-
Topik TulisanPerilaku Manusia
-
Sub Judul TulisanBedah Tuntas Pekerjaan Omong Kosong
- Berikan Komentarmu
Pernahkan kamu merasa bahwa pekerjaan yang kamu jalani saat ini sebenarnya tidak berguna atau sia-sia? Melihat perkembangan ekonomi dan teknologi yang telah manusia raih pada abad terakhir ini, sungguh aneh jika saja kita hanya menghabiskan waktu untuk menuliskan laporan-laporan yang sebenarnya tidak pernah dibaca dan mengikuti performance-review meeting yang hanya berujung pada lebih banyak performance-review meeting baru. Yang sedang kita sia-sia kan adalah waktu berharga yang sebenarnya dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang kita nikmati, entah itu sekedar untuk belajar meracik kopi atau menyambung kembali silaturahmi dengan orang-orang terdekat. Menurut penulis, 2 dari 5 pekerjaan yang ada di pasar saat ini adalah omong kosong. Mengapa?
Masyarakat Hari Ini Banyak Menjalani Pekerjaan yang Sia-Sia dan Penuh Omong Kosong
Di tahun 1930, seorang ekonom bernama John Maynard Keynes menegaskan bahwa sesampainya kita di abad ke-21, kemajuan teknologi akan mendorong perusahaan-perusahaan di negara maju untuk mengadopsi aturan bekerja 15-jam dalam satu minggu. Ya, prediksi Keynes tentang perkembangan teknologi memanglah benar, akan tetapi prediksi beliau mengenai periode jam kerja manusia meleset cukup jauh. Apa alasannya? Menurut penulis, ini disebabkan oleh jumlah pertumbuhan dari “pekerjaan omong kosong” (bullshit jobs) yang terus meningkat secara perlahan.
Menurut sebuah report yang dikutip oleh penulis, jumlah orang yang bekerja di bidang perindustrian, pertanian, dan pembantu rumah tangga merosot tajam di antara tahun 1910-2000. Sementara, pekerjaan di bidang profesional, managerial, penjualan dan pekerjaan jasa melonjak sebesar tiga kali lipat hingga menguasai 75% dari semua pekerjaan yang ada di Amerika Serikat. Dengan kata lain, pekerjaan-pekerjaan produktif yang menghasilkan sesuatu telah tergerus begitu hebatnya. Mungkin kamu pernah mendengar komentar dari beberapa pihak yang mengungkapkan bagaimana robot dan teknologi akan meniadakan berbagai macam pekerjaan, dan itu memang sudah terjadi. Dengan banyaknya robot yang mulai mengambil alih peran, seharusnya jumlah lapangan pekerjaan pun menurun; tetapi ternyata tidak. Entah bagaimana kita mulai menciptakan bullshit jobs untuk mengisi “ruang kosong” yang diberikan oleh teknologi, entah itu dengan pekerjaan seperti administrator universitas, PR researchers, penasihat HR hingga middle managers. Ini semua merupakan pekerjaan yang tidak bisa ditemukan 100 tahun yang lalu.
Dan menurut penulis, tak satupun dari pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan penting. Tak seperti peran dari tukang bersih-bersih, petani, pengemudi bus & truk logistik, dokter dan para suster yang mana ketiadaan mereka dapat menghentikan seluruh aktivitas kota, peran dari para pelobi anggota DPR dan CEO dari perusahaan private equity tak sepenting itu. Tanpa mereka pun, hidup tetap akan baik-baik saja. Dengan kata lain, karakter utama dari bullshit jobs adalah mereka tidak memiliki banyak arti. Lalu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang bekerja pada bidang tersebut? Sebuah pol yang dilaksanakan pada tahun 2013 oleh YouGov di Britania Raya menemukan bahwa 37% dari peserta survey percaya bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan kontribusi yang berarti kepada dunia. Pol yang serupa dilaksanakan di Denmark dengan hasil 40%. Terdapat sesuatu di dalam budaya politik dan moral kita, cara organisasi kita bekerja, yang mendorong kita untuk masuk ke dalam pekerjaan omong kosong. Dan langkah pertama untuk memahami fenomena ini adalah melihat apa saja yang menjadi inti dari “pekerjaan omong kosong”.
Pekerjaan Omong Kosong itu Begitu Tidak Berarti, Bahkan Mereka yang Mengerjakannya pun Mengetahuinya, Tetapi Mereka Harus Berpura-Pura Tak Menyadari Adanya Fakta Tersebut
Pernahkah kamu, yang sedang duduk di meja kerja, dalam diam bertanya “Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di sini?”. Jika pernah terlintas pemikiran semacam itu, maka mungkin pekerjaanmu tergolong sebagai bullshit jobs. Lalu apa yang dimaksud penulis ketika ia mengatakan bahwa sebuah pekerjaan itu tergolong sebagai omong kosong? Pertama, menurut penulis, terdapat perbedaan yang mendasar antara shit jobs dan bullshit jobs. Ambil saja contoh tukang bersih-bersih yang sering diperlakukan dengan buruk dan dibayar murah; ini tergolong sebagai shit job, namun bukan bullshit job. Mengapa? Karena tukang bersih-bersih dapat berbangga secara sah atas apa yang mereka kerjakan dengan membuat lingkungan lebih bersih dan nyaman untuk ditempati. Mereka sungguh dibutuhkan. Kantor mu dapat bertahan tanpa asisten human resource, tetapi tanpa tukang bersih-bersih, kantor akan menjadi tempat yang tak dapat ditinggali.
Di sisi lain, bullshit jobs merupakan pekerjaan yang sungguh tidak berarti dan orang-orang yang mengerjakannya pun mengetahuinya. Contohnya bisa dilihat dari kasus Kurt yang dipekerjakan oleh satu dari sekian banyak subkontraktor yang ditunjuk oleh pihak militer Jerman. Ketika seorang tentara berpindah dari kantor lama ke kantor baru yang letaknya tepat di sebelah kantor lama, tentara tersebut tak diizinkan untuk memindahkan komputernya secara mandiri. Akan tetapi, tentara tersebut harus mengisi sebuah formulir yang kemudian dikirimkan ke sebuah perusahaan logistik yang menyetujui perpindahan itu dan kemudian menunjuk perusahaan Kurt untuk memindahkan komputer tersebut. Kurt diberi tahu untuk segera datang ke barak militer yang jaraknya sejauh 500 km dari posisinya sekarang. Kurt mengemudi ke sana, menandatangani beberapa surat kerja, mengambil komputernya, meminta bantuan dari tim logistics support untuk membawa ke kantor sebelah hingga akhirnya komputer tersebut ditata di tempat barunya.
Dari sisi manapun Kurt melihat pekerjaannya, dia tak dapat meyakinkan dirinya akan adanya alasan yang sah untuk mendukung keberadaan pekerjaan tersebut. Pekerjaan ini sia-sia. Namun dia juga tidak dapat mengakui hal tersebut secara terbuka. Kurt, seperti orang-orang lain yang mengerjakan bullshit job, harus berpura-pura bahwa pekerjaan yang dia lakukan itu bermanfaat. Tetapi demi mempertahankan pekerjaannya, menenangkan atasannya dan mungkin menjaga kehormatan dirinya, dia tak dapat secara terbuka mengakui bahwa caranya dalam menghabiskan 5 dari 7 hari yang dimilikinya itu sungguh tak berarti.
Flunkies dan Goons Dipekerjakan oleh Orang Lain untuk Memenuhi Tujuan-Tujuan yang Manfaatnya Dapat Dipertanyakan
Menurut penulis, ada lima kategori berbeda dalam bullshit job: flunkies, goons, duct-tapers, box-tickers, dan taskmasters.
Flunkies dipekerjakan hanya untuk membuat seseorang atau sebuah organisasi terlihat penting. Sudah berabad-abad, laki-laki dan wanita yang berkuasa telah “meningkatkan citranya” dengan mempekerjakan flunkies. Seorang raja/bangsawan (lord) membutuhkan rombongan pengiring dengan pekerjaan bersifat simbolis nan tak penting seperti: berdiri tegap dan siap untuk membukakan pintu ketika sang raja melewatinya. Tujuan dari dipekerjakannya flunkies adalah untuk menciptakan kesan yang tepat.
Di masa modern ini, flunkies bisa ditemukan pada pekerjaan seperti resepsionis yang hanya memiliki sedikit kewajiban. Gerte adalah seseorang yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan penerbit dari Belanda sebagai resepsionis; namun dalam satu hari, telepon kantor hanya berdering beberapa kali saja. Kewajiban Gerte lainnya hanyalah memutar tuas dari jam antik di ruang konferensi sebanyak dua kali dalam seminggu. Mengapa perusahaan harus membayar karyawan tersebut dengan gaji seperti seorang resepsionis penuh waktu, belum termasuk uang pensiun dan tunjangannya, hanya untuk duduk di meja depan tanpa melakukan banyak hal dalam kesehariannya? Alasan utamanya adalah: orang-orang tidak akan menganggap serius sebuah perusahaan saat perusahaan tersebut tak memiliki seorang resepsionis yang siap untuk menyambut tamu di meja depan.
Kemudian goons adalah manipulator dan “penyerang” yang dibayar. Pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori goons di antaranya adalah pengacara perusahaan, para pelobi, orang-orang humas, dan mereka yang merasa bahwa pekerjaan mereka itu tak menyenangkan karena mengandung manipulasi. Mari kita lihat kisah Tom yang bekerja untuk sebuah perusahaan pascaproduksi film. Dia mencintai beberapa bagian dari pekerjaannya, seperti membuat efek-efek keren untuk film-film yang dapat menghibur jutaan orang. Namun Tom juga wajib mengambil proyek-proyek iklan TV yang mengharuskan dia menggunakan kemampuan nya untuk membuat rambut terlihat lebih mengkilap, gigi lebih bersinar dan kulit nampak lebih mulus. Pekerjaan Tom untuk iklan TV justru dapat mengurangi rasa percaya diri dari para penonton, karena jika dibandingkan dengan model yang telah di-photoshop, ketidak sempurnaan seseorang telihat begitu mencolok. Selain itu, tipu daya ini juga melebih-lebihkan dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh produk, yang padahal belum tentu teruji kebenarannya.
Tom mencintai pekerjaannya saat terkait dengan film dan begitu membenci proyek iklan. Mungkin terdapat banyak ilusi dalam film, namun ilusi ini bersifat menghibur dan jujur. Kita pergi ke bioskop berharap untuk bisa melihat kejar-kejaran mobil yang mungkin tak bisa dilihat di dunia nyata atau pertengkaran antar dinosaurus. Namun pada iklan-iklan kecantikan, yang bisa ia sajikan hanyalah kebohongan dan manipulasi. Produk yang ditawarkan tak benar-benar bisa memenuhi kebutuhan seseorang, dan perusahaan mendapatkan keuntungan dengan cara membuat targetnya merasa cemas atas penampilan dirinya sendiri. Dan ini membuat Tom merasa bersalah.
Duct-tapers, Box-tickers dan Taskmasters adalah Jenis-Jenis Bullshit Job Lainnya yang Dunia Bisa tetap Berjalan Tanpanya
Jika kamu pernah bekerja di sebuah perusahaan besar, mungkin kamu pernah berjumpa dengan orang-orang yang pekerjaannya hanyalah berurusan dengan kecacatan di dalam sebuah sistem, atau sebuah glitch (gangguan singkat tak terduga) dalam sebuah organisasi. Jika saja semuanya berjalan dengan sempurna, pekerjaan mereka tak akan pernah ada.
Tugas utama dari seorang duct-taper adalah menangani masalah yang mana tak ada satu orang lain pun yang bersedia untuk menyelesaikannya. Salah satu narasumber penulis melaporkan bahwa ia menghabiskan 8 jam setiap harinya untuk memfotokopi rekam medis dari para veteran karena menurut manajemen akan memakan terlalu banyak biaya untuk mendigitalkan data-data tersebut. Narasumber lain melaporkan bahwa di perusahaan travel di mana ia bekerja, seseorang dipekerjakan untuk menerima jadwal penerbangan terbaru dan menyalin data tersebut ke dalam sebuah dokumen spreadsheet. Duct-tapers memang dibutuhkan, namun tidak seharusnya mereka dibutuhkan. Jika sebuah organisasi dengan teknologinya dapat bekerja dengan baik, maka duct-tapers tidak akan berguna. Ini alasannya mengapa penulis menganggap duct-taper sebagai pekerjaan bullshit.
Sama hal nya juga dengan box-tickers; mereka dibutuhkan sehingga sebuah organisasi dapat menunjukkan bahwa mereka melakukan sesuatu yang sebenarnya tak mereka lakukan. Layla bekerja di industri corporate-compliance (kepatuhan perusahaan) dan memiliki klien perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat, yang berdasarkan hukum, harus menunjukkan bahwa mereka tidak bekerja sama dengan pemasok atau vendor yang terlibat dalam tindak pidana korupsi serta gratifikasi dari luar negeri. Tugas Layla adalah membuat laporan uji tuntas (due-diligence reports) yang terkadang tak mencerminkan keadaan sebenarnya dari para pemasok. Laporan yang dibuatnya akan terlihat baik-baik saja dan menggunakan cukup banyak jargon agar terdengar mengesankan. Namun apakah laporan ini dapat membantu klien mereka? Menurut Layla, kecil kemungkinannya bagi mereka untuk melaporkan bahwa terdapat tanda-tanda korupsi yang pernah dilakukan pemasok, kecuali jika bos atau pemilik dari perusahaan pemasok tersebut pernah memiliki sejarah tindak kriminal. Semua kolom yang menyatakan aman akan dicentang, akan tetapi ini hanyalah untuk formalitas saja.
Jenis terakhir dari bullshit job adalah taskmaster: seorang supervisor atau pengawas yang mana orang-orang sedang diawasinya tak memerlukan pengawasan. Alphonso adalah seorang manajer dari bisnis lokalisasi konten dari luar negeri. Pekerjaannya adalah mengatur tim penerjemah, namun menurut pendapat Alphonso, sebenarnya tim tersebut dapat menjalankan semua pekerjaan mereka tanpa keterlibatan dirinya. Tim telah terlatih dan lebih dari mampu untuk mengatur waktu serta tugas-tugas sederhana yang perlu mereka lakukan. Yang Alphonso lakukan hanyalah menerima permintaan penerjemahan melalui sistem secara online, dan meneruskan pekerjaan tersebut ke salah satu anggota tim nya. Alphonso melaporkan bahwa satu-satu nya pencapaian yang pantas untuk ia banggakan hanyalah menutupi fakta bahwa tim penerjemah mendapatkan sedikit sekali beban kerja sehingga tak ada satupun anggota dari tim penerjemah yang dipecat walaupun sebenarnya tak terdapat cukup pekerjaan untuk menjustifikasi keberadaan dari 5 orang penerjemah.
Bullshit Jobs (Pekerjaan Omong Kosong) Menanamkan Rasa Kebohongan (Falsity) dan Tanpa Tujuan (Purposelessness) yang Membuat Orang-Orang Tak Bahagia
Kita menghabiskan sebagian besar waktu dalam keseharian kita untuk bekerja. Maka dari itu, melakukan bullshit jobs pasti memiliki dampak negatifnya terhadap jiwa kita bukan?
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan YouGov, 37% orang percaya bahwa pekerjaan yang mereka lakukan tak berarti. 33% responden juga menyatakan bahwa pekerjaan mereka tak memberikan rasa kepuasan (unfulfilling). Ini menunjukkan bahwa, terdapat cukup banyak orang yang tak berbahagia dengan pekerjaannya. Menurut penulis, alasan pertama dari munculnya ketidak-bahagiaan ini adalah karena adanya elemen kebohongan (falsity), perilaku tak tulus atau tak jujur, dalam pekerjaan yang sebenarnya berat untuk dihadapi seseorang.
Salah satu pekerja di call-center (pusat panggilan) menceritakan pengalaman bekerjanya menghubungi orang-orang untuk menawarkan pengecekan “credit score” personal dengan biaya £6,99 per bulannya. Pekerja tersebut tahu bahwa jasa ini tersedia di lembaga lain tanpa dipungut biaya; dan tak semua orang tahu akan hal ini. Membujuk orang untuk melakukan sesuatu yang tak layak sangat lah melawan nurani. Pekerjaan semacam ini menawarkan kebohongan yang tak mendatangkan kebahagiaan bagi para pelakunya.
Hal yang lebih buruk dari pada kebohongan adalah kurang atau tidak adanya tujuan dalam pekerjaan (total lack of purpose). Di tahun 1901, seorang psikolog bernama Karl Groos menemukan bahwa bayi mengalami kebahagiaan yang luar biasa saat mereka mengetahui bahwa aksi atau perbuatan mereka dapat menimbulkan dampak yang dapat diprediksi. Contohnya, bayi belajar bahwa dia dapat menghasilkan suara dengan mengerakkan sebuah kerincingan. Ketika ia menyadari bahawa ia dapat menghasilkan suara yang sama dengan mengulangi gerakan tersebut lagi dan lagi, dia akan tertawa penuh dengan kebahagiaan. Penemuan Groos tentang “the pleasure at being the cause” (kenikmatan dengan menjadi penyebab) ini meruapakan rangkaian awal dari penjelasan mengapa bullshit jobs dapat membuat seseorang begitu depresi. Menjadi manusia adalah menginginkan untuk menciptakan pengaruh (positif) terhadap dunia.
Greg merupakan seorang perancang iklan spanduk (banner ads) yang kamu lihat di sebagian besar website. Tak lama kemudian ia mengetahui bahwa sebagian besar iklan spanduk tersebut merupakan scam (penipuan); bahkan sebagian besar orang tak memperhatikannya, dan hampir tak ada satu orang pun yang ingin mengekliknya. Namun agensi-agensi besar mampu menjual produk tersebut, sehingga mau tidak mau Greg harus memenuhi permintaan itu. Pada akhirnya, rasa stres yang timbul akibat mengetahui betapa sia-sianya pekerjaannya tak dapat ia tahan lagi. Greg memutuskan untuk mengakhiri perkejaannya dan menemukan pekerjaan baru. Mempunyai tujuan merupakan sebuah kebutuhan manusia. Bullshit job merenggut tujuan tersebut dari kita.
Pola dan Waktu Kerja Saat Ini Melawan Hukum Alam dan Memaksa Kebanyakan dari Kita untuk Menjalani Hidup yang Menyedihkan
Kebanyakan dari kita mungkin pernah merasakan frustrasi karena harus duduk di kantor hingga jam 5 sore walaupun sebenarnya kita telah menyelesaikan pekerjaan lebih awal. Namun pola kerja manusia tidak selalu seperti ini. Ide bahwa manajer atau majikan “memiliki kendali” atas diri kita selama jangka waktu tertentu dalam satu hari merupakan sebuah perkembangan baru dalam kehidupan manusia. Pada sebagian besar sejarah, manusia telah bekerja dalam sebuah siklus yang terkadang membutuhkan banyak energi, lalu setelahnya diikuti dengan relaksasi.
Pada zaman masyarakat feodal, contohnya, para bangsawan hampir tak melakukan apapun; namun terdapat saat di mana mereka bekerja dalam waktu singkat, yakni untuk bertarung atau perang. Sementara para petani atau masyarakat kelas bawah (peasants) sudah jelas harus bekerja lebih sering, meskipun begitu, pekerjaan mereka sangat berbeda dengan nine-to-five job (pekerjaan dari jam 9 pagi ke 5 sore). Jika mereka telah selesai memproduksi apa yang dibutuhkan, pekerjaan mereka pun berakhir. Mereka tak perlu menunggu hingga jam 5 sore setiap harinya untuk meninggalkan kantor.
Jangka waktu dalam bekerja baru saja menjadi sebuah konsep dalam praktik dunia kerja dengan hadirnya menara jam (clock towers) pada abad ke-14; kehadiran jam domestik serta jam tangan pada akhir tahun 1700-an pun semakin memperkuat praktik tersebut. Semenjak saat itu, waktu dari seorang pekerja merupakan sebuah komoditas untuk dibeli; tren ini lah yang mengantarkan kita kepada pola kerja 9-5 seperti sekarang. “You’re on the clock – I’m not paying you to sit idle” (Anda masih dalam waktu bekerja. Saya tidak membayar anda hanya untuk duduk berdiam diri).
Menurut penulis, penentuan waktu kerja ini lah yang menjadi pendorong utama atas munculnya tugas-tugas omong kosong dalam kehidupan bekerja (bullshitization of working life). Pekerjaan pertama penulis sebagai seorang pencuci piring di sebuah restoran merupakan contoh yang tepat. Pada saat piring-piring kotor datang secara bertubi-tubi di jam-jam makan, dia dengan dua kawan pencuci lain saling berkompetisi. Piring-piring kotor dicuci dalam waktu cepat agar mereka dapat segera menikmati waktu luang untuk beristirahat, merokok dan mencicipi makanan. Namun saat mereka selesai dengan tugasnya, sang bos datang dan memerintahkan mereka untuk kembali bekerja selama mereka masih dalam waktu kerja. Mereka sedikit kebingungan karena mereka telah menyelesaikan tugas utamanya. Selain mencuci piring, ternyata mereka diminta untuk menggosok bagian-bagian dapur yang kotor. Namun saat mereka selesai menggosok semua bagian dapur yang kotor, mereka diminta untuk mengulanginya. Menurut penulis ini adalah pekerjaan yang sia-sia. Dari situ penulis belajar bahwa, dalam pekerjaan omong kosong, saat kamu menyelesaikan pekerjaanmu yang sebenarnya, pemberi kerja hanya ingin melihatmu sibuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tak begitu penting.
Kita Memandang Bekerja Sebagai Kebajikan (Virtue)
Jadi mengapa kita begitu bersikeras untuk menciptakan dan melakukan bullshit jobs, walaupun kita tahu bahwa sebagian besar dari pekerjaan tersebut menggerogoti jiwa, raga, dan tak juga membawa banyak manfaat? Mengapa kita belum memulai untuk menelusuri konsep kerja 15- jam dalam seminggu dan mulai mempertimbangkan hidup yang lebih rileks? Salah satu jawabannya terletak pada sikap kita atas bekerja. Peran dari ajaran agama dan pemikiran moral yang telah berlangsung selama berabad-abad telah membentuk kita untuk mengasosiasikan bekerja dengan “kebajikan / perbuatan baik”.
Pada abad ke-16, kaum Puritans mengajarkan bahwa bekerja adalah hukuman sekaligus cara untuk menebus dosa, dari situ, bekerja dipandang memiliki nilai ibadah dan mengandung nilai lebih dari apa yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Pola pemikiran ini pun masih terus terbawa hingga setelah zaman Revolusi Industri. Seorang penulis esai ternama, Thomas Carlyle, dalam menanggapi persepsi masyarakat tentang menurunnya moralitas pada zaman industri baru, berargumen bahwa bekerja tak seharusnya hanya dianggap sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan materi seseorang, tetapi bekerja merupakan inti dari kehidupan; bekerja adalah “the noblest thing yet discovered under God’s sky.”
Hingga hari ini pun kita masih berada dalam pengaruh besar dari pemikiran yang sama. Harga diri atau martabat dari sebagian besar orang masih sangat terikat pada pekerjaan seperti apa yang mereka lakukan. Ketika kamu bertemu seseorang pada sebuah pesta dan bertanya “Apa kesibukan mu sehari-hari?”, kamu tak berharap dia untuk menjawabnya dengan “Saya suka sekali menghabiskan hari dengan bermain gitar” bukan? Kebanyakan orang hampir pasti mendefinisikan diri mereka dengan pekerjaan mereka, meskipun setelah dua gelas minuman nanti, ia dengan senang hati memberi tahu mu mengapa ia sangat membenci pekerjaannya.
Kita juga melihat terdapat semakin banyak bisnis keluarga yang membuat-buat posisi karyawan baru dalam struktur organisasi perusahaan hanya untuk menampung anggota keluarga. Lihat saja Rufus, ia diberi pekerjaan oleh ayahnya untuk mengelola & mengatasi keluhan pelanggan di perusahaan biomedisnya. Namun dalam praktik nya, Rufus tak begitu memiliki banyak pekerjaan sehingga ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendengarkan podcast sambil tetap digaji. Namun Rufus membenci setiap menit yang ia habiskan di kantor; ini adalah hal yang wajar mengingat manusia membutuhkan tujuan (purpose) dalam hidup. Lalu mengapa ayah Rufus memberinya pekerjaan ini? Padahal ia bisa saja memberinya pekerjaan yang jauh lebih memiliki tujuan jelas, atau membiayai untuk pendidikan lanjutan. Atau sang ayah bisa saja memberinya uang saku yang meungkinkan Rufus untuk mempelajari saksofon jazz, atau berlari marathon. Jelas bagi ayahnya, hal yang terpenting adalah agar Rufus memiliki pekerjaan, meskipun jika pekerjaan itu tak bermanfaat. Sekali lagi, ayah Rufus dan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa bekerja adalah kebajikan.
Pendapatan Dasar Universal Dapat Menyediakan Jalan Keluar dari Budaya Bullshit-Jobs yang Berkembang Saat Ini
Bagaimana jadinya jika kita semua mempunyai kebebasan finansial untuk menghindari mengambil pekerjaan yang penuh dengan omong kosong? Menurut penulis, terdapat satu kebijakan yang memungkinkan itu untuk terjadi. Kebijakan itu bernama Universal Basic Income – UBI (Pendapatan Dasar Universal). Ide inti dari UBI adalah memberikan semua orang dewasa yang sudah memasuki usia kerja, dari yang pengangguran hingga para miliuner sekalipun, sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, yang mana dananya bersumber dari pajak. Penulis berpendapat bahwa UBI dapat menyeimbangkan kembali kekuatan antara para karyawan dengan para pemberi kerja.
Kesenjangan dan penderitaan yang kita lihat dalam keseharian merupakan hasil dari ketidakseimbangan kekuatan. Para atasan dapat memaksa karyawan untuk menoleransi tindakan kejam atau tak bermoral mereka di lingkungan kerja, atau menugaskan karyawan melakukan tugas-tugas tak bermanfaat nan merendahkan diri karena atasan tahu bahwa karyawan membutuhkan uang nya. Ini semua akan berubah saat UBI diterapkan. UBI memberikan karyawan kekuatan untuk berkata “saya keluar dari perusahaan ini” tanpa harus menerima konsekuensi finansial yang berat setelahnya. UBI memberdayakan orang untuk memilih pekerjaan yang bernilai dan mampu memberinya tujuan.
Mari lihat kasus Annie yang bekerja sebagai seorang administrator di perusahaan manajemen biaya perawatan medis. Satu-satunya pekerjaan yang ia lakukan hanyalah menggarisbawahi / menandai kolom-kolom tertentu pada formulir klaim biaya pengobatan, ini merupakan sebuah tugas yang sangat repetitif dan membosankan setengah mati. Pekerjaan yang sebenarnya Annie inginkan adalah menjadi guru siswa-siswi TK yang memiliki manfaat cukup besar dari segi sosial; namun sayangnya gaji dari seorang guru TK hanyalah $8.25 per jam nya, jumlah yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tetapi jika UBI ada dan cukup untuk menutupi kebutuhan Annie dari bulan ke bulan, maka Annie memiliki kebebasan untuk menjadi seorang guru TK.
Akan mudah bagi seseorang untuk memilih pekerjaan yang ia inginkan saat ia tak perlu lagi mengkhawatirkan tentang bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hari ini. Dengan UBI, seseorang bisa memilih untuk menjadi pengemudi bus, pencipta mainan, koki, serta peran-peran lain yang memberikan makna lebih kepada kehidupan masyarakat. Ia pun dapat menikmati pekerjaannya. Tak perlu lagi kita buat pekerjaan-pekerjaan yang sia-sia dan hanya menghabiskan waktu saja. Kebebasan untuk memilih apa yang kita lakukan mungkin tak akan menyelesaikan semua kerusakan yang ada di dunia kerja. Namun dengan melihat betapa tidak efisiennya distribusi pekerjaan saat ini, adanya UBI tak akan semakin memperburuk keadaan.
Semoga bermanfaat kawan. Mohon masukannya jika ada kesalahan.
Add a comment