Manusia suka sekali mengategorikan sesuatu di sekeliling nya. Lihat saja berbagai macam genre musik yang ada di aplikasi pemutar muskimu, dari campur sari hingga hip-hop, kita tak pernah kehabisan jenis musik untuk diputar. Mempunyai banyak pilihan adalah hal yang baik, namun terlalu banyak pilihan juga dapat membuat kita kewalahan. Sama halnya dengan memiliki terlalu sedikit pilihan; di kondisi tersebut, manusia akan cenderung membentuk stereotip terhadap “kelompok lainnya” yang bisa saja berubah menjadi kebencian di suatu hari. Penulis berpendapat bahwa kunci untuk menjelajahi dunia adalah dengan menyeimbangkan antara keduanya – tak terlalu banyak juga tak terlalu sedikit kategori.
Proses Evolusi Memberikan Manusia Kemampuan Untuk Mengategorikan Sesuatu
Bayangkan kamu baru saja lahir dari rahim Ibumu dan mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Dunia yang ada di sekelilingmu terasa asing dan tak masuk akal; yang kamu tahu selama ini hanyalah kenyamanan dan kehangatan yang ada di rahim Ibu. Seiring berjalannya waktu, kamu mulai mempelajari bahwa tak semua hal yang ada di dunia menakutkan. Kamu mulai mengategorikan hal-hal yang ada di sekelilingmu dan mengaitkan mereka dengan arti tertentu.
Manusia tak akan dapat bertahan hidup sejauh ini tanpa kemampuannya untuk mengategorikan mana ancaman dan mana keamanan. Untuk nenek moyang kita, gemeresik semak-semak, bayangan di dinding gua, dan gemercik air di sungai dapat menjadi tanda akan adanya bahaya yang mendekat. Di saat itu juga, otak kita memberikan pilihan biner untuk bertahan hidup kepada kita, fight versus flight; akankah kita bertarung atau melarikan diri?
Proses evolusi selanjutnya melengkapi kita dengan dua pasang kategori biner lainnya yakni: kita versus mereka & kebenaran versus kesalahan. Kedua pasang kategori ini terbentuk secara alami agar kohesi sosial antar anggota kelompok dapat meningkat, yang ujung- ujungnya berfungsi untuk memastikan keberlangsungan dari kelompok tersebut. Pola pikir kita versus mereka ini mendorong kita untuk mengutamakan kepentingan kelompok kita dari pada kepentingan kelompok lain. Sementara ide mengenai mana yang benar dan mana yang salah membantu kita untuk menyelesaikan konflik dalam kelompok dan menjauhkan diri dari mengutamakan kepentingan pribadi.
Ya, kategorisasi membantu nenek moyang kita untuk bertahan. Tetapi di dunia modern ini, kemampuan kategorisasi biner juga sering membawa kita kepada masalah-masalah terntentu.
Area Abu-Abu Ada Di Mana-Mana dan Cukup Sulit Untuk Bersikap Terhadapnya
Dalam cabang ilmu filsafat terdapat satu paradoks terkenal yang disebut dengan Paradoks Sorites yang membahas tentang kategorisasi. Pertanyaan yang diajukan dalam paradoks tersebut adalah bagaimana caranya membedakan antara gundukan pasir dengan sekelompok butiran pasir? Kita pasti setuju bahwa satu butir pasir tidak sama dengan gundukan pasir. Kita juga setuju bahwa dengan menambahkan satu butir pasir lagi kepada satu butir pasir yang ada tak akan membuat mereka menjadi gundukan, begitupun dengan menambahkan beberapa butir selanjutnya. Jadi seberapa banyak pasir yang bisa kita tambahkan agar kelompok butir-butir pasir tersebut menjadi sebuah gundukan? Sekilas paradoks ini mungkin terkesan konyol, tetapi hal-hal seperti ini sangat sering terjadi dalam berbagai aspek hidup dan bahkan dalam aspek hukum.
Jika kita bawa konsep kategorisasi ini kedalam topik aborsi, kapankah waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa sebuah janin adalah seorang manusia? Di Britania Raya sendiri aborsi diizinkan selama janin belum mencapai usia 24 minggu. Tetapi apakah janin yang berusia 23 minggu dan 6 hari belum bisa dikategorikan sebagai manusia? Apakah 1 hari itu menentukan? Mengabaikan area abu-abu sama hal nya dengan memperkeruh keadaan.
Ada satu peristiwa yang terjadi di Irlandia pada tahun 2012 ketika praktik aborsi masih dinyatakan ilegal. Seorang wanita bernama Savita Halappanavar mengalami keguguran dan meminta pihak rumah sakit untuk melaksanakan aborsi. Namun pada saat itu, jantung sang janin masih berdetak; karenanya dokter tak diizinkan untuk melakukan aborsi. Setelah beberapa waktu berlalu, detak jantung sang bayi terhenti dan di saat itu juga Halappanavar mengalami sepsis: sebuah kondisi mengancam nyawa yang terjadi ketika tubuh melawan infeksi internal, tetapi perlawanan tersebut juga melukai jaringannya sendiri dan mengakibatkan organ berfungsi secara tak normal. Malangnya beberapa hari kemudian Halappanavar meninggal menyusul kematian sang janin.
Manusia Cenderung Terlalu Sempit Atau Terlalu Longgar Dalam Melakukan Katgorisasi
Apakah rumahmu penuh dengan berbagai jenis barang dan kamu enggan sekali untuk membuangnya? Psikolog menyebut perilaku ini dengan gaya kategorisasi underinclusive (kurang inklusif) dimana kamu menciptakan banyak sekali kategori barang yang mempunyai karakternya masing-masing di kepalamu, sehingga jenis barang yang dapat dimasukkan kedalam tiap kategorinya sangat sedikit. Maka dari itu, para penimbun barang kerap menganggap bahwa tiap barang adalah hal yang unik dan hanya dapat dimasukkan pada satu kategori tertentu sehingga mereka tak rela jika harus membuangnya.
Lawan dari perilaku di atas adalah overinclusive (terlalu inklusif) yang berarti orang tersebut terlalu longgar dalam melakukan kategorisasi; karakteristik untuk tiap kategorinya dibuat begitu umum sehingga terdapat banyak hal yang dapat dimasukkan dalam satu kategori. Lalu dimana letak masalahnya? Mereka yang menganut gaya overinclusive cenderung mudah untuk membentuk stereotip. Misalnya, mereka menganggap bahwa semua orang islam adalah teroris, atau semua penganut sayap kiri sebagai komunis, dan lain sebagainya. Mereka tak melihat orang lain dari watak dan tingkah laku sebenarnya, melainkan hanya meghakimi orang lain berdasarkan label yang “menempel” padanya.
Penulis percaya bahwa jalan yang terbaik untuk bersikap adalah menemukan keseimbangan di antara keduanya. Kita perlu tahu kapan sebaiknya melihat gambaran besar dari sesuatu dan kapan sebaiknya meneliti lebih dalam untuk melihat detil-detil kecil yang tak terlihat sebelumnya.
Eddie Howe, manajer dari tim sepak bola Inggris AFC Bournemouth, adalah salah satu orang yang dapat menerapkan keseimbangan ini dengan baik. Setelah beberapa tahun melatih Bournemouth, Howe berhasil membawa timnya untuk berlaga di Premiere League yang merupakan liga paling bergengsi di dunia sepak bola Inggris, setelah sebelumnya hanya bertanding pada League Two (liga tingkat terbawah dari English Football League).
Apa yang ia lakukan? Pertama-tama beliau membagi satu seasonLeague Two ke dalam beberapa seri yang terdiri dari 4 grup pertandingan; Howe menyebutnya dengan “mini- seasons”. Dengan metode ini, Howe ingin membuat timnya fokus dengan pertandingan yang ada di hadapannya. Tiap kali satu “mini-season” dilalui, beliau bersama dengan timnya melakukan penilaian performa dan memutuskan tentang hal apa yang sebaiknya dilakukan kedepan. Howe tak ingin menilai performa tim hanya dari satu pertandingan – kategorisasi semacam ini terlalu sempit dan mungkin bisa “membutakan” pandangan. Dengan metode “mini seasons”, tim dapat terus mengelevaluasi diri namun tak begitu merasa terbebani dengan kainginan mereka untuk memenagkan liga.
Tiap Orang Menempati Posisi Spektrum Kognitif yang Berbeda
Seorang psikolog bernama Else Frenkel-Brunswick mengadakan sebuah penelitian untuk melihat karakter psikologis dari seseorang. Para peserta diminta untuk mengategorikan sketsa yang mereka lihat satu per satu. Sketsa pertama yang ditunjukkan adalah gambar seekor kucing; namun pada sketsa-sketsa selanjutnya, figur kucing tersebut semakin mirip dengan anjing. Hingga pada sketsa terakhir, peneliti menunjukkan gambar anjing yang sebenarnya.
Ternyata hasil kategorisasi dari para peserta cukup mengejutkan. Di antara mereka ada yang melihat figur anjing lebih cepat dari pada peserta lain. Else juga memperhatikan bahwa orang dengan tingkat prasangka (prejudice) yang relatif tinggi cenderung lebih telat untuk meyakini akan adanya karakter anjing pada sketsa peralihan yang ditunjukkan. Beberapa dari mereka bahkan mengategorikan semua gambar sebagai kucing walaupun sketsa terakhir merupakan sosok seekor anjing. Dari penelitian inilah isitilah cognitive closure muncul. Secara singkat cognitive closure adalah keinginan manusia untuk mengeliminasi ambiguitas dan datang pada sebuah kesimpulan yang pasti (walaupun terkadang kesimpulan tersebut diikuti dengan alasan yang irasional).
Peserta yang mengategorikan semua sketsa sebagai seekor kucing menunjukkan bahwa ia memiliki kebutuhan cognitive closure yang lebih kuat; mereka sangat membutuhkan kepastian dengan melihat dunia melalui lensa hitam putih saja. Ambiguitas adalah sesuatu yang tak bisa mereka toleransi dan kecil sekali kemungkinan mereka untuk melihat sebuah isu dari berbagai macam sudut pandang; ini juga yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan lebih cepat.
Sementara di ujung berlawanan dari spektrum, terdapat orang-orang yang memiliki cognitive complexity. Singkatnya, mereka sangat mampu untuk menoleransi ambiguitas; mereka menyadari bahwa ada area abu-abu dengan bermacam tingkatan pada berbagai aspek kehidupan. Karenanya, mereka cenderung lebih lambat dalam membuat keputusan. Penting untuk dicatat bahwa tak selamanya cognitive closure ataupun cognitive complex merupakan hal yang buruk. Terkadang, terutama di dunia politik, kita memerlukan seseorang yang dapat membuat keputusan dengan cepat dan pasti yang sangat tergantung pada sudut pandang hitam putihnya.
Contoh nyata yang bisa kita saksikan sekarang adalah aksi dari Greta Thurnberg, seorang aktivis iklim dari Swedia. Dia sangat terang-terangan dalam menyatakan pendapatnya. Dia melihat isu perubahan iklim ini dengan kaca mata hitam putihnya yang kurang lebih berbunyi: Kita menyelamatkan bumi sekarang juga, atau manusia akan mati dihempas bumi; kita beraksi sekarang atau tidak sama sekali. Memang sikap seperti inilah yang kita butuhkan untuk menghadapi krisis yang sudah berada di depan mata.
Kesukuan Mendistorsi Pandangan Kita Terhadap Kenyataan
Jika kamu telah menggunakan media sosial untuk waktu yang cukup lama, kamu mungkin mulai menyadari akan adanya fenomena dimana orang-orang menilai kebenaran dari sebuah pernyataan tak berdasarkan pada bukti faktual namun lebih berdasarkan pada apakah pernyataan tersebut mendukung nilai-nilai yang dipercayai oleh kelompok- kelompok tertentu. Istilah untuk fenomena ini adalah tribal epistemology (epistemologi kesukuan). Rasa kesukuan ini tak hanya memengaruhi cara kita berpikir, tetapi ia juga mengubah cara kita melihat dunia.
Satu topik yang penuh dengan keabu-abuan adalah tentang ras. Di tahun 2006, sekelompok peneliti mengadakan sebuah penelitian di mana para peserta diminta untuk memainkan sebuah video game yang di dalamnya mereka harus membuat keputusan untuk menembak seseorang atau tidak. Sosok-sosok yang muncul dalam video game tersebut di antaranya: laki-laki yang bersenjata maupun tak bersenjata, beberapa dari mereka berkulit hitam dan beberapa berkulit putih.
Ternyata ras dari sosok tersebut memengaruhi respons dari para peserta. Mereka lebih cepat memutuskan untuk menembak tersangka berkulit hitam bersenjata dari pada tersangka bersenjata berkulit putih. Selain itu, peserta juga lebih cepat untuk memutuskan tak menembak pria tak bersenjata berkulit putih dibandingkan dengan pria tak bersenjata berkulit hitam. Data gelombang otak menunjukkan bahwa di saat membuat keputusan, peserta banyak menggunakan insting dari pada alasan logis. Kategorisasi yang sudah terbentuk di otak mereka mendikte penglihatan mereka dan akhirnya mendikte keputusan mereka.
Lalu bagaimana caranya untuk menghilangkan kesalahan kategorisasi yang sudah terlanjur terbentuk? Menurut penulis, peristiwa super-categorization dapat mengesampingkan kategorisasi yang sudah lama bersemayam di otak. Peristiwa ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilaksanakan oleh University of Delaware. Dalam penelitian tersebut sekelompok pewawancara, baik yang berkulit hitam maupun putih, diminta untuk menanyakan pendapatnya mengenai perkembangan dunia sepak bola dari sekelompok penggemar tim tuan rumah. Beberapa pewawancara mengenakan topi tim tuan rumah, sementara pewawancara lain mengenakan topi tim tandang dalam proses wawancara.
Peneliti ingin mengetahui pewawancara berkulit hitam mana yang dapat berinteraksi lebih baik dengan penggemar berkulit putih. Ternyata penggemar tim tuan rumah dapat berinteraksi lebih baik dengan pewawancara berkulit hitam yang mengenakan topi tim tuan rumah. Peristiwa ini membuktikan bahwa super-categorization bekerja. Lebih dari itu, kita dapat menghilangkan prasangka buruk yang ada ketika kita menganggap bahwa kita semua sama-sama manusia.
Framing (Pembingkaian) Adalah Senjata Pamungkas Untuk Melakukan Persuasi
Di tahun 2016, Britania Raya mengadakan sebuah referendum yang menyangkut isu Brexit (singkatan dari British Exit) yang membahas tentang apakah sebaiknya Inggris tetap menjadi anggota dari Uni Eropa (EU) atau tidak. Dalam menyikapi isu ini, Inggris terpecah menjadi dua golongan: golongan meninggalkan (Leave) EU & golongan tetap menjadi bagian dari (Stay in) EU. Ternyata grup Leave EU memenangkan “pertandingan”. Namun, apa yang mendasari keputusan tersebut? Penulis berpendapat bahwa kemanangan besar dari kelompok Leave disebabkan oleh taktik linguistic frame (bingkai linguistik) yang memaksa masyarakat untuk melihat isu tersebut dari satu sudut pandang tertentu.
Misalnya, dalam kampanye yang dilakukan oleh tim Leave, mereka menggunakan satu slogan singkat yang sangat mudah diingat dan dapat membangun rasa ingin bebas dari cengkraman yang berbunyi: “Take Back Control” (Rebut Kembali Kendali). Slogan tersebut memanfaatkan rasa takut manusia akan kehilangan dan keinginan alamiah manusia untuk memiliki lebih. Slogan “Take Back Control” seakan menyatakan bahwa selama ini masyarakat Inggris telah kehilangan sesuatu yang berharga dengan menjadi anggota EU.
Penulis berkeyakinan bahwa terdapat tiga bingkai besar yang mendasari argumen yang terdengar sangat membujuk, diantaranya bingkai: fight vs flight (melawan atau melarikan diri), us vs them (kita atau mereka), dan right vs wrong (salah atau benar). Ketiga bingkai itu adalah kategori biner yang dihasilkan oleh proses evolusi otak primitif kita. Dengan menggunakan satu dari tiga bingkai tersebut, kita telah memanfaatkan teknik super- persuasion.
Suatu hari penulis membaca sebuah opini yang membicarakan tentang pemungutan suara di Prancis untuk melarang penggunaan nikab / cadar di tempat-tempat umum, terutama oleh wanita muslim. Menurut penulis, opini tersebut disusun dengan menggunakan tiga bingkai biner persuasif. Pertama, penggunaan cadar di tempat umum memiliki potensi untuk disalahgunakan dan dapat mengganggu keamanan – argumen ini mengangkat sisi fight vs flight. Kedua, cadar bukanlah budaya Prancis dan seharusnya masyarakat Prancis melestarikan nilai-nilai Prancis yang sudah ada sejak dahulu kala – argumen ini menonjolkan sisi us vs them. Terakhir, mengenakan cadar melambangkan penindasan terhadap wanita – opini ini membicarakan right vs wrong. Jika kamu tak mempelajari tentang adanya kategorisasi biner, argument penulis opini ini terlihat begitu benar di mata orang Prancis.
Di tahun 2013, seorang psikolog sosial bernama Nik Steffens mencoba mengamati pidato-pidato yang dibuat oleh kandidat politisi Australia pada 43 periode pemilihan umum. Beliau melihat sebuah pola yang muncul secara berulang di sebagian besar pidato. Pada 34 dari 43 kali periode pemilu, kandidat yang lebih sering memunculkan sudut pandang “kita atau mereka” dalam pidatonya dapat memenangkan pemilu. Walaupun pembingkaian biner seperti ini terasa sangat membujuk, kamu dapat menghindarinya dengan cara memperhatikan kategorisasi-kategorisasi yang tersembunyi dalam argumen yang disampaikan seseorang.
Add a comment