Terpikirkan sebuah ide brilian saat sedang berangkat kerja, namun sesampainya di kantor, ingatan tentang ide tersebut benar-benar menghilang. Atau terkadang kamu baru saja membaca sebuah studi yang sangat relevan dengan topik yang sedang dibicarakan dalam sebuah meeting, akan tetapi kamu tak dapat mengingatnya. Sebagian besar orang mengalami hal ini. Kita hidup di zaman yang terlalu penuh dengan informasi. Menurut the New York Times, rata-rata tiap orang memproses sekitar 34 gigabytes informasi setiap harinya. Tentunya jumlah ini terlalu banyak untuk kita hadapi. Beruntungnya, teknologi menyediakan kita dengan alat untuk menyimpan, mengingat dan mengombinasikan informasi yang pernah kita konsumsi secara efisien dan intuitif, seperti adanya otak kedua.
Membangun Otak Kedua (Second Brain) Dimulai dengan Menangkap Informasi secara Efektif
John dan Amelia merupakan seorang karyawan yang mengandalkan ide dan ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk mencapai kesuksesan. John mempunyai “otak kedua”, sedangkan Amelia tidak.
Hari-hari Amelia secara umum berjalan seperti ini:
Amelia bangun dari tidur, otaknya dibanjiri dengan pikiran-pikiran dan ide yang belum tersusun rapi, kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara ping notifikasi email. Dia menghabiskan paginya untuk membaca dan membalas email masuk. Tak ada waktu baginya untuk mengumpulkan dan merapikan ide-idenya untuk dipaparkan di meeting siang. Pada saat meeting pun dia menghabiskan separuh waktunya untuk mencari-cari file yang berisi angka-angka yang dibutuhkan sehingga dia kehilangan alur dari meeting tersebut sepenuhnya. Setelah bekerja, dia meluangkan waktu untuk mengerjakan proyek sampingan sesuai passion nya, akan tetapi dia cepat sekali menyerah karena ia lupa dengan hal terakhir yang dikerjakan. Dia frustrasi dan kebingungan untuk menentukan tugas mana yang harus diprioritaskan. Di ujung hari ia tidur, dan siklus yang sama terulang kembali.
Hari-hari normal John mempunyai alur seperti ini:
John juga bangun dari tidur dengan pikiran dan ide-ide yang tersebar, namun ia cepat-cepat menuliskan ide menjanjikan itu pada sebuah aplikasi notes di gadget nya. Dalam perjalanannya menuju kantor, dia mengasah idenya dengan lebih detil dengan mempertimbangkan antara tantangan serta solusi potensial apa saja yang akan dihadapi dengan merekam suaranya. Saat meeting berlangsung, materi dan informasi ekstra yang dirasa relevan dengan diskusi sudah siap untuk dipaparkan. Ide-ide yang ia tuliskan pagi tadi sudah cukup matang untuk dipresentasikan kepada manajemen. Malam harinya, saat dia mempunyai waktu luang untuk project sampingannya, dia tahu harus dari mana untuk mulai melanjutkan pekerjaan.
John tidak lebih pintar atau mampu jika dibandingkan dengan Amelia. John hanya memiliki catatan pribadi yang tersusun rapi sehingga bisa diakses kapanpun, ini yang dimaksud dengan second brain.
Jadi, bagaimana caranya untuk membangun sebuah second brain yang baik? Tahapannya diformulasikan dalam formula C-O-D-E. Tiap hurufnya mewakili salah satu dari empat langkah yang dibutuhkan untuk membangun second brain secara berurutan, yakni: Capture, Organize, Distill, dan Express.
Mari kita mulai dengan Capture (Menangkap). Setiap saat kita di kelilingi dengan input-input informasi, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti kutipan, gambar, artikel, serta catatan meeting, maupun yang berasal dari internal, seperti ingatan, renungan dan pengetahuan. Input-input tersebut sangat bisa dimanfaatkan. Saat kamu bertemu dengan sebuah informasi yang ingin kamu ingat, kamu harus segera “menangkapnya”, entah itu dengan menandai sebuah artikel, mengambil screenshot, atau merekam catatan suara singkat. Sederhana. Sekarang mungkin kamu bergumam “Aku sebenarnya sudah melakukan hal-hal tersebut, tapi kenapa rasanya seperti masih belum memiliki second brain ya?”. Menurut penulis, kamu mungkin melakukan dua kesalahan dalam tahapan capture.
Pertama, kamu mungkin menangkap ide yang keliru. Sering kali kita menyimpan informasi karena kita pikir kita harus melakukannya, padahal belum tentu kita memiliki koneksi dengan ide-ide tersebut. Ujung-ujungnya, kita menyimpan terlalu banyak informasi yang sebenarnya tak begitu berarti bagi kita. Coba untuk tangkap dan simpan informasi yang “memicu” semangat atau gairah yang ada dalam dirimu. Coba anggap potongan-potongan informasi yang ingin kamu tangkap sebagai knowledge assets; mereka bukan sekedar sebuah fakta atau observasi saja, tetapi mereka adalah solusi, penghemat waktu, percikan inspirasi, dan pengubah perspektif.
Kedua, kamu tak memusatkan dan mengorganisasi ide dan pengetahuan yang kamu tangkap dengan baik. Ada banyak sekali alat-alat digital yang menyediakanmu dengan kemampuan untuk menangkap knowledge assets. Kamu bisa memberi highlight pada kalimat-kalimat penting di ebook, menyukai dan menandai konten seseorang di media sosial, mengutip klip audio dari podcast, dan lain sebagainya. Namun alat-alat ini tidak bersifat terpusat dan masih sangat menyebar; anggaplah mereka seperti ujung saraf pada tubuh. Ide-ide dan informasi yang tersebar ini harus bisa terhubung ke sistem saraf pusat, yakni otak kedua. Jadikan aplikasi notes yang ada pada gadget mu sebagai sistem saraf pusatnya. Aplikasi notes yang biasa digunakan di antaranya adalah Evernote, Notion, Microsoft OneNote, Apple Notes, Google Keep, dan lain-lain. Tiap kali kamu menangkap suatu ide, segera simpan secara otomatis ide tersebut dalam ruang digital terpusat tadi.
Masih merasa kewalahan dengan banyaknya informasi yang kamu tangkap? Coba ikuti langakah dari pemenang Nobel Prize, Richard Feynman, yang memiliki reputasi sebagai seseorang dengan pemikiran inovatif dan tak biasa. Feynman menuliskan a daftar yang berisi sekitar 12 pertanyaan inti yang ingin beliau jawab dalam penelitiannya. Tiap kali dia dihadapkan dengan sebuah informasi baru, dia akan mengujinya melawan 12 pertanyaan inti ini, apakah masih relevan atau tidak? Dengan metode ini, dia kerap kali menemukan solusi di tempat-tempat yang tak diharapkan. Mengatur sebuah daftar akan pertanyaan-pertanyaan inti dapat membantumu menyeleksi ide & informasi yang sebaiknya ditangkap.
Ciptakan sebuah Ruang Digital yang Didesain untuk Mengoptimalkan Produktivitas
Pernahkah kalian mendengar istilah cathedral effect? Pada dasarnya, ruang atau tempat di mana kamu berada dapat memengaruhi pemikiranmu. Kamu akan cenderung untuk memiliki pemikiran besar dan mulia tentang tujuan hidupmu ketika kamu sedang berada di sebuah katedral dengan desain gothic nya, langit-langitnya yang berkubah, serta tanah yang berlantaikan marmer dari pada saat kamu berada di ruang tunggu dokter gigi. Kamu juga akan lebih mudah untuk fokus saat berada di ruang yang lega dengan jumlah perabot minimal dan ditata rapi dari pada saat berada di sebuah ruangan yang nampak seperti kapal pecah.
Efek yang sama berlaku di ruang digital. Anggaplah knowledge assets yang telah kamu capture sebagai bahan bangunan dari second brain mu. Dengan langkah kedua, Organize, mari kita bangun ruang digital kita menjadi sebuah katedral yang dapat membantu memunculkan pemikiran-pemikian luar biasa.
Jika kamu hanya menangkap ide dan pemikiran tanpa mengorganisasinya, semua knowledge assets yang berharga ini akan terasa kurang menginspirasi dan justru membuatmu muak. Lagi- lagi kamu akan mengalami information overload. Maka dari itu kamu harus menjadi seorang “pembangun katedral” dengan mengorganisasi aset-aset pengetahuan tersebut. Mungkin insting pertama yang muncul adalah mengorganisasikan aset-aset pengetahuan tersebut berdasarkan kategori subjek. Abaikan insting itu. Menurut penulis, second brain seharusnya tak terasa seperti sebuah perpusatakaan, alih-alih bayangkan second brain seperti sebuah dapur. Maksudnya? Sebagian besar dapur ditata berdasarkan proses dan hasil. Panci-panci terletak di lemari yang berada di atas kompor, rak piring berada di samping bak cuci, dan seterusnya. Untuk membuat second brain berorientasi pada hasil, organisasikan aset-aset pengetahuanmu dalam susunan actionability (tingkat atau potensi untuk ditindaklanjuti).
Susun second brain mu berdasarkan PARA yang memiliki kepanjangan Projects, Areas, Resources, dan Archives. Ini adalah 4 domain utama dari second brain mu. Setiap domain dapat berisi beberapa folder yang dapat didedikasikan untuk hal-hal tertentu. Mari kita bahas tiap domainnya.
Projects berisi tentang objektif atau tujuan jangka pendek yang sedang kamu kerjakan secara aktif dan akan diselesaikan. Tujuan ini disertai dengan batas waktu (deadline) penyelesaian. Contoh isi dari domain project dapat berupa mendesain sebuah website baru. Project juga dapat diisi dengan hal-hal personal seperti merencanakan liburan.
Areas adalah komitmen terhadap seuatu hal yang akan terus mengalami penyesuaian. Contohnya, pengaturan kondisi keuangan pribadimu termasuk ke dalam domain area, bukan sebuah proyek. Kamu tak akan memberi batas waktu atasnya. Hal-hal yang ada di area bersifat dinamis dan membutuhkan pengawasan konstan.
Resources mengandung topik-topik yang mana kamu tertarik untuk menjelajahinya lebih jauh, akan tetapi kamu belum memutuskan untuk menjadikannya sebagai projects atau areas. Hobi atau khayalan paling liarmu dapat kamu simpan di sini, entah itu tentang membiakkan lebah hingga tentang astrofisika.
Terakhir, domainArchives dipergunakan untuk proyek-proyek yang telah selesai atau areas yang tidak lagi relevan, serta hal menarik yang tak lagi “menggerakkan”mu. Namun, hanya karena mereka tidak relevan secara langsung terhadap tujuanmu saat ini, bukan berarti bahwa kamu harus membuangnya jauh-jauh dari otak keduamu. Sebaliknya, kamu disarankan untuk menyimpannya secara terpisah, sehingga aset-aset pengetahuan tersebut tak mengganggu penggunaan dari aset-aset lain yang masih bisa ditindaklanjuti.
Dari keempat kategori ini, projects merupakan bagian yang paling bisa dijalankan sementara archives tidak sama sekali. Setiap knowledge asset yang kamu tangkap sebaiknya ditempatkan pada salah satu dari keempat area ini. Dengan begitu, mereka ditempatkan berdasarkan tingkat actionability. Namun jangan terlalu bersemangat untuk menerapkan ini secara langsung. Penulis menyarankan agar kamu tak segera mengorganisasi aset tepat setelah kamu mendapatkannya. Tetapi tunggu hingga kamu memiliki sekumpulan aset untuk dilihat dan diorganisasi. Langkah ini akan memberikan mu jarak untuk melihat setiap aset secara analitis dan memberi ruang untuk memahami konteks informasi secara lebih luas.
Ambil Apa yang Kamu Perlukan, Lupakan Sisanya
Kamu tak hanya ingin menyimpan pengetahuan saja, tetapi kamu ingin menyimpannya dengan cara yang mudah diakses dan masih relevan ketika kamu menjumpainya. Ironisnya, semakin baik kamu dalam menangkap dan mengorganisasi ide, semakin sulit untuk ditemukan informasi tersebut. Ada sebuah pepatah Cina yang berbunyi: “Jika kamu ingin mendapatkan pengetahuan, tambahkan sesuatu tiap harinya. Jika kamu ingin meraih hikmah dan kebijaksanaan, kurangi sesuatu setiap harinya.”
Ya, langkah ketiga dari sistem CODE adalah Distill yang berarti mengurangi untuk menuju esensi. Ada beberapa lapis (layers) penyaringan yang dapat kamu lakukan untuk memurnikan (distill) sebuah ide. Semakin banyak saringan, maka knowledgeassets mu akan semakin distilled.
Berikut adalah penerapan dari distillation dengan empat tahap penyaringan:
- Pertama, simpan artikel yang menggugah sisi penasaranmu.
- Kedua, kamu baca artikel dengan teliti dan highlight kalimat-kalimat inti.
- Ketiga, tebali ide utama (key ideas) dan frasa dalam kalimat-kalimat yang telah di-highlight.
- Keempat, tuliskan sebuah executive summary (ringkasan singkat) dari key ideas tadi dengan sedikit kalimat.
Ingat, pada saat kamu memurnikan sebuah pemikiran atau ide, kamu tak perlu meringkas artikel secara keseluruhan. Hanya ringkas bagian yang menarik perhatian dan relevan dengan objektifmu saja. Dan pastikan bahwa informasi yang telah tersaring itu sebagai bagian yang paling mudah untuk ditemukan. Ringkasan singkat (executive summary) sebaiknya menjadi hal pertama yang kamu lihat saat kamu kembali ke sebuah knowledge asset sehingga memudahkanmu untuk memperkenalkan kembail diri dengan ide yang paling penting dari sebuah aset pengetahuan.
Distilling (pemurnian ide) membutuhkan waktu. Namun penulis memastikan bahwa proses ini akan menghemat lebih banyak waktu kedepannya. Lain kali, saat kamu mengonsumsi atau berinteraksi dengan pengetahuan yang pernah disimpan, kamu tak harus kembali membaca ulang semua hal untuk mengingat-ingat mengapa pengetahuan tersebut masih relevan. Kamu dapat memilih tingkatan interaksi mu dengan knowledge asset tersebut: entah itu hanya membaca sepintas bagian ringkasan, menyegarkan kembali ingatan dengan key ideas yang telah di-highlight, atau membaca kembali konten secara keseluruhan.
Jika kamu membutuhkan dorongan untuk memulai proses distill ini, coba temukan inspirasi dari Ken Burns yang telah memproduksi banyak film dokumenter yang memenangkan berbagai penghargaan. Dokumenternya pada subjek seperti Jazz atau Perang Saudara Amerika adalah sebuah masterclass dalam hal distilasi ide. Untuk setiap 50 jam rekaman yang beliau tangkap, hanya 1 jam saja yang akan disertakan ke dalam final cut.
Jangan hanya Simpan Pengetahuan – Gunakanlah!
Sampailah kita pada langkah terakhir dari sistem CODE, yakni Express (mengekpresikan). Setelah kamu mengumpulkan informasi, mengorganisasi nya, dan memurnikan nya ke dalam ide-ide kunci, sekarang adalah saat nya untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut pada kehidupan nyata, di antaranya: menciptakan inovasi operasional atau kebijakan baru dalam berbisnis, beraksi untuk memenuhi proyek pribadi, mulai membangun pekerjaan sampingan, dan menerapkan solusi baru untuk masalah yang merepotkan.
Bagi kebanyakan orang, langkah terakhir ini merupakan tahapan yang paling menakutkan. Kamu tak perlu khawatir, satu hal yang perlu kamu ingat saat memulai project adalah gunakan intermediate packets yang berarti: bagi sebuah proses besar dari sebuah proyek menjadi potongan-potongan kecil yang dapat ditindaklanjuti.
Bayangkan sebuah Lego; semakin banyak bata Lego yang dimiliki, semakin menakjubkan dan kompleks pula konstruksi yang dapat kita ciptakan. Dengan analogi yang sama, kamu akan dapat menjalankan proyek-proyek besar dan kompleks jika saja kamu dapat memecahnya ke dalam langkah-langkah lebih kecil yang sangat mungkin untuk dicapai. Faktanya, ada banyak pihak profesional yang telah menerapkan hal ini. Contohnya, tim pengembang software mengerjakan pengembangan yang dibagi ke dalam modul-modul, dan produser TV mengembangkan proyek pilot sebelum membuat seluruh seasons dari program tayangan barunya.
Ada lagi satu manfaat lain dengan menerapkan intermediate packet dalam menjalankan sebuah project, yakni memungkinkan kamu untuk mengumpulkan masukan (feedback) di tahap awal dengan intensitas yang cukup sering. Dengan begitu, jika kamu perlu mengubah arah dari project, kamu dapat melakukannya dengan kehilangan sedikit sumber daya dan waktu. Setelah kamu menciptakan sebuah intermediate packet, kamu sangat mungkin untuk mereplikasi langkah yang sama lagi dan lagi. Yang perlu kamu lakukan hanyalah melakukan sedikit modifikasi sesuai dengan kebutuhan dari proyekmu yang baru.
Fungsi tagging dan search bar (kolom pencarian) yang disediakan oleh aplikasi notes merupakan teman terbaikmu dalam membantu menemukan kembali intermediate packets terdahulu. Maka dari itu, jadikan sebuah kebiasaan bagimu atau standar bagi tim untuk menyertakan tagging dengan beberapa kata kunci yang relevan pada setiap knowledge asset. Berkat ini, kamu akan berterima kasih pada dirimu di masa mendatang.
Satu hal terakhir yang perlu diingat dari tahapan express pernah dirangkum oleh seorang filsuf dari abad ke-18 bernama Giambattista Vico yang berbunyi: “verum ipsum factum”. Ini adalah bahasa latin yang memiliki arti: “kita hanya mengetahui apa yang kita buat”. Dengan kata lain, kita tak akan benar-benar bisa memahami sesuatu hingga kita melakukannya sendiri. Ketika kamu menggunakan pengetahuan dan wawasan yang telah dikumpulkan untuk menciptakan sesuatu yang baru, kamu baru bisa benar-benar menganggap dirimu sebagai seorang ahli.
Add a comment