Menurut penulis, courage (keberanian) adalah bumbu utama dari kesuksesan di berbagai macam bidang, entah itu dalam hal kemiliteran, aktivisme sosial, hingga kewirausahaan sekalipun. Keberanian bukanlah karakteristik yang hanya dimiliki oleh kaum elit, tetapi ia bisa ditanamkan di dalam diri siapapun. Tak hanya dibutuhkan dalam meraih hal besar, keberanian juga dapat membantu kita dalam melakukan aktivitas keseharian.
Keberanian Sama Artinya Dengan Rela Untuk Menghadapi Kesulitan dan Mara Bahaya
Ketika kita membicarakan tentang keberanian, sering kali kita mengategorikan keberanian menjadi dua jenis, yakni: keberanian moral (moral courage) dan keberanian fisik (physical courage). Pada umumnya, keberanian moral diterjemahkan sebagai kemampuan untuk bertindak sesuai dengan hati nurani; walaupun sebenarnya tindakan tersebut melawan norma-norma sosial yang ada, atau berpotensi untuk mengakibatkan skandal dan menjadi pembicaraan banyak orang. Whistleblower (pihak yang membeberkan praktik ilegal dari sebuah organisasi ke publik) adalah contoh tepat dari moral courage; mereka tak takut untuk menyatakan keyakinan mereka dengan segala konsekuensinya.
Sementara keberanian fisik (physical courage) sering dinampakkan oleh pihak tentara atau relawan korban bencana alam maupun perang. Mereka rela untuk mengorbankan nyawa dan anggota tubuh mereka demi menyelamatkan nyawa orang lain. Namun apakah pembedaan dua jenis pengorbanan ini merupakan hal yang perlu dilakukan? Bukankah memang pada intinya keberanian mewajibkan pelakunya untuk mengambil risiko dan bertahan dalam menghadapi mara bahaya?
Pastinya kamu pernah mendengar nama Hercules. Dia adalah seorang tokoh di era Yunani kuno yang gagah, baik secara fisik maupun perilaku. Dikenal sebagai pahlawan dengan segala kelebihannya, sangat mudah bagi kita untuk membayangkan ia menjalani kehidupan yang hanya mendahulukan nafsu dan kepentingan pribadinya di setiap detiknya. Namun bukan hal ini yang terjadi. Dihadapkan dengan dua pilihan, yakni hidup tanpa risiko dan tanpa kekhawatiran atau hidup penuh dengan risiko namun mengandung makna dan pelajaran, Hercules justru memilih untuk menjalani hidup yang penuh dengan “kesulitan”.
Dalam kisahnya, semasa Hercules muda, ia berpetualang hingga akhirnya menemui dua cabang jalan di perbukitan Yunani. Di tiap cabangnya berdiri seorang wanita dengan karakter yang berlainan antara satu dengan yang lain. Di satu jalan dijaga oleh seorang dewi cantik yang menggunakan pakaian serba mewah. Dewi tersebut menggoda dan menjanjikan Hercules dengan hidup tanpa kesulitan, penuh dengan kesenangan dan ketenangan. Dia meyakinkan Hercules bahwa ia tidak akan pernah mengalami luka atau kekurangan; menjalani hidup bagaikan mimpi dengan segala harapan terpenuhi.
Lalu di cabang jalan lain, seorang dewi yang berpenampilan sangat sederhana menawarkan sesuatu yang jauh berbeda. Dia tidak berusaha untuk menggoda atau memikat Hercules. Sang dewi hanya menyampaikan jika Hercules memutuskan untuk melalui jalan yang dijaganya, ia akan menjalani hidup yang penuh dengan kesulitan dan perjuangan. Namun di balik dari segala bahaya, kekurangan dan ancaman yang dihadapi, ia akan meraih sesuatu yang tak akan didapatkannya di cabang jalan lain, yakni rasa bangga dan penuh dengan kemenangan (glory). Menurut penulis, glory hanya bisa didapatkan ketika seseorang memilih untuk hidup melawan tantangan dan mengejar kebajikan. Walaupun awalnya Hercules sedikit ragu dengan pilihannya, akhirnya ia memilih untuk melalui jalan yang “berduri”; kisah tentang keberanian inilah yang membuat nama Hercules dikenang selama ber-abad-abad. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kamu akan memilih jalan yang sama dengan Hercules?
Logika Dapat Membantumu Untuk Melawan Rasa Takut
Apa yang sebenarnya mencegah kita untuk memunculkan keberanian diri? Menurut penulis, penyebabnya adalah rasa takut (fear) atau phobos (dalam Bahasa Yunani kuno). Rasa takut adalah musuh dari keberanian, namun tanpa adanya rasa takut, keberanian itu sendiri tak akan pernah ada. Memiliki keberanian tak berarti menjadikan diri kita kebal terhadap rasa takut atau tak peka terhadap risiko maupun bahaya. Berani adalah menyadari akan adanya rasa takut dan bahaya, namun di saat yang sama, kamu berusaha untuk mengatasi rasa takut itu.
Pericles, yang merupakan salah satu negarawan ternama dari Athena dengan jam terbang tinggi di dunia politik, pernah ditunjuk untuk menjadi pemimpin dari pasukan tentara kota. Anehnya, pasukan yang ia pimpin memiliki ketakutan yang berlebihan, tidak terhadap invasi oleh pasukan dari negara lain atau pasokan bahan pokok yang mulai menipis, melainkan mereka takut terhadap sebuah fenomena hujan badai dengan suara petirnya yang menggelora. Mereka mengira bahwa cuaca buruk merupakan tanda-tanda bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mendengar hal ini, Pericles segera mengumpulkan pasukannya untuk diberikan pengarahan. Di depan mereka, Pericles mengambil dua buah batu besar dan membenturkannya antara satu sama lain. Seperti petir, bunyi dari benturan itu menggema dengan keras. Tanpa memiliki pengetahuan ilmiah mendetail yang dapat menjelaskan terjadinya petir, beliau mencoba untuk menyampaikan bahwa petir hanyalah sekedar suara angin yang saling bertabrakan, seperti batu yang ia benturkan tadi. Jadi, bukankah seharusnya pasukan tak takut untuk menghadapi fenomena alam ini?
Dari cerita sederhana ini, ada satu pelajaran utama yang ingin penulis sampaikan, yakni: Ketika kamu sedang merasa takut, kamu harus mencoba untuk menyelidiki rasa takut tersebut lebih dalam. Ancaman akan menjadi sesuatu yang tidak begitu menakutkan saat mereka terpapar oleh cahaya logika dan nalar yang masuk akal. Namun saat ketakutan itu tidak diperiksa, mereka akan memunculkan rasa takut yang berlebihan. Kunci utamanya ada pada cara kita dalam mengeksplorasi dan memecahkan rasa takut tersebut menjadi bagian- bagian kecil yang dapat diatasi; karena mungkin sebagian dari rasa takut yang ada hanya disebabkan oleh ketidak-tahuan kita terhadap persoalan yang sedang kita hadapi.
Jangan Abaikan Rasa Takutmu, Tetapi Definisikan Rasa Takut Itu Dengan Baik
Ketidakjelasan memperkuat rasa takut. Bayangkan kamu tersesat di sebuah hutan yang berkabut di malam hari. Dalam situasi tersebut, kamu tak dapat melihat di mana ujung dari hutan dan bagaimana situasi di sekeliling mu. Senter yang kamu pegang tak mampu untuk mengalahkan gelapnya hutan. Akhirnya rasa takut dalam diri semakin kuat dan kemauan untuk melangkah semakin memudar. Namun ketika pagi hari tiba, semua ketakutan ini hilang. Semua rintangan di hutan terpapar dengan jelas sehingga kamu berani mengambil langkah yang terukur. Begitulah rasa takut; ketika sesuatu yang kita takuti terasa samar, tak terukur dan tak terdefinisikan, akan sulit bagi kita untuk menilai seberapa besar ancaman yang sedang dihadapi, sehingga kita kesulitan untuk mengambil langkah yang tepat.
Dalam pengaruh rasa takut, pikiranmu akan terpicu untuk “membesar-besarkan” ancaman atau bahaya yang sedang dihadapi; pikiran akan cenderung melebih-lebihkan dan memiliki pemahaman yang salah terhadap ancaman. Tetapi berhenti untuk memikirkan rasa takut tidak akan menyelesaikan masalahmu. Justru sebaliknya, kamu harus memikirkan dan berani “memandang” rasa takut tersebut; ini adalah satu-satunya cara untuk mendefinisikan, menimbang, dan mengira-ngira besarnya ancaman.
Seorang penulis sekaligus pengusaha bernama Tim Ferriss merekomendasikan kita untuk melaksanakan sebuah proses yang ia sebut dengan fear setting (mengatur rasa takut): sebuah upaya untuk memeriksa dan menyatakan dengan jelas apa saja ketakutan yang “mengekang” kita dalam menjalani hidup. Ide semacam ini sudah beredar cukup lama dari masa ke masa. Seneca, seorang filsuf dan penulis stoik dari Roma, telah mempraktikkan apa yang ia sebut premeditatio malorum (menghadapi “kejehatan” lebih awal). Sama seperti fear setting, kegiatan ini memunculkan ke dalam pikiran akan malapetaka yang mungkin saja menghampirimu di masa depan. Dengan membiasakan diri berhadapan dengan rasa takut, kamu dapat memperkecil besarnya kekuatan intimidasi yang ancaman tersebut bawa. Namun saat kamu tak mempersiapkan diri, kamu akan merasakan luka yang lebih menyakitkan saat menghadapi ancaman di kehidupan nyata.
Memunculkan Keberanian Dapat Dimulai dengan Langkah-Langkah Kecil
Sering kali gambaran yang muncul di pikiran ketika mendengar kata “tindakan yang penuh keberanian” adalah gestur-gestur heroik seperti tentara yang berlari menuju ke medan pertempuran atau seorang rakyat biasa yang menolak untuk tunduk di hadapan tirani. Benar, ini adalah tindakan yang berani, namun bentuk dari keberanian tak selalu dapat “dilihat” oleh mata. Kadang keberanian juga ada di langkah-langkah kecil yang terlihat sederhana. Aristotle pernah berpendapat bahwa kelebihan/keunggulan datang dari sesuatu yang kita terapkan sehari-hari. Maka dari itu, untuk menjadi pemberani, kita harus melakukan hal-hal yang berani, dari waktu ke waktu. Kamu tak perlu melakukan sesuatu yang besar untuk memulainya, mulailah dengan tindakan sederhana namun penuh dengan keberanian.
Kita dapat mempelajari penerapan langkah kecil yang berani dari Florence Nightingale. Saat beliau mempertimbangkan untuk memulai karirnya di bidang medis, beliau pernah takut dan kehilangan semangat. Bagaimana tidak, datang dari keluarga kaya nan terhormat di Inggris, hidupnya sangat dibatasi oleh norma-norma “kesopanan” yang tidak fleksibel di masa itu: bekerja sebagai suster merupakan sebuah pekerjaan yang di nilai rendah dan tak cocok dengan status sosial yang disandangnya.
Karenanya, dalam memulai karirnya, beliau tidak berniat untuk melakukan revolusi di bidang perawatan. Beliau juga tak menjanjikan dirinya atau keluarganya bahwa ia akan menjadi salah satu wanita yang dikagumi dalam sejarah Inggris. Alih-alih, ia memutuskan untuk mengambil satu langkah kecil dengan berkomitmen sepenuhnya untuk bekerja di sebuah rumah sakit selama musim panas. Dari satu langkah kecil yang berani itu, langkah- langkah kecil selanjutnya diambil oleh Nightingale. Beliau sendiri pernah menuliskan, “Never lose an opportunity of urging a practical beginning, however small” (Jangan pernah lewatkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat dipraktikkan di awal-awal, tak peduli seberapa kecil tindakan tersebut). Keberanian dapat dimulai secara diam-diam walaupun pada akhirnya keberanian itu menjadi suara yang tak dapat disangkal.
Jangan khawatir jika langkah yang kamu ambil di saat memulai nampak tak signifikan; namun agar langkah kecil yang kamu ambil itu berarti, pastikan langkah tersebut menuju ke arah yang benar. “Start small, but make sure the thing you’re starting on can someday be big”.
Tindakan Keberanian Pengubah Nasib Dapat Dilakukan Dalam Waktu Kurang dari Tiga Menit
Pada bulan Oktober tahun 1960, Martin Luther King Jr ditahan oleh kepolisian di Atlanta, Georgia. Padahal beliau tak melakukan kesalahan apapun; Martin hanya ingin mengunjungi sebuah restoran di salah satu toko serba ada yang ada di kota. Entah mengapa rasialisme sangat mengakar di kota tersebut (terutama di daerah bagian selatan AS), sampai-sampai pihak berwajib yang berkulit putih begitu membenci Martin. Saat Martin berada dalam tahanan kota, mereka menolak untuk melepaskan Martin meskipun dengan uang jaminan. Martin juga dituntut atas tindakan kriminal yang sebenarnya beliau tidak lakukan, sampai- sampai beliau ditransfer ke penjara negara. Di sana, Martin dihukum selama 4 bulan bersama kelompok chain gang.
Sang istri yang bernama Coretta Scott King khawatir jika suaminya akan dianiaya oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, Coretta mencoba untuk menghubungi dua calon presiden AS, yakni John F. Kennedy & Richard Nixon, untuk melihat apakah mereka bisa membantu. Pemilihan umum antara dua tokoh ini merupakan salah satu pemilu yang paling ketat di AS sehingga memenangkan suara dari rakyat berkulit hitam bisa menjadi kunci – akan tetapi, memikat suara dari rakyat berkulit hitam sangat berisiko untuk mengurangi suara yang datang dari rakyat kulit putih. Lalu, siapakah di antara mereka yang akhirnya berani memutuskan untuk membantu Martin?
Nixon berteman dengan Martin. Nixon juga ikut berperan dalam mengawal proses reformasi hak-sipil di masa kepemimpinan Presiden Eisenhower. Jadi, sangat masuk akal jika Nixon memutuskan untuk membantu Martin. Namun ternyata kenyataan berkata lain. Justru Kennedy lah yang terjun untuk membebaskan Martin dengan menelepon Gubernur Georgia terlebih dahulu. Di saat yang sama, John meminta saudaranya Robert Kennedy untuk menghubungi dan membujuk sang hakim di Alabama untuk melepaskan Martin. Dengan upaya dari keluarga Kennedy, akhirnya Martin dibebaskan. Sebagai rasa terima kasihnya, Martin menyebarluaskan berita ke saudara berkulit hitamnya bahwa John F. Kennedy lah yang telah membantu Martin di saat ia membutuhkan. Pada bulan selanjutnya, ternyata Kennedy menjadi pemenang pemilu dengan 35.000 suara lebih banyak dari Nixon di dua negara bagian yang memiliki pengaruh besar.
Menurut penulis, kemenangan ini dapat diraih Kennedy berkat tindakan beraninya untuk menolong Martin. Saat Nixon mengabaikan Martin, Kennedy memilih untuk mengambil risiko dan melakukan hal yang benar (sekaligus strategis). Sebenarnya, Nixon dapat melakukan hal yang sama. Menghubungi dua pihak yang berpengaruh di Georgia tak akan menghabiskan waktu lebih dari 3 menit. Kesempatan yang dilewatkan oleh Nixon ini adalah momen yang tepat untuk Kennedy menunjukkan keberaniannya. Menjadi pemberani mungkin hanya membutuhkan waktu 30 detik hingga 3 menit saja. Jadi, apa lagi yang kamu tunggu? “Just say the words”.
Heroisme adalah Wujud dari Keberanian Demi Kebaikan Orang Lain
Martin Luther King, sebagai pendeta baptis sekaligus pendukung dari gerakan hak sipil, adalah nama yang tak asing terdengar di telinga kita. Beliau adalah salah satu sosok yang ternama di abad 20. Tetapi apakah kamu pernah mendengar nama dari seorang Stanley Levinson? Mungkin tidak. Perlu diketahui, beliau adalah penulis dari beberapa pidato yang disampaikan oleh Martin. Di samping itu, Stanley juga menjadi koordinator dari kampanye penggalangan dana untuk Martin. Stanley merupakan salah satu sosok utama yang membantu Martin untuk meraih tujuan utamanya.
Namun di saat JFK mendengar kabar yang menuduh bahwa Levinson mempunyai “hubungan” dengan pihak komunis, JFK meminta Martin untuk segera memutus hubungannya dengan Stanley. Respon dari Stanley cukup mengejutkan. Beliau tak memprotes atau mempertanyakan keputusan dari Martin. Stanley juga tak membawa-bawa hubungan pertemanan mereka sebagai alasan untuk mempertahankan posisinya. Dengan tenang beliau memilih untuk meninggalkan pergerakan yang telah dibina dari pada menodai perjuangan yang telah dilakukan dengan masih menjadi bagian dari pergerakan.
Itu merpuakan contoh dari aksi heroisme. Stanley berani untuk menjauhkan diri dari tujuan dan meninggalkan seorang Martin Luther King yang selama ini ia telah curahkan waktu dan tenaga untuknya. Dari pada menunggu Martin untuk membuat keputusan yang serba salah, Stanley memilih untuk bertindak lebih dulu dan memisahkan dirinya dari tim. Tindakan ini memerlukan keberanian, namun bukan keberanian yang bernada membesarkan diri, tetapi keberanian untuk menjadi tidak egois, mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
Menurut penulis, pahlawan (hero) adalah seseorang yang menjadikan sebuah tim/organisasi/kelompok menjadi lebih baik; ia berusaha untuk memperkuat rekan satu timnya. Terkadang heroisme mewajibkan ia untuk menampakkan sikap ketabahan untuk menguatkan tim saat ditimpa kesulitan. Heroisme juga berarti menginspirasi rekan tim melalui perilaku dan tutur kata. Namun ada saatnya heroisme membutuhkan seseorang untuk menjauhkan diri dari tim/organisasi yang telah ia bangun demi kebaikan bersama, seperti yang dilakukan oleh Stanley Levinson.
Add a comment