofread (membaca ulang sebuah tulisan untuk memeriksa apakah terdapat kesalahan dalam teks tersebut, entah itu terkait penggunaan tanda baca, ejaan kata, konsistensi dalam penggunaan istilah, dsb.) sebelum pesan penting dikirimkan.
Saat kamu bingung dengan inti dari sebuah pesan, coba kirimkan pertanyaan lanjutan untuk mendapatkan kejelasan. Jika kamu rasa komunikasi via email tidak berhasil, ganti medium. Kadang, satu panggilan telepon saja cukup untuk menggantikan puluhan email. Jika kamu merasa ada yang salah dengan “nada” dari pesan yang dikirim, ber-prasangka baik saja kepada lawan bicara, dan respon dia dengan fakta; ini adalah kunci untuk berkomunikasi secara efektif. Sama saja seperti di kehidupan nyata, saat kita telah melukai seseorang dengan ucapan kita, biasanya kita menjadi orang yang paling terakhir sadar akan ucapan kita.
Collaborate Confidently Mengharuskanmu untuk Tetap Konsisten, Mengetahui Informasi Terkini, dan Berlatih untuk Merespon dengan Sabar
Sebuah studi yang dilakukan Oleh Fortune melaporkan bahwa 60% dari pegawai harus berkonsultasi dengan setidaknya 10 rekan kerja per harinya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Dahulu, cukup mudah untuk menghampiri meja rekan kerja hanya untuk meminta bantuan sederhana dengan menanyakan: “Apakah kamu ada waktu?” Namun di hari ini, banyaknya rekan kerja yang tersebar pada berbagai departemen dan zona waktu berbeda membuat kerja sama menjadi sedikit lebih sulit. Kenyataan ini menjadikan kebutuhan akan rangka kerja yang konsisten dan realistis semakin penting.
Dalam hukum digital body language ketiga yang disebut dengan Collaborating Confidently, konsistensi merupakan salah satu prinsip yang mendasarinya. Pesan yang kacau atau terlewatkan dapat menyebabkan kebingungan, dibatalkannya meeting, tidak adanya aksi, atau bahkan bencana.
Untuk membuat tim tetap ter-update dengan informasi terbaru dari proyek, lakukan check-in (meeting untuk saling berbagi informasi) dengan mereka secara reguler. Agar tetap berada pada jalur yang benar, penting untuk menentukan tujuan secara eksplisit dari awal. Saling tanyakan antara satu sama lain tentang: Bagaimana bentuk dari kesuksesan proyek itu sendiri? Dan ingat untuk selalu mendefinisikan jangka waktu (timeframes) dan ekspektasi. Kamu juga dapat mengakhiri pertemuan atau percakapan dengan menanyakan: Siapa melakukan apa? Dan kapan diselesaikan?
Penulis juga menyarankan kita untuk membuka diri dengan pertanyaan pada waktu-waktu yang telah ditentukan; lagi pula anggota tim akan lebih termotivasi saat mereka bisa menghubungimu dengan mudah. Dengan dikatakannya ini, prinsip kedua yang perlu dipegang dalam melakukan Collaborate Confidently adalah mengizinkan diri dan rekan kerjamu meluangkan waktu untuk merespon tiap pertanyaan dengan cermat dan akurat. Hal ini ditekankan oleh penulis karena menjawab pesan ketika kita sedang lelah, frustrasi, atau marah hanya akan memperburuk keadaan. Walaupun komunikasi secara asinkron mempunyai kekurangannya sendiri, metode ini memberikan kita kesempatan untuk mempertimbangkan kembali kata-kata dan nada yang kita tuliskan alih-alih mengetikkan seluruh kekesalan ke dalam pesan yang mungkin akan kita sesali nantinya. Jadi simpan pesanmu sebagai draft dan tunggu hingga 24 jam (jangka waktu yang masih bisa diterima) untuk melakukan revisi dan kemudian mengirimkannya. Namun, kembali lagi, sesuaikan saran ini dengan kondisi dan budaya yang ada pada lingkungan kerja anda.
Trusting Totally Hanya Bisa Terbentuk saat Kita Mau Terbuka dan Memberdayakan Anggota Tim untuk Mengambil Kepemilikan dan Percaya Diri dengan Ide Mereka
Di tahun 2016, Microsoft meluncurkan sebuah chatterbot (program komputer yang didesain untuk berinterkasi dengan manusia dengan belajar menirukan percakapan manusia seiring dengan waktu) bernama Tay. Ini merupakan salah satu teknologi awal yang membawa kita lebih dekat kepada level baru dari interaksi antara manusia dengan Artificial Intelligence. Seketika Tay diluncurkan di Twitter, banyak orang iseng yang membajaknya dan mengejarinya untuk mengirimkan tweet yang menyinggung dengan gambar dan kata yang tak pantas. Dalam waktu 24 jam setelah kemunculannya, keberadaan Tay di Twitter dihentikan selamanya.
CEO dari Microsoft, Satya Nadella, bisa saja marah besar pada tim yang bertanggung jawab atas project tersebut. Namun reaksi beliau justru sebaliknya, dengan menuliskan email: “Keep pushing and know that I am with you ... the key is to keep learning and improving.” (terus mencoba dan ketahuilah bahwa saya bersama kalian ... kuncinya ada pada terus belajar dan berkembang). Nadella tahu bahwa menciptakan atmosfir yang penuh dengan ketakutan hanya akan menghancurkan inovasi di masa depan, maka dari itu beliau memilih untuk berinvestasi pada rasa percaya.
Saat kamu tahu bahwa hukum keempat dari digital body language, Trusting Totally, ada di lingkungan kerja, maka kamu dapat dengan percaya diri mengambil risiko yang terukur dalam melangkah. Ini karena di sekelilingmu ada rekan kerja yang akan mendukung dan mau bekerja sama denganmu untuk meraih kesuksesan. Di lingkungan tersebut, kamu yakin bahwa kamu tidak akan “ditembak” saat melangkah “keluar dari batas”; ini akan membebaskan kamu dan orang- orang di sekitarmu dari rasa takut untuk mencoba hal-hal baru.
Untuk menciptakan kepercayaan secara total, prinsip pertama yang harus ditekankan adalah vulnerability (keterbukaan bahwa kita juga memiliki kekurangan). Memimpin dengan memberi contoh akan mempermudah anggota tim untuk “merangkul” ketidakpastian dari ketidak-nyamanan. Pernyataan seperti “Bidang operasional bukanlah keahlian saya, dan saya sangat terbuka terhadap masukan kalian” atau “Saya mungkin melewatkan sesuatu – dapatkah kalian menambahkan?” dapat mendorong rekan kerjamu untuk mulai menyatakan pendapat mereka. Mengakui bahwa kamu membutuhkan masukan dapat mengingatkan mereka bahwa kamu sungguh mengapresiasi kontribusi yang telah mereka berikan.
Prinsip selanjutnya adalah berdayakan (empower) orang lain. Bentuk dari pemberdayaan di antaranya adalah: mempercayakan dengan sepenuhnya apa yang menjadi pekerjaan mereka, menyediakan mereka dengan alat dan sarana untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan pastikan adanya keamanan psikologis baik dalam masa-masa mudah maupun sulit. Adanya pemberdayaan ini akan membuat mereka tahu bahwa mereka dapat mengungkapkan ide atau sudut pandang yang kontroversial, atau menyatakan pendapat mereka yang sebenarnya terhadap sesuatu, tanpa harus mengkhawatirkan adanya konsekuensi yang tak adil. Namun adanya kesalahan dan ide yang buruk tak bisa dihindari. Ingat untuk selalu mengkritisi aksi dari seseorang – bukan individunya.
Jembatani Perbedaan dengan Menyadari Adanya Perbedaan Cara Komunikasi pada Budaya dan Generasi yang Berbeda
Coba bayangkan, ada sepasang sahabat, satu dibesarkan di negara barat, sementara temannya dibesarkan di Cina. Lalu pertanyaannya, siapa yang akan cenderung mengutarakan pendapatnya secara terbuka? Dan siapa yang akan berpikir dalam diam? Sering kali kita tak menyadari bahwa cerita yang kita dengarkan di masa kecil dan budaya yang ditanamkan orang tua mempengaruhi gaya komunikasi kita. Ketika norma yang dianut orang lain berbenturan dengan norma kita, kita cenderung akan menghakimi bahwa mereka terlalu “mencolok” atau terlalu formal tanpa berhenti sejenak untuk mempertimbangkan adanya perbedaan keadaan ini. Jadi apa yang sebenarnya terjadi?
Para pakar komunikasi secara umum membagi dunia kedalam dua jenis ekspresi budaya, yakni: High-context cultures (yang dimiliki negara-negara di bagian Afrika, Asia, Timur Tengah, Mediterania, dan Amerika Latin – sangat mengandalkan komunikasi implisit dan isyarat-isyarat nonverbal) dan Low-context cultures (sebagian besar dimiliki oleh negara barat berbahasa Inggris, termasuk AS dan Britania Raya, yang menggunakan komunikasi verbal eksplisit).
Kunci sukses dalam berkomunikasi di high-context cultures di antaranya: kamu harus pandai untuk membaca hal-hal yang tersirat, berorientasi membina hubungan secara jangka panjang, dan menerapkan interaksi secara tatap muka atau berinteraksi langsung via telepon untuk menanamkan rasa percaya. Mulai tuliskan email dengan sapaan yang sopan, diikuti dengan pertanyaan yang menjadi inti pembicaraan. Jangan sampai terlewatkan untuk memberikan cc terhadap manager atau atasan; hierarki harus dihormati.
Sementara dengan low-context cultures, email dan pesan yang langsung membicarakan hal inti sudah cukup untuk membangun hubungan yang erat. Gunakan penebalan pada kata yang disorot dan tuliskan poin-poin penting untuk memberikan penekanan, hanya kerjakan tugas- tugas yang memang kamu rencanakan untuk lakukan, dan jangan mencampuradukkan antara bisnis dengan kegiatan bersenang-senang.
Generasi dari seseorang juga dapat memberitahumu tentang bagaimana pandangan seseorang terhadap alat komunikasi dan bagaimana ia menggunakannya. Jadi coba tanyakan: apakah kamu termasuk digital native atau digital adapter? Untuk seseorang yang tumbuh dengan gadget dan melakukan sebagian besar komunikasi via chatting dan texting, email dianggap sebagai sesuatu yang formal, dan menerima panggilan suara secara tiba-tiba dapat memicu kepanikan. Tetapi untuk seseorang yang melakukan penyesuaian terhadap interface perangkat digital di kemudian hari, email dianggap sebagai sarana percakapan kasual dan mudah bagi mereka untuk menerima telepon.
Alih-alih mencoba untuk memaksakan preferensi media komunikasimu kepada orang lain, berusahalah untuk menjadi lebih terbuka. Untuk memulai panggilan suara dengan seseorang yang memiliki phobia telepon, kamu dapat mengirimkan pesan singkat atau email pendahuluan untuk menjadwalkan waktu telepon yang nyaman baginya. Manfaatkan emojis! Walaupun kamu tak perlu mengirimkannya secara terus menerus, sekali-kali menggunakannya dapat berguna untuk menunjukkan niat baikmu pada lawan bicara. Terakhir, jangan takut untuk membicarakan perbedaan. “A curious rather than accusing mindset is key” (saling bertanya dan menjelaskan adalah kunci, jangan hanya berprasangka dan saling menuduh yang tidak-tidak). Dengan kata lain, menggunakan tanda tanya akan lebih baik dari pada menggunakan tanda seru atau titik.
Semoga bermanfaat kawan!
Add a comment